{14} Huru-Hara
Baidowi alias Kang Dowi sebenarnya adalah juragan angkutan pedesaan di kampung Arundhati. Namun, meskipun dia adalah seorang juragan angkutan dengan 10 armada angkutan pedesaan dan 4 taksi online yang beroperasi di kota, Baidowi tidak ragu-ragu buat narik sendiri angkotnya. Daripada nganggur di rumah, katanya. Baidowi ini sudah punya tiga isteri, namun dia masih plirak-plirik ke Arundhati. Dan itulah mengapa dia lebih suka narik angkutan pedesaannya saat yang katanya nganggur daripada narik taksi online. Anak sekolah tidak ada yang mau menggunakan taksi online. Dan, Arundhati adalah salah satu anak sekolah itu.
“Assalamu’alaikum!”, Arundhati mengucap salam saat memasuk
teras rumah. “Wa’alaikum salam!”, Bapak yang sedang asik ngobrol sama Baidowi membalas
salam Arundhati, diikuti oleh Baidowi.
Setelah salim dengan bapaknya, Arundhati langsung ngeloyor masuk ke
dalam rumah. Gerak kepala Baidowi
mengikuti pandangannya melihat Arundhati membuat Bapak tidak suka. Bapak
berdehem. Baidowi kaget. Baidowi kembali melanjutkan ngobrolnya dengan Bapak.
Di ruang makan terlihat Ibu sedang mempersiapkan meja makan
malam. Arundhati salim dan disambut Ibu sambil tersenyum, “Ih, bau kamu. Buru
mandi sana!”. Arundhati tersenyum lebar.
Buru-buru dia masuk kamar mengambil bebera setelan baju dan anduk. Ketika
melewati ibunya, sewktu menuju ke kamar mandi Arundhati bertanya setengah
berbisik, “Buk, itu Kang Dowi ngapain kemari?”. Ibu Arundati menjawab dengan
bertanya balik, “Emang kenapa, kalau dia main ke mari?”.
“Dia bilang, pengin ngobrol sama Bapak. Sudah lama dia nggak
main ke mari, katanya. Tapi sepertinya, dia nyari kamu Ayun. Buktinya, dia
pulang setelah melihat kamu datang!”
Bapak yang dengar pertanyaan Arundhati saat memasuki
ruangan, menjawab pertanyaan Arundhati sambil berjalan ke meja makan, mengambil
tempe goreng yang masih terlihat kering.
Arundhati melotot mendengar jawaban Bapak, “Idiih….! Mau,
bapak punya mantu macam Kang Dowi?”
Bapak tertawa mendengar ucapan Arundhati. Sambil menarik kursi buat duduk, Bapak
melanjutkan ucapannya, “ya… gak mau, sih! Jangankan isterinya udah tiga, belum
punya isteri aja bapak gak mau punya mantu kayak dia.”. Arundhati tersenyum senang mendengar jawaban
Bapak.
“Udah, sana mandi! Sebentar lagi Maghrib! Anak perawan kok
jam segini belum mandi”. Ibu mengingatkan
sambil menarik pundak Arundhati yang masih berdiri di samping meja. Arundhati segera berlari ke arah sumur di
belakang, dan tak lama kemudian terdengar byar-byur. Bapak dan Ibu saling berpandangan dan
tersenyum. Untuk urusan mandi, Arundhati
tidak pernah berubah dari kecil sampai remaja seperti sekarang ini. Selalu ramai.
Selesai mandi pas Adzan Maghrib. Seperti biasa Bapak pergi
ke Musholla depan. Ibu Shalat di Rumah bareng Arundhati.
Selesai melaksanakan Shalat, Arundhati langsung lari ke meja
makan dan, “Waw, ada goreng udang! Ini pasti Yu Lasiah tadi datang pasti ini!”. Meskipun sering alergi karena makan udang,
tapi Arundhati tidak pernah kapok untuk makan udang. Dan, udang selalu hadir
bila Yu Lasiah, tukang dagang ikan keliling, datang atau lewat. Tidak setiap
minggu Yu Lasiah datang. Bila ada udang saja dia datang, karena tahu pasti akan
dibeli oleh Ibu.
“Nggak, ini tadi ada temen bapak yang kerja di karantina.
Ini udang sampel yang bakal diekspor katanya”. Tiba-tiba terdengar suara Bapak dari belakang
Arundhati.
“Ih, Bapak deh…. Bikin kaget aja!” protes Arundhati karena
dikagetkan suarau Bapak. Bapak tersenyum, sambil duduk di kursi yang dia duduki
sebelum Arundhati mandi tadi.
“Enak itu, kualitas ekspor”
“Waw, pasti enak ini, Udang kualitas ekspor!” Arundhati
mengambil udangnya lebih banyak dari nasinya. Gatal-gatal urusan nanti. Bapak
tersenyum menyambgung pembicaraan, “udah gak usah kuatir, gak akan bikin
alergi. Itu semua udang masih teritung segar, karena proses pengolahan dan
penyimpanannya bagus.”
Mendengar penjelasan Bapak, Arundhati segera bangun lagi
mengambil beberapa ekor udang lagi. Bapak tertawa menyaksikan kelakuan
Arundhati. Arundhati cuma tersenyum-senyum senang. Tak lama kemudian Ihu datang
bergabung di meja makan. Keluarga kecil
itu menyantap makan malam mereka dengan penuh ceria.
Selesai makan malam bersama, seperti biasa keluarga kecil
ini tidak langsung bubar. Mereka bertiga
lanjutkan acara makan dengan saling bercerita dan menasehati. Malam ini
Arundhati mejadi ratu cerita. Tanpa rasa
bersalah, dengan sangat lancar Arundhati bercerita tentang Retna Nawangsih yang
masih terlihat sangat cantik mekipun sudah berumur. Tentang hidupnya yang cuma
berdua dengan anaknya, Sitakara, yang juga sangat cantik dan sudah kuliah
semester tiga.
Ibu mendengarkan cerita Arundhati dengan muka kusut,
sedangkan Bapak sepertinya ketakutan. Ibu memang sangat cemburu dengan kisah
masa lalu Bapak. Sementara Bapak terlalu takut menghadapi kemarahan Ibu.
Padahal, Bapak gak penah sekalipun untuk mulai menghubungi Retna Nawangsih. Hari
ini pasti ibu akan menuduh Bapak mengingat-ingat masa lalunya. Padahal, Bapak
pun gak tahu darimana Arundhati mendapatkan informasi tentang Retna Nawangsih.
Tengah Arundhati asik bercerita, tiba-tiba dari kejauhan
terdengar suara riuh orang ketakutan. Roman muka wajah Bapak tiba-tiba berubah.
Ibu pun demikian, hanya berbeda dengan Bapak yang berubah menjadi siaga
sedangkan Ibu nampak ketakutan. Arundhati yang telah mendapatkan penyelarasan
dengan dirinya yang ada di lapis kedua yang telah ditempa pelatihan selama tiga
tahun dibawah bimbingan langsung Nyi Ajar Nismara dan Ki Ageng Turangga Seto,
tampak lebih waspada.
“Bapak, Ibu, tunggu di sini!”, Arundhati meminta Bapak dan
Ibu untuk tetap duduk di ruang makan, sementara dirinya langsung lari ke luar.
Bapak cuma bisa mengangkat tangan kirinya seperti mau menggapai sesuatu sambil
mengucap, “Ayun, ja….”. Bapak hendak
mencegah Arundhati agar tidak keluar, namun keburu Arundhati menghilang dari
hadapannya, “…yah sudah!”
Di tengah halaman rumah, Arundhati berdiri dengan sikap
siaga penuh lengkap dengan berbalut jubah dan kerudung putih gading. Kesadaran
Arundhati yang telah mendapatkan pelatihan tiga tahun di lapis kedua dimensi
mimpinya dia siagakan. Radius kesadaran yang dia kerahkan saat ini telah mencapai
lebih dari sepuluh kilometer. Arundhati
dapat merasakan setiap gerakan yang terjadi di dalam radius sepuluh kilometer. Dengan kondisinya saat ini dia merasakan ada
gerakan masa yang brutal dari dari arah timur. Ada sekitar seratus limapuluh
orang bergerak dari arah timur menuju kampungnya. Entah darimana dan apa yang
mereka tuju, orang-orang itu bergerak dengan ganas merusak apapun yang mereka
lewati. Jerit ketakutan terdengar sangat kuat di telinga Arundhati. Untuk menghindari jatuh korban lebih banyak,
Arundhati segera melengkungkan waktunya membentuk kantung waktu dan segera
melesat ke lokasi di gerumbul sebelah timur kampungnya.
Benar saja, dari posisinya di atas terlihat banyak sekali orang-orang
dewasa yang tersebar secara acak dengan posisi sesuai gerak terakhir mereka. Tangan
kiri orang-orang itu nampak membawa obor atau senter, sementara tangan kanannya
membawa kelewang atau pentungan. Sementara itu di tempat lain terlihat beberapa
penduduk desa yang sepertinya tengah berlari dari pengejaran orang-orang itu.
Bahkan beberapa di antaranya sedang dalam posisi akan dibunuh. Arundhati turun dan mulai memeriksa para
penyerang. Mimik muka mereka terlihat nampak sangat marah, namun tatapan mata
mereka terlihat sangat kosong. Kehadiran kesadaran orang-orang ini hampir tidak
terasa sama sekali oleh Arundhati. Meskipun nampak beringas, orang-orang ini jelas
ada dalam pengendalian entah oleh apa atau siapa. Kesadaran orang-orang ini
sepertinya tengah terpasung oleh sebuah kesadaran yang sangat kuat. Arundhati
berfikir keras untuk mengetahui kira-kira apa yang telah terjadi pada
orang-orang ini.
Yang bikin Arundhati gak habis pikir adalah dalam kondisi
kritis seperti ini, terlihat ada beberapa orang penduduk dengan menggunakan
gadgetnya untuk merekam situasi disamping beberapa kru televisi. Hmm….,
sepertinya mereka datang lebih dulu daripada aparat. Dan, sepertinya pelaku di
balik semua ini memang membiarkan kru televisi maupun para pengambil gambar
amatir melakukan aktifitas perekaman. Sepertinya pelaku sangat sadar sedang
diliput dan ingin menyebarkan terror kepada seluruh penduduk.
Tengah Arundhati berfikir, kesadarannya yang masih dia
kerahkan pada kondisi siaga penuh merasakan kehadiran sebuah kesadaran yang
sangat asing dengan energi yang sangat kuat dari arah timur. Arundhati segera mengarahkan pandangannya ke
arah kehadiran kesadaran asing itu. Dari kejauhan nampak bayangan dengan bentuk
seperti primata yang sangat besar tengah berjalan terseok-seok. Ketika semakin
jelas penampakannya, terlihat bentuk seperti orang utan namun dengan sisik dan
ekor kadal.
“Dhemit Bacira!?” teriak Arundhati demi mengenali sosok
tersebut.
“Ha ha ha ha ha……!”, sosok yang diteriaki oleh Arundhati
tertawa sangat keras.
Arundhati segara paham situasi. Sosok yang dia hadapi saat
ini sebenarnya adalah makhluk penyerta dari lapis kedua dimensi mimpinya. Di
dimensinya, sosok ini terkenal sangat kuat. Sebenarnya dalam salah pertarungan
di Gumuk Sawangan di lapis kedua dimensi mimpinya. Dalam pertaraungan yang ditentukan oleh Ki
Ajar Adhgama itu, Arundhati telah mengalahkan sosok ini. Dari sini sebenarnya, Arundhati cukup percaya
diri. Namun saat ini, sosok itu ada di hadapannya lagi di dimensi utama. Apakah
mungkin ada yang mampu membuat terobosan balik dengan mengirim makhluk itu ke dimensi
utama. Atau jangan-jangan Bacira sendiri yang melakukan. Bila memang dia yang
melakukan, maka sungguh sangat berbaya sosok ini. Karena untuk menerobos balik untuk
penghuni aseli lapis kedua dimensi mimpi butuh suatu kemampuan yang sangat
tinggi. Dan, bila memang betul itu adalah Bacira aseli, maka pasti dia juga
yang mengendalikan orang-orang ini.
“Kamu bingung, Arundhati?” tanya Dhemit Bacira meledek
Arundhati, “kamu bingung karena aku bisa masuk ke dimensimua? Kamu bingung, aku
bisa masuk ke dalam lengkungan waktumu?”
“Hei, Dhemit Bacira! Apa tujuanmu masuk ke dimensiku?”
“Ha ha ha ha…. Arundhati! Rasa penasaranmu saat ini mungkin
sama dengan rasa penasaranku saat aku dapat kamu kalahkan. Masuk ke dimensi
manapun itu bukan masalah bagiku, karena aku adalah tunggal hanya ada di satu
dimensi. Tidak akan pernah ada Dhemit Bacira lain di dimensi lain apapun
ujudnya dan bagaimanapun keadaannya. Berada di dimensi manapun itu adalah kemampuan
Dhemit Bacira!”
Penjelasan dari Dhemit Bacira sebenarnya sangat melegakan
Arundhati. Apabila memang dia mempunya kemampuan spesial keluar masuk dimensi
dengan mudah, maka berarti kemampuan Dhemit Bacira mestinya tidak ada
peningkatan. “Terus, ngapain kamu tlanyakan masuk ke dimensi utama ini?”, tanya
Arundhati.
“Ha ha ha ha ha ha….!” Dhemit Bacira tertawa tergelak-gelak. “Hanya penasaran, kenapa
seorang anak manusia kecil seperti kamu ini mampu mengalakhkan aku!”
“Baiklah, kalau itu maumu!”. Arundhati memperkuat pertahanannya
dengan kembali mengumpulkan seluruh kesadarannya hanya pada radius seratus
meter. Cahaya putih menyilaukan
berpendar dari tubuhnya yang telah mengenakan jubah dan kerudung putih gading.
Itulah ujud dari kesadarannya yang sangat menyatu.
Dhemit Bacira kaget luar biasa. Dia tidak mengira bahwa
seorang manusia kecil bernama Arundhati ini mempunyai kesadaran yang sangat
kuat dan menyatu. Arundhati sempat
melihat ada ketakutan yang muncul pada Dhemit Bacira.
Arundhati tersenyum saat menyadari bahwa kemampuan dia saat
ini sangat jauh melampaui kemampuan Dhemit Bacira. Tanpa merubah sikapnya,
Arundhati berteriak lantang ke arah Dhemit Bacira.
“Dhemit Bacira!!! Aku peringatkan kamu bahwa saat ini aku
sudah membaca semua kemampuan kamu dan kelemahan kamu. Sekarang, lepaskan orang-orang
ini! Bebaskan mereka dari persepsi yang kamu tanam untuk menekan kesadaran
mereka!!!”
“Ha ha ha…. Kamu menggertak Arundhati? Gak mempan! Ingat
pertarungan kita? Betul, kamu akhirnya menang, tapi kamu butuh tiga hari tiga
malam untuk mengalahkanku! Sekarang? Sekarang aku sudah berlatih lebih jauh. Dan,
kamu adalah orang yang mendapatkan kehormatan untuk mencicipi kemampuan
baruku!”. Dhemit Bacira tidak mau
menuruti perintah Arundhati, malah berteriak lantang menantang Arundhati.
Sebelumnya, Dhemit Bacira memang sempat terlibat pertarungan
dengan Arundhati ketika Arundhati sedang dalam tugas membereskan kerusuhan di dukuh
Kedungwang. Dukuh Kedungwang sendiri adalah salah satu desa terdekat dari
padepokan. Bersama Sitakara dan Dini, serta beberapa murid laki-laki padepokan
mereka menghajar para perusuh yang beruwujud gorila berekor dan berkulit kadal.
Dalam operasi itu, seluruh perusuh dapat ditumpas, kecuali Dhemit Bacira yang
dapat melarikan diri. Arundhati mengejar Dhemit Bacira sampai ke Gumuk
Sawangan. Di Gumuk Swangan inilah pertarungan sengit antara Arundhati denga
Dhemit Bacira terjadi. Arundhati dapat mengalahkan Dhemit Bacira, Namun sayang,
sekali lagi Dhemit Bacira mampu melarikan diri. Bahkan pelariannya ini tidak
terdeteksi kebaradaannya. Dan, hari ini dia baru tahu bahwa Dhemit Bacira dapat
dengan mudah berpindah dimensi semudah orang keluar masuk rumah. Dan, hari ini
Arundhati berkesimpulan bahwa mestinya Dhemit Bacira sepenuhnya adalah makhluk
persepsi. Makhluk ini valid keberadaannya, cuma perwujudannya bergantung pada
kekuatan persepsi dari yang bertemu dengannya. Ini adalah existensi perwujudan seluruh object ketika berada
pada lapis pertama dimensi mimpi. Perwujudan setiap object pada mimpi semua
orang.
Baiklah, karena ketika berada pada area pertarungan
sebelumnya, Arundhati terjebak dalam persepsi yang dibentuk oleh Dhemit Bacira.
Meskipun dapat mengalahkan, namun tidak dapat membunuh Dhemit Bacira. Kali ini Arundhati
menggunakan manipulasi persepsi seperti yang pernah dia gunakan buat ngerjain
Ansuman. Dan, tiba-tiba Dhemit Bacira bergerak ke sana ke mari sambil
berteriak-teriak keras seperti sedang bertarung. Kadang Dhemit Bacira terlihat
jatuh, namun gagal berdiri sampai beberapa kali baru berdiri namun kemudian dia
langsung terpental jauh ke belakang.
Arundhati mengawasi terus pertarungan Dhemit Bacira dengan
persepsi yang dia ciptakan untuk mengalahkan Dhemit Bacira. Arundhati tersenyum
senang, ternyata betul dugaannya. Dhemit Bacira ini cuma makhluk persepsi
sehingga dengan mudah dia mengelabuinya dengan menciptakan persepti yang lebih
kuat. Setelah merasa yakin dengan kesimplannya, Arundhati segera menghentikan
serangan persepsinya. Tiba-tiba Tiba-tiba Dhemit Bacira berhenti bergerak dan
clingukan seperti mencari sesuatu. Arundhati melompat salto dan berdiri di
depan Dhemit Bacira dengan posisi membelakangi.
“Bacira, kali ini jangan harap kamu bisa lari dariku lagi!” teriak
Arundhati mengancam. Dhemit Bacira tertawa terbahak-bahak, “Ha ha ha…. hanya
dengan kemampuan segitu kamu berani mengancam saya?”
“Bacira!” teriak Arundhati lebih keras. Dhemit Bacira kaget
luar biasa. Teriakan Arundhati kali ini tidak terdengar seperti orang teriak
yang merambat melalui udara melewati sebuah jarak dan masuk melalui telinga. Teriakan Arundhati terdengar seperti begitu
saja bergema di dalam tempurung
kepalanya. Bukan masuk melalui telinga.
“Kamu kaget?”. Arundhati bertanya sekali lagi. Dan, Dhemit
Bacira tiba-tiba terlihat seperti ketakutan saat Arundhati membalikkan tubuhnya
sehingga saat ini mereka berdua berhadap-hadapan. Arundhati berjalan mendekati
Dhemit Bacira. Dhemit bacira makin ketakutan, namun sama sekali tidak dapat menggerakkan
kakinya untuk menghindar. Arundhati
semakin mendekat ke arah Dhemit Bacira. Senyum sinis mengembang pada bibirnya.
Sebuah senyuman yang mengancam bagi Dhemit Bacira yang telah terkunci. Tiba-tiba
dengan kecepatan yang luar biasa tangan kiri Arundhati membuat gerakan
melingkar sementara tangan kanannya menyapu tubuh bacira ke arah lingkaran bentukan
tangan kirinya. Lingkaran bentukan tangan kiri Arundhati seperti membuat lubang
yang sangat hitam dan tubuh Dhemit Bacira yang disapu tangan kanan Arundhati
langsung melayang ke arah lubang tersebut. Tubuh-tubuh kaku orang-orang yang
beringas tadi sempat bergerak seperti tersedot lubang tadi. Bahkan beberapa bebatuan
di tanah pun sempat terlihat terangkat saat lobang tadi terbentuk. Arundhati
yang menyadari kekuatan lobang tadi segera melakukan penutupan dengan tangan
kirinya membuat gerakan terbalik. Semua gerakan terhenti. Termasuk batu-batu
yang melayang tadi. Terhenti di tempat. Arundhati terpaksa memanipulasi dimensi
untuk membuat portal ke lubang hitam terdekat untuk membuang bentuk persepsi dari
Dhemit Bacira. Karena, bila ini tidak dilakukan Dhemit bacira akan mampu
bangkit dan menerobos kemanappun dia mau dan bikin huru-hara di situ. Tapi
tindakan Arundhati itu tentunya sangat berbahaya karena bisa merusak lengkung
waktu yang dibuatnya. Oleh karena itu, Arundhati harus melakukannya secepat
mungkin dia dapat lakukan.
Suasana di sekitar lokasi pertarungan sekarang kembali sunyi
senyap. Arundhati segera bergerak melucuti seluruh benda yang berada pada
orang-orang yang beringas tadi dan kemudian dia letakkan di tempat yang cukup
jauh dari lokasi. Setelah semua dia
bereskan, Arundhati segera melesat ke posisi yang cukup tinggi untuk dapat
melihat situasi di bawah. Arundhati berdiri mengambang, dan mengembalikan waktu
kepada simpul waktu saat dia lengkungkan. Dan, sesuai harapan Arundhati,
orang-orang yang tadi beringas nampak kelimpungan dan kemudian lari sambil
muntah-muntah. Para calon korban pun terlihat
kebingungan melihat perubahan mereka yang tiba-tiba. Lebih bingung dan pastinya
juga bersyukur adalah mereka yang terancam nyawanya karena ada senjata tajam
yang dipegang penyerang tiba-tiba lenyap dan penyerangnya kemudian malah
bingung, lari dan muntah.
Arundhati tersenyum, namun dia kaget karena ada yang menepuk
pundaknya dari belakang sambil bertanya, “Ada apa Ayun?”
“Eh, Yu Ara….? Dini….? Kang Suman?”. Sekali lagi Arundhati kaget melihat kehadiran
mereka bertiga. Setelah agak lama mereka bertiga membiarkan Arundhati tertegun,
Ansuman membuka dengna pertanyaan, “Ayun, memang gak boleh, kami kemari?”
“Ya…., boleh… sih!” jawab Arundhati, “Tapi ada apa?”.
“Ayun, Nyi Ajar yang kasih tahu kami kalau kamu sedang ada
kesulitan di sini. Namun ketika kami sampai di sini, sepertinya kami telah
terlambat. Pesta ini sudah kamu selesaikan sendiri?!” jawab Sitakara
menjelaskan yang ditegaskan oleh Dini, “iya Ayun. Kami bertiga dipanggil sama Nyi
Ajar dan diminta membantu kamu!”
Arundhati mengangguk-angguk mengerti. “Baiklah, karena sekarang
sudah selesai lebih baik kalian mampir ke rumah! Kalau ndhak tahu rumah Ayun,
tanya sama Dini tuh Yu Ara, Kang Suman!”.
Arundhati melesat meninggalkan mereka bertiga yang cuma bisa
geleng-geleng. Mereka bertiga tidak akan tersinggung dengan gaya Arundhati yang
main ninggalin, karena sejatinya Arundhati cuma mau pamer saja. Dan mereka
tahu, hanya kepada mereka bertiga dan orangtuanya saja, Arundhati sering pamer.

0 comments:
Posting Komentar