{16} Rusuh
Jakarta versi lapis kedua dimensi mimpi juga adalah sebuah
kota besar, namun dia bukanlah ibukota negara dan tidak pernah menjadi Ibukota
Negara. Indonesia pada lapis kedua dimensi mimpi ini bukanlah bekas jajahan
siapapun. Indonesia pada versi ini adalah sebuah federasi kesultanan dan kerajaan-kerajaan
kecil yang bergabung membentuk perwakilannya sendiri. Ibukota negara adalah sebuah
kota di selatan Jawa. Kota ini di dimensi utama hanya sebuah kota kecil yang
mungkin tidak terdengar. Namun, keterikatan kota ini dengan wilayah-wilayah
warisan geologis membuat kota kecil ini cukup diperhitungkan. Di lapis kedua
dimensi mimpi, kota ini juga menampilkan representasi fisik dan geologis yang
sama. Sebuah wilayah dengan warisan geologis yang sangat kaya. Dan ini menjadi
paku bagi federasi Indonesia.
Hari ini, pada abad ke 21 ini, federasi Indonesia ini telah
mencapai kemajuan yang sangat pesat. Federasi Indonesia adalah salah satu tonggak
kemajuan bangsa-bangsa dunia bersama dengan bangsa-bangsa Asia yang tak pernah
dijajah bangsa manapun. Beberapa bangsa Eropa dalam lapis kedua dimensi mimpi
adalah bangsa yang sangat tertinggal. Mereka adalah pemasok tenaga kasar karena
postur mereka yang tinggi besar. Namun, meskipun mereka bekerja sebagai pekerja
kasar, mereka bukanlah budak. Bangsa-bangsa Asia dan Afrika telah lama
menanggalkan perbudakan, jauh sebelum perjumpaan mereka dengan bangsa-bangsa
Eropa.
Kita kembali ke Jakarta. Jakarta sebagai pusat bisnis dan
perkembangan teknologi, terlihat sangat moderen. Gedung-gedung jangkung yang
tak lebih dari 20 lantai merupakan pemandangan yang menutupi luasan sekitar
65Km2. Namun, meskipun hampir seluruh wilayah tertutup beton,
pemandangan hijau tetap dapat ditemukan di sana. Para pemimpin Jakarta sangat
memahami bahwa mereka harus dapat meneruskan kebijakan pendahulunya terhadap
tata kota yang mengedepankan keseimbangan alam. Dan, pada lapis kedua dimensi
mimpi ini, manusia tidak pernah menemukan bahan bakar fosil. Mereka telah lebih
dulu mampu memanipulasi grafitasi sebagai sumber tenaga yang tidak berbahaya
bagi lingkungan. Semua device di lapis kedua dimensi mimpi ini digerakkan oleh
grafitasi dan turunan yang dihasilkan oleh suatu proses manipulasi energi.
Manusia bergerak dengan menggunakan olah kanuragan dengan memanfaatkan secara
langsung grafitasi secara alami, atau dengan menggunakan driver yang bergerak
dengan cara meluncur dalam pilinan energi.
Hari ini, Sitakara dan Ansuman sedang rihlah di sebuah mal
besar di bilangan Gambir. Mereka berdua sedang menjalankan misi untuk mengamati
perkembangan Jakarta secara langsung. Arundhati tidak ikut karena sedang
mengasah kemampuannya bersama Nyi Ajar Nismara di Gunung Kenikir. Setelah agak lama duduk untuk beristirahat di
sebuah kedai kopi di lantai 1 dekat dengan lobby utama. Ansuman membuka
pembicaraan, “Yu Ara…!”. Sitakara masih
terdiam, asik dengan gajetnya, “Yu Ara!” sekali lagi Ansuman memanggil
Sitakara. Kali ini usahanya mendapatkan hasil. Bahkan bonus.
“Ada apa? Kamu udah pesen? Kalau belum pesen biar aku aja
yang pesen”, jawab Sitakara sambil kemudian berdiri.
“Belum, ya udah kalau Yu Ara mau mesen, aku titip Kopi rempah!”
jawab Ansuman menyebutkan kopi yang dia pesan. Ya, lapis kedua dunia mimpi,
dunia barat tidak pernah menjadi kiblat peradaban. Kedai kopi, tidak mencantumkan
nama-nama yang asing dalam daftar menunya.
“Baiklah!” Sitakara berdiri dan berjalan ke arah meja
pramusaji, “Bang, kopi rempah 2 ya! Kalau ada cemilan boleh juga. Di meja nomor
22, ya!” pesan Sitakara sambil mengambil papan nomor dan menunjukkan ke
pramusaji.
“Baik, Non!” kata pramusaji sambil mengangguk dan tersenyum.
Sitakara membalas senyuman pramusaji sambil berlalu kembali ke mejanya dan
meletakkan papan nomornya. Sebuah kesalahan fatal ternyata bagi Sitakara untuk
tersenyum. Sang Pramusaji yang kebetulan laki-laki malah berdiri mematung
dengan mata melotot dan bibir tetap tersenyum. Senyuman Sitakara memang sangat luar biasa.
Seluruh aura kecantikannya seperti tersebar berhamburan dan sangat mempesona
sang Pramusaji. Beberapa saat, Pramusaji ini masih berdiri sambil nyengir dan
melotot dan kembali bergerak ketika temannya melemparkan serbet ke mukanya.
“Woi… ngapain lu?!” tanya temannya agak berteriak di
kupingnya.
Si pramusaji kaget dan langsung memperbaiki posisi sambil
mengambil serbet yang menutupi mukanya. Si pramusaji nyengir, kawannya juga
nyengir sambil menangkap servet yang dilempar oleh si pramusaji. Si pramusaji
menulist pesanan dari Sitakara dan kemudian dia sampaikan ke Kahwana (tidak ada
islitah Barista, yang ada Kahwana untuk laki-laki dan Kahwanita untuk
perempuan).
Sementara itu di meja nomor 22, Sitakara nampak bercanda
tertawa-tawa dengan Ansuman.
“Betul kalau kamu bilang, mending Ayun tidak kita bawa ke
mari, maka aku setuju banget. Kita akan kesulitan menjawab semua pertanyaannya…!”
kata Sitakara agak keras sambil tersenyum lebar. Para lelaki yang ada di
sekitar tempat duduk mereka serentak menengok ke arah Sitakara. Semua menunjukkan
keterpanaannya mendengar suara Sitakara apalagi saat melihat ke arah gadis muda
dengan kerudung dan jubah hijau lumut. Para perempuan yang menyertai para
lelaki itu, semuanya langsung memasang muka masam. Namun, hal ini tidak
dipedulikan oleh para lelaki yang sedang terpesona itu.
Entah apa yang sedang dibicarakan oleh Sitakara dan Ansuman
sebelumnya, namun sepertinya Arundhati sedang menjadi object pembicaraan
mereka.
“Iya meskipun terpecah-pecah dalam fragmen-fragmen tidak
stabil yang mengikuti domain dari setiap pemimpi, dan sepertinya justeru karena
itu situasi di lapis pertama itu sangat mirip dengan dimensi utama. Ayun sudah
sangat terbiasa dengan lapis pertama maupun dimensi utama. Dan situasi di sini
pasti akan sangat mengusik rasa ingin tahu dia!” lanjut Sitakara dengan tetap
tersenyum sambil memamerkan geliginya yang rapi. Dia sama sekali tidak
menyadari pandangan para lelaki yang ada di sekelilingnya. Sampai ketika salah
seorang dari mereka dengan tekad baja dan keberanian yang luar biasa, tiba-tiba
berdiri di depan Sitakara memperkenalkan diri.
“Selamat siang nona nan cantik jelita yang telah menggugah
semua keterpanaan saya sehingga saya telah kehilangan rasa malu untuk berdiri
di depan Nona yang sungguh menarik hati saya. Perkenalkan nama saya, Hesti Nandang
Kartika. Kalau boleh tahu, siapakah sama Nona yang sungguh sangat mempesona
ini?”
Sitakara cuma bisa melongo dan menarik tangannya untuk
menutupi mulutnya sambil matanya bergerak-gerak ke arah Ansuman maupun
laki-laki sawo matang berhidung pesek bermuka mengkilat minyak dan berambul
kriting botak tengah. Tampilan dan suara orang ini sangat laki-laki, namun
intonasi dan gerak tubuhnya memperlihatkan hal yang sebaliknya. Kemayu.
Seakan bom yang mengganggu keterpanaan mereka, tingkah
lelaki kemayu itu membuat semua lelaki yang baru saja terhipnotis oleh
kecantikan dan kelembutan suara Sitakara tiba-tiba tersadar dan mengelus
mukanya seperti orang cuci muka. Beberapa ada yang tertawa lirih menyadari
kekonyolannya, atau dengan santainya melanjutkan minum kopi. Namun, berbeda
dengan mereka yang datang bersama pasangannya, pastinya bakal ada hal lain yang
harus mereka hadapi setelah itu. Dan, dengan pelan namun jelas, semua laki-laki
itu bilang, “yah…….!”. Mereka kesal sama lelaki kemayu yang merusak
pemandangan ke arah Sitakara.
Melihat semua ini, Ansuman cuma menjep dan dalam hati dia
bilang, “baru Sitakara, coba kalian kalau lihat Ayun…!”
Lelaki kemayu yang barusan memperkenalkan diri kepada
Sitakara masih berdiri di depan Sitakara. Dan, sebenarnya Sitakara enggan untuk
melayani lelaki itu, namun Sitakara selalu takut untuk dikira sombong, “owh…
nama yang bagus. Tapi kalau di kampung saya, nama sampeyan itu nama perempuan!”
celetuk Sitakara mengomentari perkenalan lelaki itu. Mendapatkan respons dari
Sitakara membuat lelaki kemayu itu menjadi tersanjung. Dan di luar dugaan,
lelaki itu mengangkat kedua telapak tangannya menutup mulutnya dengan gaya
menggigit jari. Ansuman tertawa. Dan,
dalam hati, Sitakara berujar “Ah, lelaki tulang lunak ternyata!”. Dan, Sitakara
pun tertawa pelan yang bikin lelaki kemayu itu semakin menjadi. Namun, belum
lagi lelaki kemayu tersebut melanjutkan aksinya, tiba-tiba di luar terdengar
suara sirine meraung-raung. Suara kibasan baling-baling helikopter juga
terdengar sangat kuat. Semua yang sedang santai di dalam kedai kopi tersebut
menoleh ke luar ke arah datangnya suara tadi. Dan, belum hilang keterkejutan
mereka, terlihat beberapa lelaki tegap berkostum militer dan bersenjata lengkap
dengan setengah berlari memasuki lobby utama.
Beberapa di antara mereka berlari ke tangga eskalator untuk menuju
lantai dua dan tiga, sementara sisanya ada yang berdiri di tengah lobby sambil
berteriak menggunakan megaphone, setengah berlari menuju ke booth dan tempat
penjualan sambil mengajak para pedagang dan pengunjung untuk segera keluar dari
mall.
“Diberitahukan kepada seluruh pengguna, proses evakuasi ini
bukan latihan. Kami mengharap kerjasama
dari anda semua untuk segera keluar dan mengikuti arahan petugas. Kami
sampaikan sekali lagi, ini bukan latihan!” Diulang-ulang petugas dengan
megaphone, memberitahukan kepada seluruh pengguna yang masih ada di dalam
gedung untuk keluar dan selanjutnya mengikuti arahan petugas.
Tidak seperti Indonesia pada dimensi utama yang akan selalu
panik bila terjadi hal seperti ini dimana ada petugas dengan senjata lengkap,
raungan sirine dan lain-lain, penduduk pada lapis kedua dimensi mimpi ini
keluar dengan teratur dan tanpa memperlihatkan ketakutan/kecemasan yang
berlebihan. Tidak terkecuali Sitkara dan
Ansuman yang gagal untuk menyeruput kopi rempah. Dengan patuh mereka berdua
mengikuti arahan petugas. Semua diarahkan untuk menuju alun-alun kota yang tak
jauh dari mal.
Di luar telah berderet bis yang akan mengangkut. Dan, banyak
sekali orang yang dikumpulkan di tengah alun-alun. Satu-per-satu mereka menaiki
bis-bis tersebut. Dan ketika kapasitasnya telah penuh, bis tersebut menutup
pintunya dan segera mengambang secara vertikal dilanjutkan melesat ke arah
selatan timur.
Sitakara dan Ansuman tidak langsung memasuki bis. Mereka
malah mendekati salah seorang perwira yang tengah berdiri membelakangi mereka, mengamati
proses evakuasi ini. Mereka berdua
sangat kenal dengan perwira muda ini. Arya Kandaga. Meskipun tengah menggunakan
seragam militer lengkap dengna baretnya, baik Sitakara maupun Ansuman sangat
mengenali perwira muda itu. Secara urutan senioritas, Arya Kandaga adalah kakak
seperguruan mereka. Namun, secara penguasaan ilmu, Arya Kandaga masih berada di
bawah mereka berdua. Oleh karena itulah, kemudian ia lebih suka untuk
membaktikan dirinya kepada negara dengan bergabung dengan militer, daripada
harus terus menuntut ilmu di padepokan.
“Kakang Arya….!” Seru Sitakara memanggil Arya Kandaga
Arya Kandaga terlihat
sedikit terhenyak. Dari arah belakangnya terdengar suara yang sangat dia kenal.
Ya, Arya Kandaga sudah pasti sangat kenal suara Sitakara. Ada hati yang tertahan
dalam hubungannya dengan Sitakara yang membuatnya tenggelam dalam rindu dendam
tak berkesudahan. Bertemu dengan Sitakara adalah kebahagiaan sekaligus
penyiksaan baginya. Kebahagiaan itu muncul karena dia dapat menikmati
kecantikan dan keceriaan Sitakara. Dan penyiksaan itu muncul karena kecantikan
dan keceriaan Sitakara tak pernah mau memahami hatinya. Hati Arya Kandaga.
Namun, kali ini, sepertinya Arya Kandaga harus menepis semua rindu dendamnya
kepada Sitakara. Dia sangat paham akan kemampuan Sitakara, dan oleh karena itu
Arya Kandaga sangat senang mendengar suara itu. Sitakara pasti dapat diandalkan
untuk menyelesaikan masalah ini. Arya Kandaga membalik badannya ke balakang
dan,
“Sitakara…!” teriak Arya Kandaga pelan. Sebenarnya, jantung
Arya Kandaga langsung berdetak kencang. Perempuan cantik yang sangat dia kenal, saat
ini berdiri tepat emat langkah dari dia. Dan, apalagi, saat dia lihat Ansuman bersama
Sitakara. Meskipun dia tahu, Ansuman yang masih lebih muda dari Sitakara tidak
mungkin menjalin kasih dengan Sitakara, namun bagaimanapun Ansuman adalah
laki-laki yang secara tampilan fisik lebih baik dari dirinya. “Dan, kamu…,
Ansuman?”
Ansuman tersenyum kecut sambil mengangguk.
Sitakara melangkah mendekati Arya Kandaga dan bertanya, “ini
ada apa Kakang Arya Kandaga? Kenapa semua orang diungsikan?”
Dengan tanpa merubah mimik mukanya, Arya Kandaga segera
mengajak mereka berdua ke suatu tempat.
“Ayo ikuti saya!” tanpa menunggu jawaban Sitakara maupun
Ansuman, Arya Kandaga melangkah ke salah satu bis yang tampaknya idak ada yang
mengantri untuk diantarkan. Bis ini sangat berbeda bila dibanding yang lainnya.
Ukurannya lebih besar sementara disainnya dalah disain pertahanan yang lebih
cenderung estetis secara militer. Saya
sendiri lebih sepakat bahwa ini adalah sebuah pesawat luar angkasa. Pintu
pesawat ini ada di tengah lambung pesawat dengan tangga otomatis. Di kiri kanan
pintu berdiri empat orang pengawal bersenjata lengkap, dua di kanan dan dua di
kiri. Mereka berdiri dalam sikap istirahat dan seketika berubah menjadi sikap
siap ketika kaki Arya Kandaga menginjak anak tangga pertama menaiki
pesawat. Sitakara dan Ansuman mengikuti
Arya Kandaga memasuki pesawat. Setiba di
dalam pesawat, mereka dibuat kagum dengan sebuah ruangan yang penuh dengan
orang yang sibuk dengan layar monitor tempat masing. Ada sekitar tujuh orang
yang tengah mengamati layar. Ini adalah sebuah command center yang kompak dan
terhubung dengan perangkat pertahanan yang tersebar pada titik-titik strategis
di area Jakarta. Di salah satu dinding command center ini tertempel sebuah
layar raksasa yang tengah menampilkan peta Jakarta dan beberapa titik merah
serta titik-titik hijau yang saling terhubung Itu adalah posisi perangkat
pengamanan yang dapat dikontrol oleh pesawat ini.
“Sersan Sadjim, coba kamu tunjukkan monitor 47!” terdengar suara Arya Kandaga memerintah
“Siap, Kolonel!” jawab seorang dengan posisi duduk paling
dekat dengan layar. Orang yang dipanggil Sadjim tadi segera disibukkan dengan
layar sentuh yang ada di depannya. Tak berapa lama kemudian, layar besar yang bergantung
di dinding telah menampilkan suatu wilayah dengan caption “Menteng”. Sitakara dan Ansuman yang telah terhubung
langsung ke dimensi utama hanya tersenyum.
Menteng di lapis kedua dunia mimpi ini cuma sebuah wilayan yang sangat
kumuh. Jakarta di lapis kedua dunia mimpi memang bukan ibukota, namun sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi, dia tetaplah magnet yang kuat bagi para pengadu
nasib. Menteng adalah tempat bagi mereka yang kalah. Dalam layar tersebut,
terlihat penduduk berlarian tidak menentu. Ada yang lari ketakutan seolah melihat
sesuatu, sementara yang lain ada yang melempari sesuatu kepada object yang
tidak tergambar. Beberapa yang lain ada yang terlibat perkelahian bahkan dengan
menggunakan senjata. Beberapa bahkan ada
yang mati. Sementara, kebakaran terliat terjadi di mana-mana di area tersebut.
Ini adalah sebuah chaos yang paling berantakan yang pernah ada. Tidak nampak
kehadiran aparat keamanan baik polisi maupun tentara. Menurut Kapten Kodra, kehadiran
aparat bersenjata justeru membahayakan pendidik sipil tak bersenjata. Karena,
aparat sama sekali tidak kebal terhadap serangan persepsi. Dan, masih menurut
kapten Kodra, banyak tentara terlihat menembaki ruang kosong ke atas seakan
mereka melihat monster. Bahkan ada yang menembaki warga. Dar sini, kemudian
diputuskan untuk tidak mengirimkan bantuan aparat bersenjata. Namun, dari semua kejadian itu, tidak ada
satupun yang mampu mencari biang dari semua ini.
“Sitakara, kamu lihat sendiri, bahkan di tempat kejadianpun
kita tidak tahu siapa biang kerok yang membuat kerusuhan!”, ujar Arya Kandaga
nampak pasrah.
Sitakara terdiam. Dia berfikir keras. Namun, kemudian, dia
teringat kejadian di dekat rumah Arundhati di dimensi utama. Saat itu memang
dia terlambat datang. Semua telah diselesaikan oleh Arundhati sendirian. Namun
dari kisah yang diceritakan oleh Arundhati, pelakunya adalah makhluk persepsi
yang berasal dari lapis pertama dunia mimpi. Dan, bukan itu saja, pada
kesempatan sebelumnya, bersama Arundhati, dia juga pernah menghajar makhluk
yang sama di dukuh Kedungwang di dekat Padepokan. Jadi kasus ini sama sekali tidak asing bagi
Sitakara. Ansuman pun, meskipun belum pernah berhadapan langsung dengan makhluk
tersebut, namun dari cerita Arundhati, dia punya analisa yang sama dengan Sitakara.
Ini pasti kerjaan makhluk persepsi. Dan, meskipun Ansuman belum pernah melihat
makhluk tersebut, namun dia telah mampu mengukur kemampuan makhluk itu.
“Sitakara, Kakang ini memang kakak seperguruan kamu, namun
terus terang untuk kasus ini Kakang tidak punya gambaran sama sekali. Apa
sebenarnya yang telah terjadi!” keluh Arya Kandaga kepada Sitakara.
“Jangan kuatir, Kakang! Karena kami ada di sini, tidak
mungkin kami akan membiarkan Kakang berjuang sendiri. Bukan begitu, Ansuman?” tegas
Sitakara menenangkan Arya Kandaga sambil bertanya pada Ansuman.
“Betul Yu Ara!” jawab Ansuman menegaskan. “Jangan kuatir
Kakang Arya Kandaga. Adhikmu yang ngganteng ini pasti akan membantu Kakang.
Apalagi ada Yu Ara, yang pernah bertempur langsung dengan Dhemit Bacira!”
Ansuman yang tahu bahwa Arya Kandaga ada hati sama Sitakara
sengaja meledek Arya Kandaga dengan bilang “Adhikmu yang ngganteng!”. Dan tidak
sampai di situ, Ansuman sengaja mendekati Arya Kandaga dan berbisik, “jangan
kuatir, saya juga akan menjaga Yu Ara. Tak akan saya biarkan siapapun
melukainya!”
Arya Kandaga menoleh ke arah Ansuman yang telah berdiri di
sampingnya sambil tersenyum kecut. Dia marah, tapi dia tahu bahwa adik
seperguruannya ini cuma meledek dia. Sitakara yang memperhatikan tingkah kedua
pemuda itu tertawa, “Sudah, Kang Arya… maafin Ansuman ya!”
Sejenak ketiga orang seperguruan itu terdiam. Sitakara
tampak berfikir keras untuk mencari lokasi sebenarnya dari para makhluk
persepsi tersebut. Dalam kondisi ini, seringkali dia harus merutuk, kenapa dia
tidak memiliki kemampuan seperti Arundhati yang bahkan versi dimensi mimpinya pun
baru kemarin dia tuntun memasuki lapis kedua dimensi mimpi ini. Tapi mungkin
karena versi Arundhati dimensi mimpi tumbuh di lapis pertama, maka semua yang
luar biasa bisa dia kuasai. Salah satunya adalah mengembangkan kesadarannya
sampai radius beberapa kilometer untuk mendeteksi kehadiran sesuatu yang pantas
dicurigai. Saat ini dia membutuhkan kemampuan seperti itu. Namun, Sitakara
sadar apa yang tengah dilakukan oleh Arundhati bersama gurunya Nyi Ajar Nismara
jauh lebih penting. Di sini sekarang sudah ada dia dan Ansuman serta alumnus Alang-alang
Segara Wedi, Arya Kandaga.
“Kang Arya, boleh minta bantuan kendaraan pengangkut
personel yang dilengkapi radar dengan rentang frekuensi variable 5 Hz sampai
dengan 300 Hz, dan beberapa personel
Kakang untuk mengantar kami ke lokasi?”
Suara Sitakara memecah keheningan di antara mereka bertiga.
Sitakara mengajukan beberapa permintaan kepada Arya Kandaga.
“Baik, Mungkin Wimana 210 dapat kita keluarkan Kapten Sahu!”
jawab Arya Kandaga sambil memerintah kepada salah satu anak buahnya.
“Siap Kolonel, saya dan anak buah saya siap untuk
melaksanakan tugas. Namun, mohon dipertimbangkan lagi tentang penggunaan Wimana
210. Bukankah itu hanya boleh digunakan untuk situasi kritis yang memaksa?”
Orang yang dipanggil sebagai Kapten Sahu menjawab sambil
meminta Arya Kandaga untuk mempertimbangkan.kembali keputusannya. Arya Kandaga
menatap tajam ke arah Kapten Sahu, “Apakah Kapten Sahu berfikir ini bukan
situasi kritis yang memaksa? Dan, kamu tahu kenapa saya yang ditugaskan untuk
menangani hal ini?”
“Siap Kolonel, Team Cakra siap menerbangkan Wimana 210!”
Kapten Sahu segera mundur dan keluar mengambil kendaraan
personel yang mirip sepeda motor sambil berkomunikasi dengan anak buahnya. Team
Cakra. Tak sampai berapa lama, dari arah
perginya Kapten Sahu muncul sebuah wahana yang berbentuk kubus dengan cincin
horizontal. Wahana ini mendarat di samping pesawat Arya Kandaga. Salah satu
pengawal yang berdiri di pintu mengangkat tangan kanannya ke dekat mulutnya dan
nampak berbicara dengan seseorang. Tak lama setelah si pengawal mengambil
posisi sempurna, Arya Kandaga besera Sitakara dan Ansuman nampak melangkah
keluar.
Setelah Arya Kandaga, Sitakara, dan Ansuman berada di depan
wahana kubus ini, salah satu bagian dinding kubus nampak bergeser dan membuka
membentuk sebuah lubang pintu. Dari lubang pintu itu menjulur susunan anak
tangga sampai menyentuh tanah. Segera
Arya Kandaga, Sitakara, dan Ansuman melangkah menaiki anak tangga tersebut dan
memasuki wahana. Setelah ketiganya memasuki wahana, anak tangga segera terlipat
dan pintu tertutup. Perlahan namun pasti, wahana kubus itu mulai mengambang
lagi dan semakin tinggi melewati gedung-gedung tinggi di sekeliling.
Di dalam wahana suasana gelap segelap gedung bioskop. Di
arah depan arah masuk nampak visualisasi hamparan yang sangat luas. Sementara pada
area sebelum hamparan tersebut, berderet komputer kontrol dengan yang dikendalikan
oleh tentara anak buah Kapten Sahu. Ada sekitar 20 tentara laki-laki dan
perempuan yang dikerahkan untuk mengoperasikan komputer kontrol. Kapten Sahu,
Arya Kandaga, Sitakara, dan Ansuman berjalan di isle diantara kedua barisan perangkat
pengonrol. Sesampainya di baris paling depan, kelima orang tersebut berhenti.
Arya Kandaga membuka pembicaraan, “Sitakara, Ansuman, Wimana 210 adalah sebuah
pesawat sekaligus portal yang menghubungkan banyak titik di muka bumi. Hamparan
di depan kita adalah proyeksi salah satu perangkat pemantau yang terhubung ke
Wimana. Saat ini, kita ada batas portal penghubung antara wimana dan lokasi terpantau. Kemudian, cincin yang berputar mengelilingi
Wimana ini adalah pemancar gelombang variabe dengan frekuensi antara 5 Hz
sampai dengan 300Ghz. Sebuah rentang
yang panjang, namun jangan kuatirkan hasilnya. Wimana ini dibantu oleh ratusan
microdrone yang akan memperkuat pancaran gelombang untuk meningkatkan akurasi.
Satu hal lagi, microdrone ini juga dapat digunakan untuk melakukan teleportasi
dengan lebar pita yang sangat besar sehingga dapat mengirimkan dan
merkonstruksi material padat sebesar duapuluh buah kelapa dalam satu kejapan
mata. Dalam situasi terdesak, microdrone ini dapat digunakan untuk melakukan
penyerangan jarak jauh”
Sitakara mendengarkan dengan seksama penjelasan Arya Kandaga.
Sebenarnya dia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Arya Kandaga. Namun
karena takut mengecewakan Arya Kandaga yang telah menjelaskan panjang kali
lebar kali tinggi, Sitakara manggut-manggut seolah mengerti. Dan sesaat setelah Arya kandaga selesai
menjelaskan, Sitakara mengajukan satu permintaan, “Coba, sebarkan seluruh drone
pada semua titik pada radius 30 kilometer secara merata. Kemudian coba scan
keberadaan sesuatu benda dengan menggunakan frekuensi 12Hz. Hasilnya tolong
tampilkan pada layar di depan kita. Ng… Kang Arya, panggung di depan kita dapat
dipergunakan sebagai monitor bukan?”
Arya Kandaga mengangguk, dan memerintahkan anak buahnya
untuk melakukan semua yang diminta oleh Sitakara. Dan, kemudian hamparan di
depan mereka berubah menjadi sebuah layar hologram horizontal dengan peta pada
radius 30 km membentang di dasar hologram. Titik-titik merah yang terbang di
atas peta adalah representasi microdrone sementara beberapa titik biru yang
menempel pada peta adalah lokasi portal penghubung yang dapat digunakan untuk
melakukan teleportasi.
Setelah seluruh microdrone membentuk formasi sempurna untuk
menutup area dengan radius 30 kilometer, nampak semua semua microdrone mulai
berkelip-kelip sampai ketika beberapa microdrone tidak lagi berkelip-kelip,
sisanya yang tidak bekelip-kelip kemudian mati. Microdrone yang tidak lagi
berkelip-kelip itu berarti telah menemukan suatu object melalui pantulan
frekuensi 12Hz. Ini membuat Arya Kandaga kaget. Alat dia yang punya, teknologi
dia yang punya, kenapa justeru Sitakara yang mampu memanfaatkan? Sungguh tidak
salah Nyi Ajar Nismara dan Ki Ageng Turangga Seto mengambil Sitakara sebagai
salah satu murid utamanya. Meskipun kaget Arya Kandaga terlihat senang. Arya
Kandaga segera memberikan perintah untuk bergerak, “Sersan Kodra, arahkan wahana
ini ke microdrone 711!”
“Tunggu dulu!” potong Sitakara mencegah.
“Ok, Sersan Kodra, tahan sebentar!” Arya Kandaga mengkoreksi
perintahnya, “Ada apa Sitakara?” lanjut Arya Kandaga menanyakan maksud Sitakara.
“Sepertinya kurang menguntungkan bila kita langsung ke
sasaran. Dia akan segera menyingkir dan menjalankan modus bersembunyi yang
berbeda”. Sitakara menjelaskan, namun sepertinya Arya Kandaga masih belum jelas
sehingga harus bertanya lagi, “Jadi, bagaimana baiknya?”. Dengan sabar Sitakara kembali menjelaskan, “Kita
ambil titik terluar microdrone yang mampu mendeteksi keberadaannya. Perhitungan
saya, dia juga melakukan scanning terhadap lingkungannya. Bila kita asumsikan bahwa
kemampuan scanningnya mirip dengan kemampuan scanning Wimana, maka dia mungkin
tidak akan menyadari kehadiran kita di situ. Kita gambling di sini, namun
sepertinya itu yang terbaik yang dapat kita lakukan”
Arya Kandaga mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hmm… baiklah
kalau begitu. Sitakara, perhatikan, kita punya portal penghubung terdekat
dengan lokasi. Dari penjelasan kamu, saya lebih suka untuk kita tidak
menggunakan wahana ini. Kita, saya, kamu Sitakara, dan Ansuman, maju terlebih
dahulu, dan kemudian wahana ini menyusul”
Sitakara terdiam sejenak mempertimbangkan usul Arya kandaga.
Dan akhirnya, “Baiklah, siap Ansuman!?” Mendengar jawaban Sitakara, Arya
Kandaga langsung memerintah personelnya, “Ok, Kapten Sahu, Sersan Kodra,
setelah 30 menit, arahkan wahana ini ke microdrone 711! Dan untuk sekarang,
Sersan Lindri, buka portal ke 51P!”
“Siap, Kolonel!” sahut Kapten Sahu.
Arya Kandaga, Sitakara, dan Ansuman berdiri menghadap ke arah
layar yang secara perlahan berubah menjadi sebuah hamparan dan berubah menjadi
pemandangan roof top sebuah bangunan jangkung. Dari pengeras suara terdengar
suara lembut perempuan dengan nada dan intonasi khas mesin pembaca, “Perhatian
para springer, sesuai dengan peraturan kementrian pertahanan nomor 12 tahun
2011 tentang perjalanan telportasi yang menyertakan pelaku perjalanan sipil,
kami wajib memberitahukan kepada para pelaku perjalanan yang kemudian kami
sebut sebagai springer. Para springer, perjalanan ini hanya berjarak 21 km dari
titik awal. Namun, risiko perjalanan ini sama dengan perjalanan ratusan tahun
cahaya. Hal ini kami sampaikan sebagai disclaimer karena kemungkinan
keberhasilannya adalah 99,99% dalam arti masih ada kemungkinan kegagalan
teleportasi. Untuk itu, kami persilakan untuk mundur bila tidak yakin dengan
perjalanan ini. Dan, apabila lampu garis di batas portal menyala maka seluruh
springer diharuskan untuk segera melangkah. Waktu tersedia hanya 10 detik.
Diperbolehkan untuk kurang dari itu, namun tidak diperbolehkan lebih dari itu!”
Perempuan yang mengontrol pengoperasian portal nampak sibuk
pencet sana-sini dan menarikan jarinya pada layar sentuh di depannya. Setelah
suara robot selesai, perempuan operator yang terbaca bernama Lindri dari papan
namanya, dan berpangkat sersan itu memberikan petunjuk tambahan, “Portal telah
terbuka, dan pada hitungan satu, silakan para springer untuk melangkahkan kaki
melewati batas portal yang akan menyala biru. Empat…. Tiga…..”
Meskipun sering melakukan perjalanan lapis dimensi, namun
protokoler perjalanan telepoprtasi yang cuma 21km ini benar-benar membuat
jantung Sitakara berdebar. Begitu juga
Ansuman. Mereka berdua nampak sangat serius mendengarkan Sersan Lindri. Berbeda
dengan mereka berdua, Arya Kandaga juga berdebar. Namun bukan karena perjalanan
ini. Sitakara telah membuat jantungnya
berdebar-debar terus.
“Dua… satu.. silakan melangkah!” Sersan Lindri menyelesaikan
petunjuk perjalannyan tepat ketika batas portal menyala biru.
Arya Kandaga, Sitakara, dan Ansuman segera melangkah
menyeberangi batas portal. Angin kencang khas rooftop bangunan tinggi langsung menampar
muka mereka. Jubah yang dikenakan Sitakara berkibar-kibar tertiup angin namun
tak sampai menyingkap auratnya. Beberapa langkah di atas rooftop, tiba-tiba
langkah Sitakara terhenti.
“Ada apa Yu Ara?” tanya Ansuman.
“Tunggu dulu, aku sedang memastikan…!”
Ansuman dan Arya Kandaga saling berpandangan.
“Suman, kamu tunggu di sini, saya akan melakukan penutupan
area. Mereka ada di sini! Setelah kubah penutupan terbentuk, segera habisi
mereka!”, Sitakara memberikan perintah kepada Ansuman sambil berbisik. Ansuman
menjawab sambil berbisik pula, “Baik, Yu Ara!”
Sitakara langsung melesat tegak lurus sekitar seribu meter
di atas permukaan tanah. Kedua tangannya terbuka kesamping seperti menyangking
keranjang. Seperti murid perempuan Nyi Ajar Nismara lainnya, wardrobenya akan
berubah menjadi jubah dan kerudung putih gading. Namun jangan berharap bisa
melihat sesuatu dari bawah. Mereka sangat tahu cara melindungi kehormatannya.
Arya Kandaga penasaran dengan apa yang dikatakan Sitakara. Sambil
berbisik, Arya Kandaga menanyakan kepada Ansuman, “Ada apa?”. Sambil menaruh telunjuknya di ujung bibirnya,
Ansuman menjawab, “mereka ada di sini!”.
Arya Kandaga kaget, dan segera mengambil sikap siaga. Ia cabut
pedangnya, namun dicegah oleh Ansuman sambil berbisik dengan muka cemas,
“jangan berisik… mereka bahkan bisa mendengar kentut berbisik kalian yang bau!”
Arya Kandaga tidak jadi menghunus pedangnya. Suara logam
beradu saat menarik pedangnya, memang cukup keras dibanding bisik-bisik, namun
memang lebih keras dari kentut berbisik. Tapi, ah ini anak, kenapa make istilah
kentut berbisik pula??! Arya Kandaga marah, namun ya…. Bagaimana…. Dia cuma
bisa menuruti maunya Ansuman.
Sementara itu di atas, Sitakara nampak semakin kepayahan.
Sesekali nampak dia menarik kedua tangannya dan menghentakkan kembali ke bawah.
Tidak ada suara sama sekali.
Setelah beberapa lama berusaha, terlihat Sitakara nampak
santai di atas. Sitakara segera turun ke depan kedua lelaki itu dan menjelaskan
hasil pekerjaannya, “Suman, Kang Arya, seperti yang aku duga, mereka adalah
makhluk persepsi. Ada 10 ekor, 11 dengan pemimpinnya. Namun sayang, saya tidak
mampu mendeteksi keberadaan pemimpinnya lagi. Sepertinya dia kabur. Kesepuluh
ekor makhluk persepsi ini ada di radius 200 meter dari gedung ini. Satu ekor ada di lantai 11 gedung ini. Dia dengan
pemimpinnya seharusnya yang meresonansi dan mengamplikfikasi persepsi yang
dipancarkan dari makhluk-makhluk sejenis yang berkeliaran di radius 200 meter
gedung ini. Namun, jangan kuatir. Saat
ini mereka telah lumpuh dan tidak lagi mampu melakukan broadcasting persepsi
liar yang merusak. Lantai atap ini juga
telah saya lapisi dengan reflektor yang akan membuat kacau mereka saat mencari
kita.”
“Terus, bagaimana membunuh mereka Yu Ara. Aku belum pernah.
Yu Ara meskipun sudah pernah bertarung dengan Dhemit Bacira, namun kan tidak
membunuhnya. Bahkan Ayun pun akhirnya bukan membunuh, namun membuang ke suatu
dimensi yang sangat random?” tanya Ansuman kepada Sitakara. Mereka memang belum
pernah membunuh makhluk persepsi.
Sitakara berfikir keras mencari jawaban pertanyaan Ansuman. Setelah
beberapa lama bolak-balik macam strikaan, Sitakara bertanya kepada Arya
Kandaga, “Kang Arya apakah bisa menarik microdrone ke dalam area sini?”
“Saya bisa kendalikan mereka dari sini!”
Arya Kandaga kemudian duduk bersila dan mengeluarkan gadget seukuran
telepon genggam yang kemudian dia letakkan di hadapannya. Setelah menekan
beberap tombol, nampak sebuah hologram mirip panel kontrol dengan satu layar di
tengahnya yang sangat tajam meskipun hari itu masih terhitung siang. Entah
baterai apa yang digunakan untuk mensuplai perangkat tersebut. Arya Kandaga kemudian menekan beberapa tombol,
dan muncullah wajah Kapten Sahu.
“Kapten Sahu, saya mengambil alih kendali microdrone dari
Anda!” tegas komando dari Arya Kandaga.
“Siap Kolonel!” jawab Kapten Sahu tak kalah tegasnya.
Maklum, sama perwira tinggi.
Tidak menunggu berapa lama, sambil mengoperasikan perangkat
virtual yang tampil sebagai hologram tersebut Arya Kandaga memanggil Sitakara.
“Sitakara, apa selanjutnya?”
“Gunakan beberapa microdrone Kang Arya sebagai senjata,
sementara yang lain gunakan sebagai kamera monitor!”. Sitakara mengarahkan Arya Kandaga untuk
menggunakan microdrone sebagai senjata.
“Baik!”. Arya Kandaga menuruti arahan Sitakara. Dia kemudian
menekan beberapa tombol virtual serta menuliskan beberapa angka, dan di atas
hologram tadi muncul 2 hologram layar monitor dengan menampilkan nomor di
atasnya.
“Kita coba menggunakan dua microdrone dulu untuk kita
cobakan pada satu target. Satu kita gunakan sebagai senjata penyerang, satunya
lagi kita gunakan sebagai kamera untuk melihat hasil dari serangan!”. Arya Kandaga menjelaskan rencana serangannya. Sitakara mengangguk.
Di kedua layar monitor saat ini nampak suasana dalam suatu
ruangan perkantor yang sudah kosong. Kedua layar menggambarkan pergerakan yang
sama sampai kemudian terlihat satu sosok seperti gorila namun dengan ekor kadal.
Sosok ini tidak berbulu seperti halnya gorila, namun bersisik seperti reptil. Saat Ansuman dan Arya Kandaga tercengang
melihat perwujudan makhluk itu, Sitakara justeru malah tersenyum. “Hmm…
betul-betul persis seperti yang aku duga!”
Makhluk jadi-jadian itu tidak menyadari adanya serangan
sehingga dengan leluasa microdrone pertama dapat memasuki jaringan tubuh
makhluk itu. Layar pada jaringan pertama berubah. Layar terbagi menjadi
beberapa bagian yang menunjukkan proses penyerangan. Pada label yang
kelap-kelip tertera status “PENYUSUPAN”. Pada beberapa petak terlihat grafik
seperti hentakan jantung. Sementara petak lainnya menunjukkan parameter-parameter
biologis yang digunakan untuk memantau efektifitas serangan. Pada bagian layar
terbesar tampil gambar pola bentuk fisik dari tubuh makhluk itu, dan satu titik
yang bergerak sangat perlahan dan nyaris seperti berhenti di dalam ruang pola
tubuh makhluk tersebut. Di layar kedua, nampak makhluk tersebut sedang lari
dengan mata seperti mencari-cari sesuatu. Sepertinya dia tidak menyadari aktifitas
serangan yang sedang dilakukan oleh Arya Kandaga.
Sitakara terus mengamati perangkat hologram yang tengah
dioperasikan oleh Arya Kandaga. Saat ini
pada layar pertama, organ dalam dari makhluk tersebut mulai terlihat. Ada satu
gambar di sebelah kiri bawah dekat dengan pembuangan, nampak sebuah organ yang
berdetak khas detakan jantung. Sitakara bergumam, “ternyata di situ to letak
jantungnya!”
“Sepertinya begitu, Sitakara! Saya akan coba untuk menyerang
bagian tersebut!”, sahut Arya Kandaga
sambl mengetik tiga angka. Sepertinya koordinat ruang dari jantung tersebut. Dan,
bersamaan dengan Arya Kandaga menekan satu tombol, dari titik microdrone sampai
dengan jantung terbentuk sebuah garis lurus. Pada layar monitor kedua nampak
makhluk tersebut seperti kaget dan memegang bagian dada sampai dengan
pantatnya. Makhluk tersebut tampak menyeringai dan menengok ke kiri dan ke
kanan. Dia mulai sadar adanya serangan,
namun masih belum menyadari sumber serangan tersebut.
Di rooftop, percis di atas lantai 11, Arya Kandaga masih
mengoperasikan perangkat hologramnya. Kali ini dia menekan beberapa tombol di
sebelah kiri secara berurutan. Ada empat
dari sebelas tombol yang dia aktifkan. Dari layar monitor, terlihat bagian
jantung tersebut mulai nampak berubah warna, dan mulai membesar. Bagian layar
yang menampilkan detak jantung nampak masih melaporkan kinerja jantung. Pada
layar kedua, terlhat makhluk tersebut menyandar di dinding dengan memegang
pantat dan pinggangnya. Dan, bersamaan dengan tangan Arya Kandaga menarik satu
tuas di perangkat hologram tersebut, pada layar pertama nampak seluruh pola tubuh
makhluk tersebut berubah menjadi hitam, sementara pada layar kedua nampak
makhluk tersebut meledak.
“Duarr!!!” seru Ansuman dan Arya Kandaga pelan melihat hal
tersebut. Namun tidak dengan Sitakara yang masih berdiri mengamati semua panel
monitoring. Dan, tiba-tiba terdengar Sitakara bersuara pelan, “Dia belum mati!”. Baik Arya Kandaga maupun Ansuman sama-sama
kaget, “Apa?”
“Dia belum mati!”, jawab Sitakara mengulangi. Dan benar saja, pada layar kedua pecahan
tubuh yang meledak, nampak bergerak menuju satu tempat dan membentuk tubuh
seperti saat sebelum meledak. Ansuman
dan Arya Kandaga tercengang. Sitakara tampak masih tenang. Dulu ketika bersama
Arundhati melawan Dhemit Bacira, memang makhluk ini hampir tidak mungkin untuk
di bunuh. Untung, saat itu Arundhati mampu membuat makhluk itu kepayahan
sehingga melarikan diri. Namun sayang, karena dendam, Dhemit Bacira justeru
mengejar Arundhati di Dimensi utama. Mungkin dia kira bila menghentikan
Arundhati di dimensi utama, maka versi Arundhati pada dimensi lainnya pasti
akan lumpuh. Namun sayang, Dhemit Bacira justeru menemui kematianya saat
mencari Arundhati di dimensi utama.
Sementara itu di layar kedua, nampak makhluk tersebut telah
berhasil sempurna merekonstruksi tubuhnya. Kemudian setelah memukul-mukul
dadanya, nampak dia tengah berteriak-teriak. Melihat itu Sitakara langsung
meminta Arya Kandaga untuk mengaktifkan mic, “coba aktifkan micnya!”. Mendengar
permintaan Sitakara, Arya Kandga langsung menggeser satu tombol hologram ke
atas. Terdengar suara yang tidak terlalu
keras, “Ha ha ha ha….. jangan kalian kira sudah menang, kami tidak akan
terbunuh dengan senjata kalian. Kami tidak akan mundur sebelum kalian serahkan
Ayun yang telah membunuh saudara dari tuan kami, Dhemit Bacira!”
Ansuman dan Arya Kandaga tertegun. Mereka telah menyaksikan
sendiri, bahwa musuh mereka kali ini memang luar biasa.
Sitakara berdiri dan berjalan ke tepi atap gedung. Sambil
berjalan pandangannya menyapu sekeliling. Sambil bersedekap dengan sesekali
tangan kannya memegang dagunya, Sitakara nggremeng sambil berfikir, “Andai saja
ada senjata yang berasal dari dimensi mimpi lapis pertama. Sepertinya itu dapat
kita gunakan untuk membunuh mereka!”
Arya Kandaga yang sempat mendengar gremengan Sitakara
langsung memotong, “apa? Senjata dari lapis pertama dimensi mimpi? Saya punya
dua belati yang selalu saya bawa!”. Arya Kandaga mengambil 2 buah belati yang terselip
di sepatu larsnya kiri dan kanan. Dia
tunjukan kedua benda itu kepada Sitakara dan Ansuman. Tanpa menunggu lama, baik
Sitakara maupun Ansuman seperti dikomando langsung mengambil benda itu. Dan
tanpa sempat terlihat oleh mata kapan memulainya, kedua orang itu telah lenyap
dari pandangan mata Arya Kandaga. Cuma terdengar teriakan Sitakara kepada
Ansuman, “Robek bagian hati seperti di layar tadi, Suman!”. Dan, hal yang terjadi selanjutnya adalah lolongan
kesakitan sebanyak sepuluh kali. Kurang dari satu deik semenjak lolong
kesakitan terakhir, baik Sitakara maupun Ansuman telah kembali di hadapan Arya
Kandaga sambil menyerahkan belatinya yang telah berlumuran darah.
“Sudah!”
Kompak Sitakara dan Ansuman mengabarkan bahwa masalah sudah diselesaikan.
“Untuk memastikan bahwa situasi telah teratasi, coba
tanyakan ke Command Center, situasi di tempat-tempat yang sempat terjadi rusuh
tadi!” lanjut Sitakara.
“Baik, tunggu!” Arya Kandaga memencet beberapa tombil di
krahnya dan kemudian mulai bicara, “Sersan Sadjim, tolong informasikan situasi
terakhir dari beberapa tempat kerusuhan. Terutama dari monitor 471!”
“Baik, Pak! Tunggu!” terdengar suara dari seseorang di ujung
sana.
“Ok, Pak, monitor 471 menunjukan bahwa situasi telah berubah
menjadi tenang. Masayarakat terlihat bingung dengan kondisi mereka sendiri dan
situasi kota yang kacau karena banyaknya gedung yang hancur. Yang harus dicatat
adalah bahwa segala kerusakan yang terjadi meskipun faktanya dilakukan oleh
masyarakat, namun harus dipertimbangkan bahwa mereka melakukannya di luar
kesadaran mereka!” lanjut suara di ujung sana.
“Biar saja itu jadi kerjaannya DPR!” jawab Arya Kandaga.
Sitakara dan Ansuman tertawa mendengar percakapan mereka.
“Betul Kang Arya, biar itu jadi tugas DPR. Biar ada yang
dikerjain! Ha ha ha….!” teriak Ansuman.
Sitakara tertawa kecil dan kemudian mengingatkan tentang
pemimpin para makhluk persepsi yang kabur, “Kang Arya, coba check ke Wimana.
Minta mereka melakukan scanning terhadap kehadiran makhluk ini!”
Namun, belum sampai Arya Kandaga melakukan apa yang di
minta, tiba-tiba wahana kubus bercincin nampak di atas mereka. Arya Kandaga
melirik ke jamnya, dan katanya dalam hati, “Hmmmm luar biasa, sudah lebih dari
setengah jam ternyata!”
Wahana ini perlahan turun di sisi barat rooftop tempat
mereka bertiga berada. Setelah sampai pada ketinggian tertentu, pintu wahana
terbuka dan menjulurkan tangga sampai menyentuh lantai rooftop. Mereka bertiga
segera memasuki wahana.
Sesampainya di dalam wahana mereka segera menuju ke panel
portal wahana dan segera melakukan scanning pada frekuensi 12Hz namun tidak
memberikan hasil. Pemimpin makhluk persepsi itu benar-benar telah melarikan
diri.
Setelah meyakini bahwa pemimpin kerusuhan itu telah
melarikan diri, Sitakara mendekati Arya Kandaga. Sambil berlalu di sebelah Arya
Kandaga, Sitakara berbisik, “lain kali, bila terjadi salah kirim, barang bisa
hilang!”. Bisikan maut ini, kontan
membuat merah muka Arya Kandaga. Arya Kandaga langsung berteriak dengan keras,
“Sersan Lindri….!”, dan orang yang dipanggil terlihat berdiri dan menjawab,
“Siap Kolonel!”
“Kenapa kamu kirim kami ke tempat yang salah?”
“Siap Kolonel. Lokasi adalah benar plot portal 51P dan berada
pada radius putar microdrone 711. Portal
yang berada pada titik terluar dari virtual area pengamatan microdrone salah
satunya adalah portal 5lP dengan L huruf kecil!”
Sitakara tersenyum meledek saat mendengar penjelasan sersan Lindri. Ansuman tertawa terbahak-bahak mentertawai Arya Kandaga yang sudah salah membaca.

0 comments:
Posting Komentar