Senin, Oktober 16, 2023

{15} Kumpul


 

Sesampainya di rumah, setelah selesai mengembalikan penampilannya seperti sebelumnya, Arundhati buru-buru menuju keruang tengah. Bapak dan Ibu yang masih duduk di meja makan memperhatikan Arundhati yang buru-buru masuk lagi setelah sekitar satu menit ada di luar bertanya,

“Ada apa Ayun?” tanya Bapak.

“Gak tahu nih tadi rame banget dari arah timur. Bapak juga dengar kan?”

“Iya!”

“Nah itu, sekarang gak kedengaran lagi to nggih?” tanya Ayun lagi.

“Iya! Sepi sekarang..”

“Nah itu, coba mau Ayun liat di tivi”. Ayun mengambil remote, duduk di sofa depan tivi dan menyalakan televisi. Seperti dugaan Arundhati, kejadian tadi memang disiarkan di televisi dan saat layar menyala nampak seorang reporter tengah menyampaikan reportasinya,

“Memang sebuah keajaiban pemirsa. Bila tadi dapat kita saksikan betapa marah dan beringas orang-orang itu, saat ini dapat kita saksikan mereka sedang kebingungan dan bahkan beberapa di antara mereka mengalami muntah-muntah yang cukup dahsyat. Dan semua orang yang tadi nampak beringas, justeru bertanya kenapa mereka ada di sini. Memang sebuah keaajaiban saudara-saudara, bagaimana mungkin orang-orang yang tadinya begitu beringas, tiba-tiba nampak tidak berdaya sama sekali. Dan lebih mengherankan lagi senjata dan peralatan mereka yang mereka pakai dalam kejadian ini semuanya menghilang..!” belum selesai reporter menyelesaikan reportasinya, dari arah studio studio suara seorang laki-laki memotong, “Tunggu dulu Fitri, mungkin kita perlu memutar ulang kejadian saat perangkat mereka menghilang.”

“Yap, betul  Mike. Silakan!”

Setelah dipersilakan oleh FItri, gambar muncul dalam dua bingkai, sebelah kiri memutar kejadian saat terjadinya penyerangan oleh segerombolan orang namun tiba-tiba semua peralatan penyerangan menghilang, sementara pada bingkai kedua nampak reporter televisi meneruskan reportasinya, dan kali ini dia menunjukkan tumpukan perangkat penyerangan yang tiba-tiba muncul di tempat yang agak jauh dari lokasi penyerangan.

Arundhati tersenyum lega, ketika menyaksikan bahwa tidak sekalipun kameraman menyorot ke arah atas.

“Ada apa Ayun?” tanya Bapak Sekali lagi.

“Ini di grumbul Karangsatru barusan ada banyak orang ngamuk ngacak-acak apapun yang dilewatinya. Bahkan, mereka melakukan penyerangan kepada warga. Tapi, ini aneh…. Tiba-tiba mereka berhenti menyerang dan semua peralatan penyerangan mereka menghilang. Engh…. Bukan menghilang sih, lebih tepatnya berpindah tempat. Semuanya numpuk di tempat yang agak jauh dari lokasi!”

“Apakah itu hasil kerjaan kamu?” tanya Bapak menyelidik yang dibalas dengan nyengir kuda oleh Arundhati. Dan, sepertinya Arundhati tidak perlu menjawab sekarang, karena dari arah depan terdengar seorang lelaki muda uluk salam, “Assalaamu’alaikum!”

“Wa’alaikum salaam….!” Jawab Arundhati langsung buru-buru ke depan dan segera mempersilakan masuk.

“Hwaduh, Yu Ara, Kang Suman…. Ayo masuk!”

“Ga usah Ayun, enakan di teras saja. Teras ayun luas juga sampai bisa dikasih meubel. Ah ini sih pendopo bukan teras!” jawab Ansuman dan langsung menganalisa.

Arundhati tertawa, “Ah… Kang Suman bisa aja…. Ya udah silakan, silakan duduk Yu Ara, Kang Suman!”

Setelah mereka bertiga duduk mengelilingi meja yang ada di teras, Sitakara berbicara sambil tetep tersenyum, “Maaf, ya Ayun… malam-malam ngrepotin. Ini Ansuman, katanya pengin tahu kamu kalau di dimensi utama ini.”

Arundhati tertawa lepas. Tertawa lepas seorang gadis cantik ini ternyata membuat deg-degan Ansuman. Apalagi deretan gigi yang berjajar sangat rapi dan tiba-tiba tampil melengkapi seluruh ornamen kecantikan Arundhati, itu membuat jantung Ansuman semakin tidak menentu. Dan Ansuman ternyata tidak lihai menyembunyikan perasaannya. “Arundhati, kanapa kamu jauh lebih cantik di dimensi utama ini?” teriak Ansuman di dalam hati.

“O iya, Dini mana?” tanya Arundhati.

“Tadi, dia pamit langsung pulang, Takut dicari ayahnya.!” Jawab Sitakara.

“O, begitu. Eh… entar dulu ya… tunggu….!”

Arundhati bangkit dari duduknya dan segera bergerak ke dalam ruangan. Tak lama kemudian Arundhati muncul bersama kedua orang tuanya.

“Bapak, Ibu, ini Ansuman, Ayun manggil dia Kang Suman!”

Ansuman berdiri dan membungkuk sambil menyebutkan namanya, “Ansuman Adhyucara!”

Bapak memperhatikan dari bawah sampai ke atas pemuda berkulit putih dan berambut panjang dengan setelan jeans hitam dan kaos tebal hitam lengan panjang yang memperkenalkan diri dengan nama Ansuman Adyucara. Ansuman makin salah tingkah karena.

“Ayun, kamu punya teman ngganteng gini kenapa baru sekarang dikenalin ke Bapak?”

Arundhati tahu, sebenarnya Bapak cuma mau kasih tahu kalau Arundhati gak boleh pacaran. Tapi Bapak maunya itu keluar dari mulut Arundhati.  Namun, Ansuman yang tidak tahu kode bapak anak ini malah jadi tambah salah tingkah. Hidung kembang-kempis, mau duduk malah lengan kursi yang dia duduki. Kursinya miring, dan Ansuman nyaris jatuh.

“Ap… ap… apap, maaf, maaf… !” gagap Ansuman minta maaf sambil membereskan posisi dan kursinya.

Arundhati dan Bapak tertawa, “Gak apa-apa, Nak Suman… silakan duduk!”

“Lagian sih, Bapak kenapa ngomongnya gitu… Tapi jangan kuatir, Pak. Arundhati masih anak-anak… Eh… iya kan, kemaren waktu masih dirawat kan masih dibilang – Anak Arundhati – ya, kan, Pak?”

“Iya!”

“Nah itu, Arundhati kan masih kanak-kanak kan dan Arundhati tidak akan pacaran. Lagian juga ini juga baru ketemu tadi!”

Mendengar jawaban Arundhati, Bapak tertawa. Kemudian pandangan Bapak beralih ke Sitakara. Bapak memandangi Sitakara lebih dari ketika memandangi Ansuman. Seperti ada yang diingat-ingat. Dia pandangi lagi dan lagi Sitakara dan berhenti ketika Ibu mencubit lengan Bapak. Meskipun Ibu belum tahu siapa tapi, bagaimanapun yang dipandangi oleh suaminya adalah perempuan yang lebih tua dari anaknya dan bisa jadi sudah dewasa. Bapak terdiam dan menepis cubitan tangan Ibu. Ibu melotot.

“Kalau yang ini, siapa ini?” tanya Bapak kepada Arundhati.

“Nah ini, Pak! Mbakyu yang ini, namanya Sitakara, yang tadi Ayun ceritain itu. Lengkapnya Sitakara Dhanta putri dari ibu Retna Nawangsih.”

Dheg, jantung Bapak tiba-tiba berdegup kencang dan kulit lengan berasa ada yang menggigit lagi.

“O.., pantes wajahnya kok nampak familiar”

Bapak masih berusaha ramah, tapi sesuatu yang menggigit lengannya semakin kencang gigitannya. Bapak meringis menahan sakit.

Arundhati yang melihat Ibu yang mencubit lengan Bapak tertawa sambil menutup mulutnya. Dan, untung tadi sore Arundhati sudah menyinggung hubungan Ibu Retna Nawangsih dengan bapaknya Arundhati sehingga kejadian itu tidak sempat membuat Sitakara salah tingkah. Sitakara malah ikut tersenyum.

“Ya sudah, silakan kalau mau pada ngobrol-ngobrol dulu. Bapak sama Ibu tak masuk dulu!” kali ini yang berbicara. Ibu pamit masuk ke dalam, dan tanpa menunggu jawaban Ibu sudah menarik Bapak masuk ke dalam rumah. Sayup-sayup terdengar mereka bertengkar kecil dengan suara yang pelan.

“Tuh… bapak kan, baru liat anaknya udah gemeter, apalagi liat emaknya…!”

“Enggak ibu, tadi tuh bapak emang kaget. Anak kita yang manja itu ternyata temannya sudah pada dewasa!”

“Alasan..!”

Arundhati dan Sitakara tertawa kecil mendengar pertengkaran mereka. Ansuman bingung tapi dia tidak mau tanya apa sebabnya kedua gadis itu malah tertawa mendengar orang tua bertengkar.

Beberapa saat kemudian, Sitakara mulai membuka percakapan, “Begini, Ayun! Yu Ara menyempatkan datang ke rumah Ayun selain karena Suman yang udah ngerengek-rengek minta datang ke rumah Ayun setelah mendengar Ayun datang ke Rumah Yu Ara sore tadi, juga karena ada masalah penting yang ingin Guru Nyi Ajar Nismara sampaikan. Ayun yang di sana sekarang sedang pingsan, sehabis latihan tadi siang sehingga beliau tidak dapat menyampaikan langsung kepadamu.” Sitakara tidak langsung melanjutkan percakapanannya. Sitakara melirik ke Ansuman. Yang dilirik sebenarnya pengin marah. Tapi, ya mau gimana, wong kenyataannya memang begitu. Ansuman akhirnya cuma nyengir.

“Baik, Yu Ara. Tapi, ini… apa Kang Suman juga boleh mendengarkan?” tanya Arundhati sebelum Sitakara melanjutkan.

“Gak apa, Ayun. Lagian salah satu yang didawuhkan Nyi Ajar sepertinya sudah selesai tadi. Tinggal satunya lagi. Dan ini sepertinya Suman juga boleh denger.”

“Lha, maaf yu Ara, emang dhawuh yang pertama itu apa? Terus, Ayun latihan apa kok sampai pingsan?”

“Dhawuh yang pertama itu terkait dengan Dhemit Bacira yang tlanyakan masuk dimensi kita dan bikin masalah. Tapi ternyata, kamu lebih sigap.”

“Terus, kenapa Ayun pingsan?”

“Ini juga terkait si Dhemit Bacira. Ayun berlatih terlalu keras, seminggu terakhir ini. Ayun penasaran banget sama Dhemit Bacira yang tukang ngacir kalau bertarung. Dan, kamu Ayun, untung Ayun melakukan penyelarasan hari ini sehingga kemampuan Ayun yang di sana sudah Ayun terima semua.”

Arundhati mengangguk-angguk. Sepertinya ada yang baru dia pahami. “Pantas saja Ayun mampu melakukan pelengkungan waktu dengan sedemikian lama. Ternyata Ayun yang di sana telah mempersiapkan. Kasian dia pingsan, dan pantas saja Ayun berasa ada yang kurang dalam beberapa jam terakhir.”, kata Arundhati dalam hati, dan tersenyum mengingat bahwa dia pingsan di sana.

“Ayun, kenapa tersenyum?” tegur Sitakara.

“Gak, Yu Ara, lagi bayangin saya yang di sana lagi pingsan. Masa saya harus kasihan sama diri sendiri?”.  Mendengar jawaban Arundhati, Sitakara mau tak mau ikut tersenyum.   Ada-ada saja Ayun.

“Terus, Dhawuh yang kedua apaan?” tanya Arundhati.

“Dhawuh kedua ini juga sebenarnya masih terkait dengan Dhemit Bacira.  Jadi, kehadiran Dhemit Bacira ini cuma sebuah permulaan. Berikutnya nanti akan muncul makhluk-makhluk sejenis Dhemit Bacira baik yang cuma berupa manipulasi persepsi maupun yang makhluk yang terdiri dari darah dan daging yang berasal dari tempat-tempat tersembunyi di dimensi kita ini. Untuk itu kita diminta untuk sering berkomunikasi. Dan saling memberitahu bila terjadi sesuatu.”

“Lah, kalau berkomunikasi itu pasti!” potong Arundhati. Dan, sambil kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Ansuman Arundhati melanjutkan, “kecuali sama dia!”

Ansuman melotot ke arah Arundhati dan Sitakara bergantian sambil kanannya menunjuk ke dada, “saya?”

Arundhati dan Sitakara tertawa lepas. Ansuman bingung, tapi kemudian dia ikut tertawa. Kecut.  “Gini amat ya….?” Keluh Ansuman dalam hati.

“Tapi Ayun, Dhawuh Nyi Ajar bukan itu.” Sitakara melanjutkan pebicaraan.

“Terus apa, Yu Ara?”

“Nyi Ajar Dhawuh, agar Ayun membantu beliau untuk  mencari murid beliau yang bernama Niken Lanjar Sekar Kenanga untuk menambah kekuatan kita. Dia satu generasi sama kita, tapi dia sudah ikut Nyi Ajar dari 5 tahun lalu.  Nyi Ajar sangat mempercayai dia dapat membantu kita terutama kamu Ayun karena dia punya kemampuan memanipulasi persepsi. Dan, Niken ini adalah putri kinasih dari Ki Ageng Gagak Pergola, kolega Nyi Ajar Nismara”

“Widih…. Namanya kaya nama-nama dalam kisah dunia persalinan, eh, persilatan! Panjang pula! Panggilannya apa?” sekali lagi komentar Arundhati memotong pembicaraan.

“ha ha ha ha….!” Sitakara tertawa mendengar komentar Arundhati. “Ayun, kita ikuti saja saat Nyi Ajar menyebut namanya. Beliau cuma menyebutnya Sekar Kenanga, atau panggilannya Sekar”.  Arundhati manggut-manggut. “O, gitu? Nah terus, nyari posisi dia bagaimana Yu Ara?”

“Nah, itu. Itu masalahnya! Menurut Nyi Ajar Nismara, kemungkinan keberadaannya di dimensi ini juga kurang dari limapuluh persen.”

“Wadaw, apalagi itu? Bukannya, kayak Ayun, Yu Ara, Dini, sama Kang Suman, semuanya yang ada di sana juga ada di sini?”

“Ehem.., Ayun, apa Ayun ketemu bapak Ayun di sana?” tanya Ansuman menyela.  Arundhati menoleh ke arah Ansuman dan menggeleng, “enggak, Kang!”.

“Nah, itu. Kami yang pernah bertemu dengan Sekar di sana pun tidak pernah bertemu dengan Sekar di sini. Dan kecuali Yu Ara yang beruntung punya Ibu yang sama di sini dan di sana. Saya sama Dini, Ayun, sama-sama gak punya orang tua di sana di lapis kedua dimensi mimpi.  Takutnya, mereka semua masih terjebak di dalam serpihan mozaik dimensi mimpi. Harapannya sih mereka ada di lapis kedua dimensi mimpi cuma entah berada di mana, kita yang belum ketemu.” Lanjut Ansuman.

“Bagusnya kita tanyakan saja sama mereka, toh mereka ada di sini. Saya tanya ke Bapak, coba.” Arundhati sudah hendak bangkit, namun ditahan tangannya oleh Sitakara. “Tunggu dulu, Ayun! Kamu itu lho, sukanya buru-buru. Duduk dulu, coba!” Arundhati nyengir, duduk lagi. “Mereka tidak identik, Ayun. Maka, mereka tidak akan tahu apa yang kita tanyakan ke mereka.” Sitakara melanjutkan.

“Tapi dimensi mimpi ini kan milik semua orang yang masih bisa bermimpi? Artinya setiap orang mempunyai kesadarannya di dunia mimpi?” tanya Arundhati kurang puas.

“Betul, namun hanya beberapa orang yang identik yang mampu membentuk keselarasan. Sementara mereka yang tidak identik, hanya mampu mendapatkan informasi sepotong-sepotong. Masih ingat penjelasan Yu Ara waktu di penginapan merpati?”

Arundhati mengangguk-angguk. Matanya memicing, dahinya berkerut, bibirnya manyun. Sitakara tertawa melihat mimik muka Arundhati, “ha ha ha… Ayun, ngapain kamu?”

“Lagi mikir, Yu Ara!” jawab Ayun sekenannya. Sitakara maupun Ansuman sama-sama tertawa mendengar jawaban Arundhati. Dan, buat Ansuman, kelakuan Arundhati barusan itu memang lucu dan semakin menggemaskan. Semakin dheg-dheg-pyar saja dadanya.

“Yu Ara, apakah ada kemungkinan bahwa si Sekar ini sebenarnya adalah identik yang belum terhubung?” Kali ini mimik muka Arundhati berubah menjadi serius.

“Bisa saja. Setiap ketidakpastian itu akan memberikan banyak sekali kemungkinan, Ayun” Kali ini pertanyaan Arundhati dijawab oleh Ansuman. “cuma, masalahnya, kita sendiri hanya punya keyakinan dibawah limapuluh persen terhadap keberadaan dia di dimensi ini.”

“Hmmm…. berarti Ayun harus bertemu dengan Sekar dulu. Ayun tidak dapat menebak kehadiran Sekar di sini.”  Usul Arundhati sambil manggut-manggut.

“Ini juga masalah, karena saat ini Sekar sedang ke Gagak Wulung, padepokan  ayahandanya. Tapi ya gak terlalu sih, kita masalah bisa tanya lokasinya sama Nyi Ajar.” Ujar Ansuman setengah mengeluh, meskipun langsung dia koraksi.

Tiba-tiba roman muka Sitakara nampak cerah dan bahkan tersenyum, “Ayun, kamu bisa ketemu Niken besok siang. Barusan Yu Ara yang di sana dipanggil sama Nyi Ajar, beliau kasih informasi, Niken bakal nyampai ke Padepokan kita besok pagi”

Arundhati ikut senang, karena pencarian selanjutnya tidak akan sulit buat Arundhati, asal dia sudah mengenali keunikan dari kesadaran Niken. “Nah, betul, insya Allah Ayun ikut menjemput do’i.”

“Saya juga!”, sahut Ansuman sambil mengacungkan tangannya. Arundhati dan Sitakara tertawa.

“Udah…, gak usah ikut. Ini urusan perempuan!” sergah Arundhati

“Nih…, saya kasih tahu! Kenapa Ki Ageng Turangga Seta dan Nyi Ajar Nismara menyuruh saya, Ansuman Adyucara, untuk selalu bersama kalian, tak lain dan tak bukan adalah agar saya bisa menjaga kalian, para asset terbaik Padepokan Alang-alang Segoro Wedi.” Sesumbar Ansuman sambil berdiri membusungkan dada yang membuat baik Sitakara maupun Arundhati tertawa tertahan. Mereka berdua tahu, tidak ada yang mendapatkan tugas semacam itu. Mungkin itu cuma penghiburan Ansuman karena harus menemani Sitakara yang berarti juga Arundhati dan Sweta Nandini. Besok lagi, kalau betul dapat menemukan Niken, maka dia akan semakin minoritas. Hanya, beruntungnya dia dari ketiga perempuan itu tidak ada yang jelek.

Malam semakin larut. Tidak terasa jarum jam sudah menunjuk ke angka 9, ketika Sitakara tidak sengaja melihat jam dinding yang menempel di pintu masuk ke dalam rumah.

“Ayun, itu jamnya bagus banget!” puji Sitakara memancing. Yang dibalas arundhati dengan bertanya, “Jam yang mana?”

“Itu tuh, yang di atas pintu. Pas banget kalau Yu Ara yang melihat!” jawab Sitakara sambil menunjuk ke arah jam dinding.

“Oh itu sengaja, di taruh di situ biar tamunya gak lama-lam….. he he he…..“  Arundhati tidak menyelesaikan jawabannya, malah nyengir kuda,  dan minta maaf, “maaf eh maaf, maaf! Bukan maksudnya ngu… sir! Tapi tamunya bapak itu sering gak make waktu kalau datang. Makanya bapak pasang jam dinding di situ.” Arundhati salah tingkah berusaha mengkoreksi jawabannya tadi.

“Gak apa Ayun, lagian ini juga udah malam. Dah jam sembilan. Tuh, lihat kan? Gak baik buat Yu Ara maupun Ayun!” seperti biasa, dengan lembut Sitakara berusaha menenangkan Arundhati. Tapi, sepertinya Arundhati masih belum dapat mengendalikan salah tingkahnya. Wajar, dia memang sangat menghormati Sitakara, biarpun usianya cuma selisih tiga tahun, “E e, iya-iya… gak papa, gak papa! Op ppoup, mmm, maksudnya gak apa kalau masih mau di sini!”

“Kalau saya yang di sini sampai pagi, boleh gak Ayun?” tiba-tiba Ansuman nimbrung.

“Gak boleh….!” Jawab Arundhati tegas. HIlang semua sungkan dan tergagapnya. Ansuman tertawa. Sitakara tersenyum.

“Ya, sudah.. sebentar…. Tunggu Ayun mau panggil Bapak sama Ibu dulu!”

Arundhati yang sudah hilang gagapnya, minta ijin untuk memanggil kedua orangtuanya, langsung masuk ke dalam rumah. Sitakara dan Ansuman saling berpandangan dan tersenyum.

“Berat, Suman!” kata Sitakara sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Ansuman.

“Ya…, kita lihat saja nanti!” jawab Ansuman santai. Sitakara tersenyum. Dia tahu, Arundhati yang cuma dalam beberapa hari telah mampu melampaui seluruh murid padepokan adalah tantantang berat buat Ansuman tentunya.

Tak lama setelah masuk ke dalam rumah, Arundhati telah keluar lagi bersama ibunya. Gak usah diceritakan tentunya, kenapa cuma ibunya, karena toh sudah sedari tadi tidak ada satu orang pun yang membawakan sajian keluar.  Bulek Tantri, adik Ibu, sedang tidak di rumah. Kalau ada Bulek Tantri, pasti Bulek Tantri yang disuruh. Dan dalam kondisi begitu, parahnya Arundhati tidak nyadar bahwa tidak ada cemilan di antara mereka.

“Ibu, mohon maaf ini udah ngrepotin. Bertamu malam-malam, dan jam segini baru mau pulang!” ucap Sitakara kepada Ibu berbasa-basi.

“Iya, nggak apa-apa, lagin Ayun ini, sudah lebih satu jam gak ada cemilan atau minuman yang keluar!” balas ibu yang membuat Arundhati tersenyum kecul.

“Iya, Ibu, sekalian mau pamit juga ini. Udah malem!” ucap Sitakara yang diikuti oleh Ansuman. “Iya, saja juga mohon pami!”

“Baik…baik baik….! Monggo, silakan. Jangan kapok-kapok untuk datang ke mari ya!”

“Ayo Yun, Yu Ara pergi dulu ya…..!” pamit Sitakara kepada Arundhati.  Arundhati tersenyum, “hati-hati Yu Ara!”

“Saya juga, Yun. Kang Suman juga mau pergi dulu, ya!” Ansuman ikut-ikutan pamit kepada Arundhati.  Muka Arundhati berubah kecut tanpa mengucapkan suatu katapun. “Apa, Kang Suman gak boleh pergi? Ya udah Kang Suman gak jadi pulang!”

Arundhati marah, “udah udah udah, sana pulang, pulang!”

Sitakara dan Ansuman membaikkan badan dan segera turun dari teras dan berjalan ke luar dan uluk salam, “Assalamu’alaikum!”

Ibu dan Arundhati kompak menjawab salam Sitakara maupun Ansuman, “Wa’alaikum salam!”

Ibu memperhatikan keduanya, tapi mungkin sebenarnya cuma Ansuman, “ganteng!”

“Apa bu? Ngganteng? Wek…!” Arundhati protes karena Ibu bilang Ansuman ngganteg. Ibu tersenyum mendengara protes Arundhati.

“Tinggal dan sekolah di mana dia?” tanya ibu

“Semarang. Dia kuliah semester 6 di Semarang. Dan dia juga tinggal di Semarang ikut orang tuanya!” tegas Arundhati menjawab pertanyaan Ibunya.  Ibunya tersenyum.

“Katanya gak suka!” sindir ibu. Hidung Arundhati kembang kempis dan pipinya memerah karena memang sindiran ibu mengena, “E.. Ibu… Ayun kan cuma tahu aja!”

“Eh, Ayun, mereka pulangnya gimana, kan angkutan pedesaan udah gak jalan lagi buat nganter mereka ke kota? Padahal kamu bilang, siapa tadi tu namanya tinggalnya di Semarang, sedangkan si tadi tuh yang perempuan, Ara, iya  Ara, Ara, kata kamu tadi pagi. Tinggalnya di Kota?”

“Gak tahu, Ah! Ayun mau masuk dulu!” Arundhati takut terjebak seperti tadi, dan dia tidak mau menjawab pertanyaan Ibunya. Arundhati langsung nyelonong pergi masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan ibunya yang menyusulnya sambil mengunci pintu. Ibu tersenyum meskipun kepikiran juga, bagaimana kedua anak tadi pulang. Ah, mungkin mereka anaknya orang kaya, punya mobil dan menginap di hotel.

Di depan televisi, Bapak yang masih cetrak-cetrek mindah-mindahin channel, karena channel televisi sekarang yang memang gak ada lagi yang mutu benar-benar telah berhasil membuat bapak frustrasi malam ini. Mendengar, suarau Ibu mengunci pintu, Bapak mematikan televisi sambil berkata, “susah memang tinggal di kampung gak ada internet buat nonton televisi”.

Setelah menaruh remote televisi ke depan layar televisinya, Bapak bertanya ke Ibu mengenai teman-teman Arundhati.

“Gimana jadinya?”

“Apanya?”

“Teman-temannya Ayun?”

“Sudah pulang.”

“Owalah bune…., kenapa ndhak disuruh nginep saja to bune? Kasihan, kan bisa tidur di kamarnya Tantri”

“Lha terus siapa itu yang laki-laki? Suruh tidur di mana dia?”

“Ya… ya… di depan tivi sini juga gak apa to?”

“Itu kan maunya Bapak tho? Biar nanti siapa itu yang perempuan cerita ke ibunya. Bapaknya Ayun baik banget. Semalam karena kemalaman, disuruh nginep di kamar bibinya Ayun yang sedang gak di rumah….! Gitu to maunya? Maaf, Ibu sudah tahu! Dan, karena tidak ada yang tidur di depan tivi, sekarang bapak saja yang tidur depan tivi!”

“Oh… gitu ya? Kok gitu sih….? Tega!” Ini adalah gaya Bapak kalau berantem sama Ibu. Arundhati cuma tersenyum mendengar suara Bapak dan Ibunya berantem dari dalam kamar.   Arundhati sangat tahu, bahwa besok pagi mereka berdua telah akur. 

0 comments: