Senin, Oktober 16, 2023

{16} Rusuh


 

Jakarta versi lapis kedua dimensi mimpi juga adalah sebuah kota besar, namun dia bukanlah ibukota negara dan tidak pernah menjadi Ibukota Negara. Indonesia pada lapis kedua dimensi mimpi ini bukanlah bekas jajahan siapapun. Indonesia pada versi ini adalah sebuah federasi kesultanan dan kerajaan-kerajaan kecil yang bergabung membentuk perwakilannya sendiri. Ibukota negara adalah sebuah kota di selatan Jawa. Kota ini di dimensi utama hanya sebuah kota kecil yang mungkin tidak terdengar. Namun, keterikatan kota ini dengan wilayah-wilayah warisan geologis membuat kota kecil ini cukup diperhitungkan. Di lapis kedua dimensi mimpi, kota ini juga menampilkan representasi fisik dan geologis yang sama. Sebuah wilayah dengan warisan geologis yang sangat kaya. Dan ini menjadi paku bagi federasi Indonesia.

Hari ini, pada abad ke 21 ini, federasi Indonesia ini telah mencapai kemajuan yang sangat pesat.  Federasi Indonesia adalah salah satu tonggak kemajuan bangsa-bangsa dunia bersama dengan bangsa-bangsa Asia yang tak pernah dijajah bangsa manapun. Beberapa bangsa Eropa dalam lapis kedua dimensi mimpi adalah bangsa yang sangat tertinggal. Mereka adalah pemasok tenaga kasar karena postur mereka yang tinggi besar. Namun, meskipun mereka bekerja sebagai pekerja kasar, mereka bukanlah budak. Bangsa-bangsa Asia dan Afrika telah lama menanggalkan perbudakan, jauh sebelum perjumpaan mereka dengan bangsa-bangsa Eropa.

Kita kembali ke Jakarta. Jakarta sebagai pusat bisnis dan perkembangan teknologi, terlihat sangat moderen. Gedung-gedung jangkung yang tak lebih dari 20 lantai merupakan pemandangan yang menutupi luasan sekitar 65Km2. Namun, meskipun hampir seluruh wilayah tertutup beton, pemandangan hijau tetap dapat ditemukan di sana. Para pemimpin Jakarta sangat memahami bahwa mereka harus dapat meneruskan kebijakan pendahulunya terhadap tata kota yang mengedepankan keseimbangan alam. Dan, pada lapis kedua dimensi mimpi ini, manusia tidak pernah menemukan bahan bakar fosil. Mereka telah lebih dulu mampu memanipulasi grafitasi sebagai sumber tenaga yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Semua device di lapis kedua dimensi mimpi ini digerakkan oleh grafitasi dan turunan yang dihasilkan oleh suatu proses manipulasi energi. Manusia bergerak dengan menggunakan olah kanuragan dengan memanfaatkan secara langsung grafitasi secara alami, atau dengan menggunakan driver yang bergerak dengan cara meluncur dalam pilinan energi.

Hari ini, Sitakara dan Ansuman sedang rihlah di sebuah mal besar di bilangan Gambir. Mereka berdua sedang menjalankan misi untuk mengamati perkembangan Jakarta secara langsung. Arundhati tidak ikut karena sedang mengasah kemampuannya bersama Nyi Ajar Nismara di Gunung Kenikir.  Setelah agak lama duduk untuk beristirahat di sebuah kedai kopi di lantai 1 dekat dengan lobby utama. Ansuman membuka pembicaraan, “Yu Ara…!”.  Sitakara masih terdiam, asik dengan gajetnya, “Yu Ara!” sekali lagi Ansuman memanggil Sitakara. Kali ini usahanya mendapatkan hasil. Bahkan bonus.

“Ada apa? Kamu udah pesen? Kalau belum pesen biar aku aja yang pesen”, jawab Sitakara sambil kemudian berdiri.

“Belum, ya udah kalau Yu Ara mau mesen, aku titip Kopi rempah!” jawab Ansuman menyebutkan kopi yang dia pesan. Ya, lapis kedua dunia mimpi, dunia barat tidak pernah menjadi kiblat peradaban. Kedai kopi, tidak mencantumkan nama-nama yang asing dalam daftar menunya.

“Baiklah!” Sitakara berdiri dan berjalan ke arah meja pramusaji, “Bang, kopi rempah 2 ya! Kalau ada cemilan boleh juga. Di meja nomor 22, ya!” pesan Sitakara sambil mengambil papan nomor dan menunjukkan ke pramusaji.

“Baik, Non!” kata pramusaji sambil mengangguk dan tersenyum. Sitakara membalas senyuman pramusaji sambil berlalu kembali ke mejanya dan meletakkan papan nomornya. Sebuah kesalahan fatal ternyata bagi Sitakara untuk tersenyum. Sang Pramusaji yang kebetulan laki-laki malah berdiri mematung dengan mata melotot dan bibir tetap tersenyum.  Senyuman Sitakara memang sangat luar biasa. Seluruh aura kecantikannya seperti tersebar berhamburan dan sangat mempesona sang Pramusaji. Beberapa saat, Pramusaji ini masih berdiri sambil nyengir dan melotot dan kembali bergerak ketika temannya melemparkan serbet ke mukanya.

“Woi… ngapain lu?!” tanya temannya agak berteriak di kupingnya.

Si pramusaji kaget dan langsung memperbaiki posisi sambil mengambil serbet yang menutupi mukanya. Si pramusaji nyengir, kawannya juga nyengir sambil menangkap servet yang dilempar oleh si pramusaji. Si pramusaji menulist pesanan dari Sitakara dan kemudian dia sampaikan ke Kahwana (tidak ada islitah Barista, yang ada Kahwana untuk laki-laki dan Kahwanita untuk perempuan).

Sementara itu di meja nomor 22, Sitakara nampak bercanda tertawa-tawa dengan Ansuman.

“Betul kalau kamu bilang, mending Ayun tidak kita bawa ke mari, maka aku setuju banget. Kita akan kesulitan menjawab semua pertanyaannya…!” kata Sitakara agak keras sambil tersenyum lebar. Para lelaki yang ada di sekitar tempat duduk mereka serentak menengok ke arah Sitakara. Semua menunjukkan keterpanaannya mendengar suara Sitakara apalagi saat melihat ke arah gadis muda dengan kerudung dan jubah hijau lumut. Para perempuan yang menyertai para lelaki itu, semuanya langsung memasang muka masam. Namun, hal ini tidak dipedulikan oleh para lelaki yang sedang terpesona itu.

Entah apa yang sedang dibicarakan oleh Sitakara dan Ansuman sebelumnya, namun sepertinya Arundhati sedang menjadi object pembicaraan mereka.

“Iya meskipun terpecah-pecah dalam fragmen-fragmen tidak stabil yang mengikuti domain dari setiap pemimpi, dan sepertinya justeru karena itu situasi di lapis pertama itu sangat mirip dengan dimensi utama. Ayun sudah sangat terbiasa dengan lapis pertama maupun dimensi utama. Dan situasi di sini pasti akan sangat mengusik rasa ingin tahu dia!” lanjut Sitakara dengan tetap tersenyum sambil memamerkan geliginya yang rapi. Dia sama sekali tidak menyadari pandangan para lelaki yang ada di sekelilingnya. Sampai ketika salah seorang dari mereka dengan tekad baja dan keberanian yang luar biasa, tiba-tiba berdiri di depan Sitakara memperkenalkan diri.

“Selamat siang nona nan cantik jelita yang telah menggugah semua keterpanaan saya sehingga saya telah kehilangan rasa malu untuk berdiri di depan Nona yang sungguh menarik hati saya. Perkenalkan nama saya, Hesti Nandang Kartika. Kalau boleh tahu, siapakah sama Nona yang sungguh sangat mempesona ini?”

Sitakara cuma bisa melongo dan menarik tangannya untuk menutupi mulutnya sambil matanya bergerak-gerak ke arah Ansuman maupun laki-laki sawo matang berhidung pesek bermuka mengkilat minyak dan berambul kriting botak tengah. Tampilan dan suara orang ini sangat laki-laki, namun intonasi dan gerak tubuhnya memperlihatkan hal yang sebaliknya. Kemayu.

Seakan bom yang mengganggu keterpanaan mereka, tingkah lelaki kemayu itu membuat semua lelaki yang baru saja terhipnotis oleh kecantikan dan kelembutan suara Sitakara tiba-tiba tersadar dan mengelus mukanya seperti orang cuci muka. Beberapa ada yang tertawa lirih menyadari kekonyolannya, atau dengan santainya melanjutkan minum kopi. Namun, berbeda dengan mereka yang datang bersama pasangannya, pastinya bakal ada hal lain yang harus mereka hadapi setelah itu. Dan, dengan pelan namun jelas, semua laki-laki itu bilang,  “yah…….!”.  Mereka kesal sama lelaki kemayu yang merusak pemandangan ke arah Sitakara. 

Melihat semua ini, Ansuman cuma menjep dan dalam hati dia bilang, “baru Sitakara, coba kalian kalau lihat Ayun…!”

Lelaki kemayu yang barusan memperkenalkan diri kepada Sitakara masih berdiri di depan Sitakara. Dan, sebenarnya Sitakara enggan untuk melayani lelaki itu, namun Sitakara selalu takut untuk dikira sombong, “owh… nama yang bagus. Tapi kalau di kampung saya, nama sampeyan itu nama perempuan!” celetuk Sitakara mengomentari perkenalan lelaki itu. Mendapatkan respons dari Sitakara membuat lelaki kemayu itu menjadi tersanjung. Dan di luar dugaan, lelaki itu mengangkat kedua telapak tangannya menutup mulutnya dengan gaya menggigit jari.  Ansuman tertawa. Dan, dalam hati, Sitakara berujar “Ah, lelaki tulang lunak ternyata!”. Dan, Sitakara pun tertawa pelan yang bikin lelaki kemayu itu semakin menjadi. Namun, belum lagi lelaki kemayu tersebut melanjutkan aksinya, tiba-tiba di luar terdengar suara sirine meraung-raung. Suara kibasan baling-baling helikopter juga terdengar sangat kuat. Semua yang sedang santai di dalam kedai kopi tersebut menoleh ke luar ke arah datangnya suara tadi. Dan, belum hilang keterkejutan mereka, terlihat beberapa lelaki tegap berkostum militer dan bersenjata lengkap dengan setengah berlari memasuki lobby utama.  Beberapa di antara mereka berlari ke tangga eskalator untuk menuju lantai dua dan tiga, sementara sisanya ada yang berdiri di tengah lobby sambil berteriak menggunakan megaphone, setengah berlari menuju ke booth dan tempat penjualan sambil mengajak para pedagang dan pengunjung untuk segera keluar dari mall.

“Diberitahukan kepada seluruh pengguna, proses evakuasi ini bukan latihan. Kami  mengharap kerjasama dari anda semua untuk segera keluar dan mengikuti arahan petugas. Kami sampaikan sekali lagi, ini bukan latihan!” Diulang-ulang petugas dengan megaphone, memberitahukan kepada seluruh pengguna yang masih ada di dalam gedung untuk keluar dan selanjutnya mengikuti arahan petugas.

Tidak seperti Indonesia pada dimensi utama yang akan selalu panik bila terjadi hal seperti ini dimana ada petugas dengan senjata lengkap, raungan sirine dan lain-lain, penduduk pada lapis kedua dimensi mimpi ini keluar dengan teratur dan tanpa memperlihatkan ketakutan/kecemasan yang berlebihan.  Tidak terkecuali Sitkara dan Ansuman yang gagal untuk menyeruput kopi rempah. Dengan patuh mereka berdua mengikuti arahan petugas. Semua diarahkan untuk menuju alun-alun kota yang tak jauh dari mal.

Di luar telah berderet bis yang akan mengangkut. Dan, banyak sekali orang yang dikumpulkan di tengah alun-alun. Satu-per-satu mereka menaiki bis-bis tersebut. Dan ketika kapasitasnya telah penuh, bis tersebut menutup pintunya dan segera mengambang secara vertikal dilanjutkan melesat ke arah selatan timur.

Sitakara dan Ansuman tidak langsung memasuki bis. Mereka malah mendekati salah seorang perwira yang tengah berdiri membelakangi mereka, mengamati proses evakuasi ini.  Mereka berdua sangat kenal dengan perwira muda ini. Arya Kandaga. Meskipun tengah menggunakan seragam militer lengkap dengna baretnya, baik Sitakara maupun Ansuman sangat mengenali perwira muda itu. Secara urutan senioritas, Arya Kandaga adalah kakak seperguruan mereka. Namun, secara penguasaan ilmu, Arya Kandaga masih berada di bawah mereka berdua. Oleh karena itulah, kemudian ia lebih suka untuk membaktikan dirinya kepada negara dengan bergabung dengan militer, daripada harus terus menuntut ilmu di padepokan.

“Kakang Arya….!” Seru Sitakara memanggil Arya Kandaga

 Arya Kandaga terlihat sedikit terhenyak. Dari arah belakangnya terdengar suara yang sangat dia kenal. Ya, Arya Kandaga sudah pasti sangat kenal suara Sitakara. Ada hati yang tertahan dalam hubungannya dengan Sitakara yang membuatnya tenggelam dalam rindu dendam tak berkesudahan. Bertemu dengan Sitakara adalah kebahagiaan sekaligus penyiksaan baginya. Kebahagiaan itu muncul karena dia dapat menikmati kecantikan dan keceriaan Sitakara. Dan penyiksaan itu muncul karena kecantikan dan keceriaan Sitakara tak pernah mau memahami hatinya. Hati Arya Kandaga. Namun, kali ini, sepertinya Arya Kandaga harus menepis semua rindu dendamnya kepada Sitakara. Dia sangat paham akan kemampuan Sitakara, dan oleh karena itu Arya Kandaga sangat senang mendengar suara itu. Sitakara pasti dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah ini. Arya Kandaga membalik badannya ke balakang dan,

“Sitakara…!” teriak Arya Kandaga pelan. Sebenarnya, jantung Arya Kandaga langsung berdetak kencang.  Perempuan cantik yang sangat dia kenal, saat ini berdiri tepat emat langkah dari dia. Dan, apalagi, saat dia lihat Ansuman bersama Sitakara. Meskipun dia tahu, Ansuman yang masih lebih muda dari Sitakara tidak mungkin menjalin kasih dengan Sitakara, namun bagaimanapun Ansuman adalah laki-laki yang secara tampilan fisik lebih baik dari dirinya. “Dan, kamu…, Ansuman?”

Ansuman tersenyum kecut sambil mengangguk.

Sitakara melangkah mendekati Arya Kandaga dan bertanya, “ini ada apa Kakang Arya Kandaga? Kenapa semua orang diungsikan?”

Dengan tanpa merubah mimik mukanya, Arya Kandaga segera mengajak mereka berdua ke suatu tempat.

“Ayo ikuti saya!” tanpa menunggu jawaban Sitakara maupun Ansuman, Arya Kandaga melangkah ke salah satu bis yang tampaknya idak ada yang mengantri untuk diantarkan. Bis ini sangat berbeda bila dibanding yang lainnya. Ukurannya lebih besar sementara disainnya dalah disain pertahanan yang lebih cenderung estetis secara militer.  Saya sendiri lebih sepakat bahwa ini adalah sebuah pesawat luar angkasa. Pintu pesawat ini ada di tengah lambung pesawat dengan tangga otomatis. Di kiri kanan pintu berdiri empat orang pengawal bersenjata lengkap, dua di kanan dan dua di kiri. Mereka berdiri dalam sikap istirahat dan seketika berubah menjadi sikap siap ketika kaki Arya Kandaga menginjak anak tangga pertama menaiki pesawat.  Sitakara dan Ansuman mengikuti Arya Kandaga memasuki pesawat.  Setiba di dalam pesawat, mereka dibuat kagum dengan sebuah ruangan yang penuh dengan orang yang sibuk dengan layar monitor tempat masing. Ada sekitar tujuh orang yang tengah mengamati layar. Ini adalah sebuah command center yang kompak dan terhubung dengan perangkat pertahanan yang tersebar pada titik-titik strategis di area Jakarta. Di salah satu dinding command center ini tertempel sebuah layar raksasa yang tengah menampilkan peta Jakarta dan beberapa titik merah serta titik-titik hijau yang saling terhubung Itu adalah posisi perangkat pengamanan yang dapat dikontrol oleh pesawat ini.

“Sersan Sadjim, coba kamu tunjukkan monitor 47!”  terdengar suara Arya Kandaga memerintah

“Siap, Kolonel!” jawab seorang dengan posisi duduk paling dekat dengan layar. Orang yang dipanggil Sadjim tadi segera disibukkan dengan layar sentuh yang ada di depannya. Tak berapa lama kemudian, layar besar yang bergantung di dinding telah menampilkan suatu wilayah dengan caption “Menteng”.  Sitakara dan Ansuman yang telah terhubung langsung ke dimensi utama hanya tersenyum.  Menteng di lapis kedua dunia mimpi ini cuma sebuah wilayan yang sangat kumuh. Jakarta di lapis kedua dunia mimpi memang bukan ibukota, namun sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, dia tetaplah magnet yang kuat bagi para pengadu nasib. Menteng adalah tempat bagi mereka yang kalah. Dalam layar tersebut, terlihat penduduk berlarian tidak menentu. Ada yang lari ketakutan seolah melihat sesuatu, sementara yang lain ada yang melempari sesuatu kepada object yang tidak tergambar. Beberapa yang lain ada yang terlibat perkelahian bahkan dengan menggunakan senjata.  Beberapa bahkan ada yang mati. Sementara, kebakaran terliat terjadi di mana-mana di area tersebut. Ini adalah sebuah chaos yang paling berantakan yang pernah ada. Tidak nampak kehadiran aparat keamanan baik polisi maupun tentara. Menurut Kapten Kodra, kehadiran aparat bersenjata justeru membahayakan pendidik sipil tak bersenjata. Karena, aparat sama sekali tidak kebal terhadap serangan persepsi. Dan, masih menurut kapten Kodra, banyak tentara terlihat menembaki ruang kosong ke atas seakan mereka melihat monster. Bahkan ada yang menembaki warga. Dar sini, kemudian diputuskan untuk tidak mengirimkan bantuan aparat bersenjata.  Namun, dari semua kejadian itu, tidak ada satupun yang mampu mencari biang dari semua ini.

“Sitakara, kamu lihat sendiri, bahkan di tempat kejadianpun kita tidak tahu siapa biang kerok yang membuat kerusuhan!”, ujar Arya Kandaga nampak pasrah.

Sitakara terdiam. Dia berfikir keras. Namun, kemudian, dia teringat kejadian di dekat rumah Arundhati di dimensi utama. Saat itu memang dia terlambat datang. Semua telah diselesaikan oleh Arundhati sendirian. Namun dari kisah yang diceritakan oleh Arundhati, pelakunya adalah makhluk persepsi yang berasal dari lapis pertama dunia mimpi. Dan, bukan itu saja, pada kesempatan sebelumnya, bersama Arundhati, dia juga pernah menghajar makhluk yang sama di dukuh Kedungwang di dekat Padepokan.  Jadi kasus ini sama sekali tidak asing bagi Sitakara. Ansuman pun, meskipun belum pernah berhadapan langsung dengan makhluk tersebut, namun dari cerita Arundhati, dia punya analisa yang sama dengan Sitakara. Ini pasti kerjaan makhluk persepsi. Dan, meskipun Ansuman belum pernah melihat makhluk tersebut, namun dia telah mampu mengukur kemampuan makhluk itu.

“Sitakara, Kakang ini memang kakak seperguruan kamu, namun terus terang untuk kasus ini Kakang tidak punya gambaran sama sekali. Apa sebenarnya yang telah terjadi!” keluh Arya Kandaga kepada Sitakara.

“Jangan kuatir, Kakang! Karena kami ada di sini, tidak mungkin kami akan membiarkan Kakang berjuang sendiri. Bukan begitu, Ansuman?” tegas Sitakara menenangkan Arya Kandaga sambil bertanya pada Ansuman.

“Betul Yu Ara!” jawab Ansuman menegaskan. “Jangan kuatir Kakang Arya Kandaga. Adhikmu yang ngganteng ini pasti akan membantu Kakang. Apalagi ada Yu Ara, yang pernah bertempur langsung dengan Dhemit Bacira!”

Ansuman yang tahu bahwa Arya Kandaga ada hati sama Sitakara sengaja meledek Arya Kandaga dengan bilang “Adhikmu yang ngganteng!”. Dan tidak sampai di situ, Ansuman sengaja mendekati Arya Kandaga dan berbisik, “jangan kuatir, saya juga akan menjaga Yu Ara. Tak akan saya biarkan siapapun melukainya!”

Arya Kandaga menoleh ke arah Ansuman yang telah berdiri di sampingnya sambil tersenyum kecut. Dia marah, tapi dia tahu bahwa adik seperguruannya ini cuma meledek dia. Sitakara yang memperhatikan tingkah kedua pemuda itu tertawa, “Sudah, Kang Arya… maafin Ansuman ya!”

Sejenak ketiga orang seperguruan itu terdiam. Sitakara tampak berfikir keras untuk mencari lokasi sebenarnya dari para makhluk persepsi tersebut. Dalam kondisi ini, seringkali dia harus merutuk, kenapa dia tidak memiliki kemampuan seperti Arundhati yang bahkan versi dimensi mimpinya pun baru kemarin dia tuntun memasuki lapis kedua dimensi mimpi ini. Tapi mungkin karena versi Arundhati dimensi mimpi tumbuh di lapis pertama, maka semua yang luar biasa bisa dia kuasai. Salah satunya adalah mengembangkan kesadarannya sampai radius beberapa kilometer untuk mendeteksi kehadiran sesuatu yang pantas dicurigai. Saat ini dia membutuhkan kemampuan seperti itu. Namun, Sitakara sadar apa yang tengah dilakukan oleh Arundhati bersama gurunya Nyi Ajar Nismara jauh lebih penting. Di sini sekarang sudah ada dia dan Ansuman serta alumnus Alang-alang Segara Wedi, Arya Kandaga.

“Kang Arya, boleh minta bantuan kendaraan pengangkut personel yang dilengkapi radar dengan rentang frekuensi variable 5 Hz sampai dengan 300 Hz,  dan beberapa personel Kakang untuk mengantar kami ke lokasi?”

Suara Sitakara memecah keheningan di antara mereka bertiga. Sitakara mengajukan beberapa permintaan kepada Arya Kandaga.

“Baik, Mungkin Wimana 210 dapat kita keluarkan Kapten Sahu!” jawab Arya Kandaga sambil memerintah kepada salah satu anak buahnya.

“Siap Kolonel, saya dan anak buah saya siap untuk melaksanakan tugas. Namun, mohon dipertimbangkan lagi tentang penggunaan Wimana 210. Bukankah itu hanya boleh digunakan untuk situasi kritis yang memaksa?”

Orang yang dipanggil sebagai Kapten Sahu menjawab sambil meminta Arya Kandaga untuk mempertimbangkan.kembali keputusannya. Arya Kandaga menatap tajam ke arah Kapten Sahu, “Apakah Kapten Sahu berfikir ini bukan situasi kritis yang memaksa? Dan, kamu tahu kenapa saya yang ditugaskan untuk menangani hal ini?”

“Siap Kolonel, Team Cakra siap menerbangkan Wimana 210!”

Kapten Sahu segera mundur dan keluar mengambil kendaraan personel yang mirip sepeda motor sambil berkomunikasi dengan anak buahnya. Team Cakra.  Tak sampai berapa lama, dari arah perginya Kapten Sahu muncul sebuah wahana yang berbentuk kubus dengan cincin horizontal. Wahana ini mendarat di samping pesawat Arya Kandaga. Salah satu pengawal yang berdiri di pintu mengangkat tangan kanannya ke dekat mulutnya dan nampak berbicara dengan seseorang. Tak lama setelah si pengawal mengambil posisi sempurna, Arya Kandaga besera Sitakara dan Ansuman nampak melangkah keluar.

Setelah Arya Kandaga, Sitakara, dan Ansuman berada di depan wahana kubus ini, salah satu bagian dinding kubus nampak bergeser dan membuka membentuk sebuah lubang pintu. Dari lubang pintu itu menjulur susunan anak tangga sampai menyentuh tanah.  Segera Arya Kandaga, Sitakara, dan Ansuman melangkah menaiki anak tangga tersebut dan memasuki wahana. Setelah ketiganya memasuki wahana, anak tangga segera terlipat dan pintu tertutup. Perlahan namun pasti, wahana kubus itu mulai mengambang lagi dan semakin tinggi melewati gedung-gedung tinggi di sekeliling.

Di dalam wahana suasana gelap segelap gedung bioskop. Di arah depan arah masuk nampak visualisasi hamparan yang sangat luas. Sementara pada area sebelum hamparan tersebut, berderet komputer kontrol dengan yang dikendalikan oleh tentara anak buah Kapten Sahu. Ada sekitar 20 tentara laki-laki dan perempuan yang dikerahkan untuk mengoperasikan komputer kontrol. Kapten Sahu, Arya Kandaga, Sitakara, dan Ansuman berjalan di isle diantara kedua barisan perangkat pengonrol. Sesampainya di baris paling depan, kelima orang tersebut berhenti. Arya Kandaga membuka pembicaraan, “Sitakara, Ansuman, Wimana 210 adalah sebuah pesawat sekaligus portal yang menghubungkan banyak titik di muka bumi. Hamparan di depan kita adalah proyeksi salah satu perangkat pemantau yang terhubung ke Wimana. Saat ini, kita ada batas portal penghubung antara wimana dan lokasi terpantau.  Kemudian, cincin yang berputar mengelilingi Wimana ini adalah pemancar gelombang variabe dengan frekuensi antara 5 Hz sampai dengan 300Ghz.  Sebuah rentang yang panjang, namun jangan kuatirkan hasilnya. Wimana ini dibantu oleh ratusan microdrone yang akan memperkuat pancaran gelombang untuk meningkatkan akurasi. Satu hal lagi, microdrone ini juga dapat digunakan untuk melakukan teleportasi dengan lebar pita yang sangat besar sehingga dapat mengirimkan dan merkonstruksi material padat sebesar duapuluh buah kelapa dalam satu kejapan mata. Dalam situasi terdesak, microdrone ini dapat digunakan untuk melakukan penyerangan jarak jauh”

Sitakara mendengarkan dengan seksama penjelasan Arya Kandaga. Sebenarnya dia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Arya Kandaga. Namun karena takut mengecewakan Arya Kandaga yang telah menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi, Sitakara manggut-manggut seolah mengerti.  Dan sesaat setelah Arya kandaga selesai menjelaskan, Sitakara mengajukan satu permintaan, “Coba, sebarkan seluruh drone pada semua titik pada radius 30 kilometer secara merata. Kemudian coba scan keberadaan sesuatu benda dengan menggunakan frekuensi 12Hz. Hasilnya tolong tampilkan pada layar di depan kita. Ng… Kang Arya, panggung di depan kita dapat dipergunakan sebagai monitor bukan?”

Arya Kandaga mengangguk, dan memerintahkan anak buahnya untuk melakukan semua yang diminta oleh Sitakara. Dan, kemudian hamparan di depan mereka berubah menjadi sebuah layar hologram horizontal dengan peta pada radius 30 km membentang di dasar hologram. Titik-titik merah yang terbang di atas peta adalah representasi microdrone sementara beberapa titik biru yang menempel pada peta adalah lokasi portal penghubung yang dapat digunakan untuk melakukan teleportasi.

Setelah seluruh microdrone membentuk formasi sempurna untuk menutup area dengan radius 30 kilometer, nampak semua semua microdrone mulai berkelip-kelip sampai ketika beberapa microdrone tidak lagi berkelip-kelip, sisanya yang tidak bekelip-kelip kemudian mati. Microdrone yang tidak lagi berkelip-kelip itu berarti telah menemukan suatu object melalui pantulan frekuensi 12Hz. Ini membuat Arya Kandaga kaget. Alat dia yang punya, teknologi dia yang punya, kenapa justeru Sitakara yang mampu memanfaatkan? Sungguh tidak salah Nyi Ajar Nismara dan Ki Ageng Turangga Seto mengambil Sitakara sebagai salah satu murid utamanya. Meskipun kaget Arya Kandaga terlihat senang. Arya Kandaga segera memberikan perintah untuk bergerak, “Sersan Kodra, arahkan wahana ini ke microdrone 711!”

“Tunggu dulu!” potong Sitakara mencegah.

“Ok, Sersan Kodra, tahan sebentar!” Arya Kandaga mengkoreksi perintahnya, “Ada apa Sitakara?” lanjut Arya Kandaga menanyakan maksud Sitakara.

“Sepertinya kurang menguntungkan bila kita langsung ke sasaran. Dia akan segera menyingkir dan menjalankan modus bersembunyi yang berbeda”. Sitakara menjelaskan, namun sepertinya Arya Kandaga masih belum jelas sehingga harus bertanya lagi, “Jadi, bagaimana baiknya?”.  Dengan sabar Sitakara kembali menjelaskan, “Kita ambil titik terluar microdrone yang mampu mendeteksi keberadaannya. Perhitungan saya, dia juga melakukan scanning terhadap lingkungannya. Bila kita asumsikan bahwa kemampuan scanningnya mirip dengan kemampuan scanning Wimana, maka dia mungkin tidak akan menyadari kehadiran kita di situ. Kita gambling di sini, namun sepertinya itu yang terbaik yang dapat kita lakukan”

Arya Kandaga mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hmm… baiklah kalau begitu. Sitakara, perhatikan, kita punya portal penghubung terdekat dengan lokasi. Dari penjelasan kamu, saya lebih suka untuk kita tidak menggunakan wahana ini. Kita, saya, kamu Sitakara, dan Ansuman, maju terlebih dahulu, dan kemudian wahana ini menyusul”

Sitakara terdiam sejenak mempertimbangkan usul Arya kandaga. Dan akhirnya, “Baiklah, siap Ansuman!?” Mendengar jawaban Sitakara, Arya Kandaga langsung memerintah personelnya, “Ok, Kapten Sahu, Sersan Kodra, setelah 30 menit, arahkan wahana ini ke microdrone 711! Dan untuk sekarang, Sersan Lindri, buka portal ke 51P!”

“Siap, Kolonel!” sahut Kapten Sahu.

Arya Kandaga, Sitakara, dan Ansuman berdiri menghadap ke arah layar yang secara perlahan berubah menjadi sebuah hamparan dan berubah menjadi pemandangan roof top sebuah bangunan jangkung. Dari pengeras suara terdengar suara lembut perempuan dengan nada dan intonasi khas mesin pembaca, “Perhatian para springer, sesuai dengan peraturan kementrian pertahanan nomor 12 tahun 2011 tentang perjalanan telportasi yang menyertakan pelaku perjalanan sipil, kami wajib memberitahukan kepada para pelaku perjalanan yang kemudian kami sebut sebagai springer. Para springer, perjalanan ini hanya berjarak 21 km dari titik awal. Namun, risiko perjalanan ini sama dengan perjalanan ratusan tahun cahaya. Hal ini kami sampaikan sebagai disclaimer karena kemungkinan keberhasilannya adalah 99,99% dalam arti masih ada kemungkinan kegagalan teleportasi. Untuk itu, kami persilakan untuk mundur bila tidak yakin dengan perjalanan ini. Dan, apabila lampu garis di batas portal menyala maka seluruh springer diharuskan untuk segera melangkah. Waktu tersedia hanya 10 detik. Diperbolehkan untuk kurang dari itu, namun tidak diperbolehkan lebih dari itu!”

Perempuan yang mengontrol pengoperasian portal nampak sibuk pencet sana-sini dan menarikan jarinya pada layar sentuh di depannya. Setelah suara robot selesai, perempuan operator yang terbaca bernama Lindri dari papan namanya, dan berpangkat sersan itu memberikan petunjuk tambahan, “Portal telah terbuka, dan pada hitungan satu, silakan para springer untuk melangkahkan kaki melewati batas portal yang akan menyala biru. Empat…. Tiga…..”

Meskipun sering melakukan perjalanan lapis dimensi, namun protokoler perjalanan telepoprtasi yang cuma 21km ini benar-benar membuat jantung Sitakara berdebar.  Begitu juga Ansuman. Mereka berdua nampak sangat serius mendengarkan Sersan Lindri. Berbeda dengan mereka berdua, Arya Kandaga juga berdebar. Namun bukan karena perjalanan ini.  Sitakara telah membuat jantungnya berdebar-debar terus.

“Dua… satu.. silakan melangkah!” Sersan Lindri menyelesaikan petunjuk perjalannyan tepat ketika batas portal menyala biru.

Arya Kandaga, Sitakara, dan Ansuman segera melangkah menyeberangi batas portal. Angin kencang khas rooftop bangunan tinggi langsung menampar muka mereka. Jubah yang dikenakan Sitakara berkibar-kibar tertiup angin namun tak sampai menyingkap auratnya. Beberapa langkah di atas rooftop, tiba-tiba langkah Sitakara terhenti.

“Ada apa Yu Ara?” tanya Ansuman.

“Tunggu dulu, aku sedang memastikan…!”

Ansuman dan Arya Kandaga saling berpandangan.

“Suman, kamu tunggu di sini, saya akan melakukan penutupan area. Mereka ada di sini! Setelah kubah penutupan terbentuk, segera habisi mereka!”, Sitakara memberikan perintah kepada Ansuman sambil berbisik. Ansuman menjawab sambil berbisik pula, “Baik, Yu Ara!”

Sitakara langsung melesat tegak lurus sekitar seribu meter di atas permukaan tanah. Kedua tangannya terbuka kesamping seperti menyangking keranjang. Seperti murid perempuan Nyi Ajar Nismara lainnya, wardrobenya akan berubah menjadi jubah dan kerudung putih gading. Namun jangan berharap bisa melihat sesuatu dari bawah. Mereka sangat tahu cara melindungi kehormatannya.

Arya Kandaga penasaran dengan apa yang dikatakan Sitakara. Sambil berbisik, Arya Kandaga menanyakan kepada Ansuman, “Ada apa?”.  Sambil menaruh telunjuknya di ujung bibirnya, Ansuman menjawab, “mereka ada di sini!”.  Arya Kandaga kaget, dan segera mengambil sikap siaga. Ia cabut pedangnya, namun dicegah oleh Ansuman sambil berbisik dengan muka cemas, “jangan berisik… mereka bahkan bisa mendengar kentut berbisik kalian yang bau!”

Arya Kandaga tidak jadi menghunus pedangnya. Suara logam beradu saat menarik pedangnya, memang cukup keras dibanding bisik-bisik, namun memang lebih keras dari kentut berbisik. Tapi, ah ini anak, kenapa make istilah kentut berbisik pula??! Arya Kandaga marah, namun ya…. Bagaimana…. Dia cuma bisa menuruti maunya Ansuman.

Sementara itu di atas, Sitakara nampak semakin kepayahan. Sesekali nampak dia menarik kedua tangannya dan menghentakkan kembali ke bawah. Tidak ada suara sama sekali.

Setelah beberapa lama berusaha, terlihat Sitakara nampak santai di atas. Sitakara segera turun ke depan kedua lelaki itu dan menjelaskan hasil pekerjaannya, “Suman, Kang Arya, seperti yang aku duga, mereka adalah makhluk persepsi. Ada 10 ekor, 11 dengan pemimpinnya. Namun sayang, saya tidak mampu mendeteksi keberadaan pemimpinnya lagi. Sepertinya dia kabur. Kesepuluh ekor makhluk persepsi ini ada di radius 200 meter dari gedung ini.  Satu ekor ada di lantai 11 gedung ini. Dia dengan pemimpinnya seharusnya yang meresonansi dan mengamplikfikasi persepsi yang dipancarkan dari makhluk-makhluk sejenis yang berkeliaran di radius 200 meter gedung ini.  Namun, jangan kuatir. Saat ini mereka telah lumpuh dan tidak lagi mampu melakukan broadcasting persepsi liar yang merusak.  Lantai atap ini juga telah saya lapisi dengan reflektor yang akan membuat kacau mereka saat mencari kita.”

“Terus, bagaimana membunuh mereka Yu Ara. Aku belum pernah. Yu Ara meskipun sudah pernah bertarung dengan Dhemit Bacira, namun kan tidak membunuhnya. Bahkan Ayun pun akhirnya bukan membunuh, namun membuang ke suatu dimensi yang sangat random?” tanya Ansuman kepada Sitakara. Mereka memang belum pernah membunuh makhluk persepsi.

Sitakara berfikir keras mencari jawaban pertanyaan Ansuman. Setelah beberapa lama bolak-balik macam strikaan, Sitakara bertanya kepada Arya Kandaga, “Kang Arya apakah bisa menarik microdrone ke dalam area sini?”

“Saya bisa kendalikan mereka dari sini!”

Arya Kandaga kemudian duduk bersila dan mengeluarkan gadget seukuran telepon genggam yang kemudian dia letakkan di hadapannya. Setelah menekan beberap tombol, nampak sebuah hologram mirip panel kontrol dengan satu layar di tengahnya yang sangat tajam meskipun hari itu masih terhitung siang. Entah baterai apa yang digunakan untuk mensuplai perangkat tersebut.  Arya Kandaga kemudian menekan beberapa tombol, dan muncullah wajah Kapten Sahu.

“Kapten Sahu, saya mengambil alih kendali microdrone dari Anda!” tegas komando dari Arya Kandaga.

“Siap Kolonel!” jawab Kapten Sahu tak kalah tegasnya. Maklum, sama perwira tinggi.

Tidak menunggu berapa lama, sambil mengoperasikan perangkat virtual yang tampil sebagai hologram tersebut Arya Kandaga memanggil Sitakara.

“Sitakara, apa selanjutnya?”

“Gunakan beberapa microdrone Kang Arya sebagai senjata, sementara yang lain gunakan sebagai kamera monitor!”.  Sitakara mengarahkan Arya Kandaga untuk menggunakan microdrone sebagai senjata.

“Baik!”. Arya Kandaga menuruti arahan Sitakara. Dia kemudian menekan beberapa tombol virtual serta menuliskan beberapa angka, dan di atas hologram tadi muncul 2 hologram layar monitor dengan menampilkan nomor di atasnya.

“Kita coba menggunakan dua microdrone dulu untuk kita cobakan pada satu target. Satu kita gunakan sebagai senjata penyerang, satunya lagi kita gunakan sebagai kamera untuk melihat hasil dari serangan!”.  Arya Kandaga menjelaskan rencana serangannya.  Sitakara mengangguk.

Di kedua layar monitor saat ini nampak suasana dalam suatu ruangan perkantor yang sudah kosong. Kedua layar menggambarkan pergerakan yang sama sampai kemudian terlihat satu sosok seperti gorila namun dengan ekor kadal. Sosok ini tidak berbulu seperti halnya gorila, namun bersisik seperti reptil.  Saat Ansuman dan Arya Kandaga tercengang melihat perwujudan makhluk itu, Sitakara justeru malah tersenyum. “Hmm… betul-betul persis seperti yang aku duga!”

Makhluk jadi-jadian itu tidak menyadari adanya serangan sehingga dengan leluasa microdrone pertama dapat memasuki jaringan tubuh makhluk itu. Layar pada jaringan pertama berubah. Layar terbagi menjadi beberapa bagian yang menunjukkan proses penyerangan. Pada label yang kelap-kelip tertera status “PENYUSUPAN”. Pada beberapa petak terlihat grafik seperti hentakan jantung. Sementara petak lainnya menunjukkan parameter-parameter biologis yang digunakan untuk memantau efektifitas serangan. Pada bagian layar terbesar tampil gambar pola bentuk fisik dari tubuh makhluk itu, dan satu titik yang bergerak sangat perlahan dan nyaris seperti berhenti di dalam ruang pola tubuh makhluk tersebut. Di layar kedua, nampak makhluk tersebut sedang lari dengan mata seperti mencari-cari sesuatu. Sepertinya dia tidak menyadari aktifitas serangan yang sedang dilakukan oleh Arya Kandaga.

Sitakara terus mengamati perangkat hologram yang tengah dioperasikan oleh Arya Kandaga.  Saat ini pada layar pertama, organ dalam dari makhluk tersebut mulai terlihat. Ada satu gambar di sebelah kiri bawah dekat dengan pembuangan, nampak sebuah organ yang berdetak khas detakan jantung. Sitakara bergumam, “ternyata di situ to letak jantungnya!”

“Sepertinya begitu, Sitakara! Saya akan coba untuk menyerang bagian tersebut!”,  sahut Arya Kandaga sambl mengetik tiga angka. Sepertinya koordinat ruang dari jantung tersebut. Dan, bersamaan dengan Arya Kandaga menekan satu tombol, dari titik microdrone sampai dengan jantung terbentuk sebuah garis lurus. Pada layar monitor kedua nampak makhluk tersebut seperti kaget dan memegang bagian dada sampai dengan pantatnya. Makhluk tersebut tampak menyeringai dan menengok ke kiri dan ke kanan.  Dia mulai sadar adanya serangan, namun masih belum menyadari sumber serangan tersebut.

Di rooftop, percis di atas lantai 11, Arya Kandaga masih mengoperasikan perangkat hologramnya. Kali ini dia menekan beberapa tombol di sebelah kiri secara berurutan.  Ada empat dari sebelas tombol yang dia aktifkan. Dari layar monitor, terlihat bagian jantung tersebut mulai nampak berubah warna, dan mulai membesar. Bagian layar yang menampilkan detak jantung nampak masih melaporkan kinerja jantung. Pada layar kedua, terlhat makhluk tersebut menyandar di dinding dengan memegang pantat dan pinggangnya. Dan, bersamaan dengan tangan Arya Kandaga menarik satu tuas di perangkat hologram tersebut, pada layar pertama nampak seluruh pola tubuh makhluk tersebut berubah menjadi hitam, sementara pada layar kedua nampak makhluk tersebut meledak.

“Duarr!!!” seru Ansuman dan Arya Kandaga pelan melihat hal tersebut. Namun tidak dengan Sitakara yang masih berdiri mengamati semua panel monitoring. Dan, tiba-tiba terdengar Sitakara bersuara pelan, “Dia belum mati!”.   Baik Arya Kandaga maupun Ansuman sama-sama kaget, “Apa?”

“Dia belum mati!”, jawab Sitakara mengulangi.  Dan benar saja, pada layar kedua pecahan tubuh yang meledak, nampak bergerak menuju satu tempat dan membentuk tubuh seperti saat sebelum meledak.  Ansuman dan Arya Kandaga tercengang. Sitakara tampak masih tenang. Dulu ketika bersama Arundhati melawan Dhemit Bacira, memang makhluk ini hampir tidak mungkin untuk di bunuh. Untung, saat itu Arundhati mampu membuat makhluk itu kepayahan sehingga melarikan diri. Namun sayang, karena dendam, Dhemit Bacira justeru mengejar Arundhati di Dimensi utama. Mungkin dia kira bila menghentikan Arundhati di dimensi utama, maka versi Arundhati pada dimensi lainnya pasti akan lumpuh. Namun sayang, Dhemit Bacira justeru menemui kematianya saat mencari Arundhati di dimensi utama.

Sementara itu di layar kedua, nampak makhluk tersebut telah berhasil sempurna merekonstruksi tubuhnya. Kemudian setelah memukul-mukul dadanya, nampak dia tengah berteriak-teriak. Melihat itu Sitakara langsung meminta Arya Kandaga untuk mengaktifkan mic, “coba aktifkan micnya!”. Mendengar permintaan Sitakara, Arya Kandga langsung menggeser satu tombol hologram ke atas.  Terdengar suara yang tidak terlalu keras, “Ha ha ha ha….. jangan kalian kira sudah menang, kami tidak akan terbunuh dengan senjata kalian. Kami tidak akan mundur sebelum kalian serahkan Ayun yang telah membunuh saudara dari tuan kami, Dhemit Bacira!”

Ansuman dan Arya Kandaga tertegun. Mereka telah menyaksikan sendiri, bahwa musuh mereka kali ini memang luar biasa.

Sitakara berdiri dan berjalan ke tepi atap gedung. Sambil berjalan pandangannya menyapu sekeliling. Sambil bersedekap dengan sesekali tangan kannya memegang dagunya, Sitakara nggremeng sambil berfikir, “Andai saja ada senjata yang berasal dari dimensi mimpi lapis pertama. Sepertinya itu dapat kita gunakan untuk membunuh mereka!”

Arya Kandaga yang sempat mendengar gremengan Sitakara langsung memotong, “apa? Senjata dari lapis pertama dimensi mimpi? Saya punya dua belati yang selalu saya bawa!”. Arya Kandaga mengambil 2 buah belati yang terselip di sepatu larsnya kiri dan kanan.  Dia tunjukan kedua benda itu kepada Sitakara dan Ansuman. Tanpa menunggu lama, baik Sitakara maupun Ansuman seperti dikomando langsung mengambil benda itu. Dan tanpa sempat terlihat oleh mata kapan memulainya, kedua orang itu telah lenyap dari pandangan mata Arya Kandaga. Cuma terdengar teriakan Sitakara kepada Ansuman, “Robek bagian hati seperti di layar tadi, Suman!”.  Dan, hal yang terjadi selanjutnya adalah lolongan kesakitan sebanyak sepuluh kali. Kurang dari satu deik semenjak lolong kesakitan terakhir, baik Sitakara maupun Ansuman telah kembali di hadapan Arya Kandaga sambil menyerahkan belatinya yang telah berlumuran darah.

“Sudah!”

Kompak Sitakara dan Ansuman mengabarkan bahwa masalah sudah diselesaikan.

“Untuk memastikan bahwa situasi telah teratasi, coba tanyakan ke Command Center, situasi di tempat-tempat yang sempat terjadi rusuh tadi!” lanjut Sitakara.

“Baik, tunggu!” Arya Kandaga memencet beberapa tombil di krahnya dan kemudian mulai bicara, “Sersan Sadjim, tolong informasikan situasi terakhir dari beberapa tempat kerusuhan. Terutama dari monitor 471!”

“Baik, Pak! Tunggu!” terdengar suara dari seseorang di ujung sana.

“Ok, Pak, monitor 471 menunjukan bahwa situasi telah berubah menjadi tenang. Masayarakat terlihat bingung dengan kondisi mereka sendiri dan situasi kota yang kacau karena banyaknya gedung yang hancur. Yang harus dicatat adalah bahwa segala kerusakan yang terjadi meskipun faktanya dilakukan oleh masyarakat, namun harus dipertimbangkan bahwa mereka melakukannya di luar kesadaran mereka!” lanjut suara di ujung sana.

“Biar saja itu jadi kerjaannya DPR!” jawab Arya Kandaga.

Sitakara dan Ansuman tertawa mendengar percakapan mereka.

“Betul Kang Arya, biar itu jadi tugas DPR. Biar ada yang dikerjain! Ha ha ha….!” teriak Ansuman.

Sitakara tertawa kecil dan kemudian mengingatkan tentang pemimpin para makhluk persepsi yang kabur, “Kang Arya, coba check ke Wimana. Minta mereka melakukan scanning terhadap kehadiran makhluk ini!”

Namun, belum sampai Arya Kandaga melakukan apa yang di minta, tiba-tiba wahana kubus bercincin nampak di atas mereka. Arya Kandaga melirik ke jamnya, dan katanya dalam hati, “Hmmmm luar biasa, sudah lebih dari setengah jam ternyata!”

Wahana ini perlahan turun di sisi barat rooftop tempat mereka bertiga berada. Setelah sampai pada ketinggian tertentu, pintu wahana terbuka dan menjulurkan tangga sampai menyentuh lantai rooftop. Mereka bertiga segera memasuki wahana.

Sesampainya di dalam wahana mereka segera menuju ke panel portal wahana dan segera melakukan scanning pada frekuensi 12Hz namun tidak memberikan hasil. Pemimpin makhluk persepsi itu benar-benar telah melarikan diri.

Setelah meyakini bahwa pemimpin kerusuhan itu telah melarikan diri, Sitakara mendekati Arya Kandaga. Sambil berlalu di sebelah Arya Kandaga, Sitakara berbisik, “lain kali, bila terjadi salah kirim, barang bisa hilang!”.  Bisikan maut ini, kontan membuat merah muka Arya Kandaga. Arya Kandaga langsung berteriak dengan keras, “Sersan Lindri….!”, dan orang yang dipanggil terlihat berdiri dan menjawab, “Siap Kolonel!”

“Kenapa kamu kirim kami ke tempat yang salah?”

“Siap Kolonel. Lokasi adalah benar plot portal 51P dan berada pada radius putar microdrone 711.  Portal yang berada pada titik terluar dari virtual area pengamatan microdrone salah satunya adalah portal 5lP dengan L huruf kecil!”

Sitakara tersenyum meledek saat mendengar penjelasan sersan Lindri. Ansuman tertawa terbahak-bahak mentertawai Arya Kandaga yang sudah salah membaca.

0 comments: