{23} CIDRAPATI
Siang ini matahari mungkin agak kesal karena sinarnya dihalangi oleh mendung yang sangat tebal sehingga suasana yang teduh ini justeru terasa gerah. Matahari telah menitipkan panasnya pada kelembaban yang berjaya tanpa tiupan angin.
Sementara itu di kelas 12 IPA, nampak Bu Nastiti sedang menjelaskan tentang cahaya kepada murid-muridnya.
“Jadi oleh karena sifat cahaya yang dapat dipantulkan itulah kita dapat mengenali benda-benda yang ada di sekeliling kita. Cahaya yang melewati lensa mata kemudian akan dikenali sebagai bentuk dan warna. Andai cahaya tidak dapat dipantulkan, mungkin kita tidak akan mampu mengenali benda-benda yang ada di sekeliling kita!”
Sampai di sini, tiba-tiba Arundhati mengacungkan tangannya. Melihat muridnya mengacungkan tangannya, Bu Nastiti segera mempersilakan muridnya untuk bertanya, “Ya Arundhati!”
“Apakah hanya cahaya saja yang digunakan sebagai medium pengenalan benda? Mengingat bahwa cahaya adalah geombang, maka mungkinkah ada gelombang lain yang kita pergunakan untuk mengenali suatu benda?” tanya Arundhati agak panjang. Ibu Nastiti tersenyum.
“Pertanyaan bagus Arundhati! Tapi sebelum ibu menjawab, mungkin ada yang ingin memberikan jawaban buat Arundhati?”
Ibu Nastiti tidak langsung menjawab, namun terlebih dulu melemparkan kepada murid yang lain. Akan tetapi, tak ada satupun murid yang mau menjawab. Ibu Nastiti tersenyum sambil kemudian menjawab pertanyaan Arundhati.
“Ada, Arundhati! Contohnya kelelawar. Kelelawar mempunyai sistem sonar untuk menangkap pantulan suara ultra sonik yang dia keluarkan dalam mengenali lingkungannya”
“Baik Bu Nas, itu kelelawar dengan gelombang ultrasonik. Bagaimana dengan gelombang dengan frekuwensi yang sangat rendah seperti pada gelombang Alpha pada otak kita?” sela Arundhati. Bu Nastiti tersenyum senang karena di antara anak-anak yang pasif ini ada seorang Arundhati yang meghidupkan kelas dengan pertanyaan-pertanyaannya.
“Bukan cuma gelombang Alpha, Ayun! Otak kita meresponse beberapa pola gelombang rendah yakni gelombang Delta kurang dari 4Hz, gelombang Theta 4-7Hz, gelombang Alpha 8-13Hz, dan gelombang Beta 13-30Hz. Beberapa penelitian mengatakan bahwa gelombang-gelombang tersebut dapat menunjang kinerja otak kita. Jadi berbeda dengan gelombang suara dan gelombang cahaya dimana umumnya makhluk hidup mampu memberikan response instant dalam melakukan rekognisi, maka beberapa gelombang rendah tersebut akan mentrigger reponse stimulus terkait kinerja otak kita. Nanti kalau kamu kuliah kedokteran dan melanjutkan spesialisasi, mungkin kamu akan mendapatkan pengetahuan lebih.” Singkat bu Nastiti menjawab pertanyaan Arundhati. Bu Nastiti ini sepertinya sengaja membatasi jawabannya karena tidak mau pelakaran Fisika yang dia ampu ini melebar kemana-mana. Dia tahu arah pertanyaan Arundhati sebagai remaja yang selalu ingin tahu ditambah dengan banyaknya informasi yang lalu-lalang di gadgetnya. Arundhati tersenyum mendengar jawaban gurunya. Dia tahu gurunya tidak mau menuntaskan jawabannya bukan karena tidak tahu. Dan, sepertinya Arundhati senang bila gurunya tidak mau tahu.
“Bagaimana anak-anak, ada pertanyaan lagi?” Tanya Bu Nastiti setelah menjawab pertanyaan Arundhati. Kelas hening beberapa saat. Tidak ada yang mengacungkan tangan sampai dengan bunyi bel panjang tiga kali terdengar.
“Hmm… baiklah bila tidak ada pertanyaan, silakan kalian baca halaman 72 sampai dengan 75 buku teks Fisika. Silakan bikin pertanyaan buat minggu depan. Bel sudah berbunyi, ini sudah jam terakhir, sampai jumpa minggu depan!”
Setelah mengucapkan kalimatnya, Bu Nastiti berjalan ke meja guru membereskan perangkatnya dan segera beranjak ke luar kelas. Tidak menunggu lama setelah Bu Nastiti keluar, para penghuni kelas pun berhamburan keluar. Ada yang lari, ada yang jalan santai, bahkan ada yang masih duduk. Arundhati masih duduk di bangkunya sambil memainkan gadgetnya. Tidak ada yang berminat mengganggu Arundhati hari ini. Namun Arundhati tidak peduli. Dia tetap asik dengan gadgetnya. Tiba-tiba jempolnya berhenti dan wajahnya berubah tegang. Dia segera meraih tasnya, memasukkan semua bukunya dan menghilang.
Saat membaca media online di gadgetnya tadi, dia mendapatkan info telah terjadi huru-hara di Jakarta. Ada demo besar-besaran terjadi di sana. Dua masa demo dengan jumlah yang sangat besar sedang bergerak menuju ke gedung parlemen. Petugas keamanan terlihat kewalahan menghalau kedua masa demo agar jangan sampai bertemu. Hal yang paling ditakutkan oleh petugas keamanan adalah bahwa kedua masa demo ini membawa isu yang sama namun dengan narasi yang bersebarangan. Ini tentunya dapat memantik terjadinya bentrokan sipil yang sangat dahsyat.
Arundhati terlihat melayang dengan masih mamanggul tas sekolah lengkap dengan seragam sekolahnya. Rok panjang abu-abu dengan bau panjang putih lengkap dengan kerudung putih. Tiba-tiba dia melesat makin tinggi menembus awan dan berdiri melayang di atas hamparan awan putih yang sangat luas. Dari posisinya saat ini, Jakarta ada pada arah barat laut. Arundhati dapat merasakan denyutan gelombang yang tidak biasanya dari arah itu. Arundhati terdiam agak lama. Sepertinya dia tengah mempertimbangkan sesuatu. Dan, tiba-tiba dia telah mengenakan jubah dan kerudung putih gading dan menghilang dari pandangan mata.
Sementara itu, di Jakarta, kedua masa demo sudah semakin mendekati area gedung parlemen. Kejadian yang sangat tidak diduga ini membuat aparat keamanan bekerja ekstra keras untuk membendung kedua masa demo agar jangan sampai bertemu. Di mana-mana terdengar raungan sirine dan letusan peluru karet. Asap mengepul di mana-mana. Ini bukan asap bakar-bakaran ban seperti pada demo-demo yang pernah terjadi. Beberapa gedung yang dilewati masa pedemo dari kedua sisi nampak terbakar. Sangat aneh memang, ketika isu yang diusung adalah isu terkait kebijakan rezim, namun baik masa pro maupun kontra rezim kedua-duanya melakukan pengrusakan terhadap setiap benda yang mereka temui termasuk gedung-gedung yang berada di tepi jalan. Suasana Jakarta bahkan di ring satu saat ini berasa sangat mencekam. Asap mengepul di mana-mana. Suara letupan senapan peluru hampa tedengar berganti-gantian. Betul-betul mencekam.
Dihadapan para pendemo, aparat keamanan dari kepolisian yang dibantu oleh miiter membentuk barikade untuk menahan laju pergerakan masa pendemo. Mereka terlihat kewalahan. Beberapa di antara aparat keamanan nampak seperti kehilangan kesabaran. Dan beberapa yang lain justeru ikut melakukan perusakan. Mereka mulai melakukan tindakan-tindakan yang tidak semestinya dilakukan. Beberapa orang yang terlepas dari barisan masa pendemo dikejar oleh beberapa polisi dan mendapatkan tindakan represif yang berlebihan. Beberapa yang lain mulai mengarahkan tembakan peluru karetnya ke arah masa pendemo dari jarak yang berpotensi mematikan. Beberapa orang dari masa pendemo mulai terlihat tumbang. Namun, ini tidak juga menyurutkan gerakan masa pendemo. Mereka tetap merangsek ke depan bahkan semakin garang. Pimpinan demo semakin lantang menyuarakan protes dan dukungannya.
“Kita ini bukan kawanan kerbau yang dicocok hidung. Kita adalah manusia yang punya hak berbicara. Kita harus terus melawan! Kita harus terus melawan! Kita harus terus melawan! Kita harus melawan kesewenang-wenangan. Hai parlemen, mana kerja kalian? Kami memilih kalian bukan untuk menikmati empuknya kursi parlemen dan nikmatnya berbagai tunjangan serta privilege politik yang mendatangkan cuan”
Sementara di sisi pendemo pro pemerintah terdengan dari mobil komando orasi yang tidak kalah seru, “lihatlah saudara-saudara, mereka adalah orang yang tidak tahu malu. Mereka telah menikmati apa yang telah dilakukakn oleh pemerintah, namun sekarang apa yang mereka lakukan? Mereka menjelek-jelekan pemerintah. Menjelek-jelekan parlemen yang telah bekerja siang malam untuk mereka!”
Hal yang paling unik di sini adalah bahwa kedua masa pendemo itu terlihat sama banyak, disamping bahwa kedua masa pendemo itu juga melakukan pengrusakan di sepanjang jalan yang mereka lalui. Dari suara-suara yang didengungkan melalui mobil komando, seharusnya masa pendemo pro-rezim ini tidak melakukan pengrusakan. Tapi ini lain. Mereka juga melakukan pengrusakan, dan lebih aneh lagi suara dari dalam mobil komando terdengar seperti suara rekaman yang diulang-ulang dengan intonasi yang meskipun menggelora, namun tidak menutupi kejanggalan bahwa itu cuma sebuah rekaman yang diulang-ulang.
Arundhati telah berdiri di rooftop salah satu gedung pencakar langit tertinggi di sekitaran senayan. Dia pasang telinga untuk mendengarkan setiap bisiikan di antara para pendemo kontra pemerintah terdengar teriakan dan bisikan yang secara keseluruhan terdengar normal dalam kerumumunan demo. Namun di antara para pendemo pro pemerintah, dia justeru merasakan sesuatu yang aneh. Tidak ada teriakan selain dari mobil komando. Hanya derdengar desisan saling bergantian di antara para pendemo. Tiba-tiba Arundhati tersentak dan melompat mundur saat dia rasakan adanya gelombang sugesti yang sangat kuat yang melingkupi kerumunan pendemo pro pemerintah. Dan kehadiran kesadaran yang dia rasakan saat pertama kali dia menyadari situasi ini tadi, sekarang tidak dia rasakan sama sekali.
“Ayun….! Awas di balakangmu!”
Seseorang tiba-tiba berteriak mengingatkan Arundhati. Arundhati merespon dengan melompat ke samping kanan, dan sebuah lecutan angin yang sangat keras dari kibasan pedang sempat dia rasakan. “Hmm…. Sophia!” Arundhati melompat mundur sekali lagi dan dia lihat sekarang Sophia terlihat seperti tengah bertarung melawan sesuatu. Bersama Sophia terlihat juga Retna Nawangsih di sisi lainnya. Mereka berdua seperti tengah menghajar sesuatu yang berada di antara mereka.
“Kamu bingung, Ayun?”
Arundhati tidak langsung menjawab pertanyaan Sitakara yang tiba-tiba muncul dan berdiri di sampingnya. Arundhati justeru melihat ke bawah di mana saat ini kedua kubu telah berhadap-hadapan. Ada keanehan lain Ada keanehan lain yang tertangkap matanya. Setiap orang dari masa kontra pemerintah mendekati masa pro pemerintah, maka dia kan nampat seperti tercekik. Kedua tangan mereka terangkat ke depan dada seperti tengah memegangi sesuatu sampai beberapa saat untuk kemudian lemas. Setelah serangan itu, kemudan meeka terlihat lemas dan berbalik badan. Entah mendapat kekuatan darimana, mereka tiba-tiba berbalik menjadi pendukung pemerintah, atau sebaliknya.
“Tidak salah lagi, ini pasti kelakuan kelompok Marumaya!” guman Arundhati pelan.
“Betul, Ayun! Dan sepertinya mereka telah mengembangkan mode bersembunyi agar tidak terlihat olehmu. Kami pun sebelumnya tidak dapat melihat mereka, namun dapat merasakan kehadiran mereka”
Arundhati tersenyum sambil tetap melihat ke bawah ke arah para pendemo, “tapi mereka lupa untuk menyembunyikan suara desisan mereka!”.
Arundhati segera memejamkan matanya. Seetelah itu, sambil tersenyum Arundhati menjentikkan jarinya. Sebuah gelombang yang sangat halus memancar dari ujung jarinya dan merambat ke segala arah. Gelombang energi yang sangat lembut ini dengan ganas mengelupas selubung perlindungan para Kunting dan Kadal primata. Setelah selubung perlindungan mereka terbuka, terlihat bahwa ternyata para Kunting dan Kadal primata ini berada di kedua sisi pendemo. Beberapa dari mereka terlihat samar ada dalam tubuh semua para pendemo. Beberapa yang lain tertawa-tawa sambil memainkan tubuh para pendemo atau memainkan senjata mereka yang ternyata juga telah berevolusi menjadi senjata yang memberikan efek di dimensi utama ini juga.
Sementara itu, Arundhati juga melihat pertarungan antara Sophia dan Retna Nawangsih melawan beberapa Kadal primata yang mempunyai ukuran tiga kali ukuran manusia. Sophia terlihat tengah menahan pukulan kasar tangan kadal primata yang buncit dan ekornya tanggal dengan pedangnya. Sophia tertawa-tawa sambil mengejek, “Apa kau kadal bunting eh.. buntung, eh, tapi mungkin kamu bunting juga ya?”
Mendengar ejekan Sophia, kadal primata itu menjadi semakin marah. Dia ayunkan tangan kirinya hendak mencakar tubuh Sophia. Namun, gerakan tangan kiri ini telah mengurangi tekanan tangan kanan si kadal. Sophia tidak menyia-nyiakan keadaan ini untuk melepaskan diri, mundur sehingga tangan kanan si Kadal lepas jatuh dan bertemu dengan cakar tangan kirinya sendiri. Seketika si Kadal primata ini berteriak sangat keras karena kesakitan.
“Wuek… rasain….! Sakit gak tuh….?” teriak Sophia mengejek si kadal. Namun, regenerasi anggota tubuh kadal primata ini ternyata berlaku buat seluruh anggota tubuh, termasuk tangan. Proses itu terjadi dengan begitu cepat. Setelah tadi berteriak kesakitan, kadal primata itu sekarang tertawa terbahak-bahak. Sophia kesal dibuatnya. Tiba-tiba Sophia membuka mulutnya lebar-lebar seperti sedang melengking. Entah apa yang dia lakukan, namun terlihat semua kunting dan kadal primata itu menutup telinganya. Ketika semua kunting dan kadal primata sibuk dengan telinga masing-masing, Sophia dengan tiba-tiba mengibaskan pedangnya membuat sapuan pada posisi sejajar perut para kadal primata itu. Hasilnya, seluruh kadal primata pada jangkauan kibasan pedangnya terpostong pada bagian perut dengan mengucurkan darah seperti air mancur. Sementara para Kunting kehilangan kepala mereka. Melihat usahanya berhasil, Sophia segera memasukkan pedangnya ke sarungnya dan membuat gerakan dengan kedua tangannya. Angin bergulung mengikuti gerakan kedua tangannya, mengumpulkan potongan anggota badan para kunting dan kadal primata menjadi satu bola yang sangat besar dan dia lemparkan jauh dan slap… hilang.
“Dah, sonoh, kejar ke rumah kaian tuh!” teriak Sophia sambil tertawa puas dan menepuk-tepukkan telapak tangannya. Sisa-sisa tubuh para kunting dan kadal primata itu berlarian kesana kemari saling bertubrukan,
Arundhati tersenyum melihat kelakuan Sophia. Setelah sejenak melihat ke arah pendemo, Arundhati membalikkan badannya.
“Yu Ara, apakah Yu Ara melihat Sekar Kenanga atau Dini?”
“Dini bersama kakangmu Ansuman sepertinya tengah berusaha menghalau pendemo kontra pemerintah di bawah sana, dan kalau Sekar Kenanga, Yu Ara gak liat dia Ayun!”
Mendengar jawaban Sitakara, Arundhati tersenyum karena pada saat yang sama dia mendengarkan bisikan dari Sekar Kenanga, “Ayun, saya sedang mengamati kalian dari posisi saya saat ini, dengan penggabungan kemampuan kita, kita dapat menyelesaikan masalah ini!”
Arundhati tersenyum sambil memberitahu Sitakara tentang keberadaan Sekar Kenanga untuk menepis kebingungan Sitakara.
“Baiklah Yu Ara, Sekar Kenanga barusan kasih tahu, katanya dia sudah siap pada posisi yang paling strategis untuk melakukan serangan balik”
Sitakara tersenyum mendengar penjelasan Arundhati, “baiklah kalau begitu Yu Ara turun dulu, kasian Sweta Nandini!”
Arundhati menganggukkan kepalanya, dan Sitakara segera melesat turun ke area dimana masa demo sudah saling berhadapan. Merasa bahwa seluruh murid utama Alang-alang Segara Wedi telah turun tangan berusaha mengendalikan situasi, Arundhati segera melesat tegak lurus ke atas. Sampai pada ketinggian tertentu, Arundhati berhenti, melihat sekeliling sampai pada titik tertentu dia memanggil nama Sekar Kenanga, “Mbakyu Sekar Kenanga!”
“Saya di sini Ayun!”
Entah darimana datangnya, tiba-tiba tiga meter di hadapannya muncul Sekar Kenangan tengah bersila menghadapnya dengan mata terpejam dan kedua telapak tangannya memegang kedua lututnya. Arundhati segera ndeprok mengambil posisi bersila persis seperti yang dilakukan Sekar Kenanga.
“Baiklah, Mbakyu Sekar, mari kita lakukan. Biarkanlah diri kita yang berada di lapis kedua mengatur semua strategi. Kita di sini hanya menjalankan apa yang mereka kehendaki!”
“Benar, Ayun!”
Mereka berdua duduk bersila dengan kedua telapak tangang memegeng lutut mereka. Kemudian, entah darimana muncul bola energi yang melindungi mereka. Beberapa makhluk persepsi pada bentuk kunting yang sedari tadi hendak melakukan penyerangan, gagal dengan adanya tirai tak terlihat yang telah dipersiapkan oleh Arundhati. Dengan adanya bola energi yang menambah perlindungan ini, bukannya membuat mereka takut malah semakin penasaran untuk melakukan penyerangan. Namun, bola energi ini justeru jauh lebih kuat dari tirai pelindung sebelumnya. Mereka terpental semakin jauh ketika berusaha melakukan penyerangan.
Seperti yang dikatakan oleh Arundhati, di padepokan Alang-alang Segara Wedi saat ini baik Arundhati maupun Sekar Kenanga tengah duduk bersila saling berhadapan. Di belakang Arundhati terlihat Sitakara dan Ansuman serta Ki Ageng Turangga Seta. Sementara di belakang Sekar Kenanga terlihat Nyi Ajar Nismara beserta Sweta Nandini.
“Yu Ara, Kakang Ansuman, Dini, segera kalian menjauh dari tempat kalian sekarang. Yu Ara, bunga teleng yang Yu Ara bawa sepertinya bisa diamankan dulu. Jangan sampai rusak, nanti kita gunakan saat diperlukan!” Arundhati memberikan perintah agar teman-temannya segera menjauh dari area demo. Disamping itu, Arundhati juga menyelipkan pesan untuk membawa Retna Nawangsih menjauh dari area demo. Belum saatnya Retna Nawangsih untuk terlibat.
“Kerusuhan saat ini hanya saya sama Sekar Kenanga yang dapat menyelesaikan. Simpan tenaga kalian, karena pada saatnya nanti kami akan sangat membutuhkan tenaga kalian!”
“Baik Ayun!” sahut Sitakara menjawab seruan
“Terimakasih Yu Ara, kali ini baik saya yang ada di lapis kedua ini, maupun saya yang ada di dimensi utama akan banyak mengeluar banyak tenaga karena kami, saya serta Sekar Kenanga akan mencoba menyibak selubung kamuflase seperti yang mereka gunakan di lembah Prawala!” lanjut Arundhati menjelaskan situasi yang terjadi saat ini.
“Gurunda Ki Ageng dan Nyi Ajar, saya pernah bertarung dengan Upala Carma yang menguasai tubuh Sekar Kenanga selama bertahun-tahun. Namun, kali ini yang kami hadapi bukan Cuma satu. Ada ratusan ribu Upala Carma dan ratusan ribu kadal primata lainnya. Mohon bantuannya untuk sementara menjaga tubuh kami karena kami harus segera menyatu”
Ki Ageng Turangga Seta maupun Nyi Ajar Nismara tersenyum mengangguk. Kemudian baik Arundhati maupun Sekar Kenanga secara perlahan membisikan satu kata, “suwung!” sebagai isyarat untuk keduanya memasuki kondisi suwung.
Sementara itu, situasi di Senayan menjadi sangat senyap. Para pendemo di bawah baik pro maupun kontra sama-sama menghentikan gerakan mereka. Mereka thingak-thinguk mencari sesuatu yang mungkin ada. Sepertinya semua masa pendmo di kedua sisi merasakan seuatu kehadiran yang mengancam mereka. Suasana benar-benar hening. Suara tembakan peluru hampa yang sebelumnya terdengar bersahut-sahutan pun tiba-tiba berhenti. Tidak beda dengan para pendemo, para aparat pun terlihat menghentikan aktifitasnya. Mereka celingukan seperti mencari sesuatu.
Sitkara, Retna Nawangsih, Sophia, Ansuman, Sweta Nandini, para murid Alang-alang Segoro Wedi telah menghentikan pertempurang dan mundur. Para murid Alang-alang Segara Wedi itu pun memberikan isyarat kepada Retna Nawangsih dan Sophia untuk segera mundur. Mereka merasakan energi kesadaran Arundhati yang sangat kuat. Dalam pandangan mereka, musuh mereka juga mundur dan membuat jarak dengan mereka. Ada raut kecemasan yang memancar pada wajah-wajah monyet para kadal primata itu. Semakin lama, bersamaan dengan menguatnya energi kesadaran Arundhati, tabir yang membuat mereka tersembunyi yang telah terkoyak oleh jentikan Arundhati tadi semakin terbuka. Dan, dengan terbukanya tabir yang menyelubungi para penyerang tadi, terlihat kondisi caos yang sebenarnya. Saat ini bukan hanya terlihat para pendemo dan beberapa kunting dan kadal primata yang sebelumnya telah tersingkap, namun ada ratusan ribu kunting dan kadal primata yang tengah berbuat onar.
Bersamaan dengan tercerabutnya tabir penghalang, nampak beberapa ekor kadal primata yang berbadan besar dan tegak seperti yang dihadapi oleh Shopia dan Retna Nawangsih tadi, tengah berada di antara para masa pendemo. Mereka nampak clingukan dan kebingungan ketika menyadari bahwa kehadiran mereka sudah tidak terselubung tabir penghalang lagi. Hal yang aneh adalah tak satupun dari masa pendemo yang keheranan dengan munculnya sosok-sosok aneh yang hadir di antara mereka. Mereka bukan tidak mellihat, terlihat dari sikap mereka yang seirama dengan sikap dari para kadal primata. Beberap interaksi di antara mereka bahkan semakin memperlihatkan bahwa mereka saling menyadari kehadiran mereka secara visual.
Sementara itu, di dalam bola energi yang melindungi Arundhati dan Sitakara, saat ini ada dua Arundhati dan dua Sekar Kenanga bersila membentuk empat sudut saling berhadapan dengan dirinya masing-masing. Secara bersamaan mereka berbisik, “resun awakisun sayojya, satmaka, ekatwa, adwaya – engkau diriku, bersatu, menyatu, menjadi kesatuan hanya satu-satunya!”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, baik Arundhati maupun Sekar Kenanga keduanya saling merapat kepada versi masing-masing. Menyatu.
Bola energi yang melindungi Arundhati dan Sekar Kenanga terlihat semakin cerah. Saking cerahnya, baik Arundhati maupun Sekar Kenanga yang berada di dalamnya sudah tidak dapat dilihat lagi.
Bola energi itu semakin besar dan semakin besar. Para kunting dan kadal primata semakin banyak yang menjadi korban. Mereka hangus ketika berusaha melakukan penerobosn untuk menecegah proses penyatuan antar dimensi baik Arundhati maupun Sekar Kenanga.
Bola energi yang semakin besar ternyata disadari sebagai ancaman sepenuhnya oleh para perusuh kawanan Marumaya. Hampir semua titik yang mengalami kerusuhan di Jakarta tiba-tiba berhenti. Mereka tidak lagi melakukan kerusuhan. Mereka semua melihat ke arah bola energi yang mengambang di langit senayan. Bukan ketakutan yang mereka rasakan. Sebuah kemarahan yang sangat dahsyat tiba-tiba mempengaruhi para perusuh. Dan seperti dikomando, para perusuh baik para kunting, kadal primata maupun manusia yang telah diambil-alih kesadarannya, berlari ke arah senayan sambil tetap melakukan pengrusakan di sepanjang perjalanan. Mereka tak segan untuk membakar bis yang penuh oleh penumpang.
Para murid Alang-alang Segara Wedi beserta Retna Nawangsih dan Sophia sudah menyingkir ke arah timur dan selatan. Mereka berharap-harap cemas karena telah menyerahkan penyelesaian kerusuhan ini kepada Arundhati dan Sekar Kenanga.
“Yu Sita, apakah tindakan kita sudah benar dengan meninggalkan Arundhati dan Sekar Kenanga bertarung sendirian menghadapi para kunting dan kadal primata?” tanya Sweta Nandini. Mendengar pertanyaan ini, sebenarnya Sitakara ingin mengatakan bahwa diapun ragu bila harus menilai situasi ini. Namun dia sadar, bahwa karaguannya muncul dari kecemasannya meninggalkan Arundhati, adi satu bapaknya.
“Ara, kamu tidak perlu meragukan kemampuan adikmu Arundhati. Dalam darahnya mengalir darah Wikasitapalya dan Bajranala ayahmu. Di bawah gemblengan Ajar Nismara, ini bukan sesuatu hal yang dapat diremehkan. Bahkan, barisan Ugra Sundari tak akan mampu mengalahkannya. Apalagi cuma Marumaya!”
Retna Nawangsih yang membaca keraguan di mata Sweta Nandini dan Sitakara berusaha meyakinkan bahwa tidak akan terjadi sesuatu baik terhadap Arundhati maupun Sekar Kenanga.
“Tapi saya ragu, apa benar mereka mampun mengatasi kemampuan Ugra Sundari…!” pelan namun tajam Sophia Indrikanya mengomentari pendapat Retna Nawangsih. Dia gak terima bahwa Arundhati maupun Sekar Kenanga lebih hebat dari Ugra Sundari.
Retna Nawangsih yang mendengar ucapan Sophia tersenyum. Dia berjalan mendekati Sophia. Dia rangkul pundak Sophia sambil berkata, “bukan cuma Ugra Sundari. Bahkan guru merekapun tidak akan mampu mengungguli mereka saat ini yang telah menggabungkan kedua versi eksistensi mereka!”
Sophia cuma bisa melongo dibuatnya. Sehebat itukah mereka?
Sementara itu di dalam bola energi, baik Arundhati maupun Sekar Kenanga sudah berdiri saling berhadapan.
“Mbakyu Sekar, aku akan mengeluarkan cidrapati untuk memisahkan para dhemit itu dari tubuh para pendemo itu, sementara kamu persiapkan Tathit nglegena!”
“Baik Ayun!”
Sekar Kenanga melesat sangat tinggi menyusup diantara awan. Tiba-tiba petir bekelebatan di antara awan menuju titik Sekar Kenanga.
Bersamaan dengan melesatnya Sekar Kenanga, bola energi yang sangat cerah itu tiba-tiba jatuh meninggalkan Arundhati yang masih melayang dengan cincin sinar berwarna putih di pinggangnya. Cincin itu berreplikasi dengan sangat cepat membentuk banyak sekali cincin dengan titik pusat tubuh mungil Arundhati yang masih melayang. Setelah diameter cincin terluar mencapai ukuran diameter bola energi, tiba-tiba Arunhdai melesat ke atas dengan tangan kiri memegang cincin terdalam di pinggangnya serta tangan kanan terlihat seperti mempersiapkan sesuatu. Setelah mencapai tinggi tertentu, Arundhati melepaskan cincinnya, sehingga dengan gaya pegasnya, cincin-cincin itu melesat sangat cepat untuk kemudian manghajar bola energi yang masih belum mencapai tanah. Dorongan cincin-cincin itu mempercepat bola energi itu mencapai tanah dan terhempas. Dan, blar…. Bola energi pecah menyebarkan angin ke segala penjuru ditambah dengan ledakan cincin-cincin Arundhati yang memperkuat hembusan angin energi tersebut.
Angin energi yang menyebar ke seluruh penjuru itu menabrak seluruh masa pendemo di semua titik di jakarta. Setiap kali seorang masa pendemo terkena angn energi tersebut, dari tubuhnya keluar sosok lain yang berujud kadal maupun kunting. Dan, setiap kali angin energi menabrak pendemo yang melepaskan sosok lain, lingkungan sekitarnya juga berubah menjadi sebuah gurun gersang dengan beberapa gerumbul alang-alang. Alang-alang Segara Wedi. Arundhati telah menciptakan kantung waktu dan memindahkan para kunting dan kadal primata itu ke dalamnya. Arundhati masih terlihat melayang pada ketinggian dan petir di awan semakin menjadi.
Para kunting dan kadal primata nampak kebingungan. Dengan kemarahan yang menggumpal, mereka berjalan ke arah Arundhati yang masih melayang. Bahkan, para kunting dan kadal primata yang datang dari kejauhan banyak yang memaksakan diri untuk berlari mendekati Arundhati. Tanpa mereka sadari, mereka mendekati sesuatu yang membahayakan mereka tentunya.
“Marumaya!” tiba-tiba Arundhati memanggil Marumaya. Dari gerak bibirnya tidak terlihat sedang berteriak, namun suara yang ditimbulkan justeru sangat keras. Para kunting dan kadal primata di bawah menutup telinga mereka.
“Marumaya!” Arundhati mengulangi panggilannya kepada Marumaya. Namun, masih belum juga mendapat response dari Marumaya. Kadal primata yang selalu tampil menjadi raksasa ketika dia merasa jumawa, tapi akan berwujud menjadi kadal primata pada umumnya ketika merasa terancam. Dalam kondisi ini, tidak satupun yang mampu mengenalinya.
“Ternyata kamu memang pengecut! Kamu hanya berani mengerahkan rakyatmu untuk mati sementara kamu bersembunyi dalam ketakutanmu!”
Arundhati menebarkan pandangannya ke seluruh area dan kerumunan kadal primata yang ada di bawahnya. Suasana sangat hening kecuali petir yang masih bersahutan di atas sana.
“Baiklah, karena kamu tidak mau muncul dan aku yakin kamu ada di antara kadal-kadal ini, maka dengan sangat terpaksa aku harus menghabisi semua kadal-kadal ini!”
Kembali, Arundhati memberikan ancamannya kepada Marumaya, namun masih belum digubris.
“Baiklah, Sekar persiapkan Tathit Nglegena!”
Masih dengan gaya berbisik Arundhati memperingatkan Sekar Kenanga untuk mempersiapkan Tathit nglegena. Bisikan dengan desibel yang lebih tinggi dari sebelumnya memaksa para kunting dan kadal primata untuk semakin kuat menutup telinga mereka.
“Baik Ayun!”
“Cidrapati!” Arundati mengucapkan kata cidrapati dengan pelan dan seperti ada tekanan rasa sedih yang menyelimuti hatinya. Meskipun begitu, saat ini kedua telapak tangannya telah terselimuti dengan sinar putih yang sangat terang. Dengan perlahan namun pasti dia angkat kedua tangannya dan dia hempaskan ke bawah di mana para kunting dan kadal primata berkumpul. Sinar putih yang sangat terang itu lepas dari tangannya, melebar dengan sangat cepat menutupi seluruh area seperti sebuah jala yang memerangkap segerombolan ikan di bawahnya. Bersamaan dengan itu kilatan petir yang sebelumnya hanya terjadi di atas sana, saat ini justeru mengejar selubung sinar putih yang sedang jatuh. Hujanan petir yang menyambar ke seluruh titik jala cidrapati ini ibarat memberikan minyak kepada api. Akibatnya semakin fatal bagi kerumunan kadal primata dan kunting di bawah sana. Tidak ada satupun yang mampu menyelamatkan diri. Semuanya mati terbakar.
Sadis. Bahkan bagi Arundhati, ini sangat sadis. Setelah semua kunting dan kadal primata hangus terbakar, Arundhati menangis sesenggukan dengan menutup mukanya dengan kedua tangannya. Ini adalah pertarungan pertamanya yang dilakukan dengan cara penghancuran masal. Dan yang membuat dia tertekan adalah bahwa dia melihat para korbannya ketika masih bidup. Memang betul bahwa sebaik-baiknya para kadal primata dan kunting itu adalah para penjahat yang menjadikan pembunuhan sebagai hobi, dan mereka adalah pihak yang selalu bikin rusuh di manapun. Namun, tetap, Arundhati adalah seorang gadis remaja yang bahkan akan merasa bersalah ketika menginjak seekor semut tanpa sengaja. Ketika Arundhati semakin tenggelam dalam kesedihannya, saat itu juga, kantung waktu yang dia ciptakan lenyap. Arundhati terpental keluar dari kantung waktu yang dia ciptakan. Ini membuat kondisi para kunting dan kadal primata di dalamnya semakin tidak menentu. Kantung waktu yang tertinggal tanpa tuan ini berubah menjadi pusaran yang dahsyat menghancurkan apapun yang ada di dalamnya. Sekar Kenanga yang menyadari hal itu segera menarik diri dari keterikatannya dengan kantung waktu Arundhati. Setelah berhasil melepaskan diri, Sekar Kenanga melihat Arundhati yang tengah meluncur jatu segera menyusul ke arah jatuhnya Arundhati.
Sementara itu, ketika terjadi benturan bola energi yang didorong oleh cincin kesadaran milik Arundhati semua orang yang telah kerasukan para kunting dan kadal primata terlihat seperti terhempas kebelakang sambil melepaskan sosok-sosok yang merasukinya. Para kunting dan kadal primata itu seperti kembali mau merasuki mangsanya kembali, namun mereka selalu gagal dan malah kemudian mereka yang menghilang. Peristiwa ini merambat ke seluruh penjuru dan kejadiannya selalu sama pada setiap orang terutama masa pendemo yang telah terasuki, sampai hempasan mereda dan gelombangnya mencapai titik terjauh, para murid Alang-alang Segara Wedi itu juteru mendapati kejutan jatuhnya Arundhati dari posisinya terakhir. Retna Nawangsih segera melesat dengan kecepatan sangat tinggi ke arah jatuhnya Arundhati. Sementara dari arah atas juga terlihat sesosok perempuan yang melesat menyusul jatuhnya Arundhati. Namun, tidak kalah mengagetkannya, dari arah timur terlihat juga sosok perempuan yang meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi. Lebih tinggi dari Retna Nawangsih.
Retna Nawangsih sangat mengenali sosok yang tengah melesat dari arah timur itu.
“Wikasitapaliya?”
Retna Nawangsih kaget luar biasa. Dia segera berbelok ke arah barat menjauh dari titik Arundhati. Dia sangat yakin bahwa sosok perempuan yang dia kenal sebagai Wikasitapaliya itu akan mampu menjemput tubuh Arundhati.
Sosok Sekar Kenanga yang tengah berusaha menyusul kecepatan jatuhnya Arundhati juga mearasakan kehadiran sosok dengan aura kesadaran yang luar biasa tinggi namun bukan Retna Nawangsih. Hal ini memaksa Sekar Kenanga untuk mempercepat lesatannya ke bawah, Namun apalah daya dia telah kehabisan banyak tenaga sehingga dia hanya mampu mengandalkan tarikan gravitasi dan sedikit tekanan tambahan sisa tenaganya. Sosok perempuan Wikasitapaliya lebih dulu menyambar tubuh Arundhati dan segera membawanya pergi ke arah utara. Sekar Kenanga segera mengejar sosok perempuan itu. Namun sayang dia bukanlah tandingan Wikasitapaliya. Perempuan itu melesat tak terkejar olehnya. Sekar Kenanga ingin terus mengejar namun dia benar-benar telah kehilangan jejak. Bahkan kehadiran kesadaran dari perempuan itu pun tak lagi dapat dia deteksi.
Sekar Kenanga kesal, namun dia ingat bahwa Retna Nawangsih pun sempat hendak menjemput jatuhnya Arundhati, namun tiba-tiba dia menghilang. Sekar Kenanga yakin bahwa ada yang hal baik yang diketahui oleh Retna Nawangsih yang dia tidak tahu. Sekar Kenanga langsung berbalik ke arah teman-temannya berkumpul.
Di tempat para murid Alang-alang Segara Wedi berkumpul tengah terjadi keributan kecil.
“Yu Sita, jangan Yu! Percumah… gak usah dikejar. Bibi Retna Nawangsih pasti mengetahui sesuatu sehingga beliau memilih untuk menyingkir. Lebih baik kita tunggu Sekar Kenanga saja. Siapa tahu dia mengetahui sesuatu….!”
Sweta Nandini memegang dan bahkan menarik-narik tangan Sitakara. Sitakara nampak sangat tegang. Ada amarah tersirat dari wajahnya. Ansuman mendukung ucapan Sweta Nandini, “Yu Ara… betul Yu Ara! Tidak usah menyusul. Kita tunggu Sekar Kenanga di sini saja. Mungkin dia ada informasi lain yang dia punya!”
Sitakara memang sangat menyayangi Arundhati. Apalagi setelah tahu bahwa Arundhati adalah adiknya satu bapak. Sweta Nandini bukanlah lawannya. Bisa saja sekali kibasan tangan, dia mementalkan Sweta Nandini. Namun, apa yang dikatakan Sweta Nandini ada benarnya juga. Ibunya, justeru menjauh ketika menyadari kedatangan seseorang dari arah timur. Sitakara diam. Tidak lagi memberontak. Dia mundur dan duduk di sebuah batu sambil membungkuk dengan kedua tangannya bertumpu pada lutut serta kedua telapak tangannya menutupi mukannya. Nampak sekali kegelisahannya. Tiba-tiba dari arah belakang mereka muncul Retna Nawangsih yang langsung duduk di sebelah Sitakara. Dia pegang kepala anaknya dan mulai mengelus-elus. Sitakara masih belum menyadari kehadiran Ibunya. Teman-temannya tersenyum melihat kejadian itu.
“Ndhuk, Sitakara, anakku!”
Retna Nawangsih mulai menyapa. Sudah pasti ini sangat membuat kaget Sitakara. Seketika Sitakara mengangkat kepalanya, dan ketika dia dapati ibunya sudah duduk di sebelahnya, dia langsung memeluk ibunya sambil menangis sesenggukan. Retna Nawangsih membalas pelukan anaknya sambil tetap mengelus-elus kepalanya yang menyandar di dadanya.
“Bagaimana dengan Ayun, Ibu? Sitakara sungguh sangat senang ketika tahu Ayun adalah adik Sitakara. Meskipun ibu masih melarang Sitakara dan Ayun untuk mengabarkan keberadaan kita ke Bapak!” lemah Sitakara bertanya kepada ibunya. Kegelisahan. Kemarahan, dan kecemasan bercampur aduk dalam ruang batinnya. Kesadarannya yang telah terlatih sedemikian rupa ternyata tidak mampu membendung luapan emosi kemanusiannya.
“Sitakara, anakku. Kamu tidak usah mengkhawatirkan adikmu. Justeru kamu harus bersyukur, bahwa saat ini adikmu telah berada di tangan yang tepat. Ibunya!” tutur Retna Nawangsih menjelaskan kepada anaknya.
Sitakara terhenyak kaget mendengar penuturan ibunya. Dia mengangkat kepalanya dari dada Ibunya, memandangi ibunya dengan tatapan tidak percaya. Demikian juga Ansuman, Sweta Nandini, dan Shopia; semuanya saling berpandangan mendengar jawaban Retna Nawangsih.
“Syukurlah bila itu Ibu Saliyah alias Yang Mulia Dewi Wikasitapaliya Wanodya! Sekar gagal mengejar orang itu. Namun, Sekar masih mampu merasakan kesadaran Ibu Saliyah yang memancar dari orang itu. kekuatannya memang luar biasa!”
Sekar Kenanga yang baru mendarat di tengah-tengah mereka langsung memberikan komentar, tetap dengan gayanya yang super dingin. Sitakara mengalihkan pandangannya kepada Sekar. Dia hanya menganggukkan kepalanya sedikit. Sitakara kembali menatap ibunya. Agak lama Sitakara memandangi ibunya yang hanya tersenyum. Dan ketika Retna Nawangsih mengangguk, muka Sitakara berubah menjadi sangat cerah dan gembira. Ansuman dan Sweta Nandini pun ikut sumringah. Semuanya nampak sumringah kecuali Sophia yang kebingungan. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa Ibu Saliyah atau ibunya Ayun ini juga ternyata adalah salah satu dari para penjaga. Bahkan, Sekar Kenanga menyebutnya Yang Mulia. Sophia mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah apa yang dia mengerti saat itu. Terlebih lagi, entah apa pula yang dia pikirkan saat itu.
Ketika semua merasa senang karena ternyata yang membawa Arundhati adalah Dewi Wikasitapaliya yang berarti ada kemungkinan kembalinya Dewi Wikasitapaliya dan Bajranala memperkuat para penjaga, Retna Nawangsih justeru memberikan peringatan.
“Namun, ada yang harus kalian cermati dalam keterlibatan Dewi Wikasitapaliya kali ini. Di antara para penjaga, dia adalah keturunan darah biru. Sophia, Gurunda Endang Paramayana Wardini adalah nenek dari Bajranala alias Mad Kusen, atau yang artinya juga adalah buyutnya Arundhati. Dan Ibu Saliyah alias Dewi Wikasitapaliya adalah anak tunggal dari Yang Mulia Maharani Nariswari Warapuspa sang Sinjang Mayura penguasa lapis kedua dimensi mimpi sekaligus orang yang paling disegani di antara para penjaga. Rajamu masih berada di bawah kontrol dia, Ansuman!” sambil memberikan peringatan Retna Nawangsih memberikan satu informasi yang mungkin belum diketahui oleh Sophia. Sophia yang tengah duduk sambil menyandarkan dagunya di atas telapak tangannya yang tertangkup pada gagang pedangnya, nampak melongo. Semua tersenyum melihat tingkah Sophia. Retna Nawangsih tersenyum sambil melanjutkan peringatannya, “Ibu tidak betul-betul mengenal Dewi Wikasitapaliya. Namun sebagai keturunan darah biru sepertinya dia juga mempunyai sifat keras kepala. Bila ini yang terjadi, maka ibu khawatir bahwa kejadian hari ini dimana Arundhati pingsan setelah menghabisi para kunting dan kadal primata justeru akan membuat Dewi Wikasitapaliya memusuhi kita!”
Suasana kembali hening. Semuanya berusaha mencerna peringatan yang diberikan oleh Retna Nawangsih. Semua yang disampaikan oleh Retna Nawangsih nampak masuk akal. Namun semua tahu, fakta bawa saat ini Dewi Wikasitapaliya adalah istri dari suami yang belum pernah menceraikan Retna Nawangsih. Kecuali Sitakara yang telah seumur hidup bersama ibunya, semuanya tidak dapat menerima seratus persen peringatan dari Retna Nawangsih.
“Saat ini ibu rasa, Dewi Wikasitapaliya telah menyadari bahwa ibu masih hidup. Akan semakin banyak kemungkinan lain yang akan kita hadapi. Cuma kemungkinan tentang sikap Dewi Wikasitapaliya ini yang paling harus kita waspadai. Ibu akan sangat bersyukur bila kekhawatiran saya tidak terjadi. Namun, bila itu memang terjadi maka kita sudah memperkirakan!”
Semua mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penuturan Retna Nawangsih.
“Sepertinya pembicaraan kita masih panjang. Mbakyu Sekar, tolong teleportasikan kita ke rumahku dengan kantung waktumu!”
Sambil tersenyum sangat manis memperlihatkan gigi putihnya yang berderet rapi, Sitakara memohon kepada Sekar Kenanga untuk memindahkan mereka ke rumahnya. Mendengar panggilan mBakyu Sekar, seketika pipi Sekar Kenanga memerah dengan hidung mbangirnya kembang-kempis. Perempuan semampai itu nampak malu dipanggil mBakyu oleh orang yang lebih tua. “Baik.. baiklah Yy.. yu Ara!” Sekar Kenanga menjawab sambil terbata-bata. Tanpa terlihat melakukan gerakan apapun, tiba-tiba seluruh orang di situ menghilang tanpa meninggalkan bekas sedikitpun. Bahkan tapak kaki sekalipun terlah menghilang dari situ. Kemampuan Sekar Kenanga yang telah meningkat jauh ini menjadi berlipat-lipat dalam mode penyatuan ini

0 comments:
Posting Komentar