{15} Kumpul
Sesampainya di rumah, setelah selesai mengembalikan
penampilannya seperti sebelumnya, Arundhati buru-buru menuju keruang tengah.
Bapak dan Ibu yang masih duduk di meja makan memperhatikan Arundhati yang
buru-buru masuk lagi setelah sekitar satu menit ada di luar bertanya,
“Ada apa Ayun?” tanya Bapak.
“Gak tahu nih tadi rame banget dari arah timur. Bapak juga
dengar kan?”
“Iya!”
“Nah itu, sekarang gak kedengaran lagi to nggih?” tanya Ayun
lagi.
“Iya! Sepi sekarang..”
“Nah itu, coba mau Ayun liat di tivi”. Ayun mengambil
remote, duduk di sofa depan tivi dan menyalakan televisi. Seperti dugaan
Arundhati, kejadian tadi memang disiarkan di televisi dan saat layar menyala
nampak seorang reporter tengah menyampaikan reportasinya,
“Memang sebuah keajaiban pemirsa. Bila tadi dapat kita
saksikan betapa marah dan beringas orang-orang itu, saat ini dapat kita
saksikan mereka sedang kebingungan dan bahkan beberapa di antara mereka
mengalami muntah-muntah yang cukup dahsyat. Dan semua orang yang tadi nampak
beringas, justeru bertanya kenapa mereka ada di sini. Memang sebuah keaajaiban
saudara-saudara, bagaimana mungkin orang-orang yang tadinya begitu beringas,
tiba-tiba nampak tidak berdaya sama sekali. Dan lebih mengherankan lagi senjata
dan peralatan mereka yang mereka pakai dalam kejadian ini semuanya menghilang..!”
belum selesai reporter menyelesaikan reportasinya, dari arah studio studio suara
seorang laki-laki memotong, “Tunggu dulu Fitri, mungkin kita perlu memutar
ulang kejadian saat perangkat mereka menghilang.”
“Yap, betul Mike.
Silakan!”
Setelah dipersilakan oleh FItri, gambar muncul dalam dua
bingkai, sebelah kiri memutar kejadian saat terjadinya penyerangan oleh
segerombolan orang namun tiba-tiba semua peralatan penyerangan menghilang,
sementara pada bingkai kedua nampak reporter televisi meneruskan reportasinya,
dan kali ini dia menunjukkan tumpukan perangkat penyerangan yang tiba-tiba
muncul di tempat yang agak jauh dari lokasi penyerangan.
Arundhati tersenyum lega, ketika menyaksikan bahwa tidak
sekalipun kameraman menyorot ke arah atas.
“Ada apa Ayun?” tanya Bapak Sekali lagi.
“Ini di grumbul Karangsatru barusan ada banyak orang ngamuk
ngacak-acak apapun yang dilewatinya. Bahkan, mereka melakukan penyerangan
kepada warga. Tapi, ini aneh…. Tiba-tiba mereka berhenti menyerang dan semua
peralatan penyerangan mereka menghilang. Engh…. Bukan menghilang sih, lebih
tepatnya berpindah tempat. Semuanya numpuk di tempat yang agak jauh dari
lokasi!”
“Apakah itu hasil kerjaan kamu?” tanya Bapak menyelidik yang
dibalas dengan nyengir kuda oleh Arundhati. Dan, sepertinya Arundhati tidak
perlu menjawab sekarang, karena dari arah depan terdengar seorang lelaki muda
uluk salam, “Assalaamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salaam….!” Jawab Arundhati langsung buru-buru ke
depan dan segera mempersilakan masuk.
“Hwaduh, Yu Ara, Kang Suman…. Ayo masuk!”
“Ga usah Ayun, enakan di teras saja. Teras ayun luas juga
sampai bisa dikasih meubel. Ah ini sih pendopo bukan teras!” jawab Ansuman dan
langsung menganalisa.
Arundhati tertawa, “Ah… Kang Suman bisa aja…. Ya udah
silakan, silakan duduk Yu Ara, Kang Suman!”
Setelah mereka bertiga duduk mengelilingi meja yang ada di
teras, Sitakara berbicara sambil tetep tersenyum, “Maaf, ya Ayun… malam-malam
ngrepotin. Ini Ansuman, katanya pengin tahu kamu kalau di dimensi utama ini.”
Arundhati tertawa lepas. Tertawa lepas seorang gadis cantik ini
ternyata membuat deg-degan Ansuman. Apalagi deretan gigi yang berjajar sangat
rapi dan tiba-tiba tampil melengkapi seluruh ornamen kecantikan Arundhati, itu
membuat jantung Ansuman semakin tidak menentu. Dan Ansuman ternyata tidak lihai
menyembunyikan perasaannya. “Arundhati, kanapa kamu jauh lebih cantik di dimensi
utama ini?” teriak Ansuman di dalam hati.
“O iya, Dini mana?” tanya Arundhati.
“Tadi, dia pamit langsung pulang, Takut dicari ayahnya.!”
Jawab Sitakara.
“O, begitu. Eh… entar dulu ya… tunggu….!”
Arundhati bangkit dari duduknya dan segera bergerak ke dalam
ruangan. Tak lama kemudian Arundhati muncul bersama kedua orang tuanya.
“Bapak, Ibu, ini Ansuman, Ayun manggil dia Kang Suman!”
Ansuman berdiri dan membungkuk sambil menyebutkan namanya,
“Ansuman Adhyucara!”
Bapak memperhatikan dari bawah sampai ke atas pemuda berkulit
putih dan berambut panjang dengan setelan jeans hitam dan kaos tebal hitam
lengan panjang yang memperkenalkan diri dengan nama Ansuman Adyucara. Ansuman
makin salah tingkah karena.
“Ayun, kamu punya teman ngganteng gini kenapa baru sekarang
dikenalin ke Bapak?”
Arundhati tahu, sebenarnya Bapak cuma mau kasih tahu kalau
Arundhati gak boleh pacaran. Tapi Bapak maunya itu keluar dari mulut Arundhati. Namun, Ansuman yang tidak tahu kode bapak anak
ini malah jadi tambah salah tingkah. Hidung kembang-kempis, mau duduk malah lengan
kursi yang dia duduki. Kursinya miring, dan Ansuman nyaris jatuh.
“Ap… ap… apap, maaf, maaf… !” gagap Ansuman minta maaf
sambil membereskan posisi dan kursinya.
Arundhati dan Bapak tertawa, “Gak apa-apa, Nak Suman…
silakan duduk!”
“Lagian sih, Bapak kenapa ngomongnya gitu… Tapi jangan
kuatir, Pak. Arundhati masih anak-anak… Eh… iya kan, kemaren waktu masih
dirawat kan masih dibilang – Anak Arundhati – ya, kan, Pak?”
“Iya!”
“Nah itu, Arundhati kan masih kanak-kanak kan dan Arundhati
tidak akan pacaran. Lagian juga ini juga baru ketemu tadi!”
Mendengar jawaban Arundhati, Bapak tertawa. Kemudian
pandangan Bapak beralih ke Sitakara. Bapak memandangi Sitakara lebih dari
ketika memandangi Ansuman. Seperti ada yang diingat-ingat. Dia pandangi lagi
dan lagi Sitakara dan berhenti ketika Ibu mencubit lengan Bapak. Meskipun Ibu
belum tahu siapa tapi, bagaimanapun yang dipandangi oleh suaminya adalah
perempuan yang lebih tua dari anaknya dan bisa jadi sudah dewasa. Bapak terdiam
dan menepis cubitan tangan Ibu. Ibu melotot.
“Kalau yang ini, siapa ini?” tanya Bapak kepada Arundhati.
“Nah ini, Pak! Mbakyu yang ini, namanya Sitakara, yang tadi
Ayun ceritain itu. Lengkapnya Sitakara Dhanta putri dari ibu Retna Nawangsih.”
Dheg, jantung Bapak tiba-tiba berdegup kencang dan kulit
lengan berasa ada yang menggigit lagi.
“O.., pantes wajahnya kok nampak familiar”
Bapak masih berusaha ramah, tapi sesuatu yang menggigit
lengannya semakin kencang gigitannya. Bapak meringis menahan sakit.
Arundhati yang melihat Ibu yang mencubit lengan Bapak
tertawa sambil menutup mulutnya. Dan, untung tadi sore Arundhati sudah menyinggung
hubungan Ibu Retna Nawangsih dengan bapaknya Arundhati sehingga kejadian itu
tidak sempat membuat Sitakara salah tingkah. Sitakara malah ikut tersenyum.
“Ya sudah, silakan kalau mau pada ngobrol-ngobrol dulu.
Bapak sama Ibu tak masuk dulu!” kali ini yang berbicara. Ibu pamit masuk ke
dalam, dan tanpa menunggu jawaban Ibu sudah menarik Bapak masuk ke dalam rumah.
Sayup-sayup terdengar mereka bertengkar kecil dengan suara yang pelan.
“Tuh… bapak kan, baru liat anaknya udah gemeter, apalagi
liat emaknya…!”
“Enggak ibu, tadi tuh bapak emang kaget. Anak kita yang
manja itu ternyata temannya sudah pada dewasa!”
“Alasan..!”
Arundhati dan Sitakara tertawa kecil mendengar pertengkaran
mereka. Ansuman bingung tapi dia tidak mau tanya apa sebabnya kedua gadis itu
malah tertawa mendengar orang tua bertengkar.
Beberapa saat kemudian, Sitakara mulai membuka percakapan, “Begini,
Ayun! Yu Ara menyempatkan datang ke rumah Ayun selain karena Suman yang udah
ngerengek-rengek minta datang ke rumah Ayun setelah mendengar Ayun datang ke
Rumah Yu Ara sore tadi, juga karena ada masalah penting yang ingin Guru Nyi
Ajar Nismara sampaikan. Ayun yang di sana sekarang sedang pingsan, sehabis
latihan tadi siang sehingga beliau tidak dapat menyampaikan langsung kepadamu.”
Sitakara tidak langsung melanjutkan percakapanannya. Sitakara melirik ke
Ansuman. Yang dilirik sebenarnya pengin marah. Tapi, ya mau gimana, wong
kenyataannya memang begitu. Ansuman akhirnya cuma nyengir.
“Baik, Yu Ara. Tapi, ini… apa Kang Suman juga boleh
mendengarkan?” tanya Arundhati sebelum Sitakara melanjutkan.
“Gak apa, Ayun. Lagian salah satu yang didawuhkan Nyi Ajar
sepertinya sudah selesai tadi. Tinggal satunya lagi. Dan ini sepertinya Suman
juga boleh denger.”
“Lha, maaf yu Ara, emang dhawuh yang pertama itu apa? Terus,
Ayun latihan apa kok sampai pingsan?”
“Dhawuh yang pertama itu terkait dengan Dhemit Bacira yang
tlanyakan masuk dimensi kita dan bikin masalah. Tapi ternyata, kamu lebih sigap.”
“Terus, kenapa Ayun pingsan?”
“Ini juga terkait si Dhemit Bacira. Ayun berlatih terlalu
keras, seminggu terakhir ini. Ayun penasaran banget sama Dhemit Bacira yang
tukang ngacir kalau bertarung. Dan, kamu Ayun, untung Ayun melakukan
penyelarasan hari ini sehingga kemampuan Ayun yang di sana sudah Ayun terima
semua.”
Arundhati mengangguk-angguk. Sepertinya ada yang baru dia
pahami. “Pantas saja Ayun mampu melakukan pelengkungan waktu dengan sedemikian
lama. Ternyata Ayun yang di sana telah mempersiapkan. Kasian dia pingsan, dan
pantas saja Ayun berasa ada yang kurang dalam beberapa jam terakhir.”, kata
Arundhati dalam hati, dan tersenyum mengingat bahwa dia pingsan di sana.
“Ayun, kenapa tersenyum?” tegur Sitakara.
“Gak, Yu Ara, lagi bayangin saya yang di sana lagi pingsan.
Masa saya harus kasihan sama diri sendiri?”.
Mendengar jawaban Arundhati, Sitakara mau tak mau ikut tersenyum. Ada-ada saja Ayun.
“Terus, Dhawuh yang kedua apaan?” tanya Arundhati.
“Dhawuh kedua ini juga sebenarnya masih terkait dengan
Dhemit Bacira. Jadi, kehadiran Dhemit
Bacira ini cuma sebuah permulaan. Berikutnya nanti akan muncul makhluk-makhluk
sejenis Dhemit Bacira baik yang cuma berupa manipulasi persepsi maupun yang
makhluk yang terdiri dari darah dan daging yang berasal dari tempat-tempat
tersembunyi di dimensi kita ini. Untuk itu kita diminta untuk sering
berkomunikasi. Dan saling memberitahu bila terjadi sesuatu.”
“Lah, kalau berkomunikasi itu pasti!” potong Arundhati. Dan,
sambil kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Ansuman Arundhati melanjutkan,
“kecuali sama dia!”
Ansuman melotot ke arah Arundhati dan Sitakara bergantian
sambil kanannya menunjuk ke dada, “saya?”
Arundhati dan Sitakara tertawa lepas. Ansuman bingung, tapi
kemudian dia ikut tertawa. Kecut. “Gini
amat ya….?” Keluh Ansuman dalam hati.
“Tapi Ayun, Dhawuh Nyi Ajar bukan itu.” Sitakara melanjutkan
pebicaraan.
“Terus apa, Yu Ara?”
“Nyi Ajar Dhawuh, agar Ayun membantu beliau untuk mencari murid beliau yang bernama Niken Lanjar
Sekar Kenanga untuk menambah kekuatan kita. Dia satu generasi sama kita, tapi
dia sudah ikut Nyi Ajar dari 5 tahun lalu. Nyi Ajar sangat mempercayai dia dapat membantu
kita terutama kamu Ayun karena dia punya kemampuan memanipulasi persepsi. Dan,
Niken ini adalah putri kinasih dari Ki Ageng Gagak Pergola, kolega Nyi Ajar
Nismara”
“Widih…. Namanya kaya nama-nama dalam kisah dunia
persalinan, eh, persilatan! Panjang pula! Panggilannya apa?” sekali lagi komentar
Arundhati memotong pembicaraan.
“ha ha ha ha….!” Sitakara tertawa mendengar komentar
Arundhati. “Ayun, kita ikuti saja saat Nyi Ajar menyebut namanya. Beliau cuma
menyebutnya Sekar Kenanga, atau panggilannya Sekar”. Arundhati manggut-manggut. “O, gitu? Nah
terus, nyari posisi dia bagaimana Yu Ara?”
“Nah, itu. Itu masalahnya! Menurut Nyi Ajar Nismara,
kemungkinan keberadaannya di dimensi ini juga kurang dari limapuluh persen.”
“Wadaw, apalagi itu? Bukannya, kayak Ayun, Yu Ara, Dini,
sama Kang Suman, semuanya yang ada di sana juga ada di sini?”
“Ehem.., Ayun, apa Ayun ketemu bapak Ayun di sana?” tanya
Ansuman menyela. Arundhati menoleh ke
arah Ansuman dan menggeleng, “enggak, Kang!”.
“Nah, itu. Kami yang pernah bertemu dengan Sekar di sana pun
tidak pernah bertemu dengan Sekar di sini. Dan kecuali Yu Ara yang beruntung
punya Ibu yang sama di sini dan di sana. Saya sama Dini, Ayun, sama-sama gak
punya orang tua di sana di lapis kedua dimensi mimpi. Takutnya, mereka semua masih terjebak di dalam
serpihan mozaik dimensi mimpi. Harapannya sih mereka ada di lapis kedua dimensi
mimpi cuma entah berada di mana, kita yang belum ketemu.” Lanjut Ansuman.
“Bagusnya kita tanyakan saja sama mereka, toh mereka ada di
sini. Saya tanya ke Bapak, coba.” Arundhati sudah hendak bangkit, namun ditahan
tangannya oleh Sitakara. “Tunggu dulu, Ayun! Kamu itu lho, sukanya buru-buru.
Duduk dulu, coba!” Arundhati nyengir, duduk lagi. “Mereka tidak identik, Ayun.
Maka, mereka tidak akan tahu apa yang kita tanyakan ke mereka.” Sitakara
melanjutkan.
“Tapi dimensi mimpi ini kan milik semua orang yang masih bisa
bermimpi? Artinya setiap orang mempunyai kesadarannya di dunia mimpi?” tanya
Arundhati kurang puas.
“Betul, namun hanya beberapa orang yang identik yang mampu
membentuk keselarasan. Sementara mereka yang tidak identik, hanya mampu
mendapatkan informasi sepotong-sepotong. Masih ingat penjelasan Yu Ara waktu di
penginapan merpati?”
Arundhati mengangguk-angguk. Matanya memicing, dahinya
berkerut, bibirnya manyun. Sitakara tertawa melihat mimik muka Arundhati, “ha
ha ha… Ayun, ngapain kamu?”
“Lagi mikir, Yu Ara!” jawab Ayun sekenannya. Sitakara maupun
Ansuman sama-sama tertawa mendengar jawaban Arundhati. Dan, buat Ansuman,
kelakuan Arundhati barusan itu memang lucu dan semakin menggemaskan. Semakin
dheg-dheg-pyar saja dadanya.
“Yu Ara, apakah ada kemungkinan bahwa si Sekar ini sebenarnya
adalah identik yang belum terhubung?” Kali ini mimik muka Arundhati berubah
menjadi serius.
“Bisa saja. Setiap ketidakpastian itu akan memberikan banyak
sekali kemungkinan, Ayun” Kali ini pertanyaan Arundhati dijawab oleh Ansuman.
“cuma, masalahnya, kita sendiri hanya punya keyakinan dibawah limapuluh persen
terhadap keberadaan dia di dimensi ini.”
“Hmmm…. berarti Ayun harus bertemu dengan Sekar dulu. Ayun
tidak dapat menebak kehadiran Sekar di sini.” Usul Arundhati sambil manggut-manggut.
“Ini juga masalah, karena saat ini Sekar sedang ke Gagak
Wulung, padepokan ayahandanya. Tapi ya
gak terlalu sih, kita masalah bisa tanya lokasinya sama Nyi Ajar.” Ujar Ansuman
setengah mengeluh, meskipun langsung dia koraksi.
Tiba-tiba roman muka Sitakara nampak cerah dan bahkan
tersenyum, “Ayun, kamu bisa ketemu Niken besok siang. Barusan Yu Ara yang di
sana dipanggil sama Nyi Ajar, beliau kasih informasi, Niken bakal nyampai ke
Padepokan kita besok pagi”
Arundhati ikut senang, karena pencarian selanjutnya tidak
akan sulit buat Arundhati, asal dia sudah mengenali keunikan dari kesadaran Niken.
“Nah, betul, insya Allah Ayun ikut menjemput do’i.”
“Saya juga!”, sahut Ansuman sambil mengacungkan tangannya.
Arundhati dan Sitakara tertawa.
“Udah…, gak usah ikut. Ini urusan perempuan!” sergah
Arundhati
“Nih…, saya kasih tahu! Kenapa Ki Ageng Turangga Seta dan
Nyi Ajar Nismara menyuruh saya, Ansuman Adyucara, untuk selalu bersama kalian,
tak lain dan tak bukan adalah agar saya bisa menjaga kalian, para asset terbaik
Padepokan Alang-alang Segoro Wedi.” Sesumbar Ansuman sambil berdiri
membusungkan dada yang membuat baik Sitakara maupun Arundhati tertawa tertahan.
Mereka berdua tahu, tidak ada yang mendapatkan tugas semacam itu. Mungkin itu
cuma penghiburan Ansuman karena harus menemani Sitakara yang berarti juga
Arundhati dan Sweta Nandini. Besok lagi, kalau betul dapat menemukan Niken,
maka dia akan semakin minoritas. Hanya, beruntungnya dia dari ketiga perempuan
itu tidak ada yang jelek.
Malam semakin larut. Tidak terasa jarum jam sudah menunjuk
ke angka 9, ketika Sitakara tidak sengaja melihat jam dinding yang menempel di
pintu masuk ke dalam rumah.
“Ayun, itu jamnya bagus banget!” puji Sitakara memancing.
Yang dibalas arundhati dengan bertanya, “Jam yang mana?”
“Itu tuh, yang di atas pintu. Pas banget kalau Yu Ara yang
melihat!” jawab Sitakara sambil menunjuk ke arah jam dinding.
“Oh itu sengaja, di taruh di situ biar tamunya gak
lama-lam….. he he he…..“ Arundhati tidak
menyelesaikan jawabannya, malah nyengir kuda, dan minta maaf, “maaf eh maaf, maaf! Bukan
maksudnya ngu… sir! Tapi tamunya bapak itu sering gak make waktu kalau datang.
Makanya bapak pasang jam dinding di situ.” Arundhati salah tingkah berusaha
mengkoreksi jawabannya tadi.
“Gak apa Ayun, lagian ini juga udah malam. Dah jam sembilan.
Tuh, lihat kan? Gak baik buat Yu Ara maupun Ayun!” seperti biasa, dengan lembut
Sitakara berusaha menenangkan Arundhati. Tapi, sepertinya Arundhati masih belum
dapat mengendalikan salah tingkahnya. Wajar, dia memang sangat menghormati Sitakara,
biarpun usianya cuma selisih tiga tahun, “E e, iya-iya… gak papa, gak papa! Op
ppoup, mmm, maksudnya gak apa kalau masih mau di sini!”
“Kalau saya yang di sini sampai pagi, boleh gak Ayun?”
tiba-tiba Ansuman nimbrung.
“Gak boleh….!” Jawab Arundhati tegas. HIlang semua sungkan
dan tergagapnya. Ansuman tertawa. Sitakara tersenyum.
“Ya, sudah.. sebentar…. Tunggu Ayun mau panggil Bapak sama
Ibu dulu!”
Arundhati yang sudah hilang gagapnya, minta ijin untuk
memanggil kedua orangtuanya, langsung masuk ke dalam rumah. Sitakara dan
Ansuman saling berpandangan dan tersenyum.
“Berat, Suman!” kata Sitakara sambil mengedipkan sebelah
matanya ke arah Ansuman.
“Ya…, kita lihat saja nanti!” jawab Ansuman santai. Sitakara
tersenyum. Dia tahu, Arundhati yang cuma dalam beberapa hari telah mampu
melampaui seluruh murid padepokan adalah tantantang berat buat Ansuman
tentunya.
Tak lama setelah masuk ke dalam rumah, Arundhati telah
keluar lagi bersama ibunya. Gak usah diceritakan tentunya, kenapa cuma ibunya,
karena toh sudah sedari tadi tidak ada satu orang pun yang membawakan sajian
keluar. Bulek Tantri, adik Ibu, sedang
tidak di rumah. Kalau ada Bulek Tantri, pasti Bulek Tantri yang disuruh. Dan
dalam kondisi begitu, parahnya Arundhati tidak nyadar bahwa tidak ada cemilan
di antara mereka.
“Ibu, mohon maaf ini udah ngrepotin. Bertamu malam-malam,
dan jam segini baru mau pulang!” ucap Sitakara kepada Ibu berbasa-basi.
“Iya, nggak apa-apa, lagin Ayun ini, sudah lebih satu jam gak
ada cemilan atau minuman yang keluar!” balas ibu yang membuat Arundhati
tersenyum kecul.
“Iya, Ibu, sekalian mau pamit juga ini. Udah malem!” ucap
Sitakara yang diikuti oleh Ansuman. “Iya, saja juga mohon pami!”
“Baik…baik baik….! Monggo, silakan. Jangan kapok-kapok untuk
datang ke mari ya!”
“Ayo Yun, Yu Ara pergi dulu ya…..!” pamit Sitakara kepada
Arundhati. Arundhati tersenyum,
“hati-hati Yu Ara!”
“Saya juga, Yun. Kang Suman juga mau pergi dulu, ya!” Ansuman
ikut-ikutan pamit kepada Arundhati. Muka
Arundhati berubah kecut tanpa mengucapkan suatu katapun. “Apa, Kang Suman gak
boleh pergi? Ya udah Kang Suman gak jadi pulang!”
Arundhati marah, “udah udah udah, sana pulang, pulang!”
Sitakara dan Ansuman membaikkan badan dan segera turun dari
teras dan berjalan ke luar dan uluk salam, “Assalamu’alaikum!”
Ibu dan Arundhati kompak menjawab salam Sitakara maupun
Ansuman, “Wa’alaikum salam!”
Ibu memperhatikan keduanya, tapi mungkin sebenarnya cuma
Ansuman, “ganteng!”
“Apa bu? Ngganteng? Wek…!” Arundhati protes karena Ibu
bilang Ansuman ngganteg. Ibu tersenyum mendengara protes Arundhati.
“Tinggal dan sekolah di mana dia?” tanya ibu
“Semarang. Dia kuliah semester 6 di Semarang. Dan dia juga tinggal
di Semarang ikut orang tuanya!” tegas Arundhati menjawab pertanyaan
Ibunya. Ibunya tersenyum.
“Katanya gak suka!” sindir ibu. Hidung Arundhati kembang
kempis dan pipinya memerah karena memang sindiran ibu mengena, “E.. Ibu… Ayun
kan cuma tahu aja!”
“Eh, Ayun, mereka pulangnya gimana, kan angkutan pedesaan
udah gak jalan lagi buat nganter mereka ke kota? Padahal kamu bilang, siapa
tadi tu namanya tinggalnya di Semarang, sedangkan si tadi tuh yang perempuan,
Ara, iya Ara, Ara, kata kamu tadi pagi. Tinggalnya
di Kota?”
“Gak tahu, Ah! Ayun mau masuk dulu!” Arundhati takut
terjebak seperti tadi, dan dia tidak mau menjawab pertanyaan Ibunya. Arundhati
langsung nyelonong pergi masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan ibunya yang
menyusulnya sambil mengunci pintu. Ibu tersenyum meskipun kepikiran juga,
bagaimana kedua anak tadi pulang. Ah, mungkin mereka anaknya orang kaya, punya
mobil dan menginap di hotel.
Di depan televisi, Bapak yang masih cetrak-cetrek
mindah-mindahin channel, karena channel televisi sekarang yang memang gak ada
lagi yang mutu benar-benar telah berhasil membuat bapak frustrasi malam ini.
Mendengar, suarau Ibu mengunci pintu, Bapak mematikan televisi sambil berkata,
“susah memang tinggal di kampung gak ada internet buat nonton televisi”.
Setelah menaruh remote televisi ke depan layar televisinya,
Bapak bertanya ke Ibu mengenai teman-teman Arundhati.
“Gimana jadinya?”
“Apanya?”
“Teman-temannya Ayun?”
“Sudah pulang.”
“Owalah bune…., kenapa ndhak disuruh nginep saja to bune? Kasihan,
kan bisa tidur di kamarnya Tantri”
“Lha terus siapa itu yang laki-laki? Suruh tidur di mana dia?”
“Ya… ya… di depan tivi sini juga gak apa to?”
“Itu kan maunya Bapak tho? Biar nanti siapa itu yang perempuan
cerita ke ibunya. Bapaknya Ayun baik banget. Semalam karena kemalaman, disuruh
nginep di kamar bibinya Ayun yang sedang gak di rumah….! Gitu to maunya? Maaf,
Ibu sudah tahu! Dan, karena tidak ada yang tidur di depan tivi, sekarang bapak
saja yang tidur depan tivi!”
“Oh… gitu ya? Kok gitu sih….? Tega!” Ini adalah gaya Bapak kalau berantem sama Ibu. Arundhati cuma tersenyum mendengar suara Bapak dan Ibunya berantem dari dalam kamar. Arundhati sangat tahu, bahwa besok pagi mereka berdua telah akur.

0 comments:
Posting Komentar