{21} Marumaya
Lembah Prawala adalah sebuah lembah yang sangat Indah di lapis pertama dimensi mimpi. Sebuah lembah yang dipenuhi pepohonan hijau dan sungai-sungai jernih membelah rerimbunan hutan. Langit yang selalu biru bahkan ketika turun hujan adalah atap yang sempurna bagi lembah ini. Dan, yang menjadikan lembah Prawala begitu istimewa adalah bahwa, lembah ini dihuni oleh orang-orang yang selalu muda dan berwajah tampan dan cantik-cantik. Setidaknya, seperti itulah hal paling umum dapat ditemui ketika orang luar memasuki lembah Prawala.
Di lembah Prawala ini, bukan cuma penduduknya yang tampan dan cantik-cantik, namun tataruang di lembah Prawala juga terlihat sangat mempesona. Di area pemukiman penduduk, tidak akan terlihat rumah gubug reyot dan jalanan becek. Jalanan di area pedesaan semuanya berbatu dan rapi serta bersih dengan tanaman-tanaman hias yang menambah keindahan. Orang lebih merasakan sebagai memasuki sebuah taman ketika memasuki pemukiman ini. Penduduk yang berlalu lalang juga tampak rapi, bersih, serta tampan-tampan dan cantik-cantik. Setidaknya, begitulah yang nampak bagi orang-orang biasa. Padahal kejadian yang sebenarnya tersembunyi dari setiap apa yang dapat dilihat. Namun tidak bagi Arya Kandaga yang sedang bertugas di lembah itu. Sebagai alumni Alang-alang Segara Wedi, Arya Kandaga mampu melihat kejadian sebenarnya di tempat ini. Pengalaman Sitakara dan Ansuman telah membuatnya lebih jeli saat ini. Semua yang tampil di lembah Prawala hanya sebuah sugesti yang dibuat oleh makhluk-makhluk persepsi yang menempati area lembah. Lembah Prawala pada wujud aselinya adalah sebuah hutan yang sangat lebat. Sebagian besar manusia yang nampak beraktifitas di sana adalah makhluk-makhluk persepsi dengan berujud aseli berbagai jenis hewan baik yang standar maupun yang merupakan kombinasi. Perwujudan aseli mereka menjelaskan kasta yang ditentukan oleh rezim penguasa Prawala, yani makhluk persepsi kadal primata.
Setelah berhasil mengatasi huru-hara di Jakarta versi lapis kedua, Arya Kandaga mendapatkan tugas untuk menyelidiki asal-usul para makhluk persepsi dan apa tujuan mereka membuat onar. Dalam melaksanakan tugas ini Arya Kandaga sama sekali tidak mendelegasikan kepada anak buahnya. Arya Kandaga tahu betul bahwa tugas ini sangat berbahaya bila diberikan kepada anak buahnya, karena dalam kesatuannya hanya dia yang memiliki senjata yang berasal dari lapis pertama. Selain itu, perjalanan menembus dimensi dengan memanfaatkan teknologi pasti akan menghabiskan biaya yang tinggi dan tentunya akan sulit dilakukan secara diam-diam. Sebagai alumni Alang-alang Segara Wedi, Arya kandaga mempunyai kemampuan untuk melakukan perjalanan antar dimensi. Meskipun itu tidak semudah membuka pintu sebagaimana kemampuan gerombolan Dhemit dari Prawala ini.
Di salah satu pemukiman di lembah Prawala, para pelancong menyebutnya sebagai Prawaladanda, Arya Kandaga terlihat tengah rehat di sebuah kedai yang sangat representatif dengan ornamen yang mengangkat kesan vintage serta alunan musik jazz yang dimainkan secara live oleh beberapa orang yang mirip orang afrika di salah satu sudut ruangan menggambarkan bahwa kedai ini adalah kedai yang berkelas. Meskipun begitu, Arya Kandaga dapat melihat bahwa peniup saxophone dalam wujud aselinya adalah seekor siamang, pembetot bas adalah seekor orang utan, sementara pemain piano adalah kera ekor panjang. Disamping itu, Arya Kandaga juga tahu bahwa sebenarnya saat ini dia tengah berada di tengah hutan, di bawah sebuah pohon yang sangat besar.
Dalam pandangan Arya Kandaga terlihat, beberapa orang tamu kedai yang sekaligus tamu Prawala sedang menikmati makanan dan minuman ditemani oleh beberapa ekor ular betina. Beberapa tamu lokal terlihat dalam bentuk ular sanca, biawak, dan celeng. Beberapa yang perwujudan aselinya adalah orang utan berekor dan berkulit reptile, adalah orang yang sangat dihormati baik oleh tamu maupun pelayan. Semua orang akan minggir dan memberikan jalan bila orang seperti itu lewat. Pelayan akan memberikan penghormatan yang lebih ketika menawarkan dan menyajikan makanan kepada orang-orang ini.
Bagaimana dengan makanan di kedai? Meskipun tempat ini dipersepsikan sebagai kedai, namun bagi Arya Kandaga ini tetaplah sebuah pos pengawasan, terlihat dari banyaknya kadal primata yang berlalu lalang di sekitaran kedai dengan sikap berjaga. Dan, para penguasa Prawala pasti tidak mau memberikan persepsi negatif yang akan membuat orang malas datang ke Prawala, ini tentunya akan merugikan para penguasa Prawala karena mereka tidak mendapatkan pemasukan dan tentunya adalah informasi. Dan informasi adalah hal yang paling penting tentunya. Dan itu pulalah yang dimanfaatkan oleh Arya Kandaga dengan rehat di Kedai ini.
Arya Kandaga dengan sangat hati-hati memutar pandangannya menyapu seluruh area di dalam ruangan kedai. Di salah satu sudut, terlihat seorang gadis yang tengah asyik dengan makanannya. Gadis cantik berkulit putih dan berwajah bulat ini seperti tidak peduli dengan situasi di sekitarna. Kerudung dan jubah merah yang dia kenakan adalah hiasan paling mempesona memperkuat kesan cantik yang terlanjur menempel pada wajahnya. Arya Kandaga agak lama memperhatikan gadis ini. Arya Kandaga tidak bisa membohongi dirinya, ini adalah pengalaman pertama dimana hatinya menjadi berdebar tak menentu. Apalagi dia tidak melihat ada bayangan lain di balik penampilan gadis itu. Ini artinya, gadis itu bukanlah makhluk persepsi. Selagi Arya Kandaga memandangi gadis itu, ternyata gadis itu telah menyadari seseorang tengah mengamatinya. Gadis itu kemudian tersenyum kearahnya sambil mengacung dan ayunkan sepotong paha ayam seperti tengah menembak.
“Sial!” teriak Arya Kandaga pelan. Dia tidak mampu menahan lagi dentuman di dadanya yang semakin kencang saat melihat senyuman gadis itu. Arya Kandaga langsung memalingkan wajahnya dan menunduk. Gadis itu melanjutkan makannya.
Tak henti-henti Arya Kandaga merutuk dalam hatinya. “Sial… sial… sial! Kenapa hal seperti ini justeru muncul saat ini?!”. Arya Kandaga tidak habis pikir, kenapa gadis itu muncul saat dia sedang menjalankan tugas yang sangat serius. “Gadis ini memang cantik, tapi Sitakara jauh lebih cantik. Kenapa hatiku justeru berdebar-debar saat bertemu gadis ini?”
Saat Arya Kandaga tenggelam dalam kegelisahan yang datang tiba-tiba, dari arah tempat duduk gadis yang telah membuatnya gelisah itu terdengar suara beberapa laki-laki yang membentak-membentak.
“Nona! Saya katakan sekali-lagi, saya minta baik-baik agar nona mau berpindah dari meja ini. kami mau meja ini. Tuan kami mau duduk di sini!”
Gadis cantik yang tengah makan ayam bakar itu cuma melirik lelaki yang membentaknya sebentar untuk kemudian melanjutkan makan ayamnya dengan santainya. Hal ini, tentu saja membuat para lelaki yang membentaknya naik pitam. Secara bersamaan, mereka menghunus pedang mereka dan menyabetkan ke arah gadis cantik itu. Si gadis, nampak santai tidak menanggapi sambil terus asik dengan ayam pangangganya. Namun, tanpa diduga-duga, saat pedang-pedang itu semakin dekat dengan kepalanya, gadis itu mengibaskan tangannya. Tenaga kibasan tangan si gadis ini, bukan saja membuat pedang-pedang itu lepas dan terpental ke beberapa arah, namun juga membuat pemiliknya terjungkal ke belakang. Anehnya, angin tenaga dari si gadis ini tidak berpengaruh pada orang-orang lain yang tidak sedang berurusan dengan gadis itu. Musik live jazz masih asik dimainkan.
Para lelaki pengeroyok yang terjungkal jatuh dengan pedangnya entah kemana itu bukannya takut malah semakin naik pitam. Mereka bangun dan kembali menyerang gadis itu dengan tangan kosong. Musik Jazz masih dimainkan dengan ritme yang semakin bergairah. Gadis itu masih asik membersihkan tulang ayam dari daging-daging yang bisa dimakan. Di piringnya terlihat tulang-tulang ayam yang telah hancur. Hm, gadis ini ternyata pengrajin sumsum tulang ayam! Ah…., lupakan dulu itu, hujaman bogem itu semakin dekat ke arah gadis itu. Percis beberap senti sebelum mengenai tubuhnya, gadis itu melesat ke atas dengan kedua tangan terbuka kesamping dan satu kaki dia tekuk ke atas. Para penyerang yang rata-rata bertubuh tambun itu tidak mampu menahan momentum tubuhnya karena bogemannya hanya mengenai ruang kosong. Mereka semua jatuh terjerembab dan bahkan ada yang saling tindih. Setelah agak lama melayang, secara perlahan gadis itu turun percis menginjak kepala orang yang menyerangnya dari depan. Dengan meniti tubuh orang itu, gadis itu turun ke lantai. Musik jazz yang dimainkan mulai melambat ritmenya. Gadis itu berjalan ke arah kasir, berbicara sebentar dan kemudian menyerahkan sejumlah uang dan pergi percis saat musik jazz berhenti.
Arya Kandaga yang telah tertarik dengan gadis itu tidak mau kehilangan jejak. Dia segera mengikuti gadis itu secara sembunyi-sembunyi. Ahl, Arya, misi kamu itu menyelidiki gerombolan Pangka Tamomaya. Bukan menguntit gadis cantik!
Sampai pada sebuah gang yang sepi, gadis itu berhenti dan tanpa menoleh kemanapun, gadis tiba-tiba gadis itu berkata, “Kakang Arya Kandaga, gak baik menguntit seorang gadis tanpa menyapanya!”
Arya Kandaga kaget bukan kepalang karena gadis itu telah mengenal namanya. Ini adalah sesuatu hal yang mustahil, karena dia pergi tanpa memberitahu kepada anak buahnya.
“Kakang Arya Kandaga, lapis pertama ini adalah sebuah domain yang tidak stabil. Semua berjalan hanya dalam sesaat. Segalanya dapat berubah secara tiba-tiba. Hanya makhluk dari dimensi ini sajalah yang mampu menjaga aliran waktu tetap tersambung secara stabil. Sekali Kang Arya Kandaga menjauh dari saya, maka kang Arya akan terpental-pental dalam lompatan pengalaman yang tidak dapat disatukan dalam sebuah rangkaian sebab akibat yang utuh!”
Mendengar penuturan dari gadis yang dikuntitnya itu, Arya Kandaga segera melompat dan mendarat tepat di hadapan gadis itu.
“Kalau kamu tahu bahwa, aku bisa celaka bila jauh dari kami, kenapa kamu pergi begitu saja padahal kamu tahu aku ada di sana?”
Tanpa berbasa-basi Arya Kandaga langsung ngegas. Gadis itu malah tersenyum melihat Arya Kandaga yang langsung ngegas. Gadis itu mengulurkan tangan mengajak bersalaman dengan Arya Kandaga.
“Perkenalkan, saya Sophia Indrikanya!”
Arya Kandaga membalas uluran tangan gadis yang ternyata bernama Sophia. Namun, belum sampai bersentuhan, dia tarik lagi tangannya.
“Nanti dulu, jawab dulu pertanyaan saya!”
Gadis cantik bernama Sophia itu tertawa renyah memperlihatkan giginya yang putih rapi dengan taring yang lebih lancip dibanding rata-rata. Melihat pertunjukan Sophia barusan, Arya Kandaga langsung memegangi dadanya. Dentuman terhebat barusan dia rasakan. Tawa renyah dengan memperlihatkan gigi rapi itu milik Sitakara. Namun, dia tidak pernah merasa sakit seperti ini bila melihat Sitakara tertawa seperti itu. Namun yang ini? Aduh… Arya Kandaga betul-betul tersiksa. Sebaliknya, gadis cantik yang bernama Sophia ini terlihat cemas melihat tingkah Arya Kandaga.
“Kenapa kakang Arya Kandaga?” tanyanya
“Gak papa, gak papa! Udah jawab dulu pertanyaan saya tadi!”
Sophia cemberut, kecewa karena perhatiannya ditolak oleh Arya Kandaga. Tapi ya sudahlah, Sophia akhirnya harus menjawab pertanyaan Arya Kandaga.
“Saya pergi gak bilang-bilang karena saya yakin bahwa Kakang Arya Kandaga pasti bukan orang biasa dan tentunya, akan mampu mengatasi problem di dimensi ini!”
Arya Kandaga merasa tersanjung mendengar jawaban Sophia. Namun, perasaan tersanjungnya, justeru membuat degub jantungnya makin tak menentu.
“Dan, saya yakin pasti sampeyan akan mengikuti saya sehingga saya tidak perlu memberikan kode apapun!” lanjut Sophia dengan gaya agak menggoda, mmm… bukan, lebih tepat meledek.
Arya Kandaga menjadi salah tingkah karena kelakuan Sophia.
“Apakah, kamu berdinas di militer?” tanya Arya Kandaga asal. Sebuah pertanyaan konyol yang langsung akan dia sesali.
“Ha ha ha…. tidak mungkin lah, saya masih belum 18!”
Alamak, Sophia tertawa renyah lagi. Arya Kandaga menyesal, menanyakan sesuatu yang akhirnya dianggap lucu oleh Sophia. Bukan malu kemudian menyesal, tapi tawa renyah Sophia benar-benar membuatnya blingsatan. Dia betul-betil menyesal telah membuat Sophia tertawa. Akhirnya, Arya Kandaga mengalihkan pandangannya ke tempat lain agar tidak melihat tawa renyah yang mengacaukan jantungnya itu sambil berkata, “Sepertinya, aku gak perlu memperkenalkan diriku, karena kamu sudah tahu namaku!”
Sophia tersenyum mendengar penuturan Arya Kandaga. Arya Kandaga salah tingkah dibuatnya. Sophia yang tidak punya rasa sama sekali terhadap Arya Kandaga nampak santai saja.
Lama mereka terdiam, tiba-tiba raut wajah Arya Kandaga berubah. Ia segera merunduk mengambil dua belah belati yang terselip di sepatunya. Sophia masih nampak terlihat santai. Namun, sepertinya dia juga sedang bersiaga. Dan, betul saja, tak berapa dari kejauhan nampak kerumunan sekitar duapuluh ekor kadal primata yang berlari ke arah mereka. Sophia tersenyum dan langsung berlari menyongsong kedatangan kadal-kadal primata itu. Sophia melompat menerjang gerombolan itu kemudian berjumpalitan di atas kepala kadal-kadal itu. Kadal-kadal primata itu mulai marah sehingga kerumunan mereka menjadi kacau dan mulai tersebar tanpa formasi sehingga membuka ruang untuk melakukan penyerangan. Arya Kandaga segera melakukan penyerangan. Dengan belati di kedua tangannya, dengan kecepatan yang luar biasa dia serang kadal-kadal primata itu pada bagian pinggang ke arah pantat atau ekornya. Tak berapa lama kemudian, terlihat kadal-kadal primata itu telah mati bergelimpangan.
Sophia yang sengaja menjauh setelah mengacak-acak kerumunan kadal-kadal primata itu, memperhatikan gaya serangan Arya Kandaga dengan serius. Dalam hatinya dia memuji ketangkasan Arya Kandaga menggunakan kedua bilah belatinya, “hmm…. Mungkin guru salah menilai kakang Arya Kandaga sebagai lebih rendah kemampuannya dibanding juniornya Sitakara dan Ansuman.”
Setelah selesai membunuh semua kadal-kadal primata itu, Arya Kandaga melompat ke tempat Sophia berdiri.
“Alhamdulillah, sudah kita bereskan. Untung ada kamu yang bisa mengacak-acak kerumunan mereka!” ucap Arya Kandaga sambil memuji Sophia. Cari perhatian. Dan sepertinya berhasil, Sophia tersenyum mendengar pujian itu.
“Kedua belati ini benar-benar sangat membantu. Tanpa belati ini, mungkin aku tidak bisa mengalahkan mereka semua?” ucap Arya Kandaga lagi,sambil memandangi kedua belatinya yang berlumuran darah kadal-kadal primata tadi. Kali ini Sophia tidak tidak tersenyum, namun justeru dengan dahi berkerut Sophia bertanya kepada Arya Kandaga, “memang, apa hebatnya kedua belati itu, Kakang Arya Kandaga?”. Mendengar pertanyaan itu, dengan tersenyum bangga menjelaskan kehebatan belatinya kepada Sophia.
“Sophia, belati ini adalah warisan dari ayah saya yang beliau beli dari lapis pertama. Selain Arundhati, hanya cundrik Sekar Kenanga dan Belati ini yang mampu membunuh makhluk-makhluk persepsi yang berujud kadal-kadal primata itu!”
Sophia terkikik menahan tawa mendengar penjelasan Arya Kandaga.
“Kakang Arya, saat ini kakang Arya ada di mana?” tanya Sophia
“Lapis pertama!” jawab Arya Santai.
“Kemudian apakah belati atau lain-lain senjata yang lain tidak akan berguna untuk membunuh mereka?”
“Ya tidak dong, kan senjata-senjata itu bukan berasal dari lapis per…..” Arya Kandaga tidak menyelesaikan ucapannya, malah cengar-cengir sambil garuk-garuk kepala.
Sophia tersenyum, namun dalam hati sebenarnya tertawa sambil berkata, “pantes guru wanti-wanti begitu!”
Setelah membersihkan belatinya, Arya Kandaga mendekati Sophia yang masih berdiri di tempatnya saat melihat pertarungan Arya Kandaga tad. Namun, sebelum dia sampai ke tempat Sophia, terdengar suara berdebum keras dan tanah terasa bergetar. Dari kejauhan terlihat seekor makhluk persepsi kadal primata raksasa tengah berjalan ke arah mereka. Melihat hal ini, Sophia segera melesat ke udara dan mengambang pada ketinggian sekitar 100 meter. Tidak seperti murid Alang-alang Segara Wedi, Sophia tampak mengenakan jubah dan kerudung warna putih kebiruan. “Ugra Sundari!” cetus Arya Kandaga sambil menatap ke arah Sophia tanpa berkedip. Saat ini Sophia terlihat seperti berusaha mengukur medan serta kekuatan lawan.
“Dhemit Marumaya dan ribuan pasukannya tengah berjalan ke sini, Kakang Arya Kandaga. Tolong kakang untuk segera kembali ke lapis kedua dan beritakan hal ini kepada Nyi Ajar Nismara dan Ki Ageng Turangga Seto. Sampaikan kepada mereka bahwa Dhemit Marumaya telah keluar dari persembunyiannya dan saat ini tengah tiwikrama di lembah Prawala dikawal ribuan pasukannya!” teriak Sophia meminta Arya Kandaga untuk segera mundur ke lapis kedua.
“Bagaimana denganmu?” balas Arya Kandaga bertanya sambil berteriak.
“Jangan kuatirkan saya. Saya masih bisa mengatasi pasukan Dhemit Marumaya untuk memperlambat pergerakan mereka!”
Sophia tidak segera menjawab, saat ini dia tengah berkonstrasi membentuk kubah persepsi yang mampu mencegah kadal-kadal primata itu memasuki area yang berpenduduk ini. Setelah kubah selesai terbentuk, Sophia kembali berteriak kepada Arya Kandaga.
“Kakang Arya Kandaga, kubah ini saya bentuk untuk melindungi penduduk. Beberapa pengikut Dhemit Marumaya seperti yang kakang lihat di kedai tadi, tidak akan mampu menembus dinding kubah untuk keluar, namun selain mereka, dinding kubah akan dengan mudah mereka tembus. Termasuk kakang. Untuk sementara penduduk aman karena kubah ini juga memancarkan persepsi normal terhadap lingkungan di sini. Dan sekali lagi saya minta kakang untuk kembali ke lapis kedua untuk memberitahukan situasi ini kepada Nyi Ajar Nismara dan Ki Ageng Turangga Seto!”
“Kamu sendiri bagaimana, Sophia?” tanya Arya Kandaga yang terlihat sangat mengkhawatirkan Sophia.
“Jangan khawatirkan saya, Kakang Arya Kandaga! Kakang harus lebih mengkhawatirkan nasib milyaran manusia di berbagai dimensi!”
Arya Kandaga terdiam selama beberapa saat. Ada perasaan berat yang teramat sangat untuk membiarkan Sophia berjuang sendiri. Meskipun dia tahu bahwa murid pilihan Ugra Sundari pasti mempunyai kemampuan yang ngedab-edabi. Apalagi bila dia telah dipercaya menjalankan misi yang sangat kritikal seperti saat ini. Namun, Arya Kandaga tidak dapat menutup perasaannya kepada Sophia. Akhirnya, jiwa prajuritnyalah yang menuntunnya untuk mengambil keputusan, “baiklah Sophia, saya akan kembali ke lapis kedua!”
Sophia tersenyum mendengar jawaban Arya Kandaga. Dari tempatnya mengambang saat ini, Sophia dapat melihat Arya Kandaga membuka kedua tangannya ke samping. Secara perlahan tubuhnya mengambang dan menghilang. Bersamaan dengan menghilangnya tubuh Arya Kandaga, Sophia segera melesat ke arah datangnya Dhemit Marumaya dan pasukannya. Dan, tanpa disadarinya jauh di atas posisinya ikut melesat sosok dengan wardrobe yang sama. Jubah putih dan kerudung putih kebiruan. Seorang Ugra Sundari mengikuti Sophia dari posisi yang tidak diketahuinya.
Sampai pada posisi aman terdekat dengan rombongan Dhemit Marumaya, Sophia berhenti dan tetap mengambang.dan bahkan menambah ketinggiannya. Pada posisi 1000 meter dari permukaan tanah, Sophia membuat gerakan menyapu kearah pasukan Dhemit Marumaya. Dan tanpa ada suara sedikitpun, pasukan Dhemit Marumaya yang terlihat menyemut itu terlihat berterbangan terlontar kesana kemari. Pada saat yang sama, terlihat ribuan batu kerikil seukuran kelereng terangkat membentuk bidang horizontal sampai melewati ketinggan Sophia. Dan, pada posisi kira-kira 500 meter, bidang horizontal krikil tersebut berubah menjadi bidang miring ke arah posisi pasukan Dhemit Marumaya. Dan, tiba-tiba batu-batu itu melesat dengan kecepatan sangat tinggi ke arah pasukan Dhemit Marumaya. Dalam sekejap pasukan Dhemit Marumaya telah berkurang sangat banyak. Lebih dari 90% pasukan Dhemit Marumaya telah berhasil dibinasakan. Dhemit Marumaya sendiri terlihat kesakitan karena ukuran tubuhnya yang terlalu besar membuat puluhan atau mungkin ratusan krikil yang terlontar mengenai tubuhnya. Dhemi Marumaya marah karena rasa sakit yang dideritanya juga karena pasukannya telah berkurang sangat banyak. Dhemit Marumaya berteriak sambil memukul-mukul dadanya. Dia benar-benar marah.
Sementara itu, ribuan batu kerikil yang membentuk bidang datar terlihat tengah menuju posisi seperti sebelumnya. Dan sekali lagi, ribuan kerikil itu kembali menghujani pasukan Dhemit Marumaya. Pada serangan kedua ini, sisa pasukan Dhemit Marumaya lari tunggang langgang menyelematkan diri sehingga serangan kerikil yang kedua ini menjadi kurang efektif. Masih banyak sisa pasukan Dhemit Marumaya yang selamat. Namun, sekali lagi, hujan batu krikil banyak yang menhujani tubuh Dhemit Maromaya dan semakin banyak luka yang menggerogoti tubuhnya. Sambil menahan sakit, Dhemit marumaya mulai membalas serangan. Dhemit Marumaya mengaum pada frekuensi yang menyakitkan. Sophia segera menutup kedua telinganya. Namun gelombang suara dari Dhemit Marumaya ini benar-benar tidak dapat dihambat. Batu-batu kerikil yang dipersiapkan oleh seseorang sebagai serangan ketiga terlihat jatuh berhamburan yang menandakan bahwa orang yang mengerahkannya pun sedang terganggu.
Suasana benar-benar menjadi sangat mencekam. Sophia terlihat sangat kerepotan untuk menghalau suara itu memasuki telinganya. Seseorang yang melayang di atas sophia tiba-tiba menggerakkan kedua tangannya bertemu di atas kepalanya membentuk kelopak bunga yang mekar dan kemudian dia tarik ke dadanya sesaat dalam sikap namaste, namuun segera telapak tangan kanannya dia putar kebawah untuk kemudian dia tarik kedua tangannya kesamping dalam sebuah hentakkan mirip kepakan sayap garuda. Hasilnya sungguh luar biasa, hentakkan kedua tangannya mempu mengintersep dan meredam gelombang suara serangan dari Dhemit Marumaya. Bukan hanya suaranya yang teredam, tubuh Dhemit Marumaya pun terlihat terhuyung-huyung ke belakang seeprti mendapatkan hantaman yang sangat berat. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Sophia untuk mencabut pedangnya dan segera melesat sambil menyabetkan pedangnya ke arah panggul Dhemit Marumaya. Angin sabetan pedang Sophia ternyata mengembang membentuk cambuk selendang berwarna putih kebiruan. Dhemit Marumaya yang masih terhuyung-huyung ternyata menyadari adanya serangan mengarah kepada titik kematiannya langsung menjatuhkan dirinya sambil berguling menghindari angin sabetan pedang Shopia. Angin sabetan pedang Shopia akhirnya hanya melewati ruang kosong di area pertempuran dan terus melaju menghantam sebuah bukit batu yang kemudian hancur berantakan dengan mengeluarkan dentuman keras menggelegar. Dentuman ini melepaskan energi yang cukup besar untuk membuat tubuh raksasa Dhemit Marumaya terpental. Sophia dan seseorang yang masih melayang di atas telah mengantisipasi hal ini. Mereka sudah mundur terlebih dulu saat melihat serangan Sophia meleset sehingga efek dentuman itu tidak berpengaruh terhadap mereka. Saat debu ledakan mulai menipis, terlihat beberapa ekor kadal primata yang masih hidup melarikan diri. Dan ketika debu ledakan telah benar-benar hilang, mereka baru menyadari bahwa Dhemit Marumaya sudah tidak ladi ada di tempatnya.
Sophia melesat ke tempat yang ditinggalkan oleh Dhemit Marumaya. Sophia terlihat kesal karene gagal memberikan serangan kepada Dhemit Marumaya. Tangan kirinya menggemggam sangat kencang, tanda kemarahan yang meluap-luap. Demikian juga, tangan kanannya yang semakin kuat menggenggam pedang. Rasa marah yang sedang dia kekang ini maunya menghancurkan apapu yang ada di sekelilingnya. Namun, tiba-tiba terdengar suara seseorang menyapanya dari belakang.
“Dhemit Marumaya telah melarikan diri, Nona Sophia. Dia melepas mode tiwikramanya saat debu ledakan menutupi pandangan kita. Sangat sulit membedakan Dhemit Marumaya dengan kadal-kadal primata lainnya!”
Sophia kaget karena dia seperti mengenal suara itu. Ibu Retna Nawangsih, ibunya mBak Sitakara. Sophia pernah diajak main ke rumah Sitakara dan berkenalan dengan Ibu Retna Nawangsih. Sophia masih belum memutar badannya karena takut perempuan itu akan mengenalnya dan kemudian identitasnya akan terbuka.
“Kamu tidak usah khawatir Ibu akan membuka identitas dimensi mimpimu, Shopia!”
Sekalilagi perempuan itu merayu Sophia untuk membalik badannya agar mereka bisa berbicara sambil berhadap-hadapan. Dan, kali ini Sophia terpaksa menuruti kemauan perempuan itu sambil menyapa balik, “Ibu Ret…Na….?”
Sophia terkejut luar biasa saat berhadap-hadapan dengan perempuan yang dia kenal sebagai Ibu Retna Nawangsih. Ibu Retna Nawangsih yang pernah dia temui adalah perempuan yang sangat cantik, dan, perempuan yang ada di hadapannya bukan cuma cantik, tapi sangat cantik dan sangat anggun. Meskipun seharusnya perempuan ini berumur sekitar 45 tahun, namun aura kecantikannya tidak merepresentasikan umur yang setua itu.
“Ibu Retna Nawangsih?” sekali lagi Sophia menyapa perempuan itu. Perempuan itu mengangguk sambli bertanya, “Betul Sophia! Beda ya penampilan Ibu?”
Sophia termangu-mangu melihat kecantikan ibu Retna Nawangsi versi dimensi mimpi sambil flashback membayangkan ibu Sitakara bila menggunakan setelan seperti dikenakan perempuan cantik dihadapannya. Dan, kesimpulannya adalah kedua perempuan ini identik Dan, perempuan yang ada di depannya saat ini terlihat lebih anggun dibanding yang ada di dimensi utama. Namun, dalam pandangan Sophia ada satu hal yang mengganjal dari penampilan Retna Nawangsih atau Nawangsih Bawana Nisala Putri. Kenapa dan darimana dia mengenakan jubah dan kerudung Ugra Sundari.
“Maaf Ibu Retna Nawangsih, bagaimana Ibu bisa menggenakan baju Ugra Sundari?”
“Itu karena kamu adalah junior ibu.”
“Betulkah?”
Retna Nawangsih tersenyum mendengar pertanyaan dari Sophia.
“Betu! Tapi, baiklah, teman-temanmu datang. Ibu pergi dulu!”
Seperti datangnya yang tiba-tiba, tanpa menunggu respon dari Sophia, Retna Nawangsih segera melesat ke atas dan menghilang. Sophia bengong sambil menyarungkan pedangnya yang masih dipeganginya sedari tadi.
Sementara itu, dari beberapa titik di sekitar Sophia bermunculan Sitakara, Ansuman, Arundhati, Sekar Kenanga, Sweta Nandini, serta Arya Kandaga. Mereka semua bingung melihat area sekitar mereka yang berantakan dan ribuan bangkai kadal primata yang bergelimpangan.
Arya Kandaga nampak yang nampak cemas segera mendekati Sophia agak berlari dengan membuka kedua tangannya bermaksud untuk memeluknya. Sophia diam tidak bergerak, dan malah nampak tersenyum. Namun, siapa nyana saat benar-benar memeluknya, tubuh Sophia sudah berpindah di sebelah Arundhati. Posisi yang sebenarnya adalah posisi Ansuman. Dan, tentunya, Ansuman tanpa dia sadari juga telah menggantikan posisi Sophia.
Arya Kandaga yang mengira dirinya tengah memeluk Sophia terus menangis sambil menanyakan kondisi Sophia, “kamu gak kenapa-napa kan Sophia? Kakang sangat mencemaskan kamu sedari tadi… Syukurlah kalau kamu tidak kenapa-napa….!” Arya Kandaga nerocos terus sambil mengungkapkan semua kegelisahannya. Meskipun tangan Ansuman sudah berkali-kali mendorong badan Arya Kandaga sambil berteriak “Hoek! Hish…!”, Arya Kandaga masih belum mau melepaskan Ansuman. Karena dirasa dirinya sudah tidak lagi bisa melepaskan diri, akhirnya Ansuman menggunakan tenaganya untuk melepaskan diri sambil melompat ke belakang dan tak lupa kakinya menyentil kepala Arya Kandaga. Arya Kandaga oleng dengan kedua tangannya terbuka. Ansuman huak-huek sambil memegang perutnya, seperti mual yang datang tiba-tiba. Demikian juga Arya Kandaga begitu menyadari bahwa yang barusan dipeluknya adalah Ansuman. Kedua laki-laki itu kemudian saling menyalahkan dan berlanjut dengan berantem. Semua yang melihat kejadian ini tertawa terpingkal-pingkal ketika Arya Kandaga dan Ansuman makin asik berantem.
“Baiklah, karena kedua lelaki teman kita ini ada kesibukan yang harus diselesaikan, sepertinya tidak baik kalau kita kemudian menjadi penonton!” seru Arundhati pelan mengingatkan teman-temannya yang disambut dengan anggukan. Tanpa dikomando, para perempuan itu merindik-rindik meninggalkan lokasi perkelahian Arya Kandaga dan Ansuman. Setelah agak jauh mereka kemudian mengambil bidang rerumputan yang agak rata dan duduk melingkar.
“Seperti ditanya sama kakangmu Arya Kandaga, kamu gak kenapa-napa Sophia?” tanya Arundhati kepada Sophia dengan penekanan pada kata kakangmu. Sophia tertawa lepas mendengar pertanyaan Arundhati. Setelah puas tertawa, Sophia menceritakan pengalamannya.
“Alhamdulillah, Ayun. Aku ndhak apa-apa. Tapi memang sangat luar biasa Dhemit Marumaya satu ini. Biarpun dia tengah bertiwikrama dengan ukuran tubuh raksasa dia masih bisa berkelahi dengan lincah tanpa mengurangi kewaspadaannya. Sabetan pedangku bisa dia hindari. Dan untungnya aku tadi dibantu oleh Ibu kamu Ayun!” dengan singkat Sophia menceritakan pengalamannya sampai dengan bantuan Ibu Retna Nawangsih.
“Ibu Retna Nawangsih?” tanya Arundhati kepada Sophia, “beliau ada di sini tadi?”
Arundhati langsung berdiri dan melihat-lihat sekitar mereka.
“Beliau sudah pergi, Ayun!” tegur Sophia.
“Tapi betul beliau adalah ibu Retna Nawangsih?” tanya Arundhati kepada Sophia.
“Betul, Ayun…! Masa sih aku bohong. Beliau bilangnya begitu. Bahkan beliau bilang, aku tuh junior beliau, padahal kan…..” jawab Sophia sambil hendak memberikan penjelasan tambahan namun dipotong oleh Arundhati. “Sudah sudah sudah…. Cukup, cukup!” Arundhati ingat pesan Retna Nawangsih dan tidak ingin pembicaraannya melebar kemana-mana. Dan mengenai kejadian ini biarlah nanti dia akan bertanya kepada Retna Nawangsih.
Arundhati memandangi Sophia dan lingkungan sekitar secara bergantian. Arundhati tidak ingin pembicaraan melebar. Namun, ini justeru membuat Sophia bingung.
“Emang….. kenapa, Ayun?” tanya Sophia lirih karena bingung.
“Kamu… kamu ini…. kenapa kamu ada di sini? Atau, Yu Ara…! Emang ini Sophia mau kita bawa juga ke lapis ke-dua?” Arundhati tidak menjawab pertanyaan Sophia, malah justeru bertanya dengan dua pertanyaan sekaligus kepada dua orang yang berbeda.
Sitakara cuma menggeleng-gelengkan kepala dambil mengangkat bahunya dengan wajah serius tidak menjawab pertanyaan Arundhati.
Sophia terkejut bukan alang kepalang. Dia menyadari sabuah kesalahan besar yang barusan dia lakukan. Dia harus menyembunyikan identitasnya, namun karena saking senangnya bertemu dengan kawan-kawannya, dia malah ngobrol sama kawan-kawannya. Tanpa ba-bi-bu lagi, Sophia Indrakanya langsung melesat dan menghilang. Tak lama kemudian, dari kejauhan terdengar suara Sophia, “Sorry Ayun, Dini…., Aku pergi dulu!”
Arundhati dan Sitakara tersenyum. Ugra Sundari itu, meskipun perguruan perempuan, namun murid-muridnya dikenal sangat trampil dalam olah kanuragan, dan dia tidak menyangka Sophia adalah salah satu murid Ugra Sundari. Ketika Arundhati masih melihat ke arah perginya Sophia, terdengar suara Sweta Nandini berteriak, “Kakang Arya Kandaga, kenapa kamu masih berkelahi, sedangkan pujaan hati yang baru kau kenal sudah pergi?”
Mendengar teriakan Sweta Nandini, kedua laki-laki yang sedang berantem itu menghentikan aksinya dan sama-sama menoleh kepada Sweta Nandini, dan sama-sama pula bertanya dengan pertanyaan yang sama, “A….pa?”. Kedua lelaki itu tiba-tiba menghentikan perkelahiannya dan berjalan ke arah para gadis duduk. Saat Arya Kandaga dan Ansuman masih berjalan ke arah para gadis, Sweta Nandini melanjutkan kata-katanya tanpa berteriak sambil melirik ke arah Sitakara, “padahal ada seseorang yang sangat menantimu, Kakang!” Mendengar hal ini, Sitakara meencubit Sweta Nandini sekeras-kerasnya. Sweta Nandini pun berteriak keras, “Wadawwww!!!” Arundhati dan Sekar Kenanga yang memperhatikan mereka berdua pun tertawa kecil sambil menutup mulutnya.
Arya Kandaga celingukan begitu sampai ke tempat para perempuan duduk. Ada rona kecewa yang luar biasa terpancar dari mukanya. Dia sangat menyesal karena mengikuti kemarahannya sehingga harus sibuk dengan urusan yang tidak seharusnya terjadi. Dan, meskipun dia tahu ini adalah hasil kerjaan Sophia, namun dia tidak mau menyalahkan Sophia. Dia merasa bahwa dia sendirilah yang telah salah karena terjebak dalam emosi asmara, bahkan kepada seorang yang baru dia kenal. Padahal dia adalah seorang prajurit. Sangat naif seorang prajurit tidak mampu menguasai emosi asmara yang muncul tiba-tiba. Ini adalah kelemahan yang sangat parah. Akhirnya dia bersyukur bahwa dia cepat menyadari ini. Tiba-tiba dia mengangkat kedua tangannya dan mengucap, “Alhamdulillah….!”
Melihat apa yang dilakukan oleh Arya Kandaga semua bingung. Kenapa Arya Kandaga yang sebelumnya begitu bersemangat terhadap Sophia malah bersyukur ketika mendapati Sophia pergi tanpa berpamitan kepadanya. Semua saling pandang, termasuk Ansuman. Namun, tiba-tiba terdengar suara Sweta Nandini, “mencurigakan….!” Semua tersenyum, dan tentu Sitakara terlihat paling Sumringah. Ansuman melihat perbedaan ini.
“Iya.. Mencurigakan. Tapi sepertinya, kita memang harus bersyukur. Begitu bukan Yu Ara?”
Mendengar ucapan Ansuman, Sitakara menjadi salah tingkah. Pipinya yang putih alami tiba-tiba berubah memerah menahan malu. Arundhati tersenyum menahan tawa.
%20(30).jpeg)