Senin, Oktober 16, 2023

{14} Huru-Hara


Baidowi alias Kang Dowi sebenarnya adalah juragan angkutan pedesaan di kampung Arundhati. Namun, meskipun dia adalah seorang juragan angkutan dengan 10 armada angkutan pedesaan dan 4 taksi online yang beroperasi di kota, Baidowi tidak ragu-ragu buat narik sendiri angkotnya. Daripada nganggur di rumah, katanya. Baidowi ini sudah punya tiga isteri, namun dia masih plirak-plirik ke Arundhati. Dan itulah mengapa dia lebih suka narik angkutan pedesaannya saat yang katanya nganggur daripada narik taksi online. Anak sekolah tidak ada yang mau menggunakan taksi online. Dan, Arundhati adalah salah satu anak sekolah itu.

“Assalamu’alaikum!”, Arundhati mengucap salam saat memasuk teras rumah. “Wa’alaikum salam!”, Bapak yang sedang asik ngobrol sama Baidowi membalas salam Arundhati, diikuti oleh Baidowi.  Setelah salim dengan bapaknya, Arundhati langsung ngeloyor masuk ke dalam rumah.  Gerak kepala Baidowi mengikuti pandangannya melihat Arundhati membuat Bapak tidak suka. Bapak berdehem. Baidowi kaget. Baidowi kembali melanjutkan ngobrolnya dengan Bapak.

Di ruang makan terlihat Ibu sedang mempersiapkan meja makan malam. Arundhati salim dan disambut Ibu sambil tersenyum, “Ih, bau kamu. Buru mandi sana!”.  Arundhati tersenyum lebar. Buru-buru dia masuk kamar mengambil bebera setelan baju dan anduk. Ketika melewati ibunya, sewktu menuju ke kamar mandi Arundhati bertanya setengah berbisik, “Buk, itu Kang Dowi ngapain kemari?”. Ibu Arundati menjawab dengan bertanya balik, “Emang kenapa, kalau dia main ke mari?”.

“Dia bilang, pengin ngobrol sama Bapak. Sudah lama dia nggak main ke mari, katanya. Tapi sepertinya, dia nyari kamu Ayun. Buktinya, dia pulang setelah melihat kamu datang!”

Bapak yang dengar pertanyaan Arundhati saat memasuki ruangan, menjawab pertanyaan Arundhati sambil berjalan ke meja makan, mengambil tempe goreng yang masih terlihat kering.

Arundhati melotot mendengar jawaban Bapak, “Idiih….! Mau, bapak punya mantu macam Kang Dowi?”

Bapak tertawa mendengar ucapan Arundhati.  Sambil menarik kursi buat duduk, Bapak melanjutkan ucapannya, “ya… gak mau, sih! Jangankan isterinya udah tiga, belum punya isteri aja bapak gak mau punya mantu kayak dia.”.  Arundhati tersenyum senang mendengar jawaban Bapak.

“Udah, sana mandi! Sebentar lagi Maghrib! Anak perawan kok jam segini belum mandi”.  Ibu mengingatkan sambil menarik pundak Arundhati yang masih berdiri di samping meja.  Arundhati segera berlari ke arah sumur di belakang, dan tak lama kemudian terdengar byar-byur.  Bapak dan Ibu saling berpandangan dan tersenyum.  Untuk urusan mandi, Arundhati tidak pernah berubah dari kecil sampai remaja seperti sekarang ini.  Selalu ramai.

Selesai mandi pas Adzan Maghrib. Seperti biasa Bapak pergi ke Musholla depan. Ibu Shalat di Rumah bareng Arundhati.

Selesai melaksanakan Shalat, Arundhati langsung lari ke meja makan dan, “Waw, ada goreng udang! Ini pasti Yu Lasiah tadi datang pasti ini!”.  Meskipun sering alergi karena makan udang, tapi Arundhati tidak pernah kapok untuk makan udang. Dan, udang selalu hadir bila Yu Lasiah, tukang dagang ikan keliling, datang atau lewat. Tidak setiap minggu Yu Lasiah datang. Bila ada udang saja dia datang, karena tahu pasti akan dibeli oleh Ibu.

“Nggak, ini tadi ada temen bapak yang kerja di karantina. Ini udang sampel yang bakal diekspor katanya”.  Tiba-tiba terdengar suara Bapak dari belakang Arundhati.

“Ih, Bapak deh…. Bikin kaget aja!” protes Arundhati karena dikagetkan suarau Bapak. Bapak tersenyum, sambil duduk di kursi yang dia duduki sebelum Arundhati mandi tadi.

“Enak itu, kualitas ekspor”

“Waw, pasti enak ini, Udang kualitas ekspor!” Arundhati mengambil udangnya lebih banyak dari nasinya. Gatal-gatal urusan nanti. Bapak tersenyum menyambgung pembicaraan, “udah gak usah kuatir, gak akan bikin alergi. Itu semua udang masih teritung segar, karena proses pengolahan dan penyimpanannya bagus.”

Mendengar penjelasan Bapak, Arundhati segera bangun lagi mengambil beberapa ekor udang lagi. Bapak tertawa menyaksikan kelakuan Arundhati. Arundhati cuma tersenyum-senyum senang. Tak lama kemudian Ihu datang bergabung di meja makan.  Keluarga kecil itu menyantap makan malam mereka dengan penuh ceria.

Selesai makan malam bersama, seperti biasa keluarga kecil ini tidak langsung bubar.  Mereka bertiga lanjutkan acara makan dengan saling bercerita dan menasehati. Malam ini Arundhati mejadi ratu cerita.  Tanpa rasa bersalah, dengan sangat lancar Arundhati bercerita tentang Retna Nawangsih yang masih terlihat sangat cantik mekipun sudah berumur. Tentang hidupnya yang cuma berdua dengan anaknya, Sitakara, yang juga sangat cantik dan sudah kuliah semester tiga.

Ibu mendengarkan cerita Arundhati dengan muka kusut, sedangkan Bapak sepertinya ketakutan. Ibu memang sangat cemburu dengan kisah masa lalu Bapak. Sementara Bapak terlalu takut menghadapi kemarahan Ibu. Padahal, Bapak gak penah sekalipun untuk mulai menghubungi Retna Nawangsih. Hari ini pasti ibu akan menuduh Bapak mengingat-ingat masa lalunya. Padahal, Bapak pun gak tahu darimana Arundhati mendapatkan informasi tentang Retna Nawangsih.

Tengah Arundhati asik bercerita, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara riuh orang ketakutan. Roman muka wajah Bapak tiba-tiba berubah. Ibu pun demikian, hanya berbeda dengan Bapak yang berubah menjadi siaga sedangkan Ibu nampak ketakutan. Arundhati yang telah mendapatkan penyelarasan dengan dirinya yang ada di lapis kedua yang telah ditempa pelatihan selama tiga tahun dibawah bimbingan langsung Nyi Ajar Nismara dan Ki Ageng Turangga Seto, tampak lebih waspada.

“Bapak, Ibu, tunggu di sini!”, Arundhati meminta Bapak dan Ibu untuk tetap duduk di ruang makan, sementara dirinya langsung lari ke luar. Bapak cuma bisa mengangkat tangan kirinya seperti mau menggapai sesuatu sambil mengucap, “Ayun, ja….”.  Bapak hendak mencegah Arundhati agar tidak keluar, namun keburu Arundhati menghilang dari hadapannya, “…yah sudah!”

Di tengah halaman rumah, Arundhati berdiri dengan sikap siaga penuh lengkap dengan berbalut jubah dan kerudung putih gading. Kesadaran Arundhati yang telah mendapatkan pelatihan tiga tahun di lapis kedua dimensi mimpinya dia siagakan. Radius kesadaran yang dia kerahkan saat ini telah mencapai lebih dari sepuluh kilometer.  Arundhati dapat merasakan setiap gerakan yang terjadi di dalam radius sepuluh kilometer.  Dengan kondisinya saat ini dia merasakan ada gerakan masa yang brutal dari dari arah timur. Ada sekitar seratus limapuluh orang bergerak dari arah timur menuju kampungnya. Entah darimana dan apa yang mereka tuju, orang-orang itu bergerak dengan ganas merusak apapun yang mereka lewati. Jerit ketakutan terdengar sangat kuat di telinga Arundhati.  Untuk menghindari jatuh korban lebih banyak, Arundhati segera melengkungkan waktunya membentuk kantung waktu dan segera melesat ke lokasi di gerumbul sebelah timur kampungnya. 

Benar saja, dari posisinya di atas terlihat banyak sekali orang-orang dewasa yang tersebar secara acak dengan posisi sesuai gerak terakhir mereka. Tangan kiri orang-orang itu nampak membawa obor atau senter, sementara tangan kanannya membawa kelewang atau pentungan. Sementara itu di tempat lain terlihat beberapa penduduk desa yang sepertinya tengah berlari dari pengejaran orang-orang itu. Bahkan beberapa di antaranya sedang dalam posisi akan dibunuh.  Arundhati turun dan mulai memeriksa para penyerang. Mimik muka mereka terlihat nampak sangat marah, namun tatapan mata mereka terlihat sangat kosong. Kehadiran kesadaran orang-orang ini hampir tidak terasa sama sekali oleh Arundhati. Meskipun nampak beringas, orang-orang ini jelas ada dalam pengendalian entah oleh apa atau siapa. Kesadaran orang-orang ini sepertinya tengah terpasung oleh sebuah kesadaran yang sangat kuat. Arundhati berfikir keras untuk mengetahui kira-kira apa yang telah terjadi pada orang-orang ini.

Yang bikin Arundhati gak habis pikir adalah dalam kondisi kritis seperti ini, terlihat ada beberapa orang penduduk dengan menggunakan gadgetnya untuk merekam situasi disamping beberapa kru televisi. Hmm…., sepertinya mereka datang lebih dulu daripada aparat. Dan, sepertinya pelaku di balik semua ini memang membiarkan kru televisi maupun para pengambil gambar amatir melakukan aktifitas perekaman. Sepertinya pelaku sangat sadar sedang diliput dan ingin menyebarkan terror kepada seluruh penduduk.

Tengah Arundhati berfikir, kesadarannya yang masih dia kerahkan pada kondisi siaga penuh merasakan kehadiran sebuah kesadaran yang sangat asing dengan energi yang sangat kuat dari arah timur.  Arundhati segera mengarahkan pandangannya ke arah kehadiran kesadaran asing itu. Dari kejauhan nampak bayangan dengan bentuk seperti primata yang sangat besar tengah berjalan terseok-seok. Ketika semakin jelas penampakannya, terlihat bentuk seperti orang utan namun dengan sisik dan ekor kadal.

“Dhemit Bacira!?” teriak Arundhati demi mengenali sosok tersebut.

“Ha ha ha ha ha……!”, sosok yang diteriaki oleh Arundhati tertawa sangat keras.

Arundhati segara paham situasi. Sosok yang dia hadapi saat ini sebenarnya adalah makhluk penyerta dari lapis kedua dimensi mimpinya. Di dimensinya, sosok ini terkenal sangat kuat. Sebenarnya dalam salah pertarungan di Gumuk Sawangan di lapis kedua dimensi mimpinya.  Dalam pertaraungan yang ditentukan oleh Ki Ajar Adhgama itu, Arundhati telah mengalahkan sosok ini.  Dari sini sebenarnya, Arundhati cukup percaya diri. Namun saat ini, sosok itu ada di hadapannya lagi di dimensi utama. Apakah mungkin ada yang mampu membuat terobosan balik dengan mengirim makhluk itu ke dimensi utama. Atau jangan-jangan Bacira sendiri yang melakukan. Bila memang dia yang melakukan, maka sungguh sangat berbaya sosok ini. Karena untuk menerobos balik untuk penghuni aseli lapis kedua dimensi mimpi butuh suatu kemampuan yang sangat tinggi. Dan, bila memang betul itu adalah Bacira aseli, maka pasti dia juga yang mengendalikan orang-orang ini.

“Kamu bingung, Arundhati?” tanya Dhemit Bacira meledek Arundhati, “kamu bingung karena aku bisa masuk ke dimensimua? Kamu bingung, aku bisa masuk ke dalam lengkungan waktumu?”

“Hei, Dhemit Bacira! Apa tujuanmu masuk ke dimensiku?”

“Ha ha ha ha…. Arundhati! Rasa penasaranmu saat ini mungkin sama dengan rasa penasaranku saat aku dapat kamu kalahkan. Masuk ke dimensi manapun itu bukan masalah bagiku, karena aku adalah tunggal hanya ada di satu dimensi. Tidak akan pernah ada Dhemit Bacira lain di dimensi lain apapun ujudnya dan bagaimanapun keadaannya.  Berada di dimensi manapun itu adalah kemampuan Dhemit Bacira!”

Penjelasan dari Dhemit Bacira sebenarnya sangat melegakan Arundhati. Apabila memang dia mempunya kemampuan spesial keluar masuk dimensi dengan mudah, maka berarti kemampuan Dhemit Bacira mestinya tidak ada peningkatan. “Terus, ngapain kamu tlanyakan masuk ke dimensi utama ini?”, tanya Arundhati.

“Ha ha ha ha ha ha….!” Dhemit Bacira  tertawa tergelak-gelak. “Hanya penasaran, kenapa seorang anak manusia kecil seperti kamu ini mampu mengalakhkan aku!”

“Baiklah, kalau itu maumu!”. Arundhati memperkuat pertahanannya dengan kembali mengumpulkan seluruh kesadarannya hanya pada radius seratus meter.  Cahaya putih menyilaukan berpendar dari tubuhnya yang telah mengenakan jubah dan kerudung putih gading. Itulah ujud dari kesadarannya yang sangat menyatu.

Dhemit Bacira kaget luar biasa. Dia tidak mengira bahwa seorang manusia kecil bernama Arundhati ini mempunyai kesadaran yang sangat kuat dan menyatu.  Arundhati sempat melihat ada ketakutan yang muncul pada Dhemit Bacira.

Arundhati tersenyum saat menyadari bahwa kemampuan dia saat ini sangat jauh melampaui kemampuan Dhemit Bacira. Tanpa merubah sikapnya, Arundhati berteriak lantang ke arah Dhemit Bacira.

“Dhemit Bacira!!! Aku peringatkan kamu bahwa saat ini aku sudah membaca semua kemampuan kamu dan kelemahan kamu. Sekarang, lepaskan orang-orang ini! Bebaskan mereka dari persepsi yang kamu tanam untuk menekan kesadaran mereka!!!”

“Ha ha ha…. Kamu menggertak Arundhati? Gak mempan! Ingat pertarungan kita? Betul, kamu akhirnya menang, tapi kamu butuh tiga hari tiga malam untuk mengalahkanku! Sekarang? Sekarang aku sudah berlatih lebih jauh. Dan, kamu adalah orang yang mendapatkan kehormatan untuk mencicipi kemampuan baruku!”.  Dhemit Bacira tidak mau menuruti perintah Arundhati, malah berteriak lantang menantang Arundhati.

Sebelumnya, Dhemit Bacira memang sempat terlibat pertarungan dengan Arundhati ketika Arundhati sedang dalam tugas membereskan kerusuhan di dukuh Kedungwang. Dukuh Kedungwang sendiri adalah salah satu desa terdekat dari padepokan. Bersama Sitakara dan Dini, serta beberapa murid laki-laki padepokan mereka menghajar para perusuh yang beruwujud gorila berekor dan berkulit kadal. Dalam operasi itu, seluruh perusuh dapat ditumpas, kecuali Dhemit Bacira yang dapat melarikan diri. Arundhati mengejar Dhemit Bacira sampai ke Gumuk Sawangan. Di Gumuk Swangan inilah pertarungan sengit antara Arundhati denga Dhemit Bacira terjadi. Arundhati dapat mengalahkan Dhemit Bacira, Namun sayang, sekali lagi Dhemit Bacira mampu melarikan diri. Bahkan pelariannya ini tidak terdeteksi kebaradaannya. Dan, hari ini dia baru tahu bahwa Dhemit Bacira dapat dengan mudah berpindah dimensi semudah orang keluar masuk rumah. Dan, hari ini Arundhati berkesimpulan bahwa mestinya Dhemit Bacira sepenuhnya adalah makhluk persepsi. Makhluk ini valid keberadaannya, cuma perwujudannya bergantung pada kekuatan persepsi dari yang bertemu dengannya. Ini adalah existensi perwujudan seluruh object ketika berada pada lapis pertama dimensi mimpi. Perwujudan setiap object pada mimpi semua orang.

Baiklah, karena ketika berada pada area pertarungan sebelumnya, Arundhati terjebak dalam persepsi yang dibentuk oleh Dhemit Bacira. Meskipun dapat mengalahkan, namun tidak dapat membunuh Dhemit Bacira. Kali ini Arundhati menggunakan manipulasi persepsi seperti yang pernah dia gunakan buat ngerjain Ansuman. Dan, tiba-tiba Dhemit Bacira bergerak ke sana ke mari sambil berteriak-teriak keras seperti sedang bertarung. Kadang Dhemit Bacira terlihat jatuh, namun gagal berdiri sampai beberapa kali baru berdiri namun kemudian dia langsung terpental jauh ke belakang.

Arundhati mengawasi terus pertarungan Dhemit Bacira dengan persepsi yang dia ciptakan untuk mengalahkan Dhemit Bacira. Arundhati tersenyum senang, ternyata betul dugaannya. Dhemit Bacira ini cuma makhluk persepsi sehingga dengan mudah dia mengelabuinya dengan menciptakan persepti yang lebih kuat. Setelah merasa yakin dengan kesimplannya, Arundhati segera menghentikan serangan persepsinya. Tiba-tiba Tiba-tiba Dhemit Bacira berhenti bergerak dan clingukan seperti mencari sesuatu. Arundhati melompat salto dan berdiri di depan Dhemit Bacira dengan posisi membelakangi.

“Bacira, kali ini jangan harap kamu bisa lari dariku lagi!” teriak Arundhati mengancam. Dhemit Bacira tertawa terbahak-bahak, “Ha ha ha…. hanya dengan kemampuan segitu kamu berani mengancam saya?”

“Bacira!” teriak Arundhati lebih keras. Dhemit Bacira kaget luar biasa. Teriakan Arundhati kali ini tidak terdengar seperti orang teriak yang merambat melalui udara melewati sebuah jarak dan masuk melalui telinga.  Teriakan Arundhati terdengar seperti begitu saja bergema di dalam  tempurung kepalanya. Bukan masuk melalui telinga.

“Kamu kaget?”. Arundhati bertanya sekali lagi. Dan, Dhemit Bacira tiba-tiba terlihat seperti ketakutan saat Arundhati membalikkan tubuhnya sehingga saat ini mereka berdua berhadap-hadapan. Arundhati berjalan mendekati Dhemit Bacira. Dhemit bacira makin ketakutan, namun sama sekali tidak dapat menggerakkan kakinya untuk menghindar.  Arundhati semakin mendekat ke arah Dhemit Bacira. Senyum sinis mengembang pada bibirnya. Sebuah senyuman yang mengancam bagi Dhemit Bacira yang telah terkunci. Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa tangan kiri Arundhati membuat gerakan melingkar sementara tangan kanannya menyapu tubuh bacira ke arah lingkaran bentukan tangan kirinya. Lingkaran bentukan tangan kiri Arundhati seperti membuat lubang yang sangat hitam dan tubuh Dhemit Bacira yang disapu tangan kanan Arundhati langsung melayang ke arah lubang tersebut. Tubuh-tubuh kaku orang-orang yang beringas tadi sempat bergerak seperti tersedot lubang tadi. Bahkan beberapa bebatuan di tanah pun sempat terlihat terangkat saat lobang tadi terbentuk. Arundhati yang menyadari kekuatan lobang tadi segera melakukan penutupan dengan tangan kirinya membuat gerakan terbalik. Semua gerakan terhenti. Termasuk batu-batu yang melayang tadi. Terhenti di tempat. Arundhati terpaksa memanipulasi dimensi untuk membuat portal ke lubang hitam terdekat untuk membuang bentuk persepsi dari Dhemit Bacira. Karena, bila ini tidak dilakukan Dhemit bacira akan mampu bangkit dan menerobos kemanappun dia mau dan bikin huru-hara di situ. Tapi tindakan Arundhati itu tentunya sangat berbahaya karena bisa merusak lengkung waktu yang dibuatnya. Oleh karena itu, Arundhati harus melakukannya secepat mungkin dia dapat lakukan.

Suasana di sekitar lokasi pertarungan sekarang kembali sunyi senyap. Arundhati segera bergerak melucuti seluruh benda yang berada pada orang-orang yang beringas tadi dan kemudian dia letakkan di tempat yang cukup jauh dari lokasi.  Setelah semua dia bereskan, Arundhati segera melesat ke posisi yang cukup tinggi untuk dapat melihat situasi di bawah. Arundhati berdiri mengambang, dan mengembalikan waktu kepada simpul waktu saat dia lengkungkan. Dan, sesuai harapan Arundhati, orang-orang yang tadi beringas nampak kelimpungan dan kemudian lari sambil muntah-muntah.  Para calon korban pun terlihat kebingungan melihat perubahan mereka yang tiba-tiba. Lebih bingung dan pastinya juga bersyukur adalah mereka yang terancam nyawanya karena ada senjata tajam yang dipegang penyerang tiba-tiba lenyap dan penyerangnya kemudian malah bingung,  lari dan muntah.  

Arundhati tersenyum, namun dia kaget karena ada yang menepuk pundaknya dari belakang sambil bertanya, “Ada apa Ayun?”

“Eh, Yu Ara….? Dini….? Kang Suman?”.  Sekali lagi Arundhati kaget melihat kehadiran mereka bertiga. Setelah agak lama mereka bertiga membiarkan Arundhati tertegun, Ansuman membuka dengna pertanyaan, “Ayun, memang gak boleh, kami kemari?”

“Ya…., boleh… sih!” jawab Arundhati, “Tapi ada apa?”.

“Ayun, Nyi Ajar yang kasih tahu kami kalau kamu sedang ada kesulitan di sini. Namun ketika kami sampai di sini, sepertinya kami telah terlambat. Pesta ini sudah kamu selesaikan sendiri?!” jawab Sitakara menjelaskan yang ditegaskan oleh Dini, “iya Ayun. Kami bertiga dipanggil sama Nyi Ajar dan diminta membantu kamu!”

Arundhati mengangguk-angguk mengerti. “Baiklah, karena sekarang sudah selesai lebih baik kalian mampir ke rumah! Kalau ndhak tahu rumah Ayun, tanya sama Dini tuh Yu Ara, Kang Suman!”.  Arundhati melesat meninggalkan mereka bertiga yang cuma bisa geleng-geleng. Mereka bertiga tidak akan tersinggung dengan gaya Arundhati yang main ninggalin, karena sejatinya Arundhati cuma mau pamer saja. Dan mereka tahu, hanya kepada mereka bertiga dan orangtuanya saja, Arundhati sering pamer.

0 comments: