{19} Macan
Sore yang cerah. Angin bertiup cukup kencang dari arah areal persawahan, menyapa dedaunan kering dihalaman dan mengajaknya untuk menari memeriahkan sore yang hangat. Beberapa anak kecil berlarian sambil bermain kuda-kudaan tulang daun pisang. Beberapa mbok tani melintas di jalan depan rumah sambil saling bercanda. Arundhati yang baru saja menyelesaikan ibadah Ashar segera beranjak dari duduknya. Arundhati berjalan menuju ranjangnya, melepas rukuh dan melipatnya. Sebentar dia menyisir rambutnya untuk kemudian menutupnya dengan kerudung putih yang tersangkut di sisi lemari. Arundhati mematut-matut kerudungnya agar menjadi bagaimana tidak tahu selain Arundhati sendiri karena tanpa dipatut-patut pun, wajah cantiknya tidak berubah menjadi buruk. Apapun yang menghiasi wajahnya, bukanlah perhiasan. Wajahnyalah yang menghiasi perhiasan itu sehingga nampak indah. Cuma, di sekolahnya, Arundhati bukanlah gadis yang banyak dikejar siswa-siswa laki-laki. Ada satu kekurangan Arundhati yang membuat teman laki-laki memilih mundur; Arundhati tidak tertarik untuk main pacar-pacaran atau pacaran. Buat dia, berkawan yang banyak adalah hal yang mendesak, sementara pacaran bukanlah hal yang mendesak. Jadi, siapapun laki-laki yang mendekatinya pasti akan capek sendiri. Arundhati selalu punya cara untuk menghindar.
Selesai mematut-matut kerudungnya, Arundhati melangkah
keluar dari kamarnya dan duduk di ruang keluarga. Sambil memungut remote
televisi yang tergeletak di atas meja, Arundhati menegur bulek Tantri yang lagi
asik dengan gadgetnya.
“Bulek Tantri, Ibu sama Bapak kemana? Tumben biasanya jam segini
udah pulang.”
Bulek Tantri masih asik dengan dua jempol bergantian
menyentuh gadgetnya. Entah apa yang dia tulis. Sambil menunggu jawaban buleknya,
Arundhati menyalakan televisi. Beberapa channel televisi dia lewati, tapi bulek
Tantri belum menjawab juga. Bulek Tantri ini memang adiknya Ibu. Dia masih
muda, baru 25 tahun. Tapi, hmmm… sebenarnya boleh juga dibilang sudah tua, karena belum menikah.
“Bulek.. Tantri….!” Kembali Arundhati memanggil bibinya. Bulek
Tantri masih asik dengan gadgetnya. Akhirnya dengan suarau keras Arundhati
memanggil buleknya. Lengkap dengan nada ketika anak kecil memanggil temannya
untuk bermain, “bu… lek Tan..triiiiii…….!”
Ampuh, kali ini buleknya mengangkat kepalanya sambil
nyengir, “Eh… Ayun… udah lama duduk di situ….?”
Arundhati kontan langsung pasang muka masam. Tapi, nanti
dulu, jangan bayangin sebuah muka masam yang sangat jutek. Tidak, muka masam
Arundhati itu…. terserahlah, bagaimana terserah yang membayangkan saja. Dan,
saat saking kesalnya, tanpa sengaja Arundhati menekan channel berita di
televisi.
“He he he….. anu, tadi… bapak katanya agak lama di sawahnya.
Masih seperti kemarin, banyak sawah yang rusak!”. Bulek Tantri menjawab sambil cengar-cengir. Cantik.
Ya, dan Arundhati memang menuruni kecantikan buleknya itu. Dan, ini buat
Arundhati sudah biasa, tidak lagi membuatnya tertarik untuk memuji. Bahkan
keterangan buleknya pun sudah tidak lagi menarik buat dia dengar. Saat ini dia
fokus mendengarkan berita di telivisi.
“Ssst…. Sebentar… sebentar! Bulek Tantri diem dulu!” ucap
Arundhati sambil menegakkan telunjuknya di depan hidungnya. Bibinya bengong,
orang nanya udah dijawab malah suruh diem, “lihat… dengar dulu!”
Saat ini di layar televisi nampak seorang reporter laki-laki
yang sedang melakukan reportase di tempat yang sangat tidak asing bagi
Arundhati.
“Yak… terimakasih Yuni! Selamat sore pemirsa, saat ini saya
Fajriyanto sedang berada di lokasi di yang dicurigai pada beberapa hari
terakhir ini telah disambangi oleh beberapa ekor macan kumbang. Pemirsa, dari
keterangan beberapa penduduk yang sempat
kami wawancarai sebelumnya, macan kumbang memang pernah mendiami hutan di
daerah pegunungan Indrakila. Namun, sudah beberapa puluh tahun terakhir ini
tidak pernah lagi mereka menemukan macan kumbang. Seorang saksi mata yang
tinggal di kota, macan kumbang ini pernah terlihat terakhir kali ketika waduk
Sempor jebol tahun 1967. Setelah itu, jangankan di Kota, bahkan di daerah
Semali dan sekitar pegunungan Indrakila penduduk tidak pernah lagi bertemu
dengan macan kumbang. Namun, entah darimana datangnya, beberapa hari terakhir
ini penduduk sering bertemu dengan beberapa ekor macan kumbang ini. Beruntung,
bahwa macan-macan kumbang tersebut tidak menjadikan penduduk sebagai target
mangsa mereka. Namun pemirsa, penduduk di sekitar Pekuncen dan Semali ini yang
kehilangan binatang ternak terutama saat dilepas atau digembala! Baiklah
pemirsa, bersama saya saat ini ada salah seorang peternak yang sempat memergoki
macan kumbang dan dari BKSDA”
Kemudian sambil bergerak menghampiri seseorang yang berdiri
tidak jauh darinya dan langsung menyapa, “selamat sore… ”
“Selamat sore!” jawab petani yang berusia sekira 70 tahunan
itu.
“Dengan siapa Pak, mohon maaf!”
“Pak Tukiran!”
“Boleh diceritakan pengalaman bapak saat memergoki macan
kumbang?”
“Ceritanya ya…. gitu… pas malam-malam waktu itu…. saya
mendengarkan ribut-ribut di kandang kambing saya….lha saya terus bingung… ada
apa ini? Enggane, malam-malam koh kambing saya pada ribut. Apa… ada maling apa
ya….? Kemudian saya keluar, ke selatan rumah. Ke kandang kambing saya. Lha… pas
dekat ke kandang kambing saya, saya kaget…. Ada seperti suara orang ngorok tapi
sepertinya suaranya terlalu keras dan tidak panjang-panjang. Saya kaget dan
takut. Apalagi saya juga sempat liat ada
mata yang mencorong mau mendekat. Hampir pingsan, tapi ketika saya nyalain
senter, kedua mata itu hilang dan saya sempat lihat kelebatan hitam bentuknya
seperti kucing sangat besar.”
Reportet televisi tersebut mendengarkan dengan seksama
sambil sesekali bilang, “Oo…!”. Dan ketika Pak Tukiran selesai bercerita, si
reporter bertanya lagi, “Jadi, waktu macan kumbang itu mengetahu kehadiran Pak
Tujkiran, macan itu langsung kabur?”
“Betul, sepertinya waktu melihat saya, macannya kabur!” Pak
Tukiran dengan tegas membenarkan pertanyaan reporter tersebut.
“Baiklah, terima kasih Pak….?” Sepertinya reporter itu lupa
nama orang yang sedang dia wawancarai.
“Pak Tukiran!” sahut Pak Tukiran sambil tersenyum.
“Ya, O ya ya ya….terima kasih Pak Tukiran, “ sambil
tersenyum juga, reporter itu mengulangi ucapan terimakasihnya sambil beralih ke
seorang lelaki 40 tahuan yang berdiri di sebelah Pak Tukiran, “Baik pemirsa,
kita coba tanyakan kepada pihak BKSDA yang kebetulan sedang berada di lokasi
saat ini. Dengan bapak siapa, maaf?” Sapa reporter tersebut kepada lelaki 40
tahuan itu. “Sarjono!” jawab lelaki 40 tahunan tersebut.
“Baik, Pak Sarjono, dari keterangan Pak Tukiran tadi, apa
kira-kira yang akan dilakukan oleh pihak BKSDA?”
“Baik. Tentunya, kami akan mendalami terlebih dahulu laporan
dari masyarakata. Dan, dari keterangan tadi, kemungkinan itu memang macan
kumbang. Karena, pada dasarnya, macan kumbang itu memang takut dengan kehadiran
manusia. Dia keluar dari hutan mungkin karena dia tidak mendapatkan binatang
buruan sebagai mangsanya. Dan inilah yang akan kami dalami!”
“Tapi Pak, menurut keterangan penduduk, macan kumbang sudah
beberapa puluh tahun terakhir tidak lagi pernah menampakan diri. Dan bahkan
banyak yang berkesimpulan bahwa macan kumbang telah punah di pegunungan Indrakila
ini?” repoter tersebut tampak ingin memastikan jawaban Sarjono.
“Betul, namun mereka tidak pernah menemukan bukan berarti
bahwa macan kumbang ini memang benar-benar telah punah di pegunungan ini. Dan
ini tentunya akan menjadi perhatian kami. Karena, bagaimanapun ini adalah
berita baik bagi kelestarian satwa ini. Kami bersama pihak KPH akan berusaha
untuk memastikan kehadiran mereka.”
“Namun, Pak, apakah mereka tidak berbahaya bagi penduduk?”
Sekali lagi reporter tersebut
“Sebenarnya macan kumbang ini akan menghindari kontak dengan
manusia. Namun pada kondisi kelaparan, bukan tidak mungkin mereka akan
menyerang manusian. Untuk itu, saat ini kita bekerja sama dengan KPH dan pihak
Kepolisian telah bersiaga untuk mengamankan lingkungan di sekitar hutan. Bahkan
saya dengar dari pimpinan bahwa pihak Dodik juga siap membantu untuk berpatroli
mengamankan lingkungan bila diperlukan!” jawab Sarjono mengakhiri
keterangannya. Si reporter terlihat mengangguk.
“Baik, Pak Sarjono, terimakasih!” Si reporter mengucapkan terimakasih kepada
Sarjono yang disambut dengan anggukan serta senyuman dan gerakan tangan
namaste.
“Baiklah Pemirsa, demikian yang dapat kami sampaikan Saya
Fajriyanto melaporkan dari desa Semali.. Yuni, Saya kembalikan!”
Layar kembali ke studio dimana seorang perempuan yang
mungkin bernama Yuni menyambut laporan tadi dengan beberapa tambahan informasi.
Arundhati terlihat lemas setelah menonton berita ini. Tak
disangka, macan kumbang yang telah dia pindahkan ke India itu masih tersisa di
pegunungan Semali. Meskipun dia tidak yakin jumlahnya akan banyak, namun itu
tentunya akan membuat resah warga. Dan satu hal lagi yang membuat dia cemas
adalah tentang keputusannya untuk mengembalikan para macan kumbang itu ke
India. Padahal di Indonesia banyak sekali konsentrasi macan tutul dan macan
kumbang. Taman Nasional Baluran, Gunung Ciremai, Pulau Nusa Kambangan adalah
beberapa tempat yang baru dia ingat merupakan tempat konservasi macan kumbang
dan macan tutul. Ini gara-gara dia baru nonton National Geography tentang macan
tutul di India.
Arundhati bersandar di sofa sambil memandang kosong.
Melamun. Buleknya tidak memperhatikan apa yang terjadi pada ponakanna. Buleknya
masih asik dengan gadgetnya. Mungkin sedang chatting dengan seseorang. Arundhati
tidak peduli itu. Arundhati hanya peduli bahwa kemungkinan dia telah salah
ambil keputusan. Arundhati bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Televisi dia
biarkan menyala. Buleknya masih asih dengan gadgetnya.
Di dalam kamar Arundhati membuka laptopnya dan menjalankan
Google Chrome. Dia ketikan 3 kata kunci leopard population India, dan hasilnya
sangat mengjutkan. Ada laporan kenaikan jumlah populasi yang sangat signifikan
dan didominasi macan kumbang yang betul-betul hitam legam alias black panther
di daerah aliran sungai Jawai di Rajashtan. Arundhati melempar punggungnya ke
sandaran kursi. Dia betul-betul pusing saat ini. Berarti, macan kumbang itu
bukan dari India.
Di dalam kamar, Arundhati
menerawang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Dia bingung dengan apa
yang harus dia lakukan untuk mengkoreksi kelalaiannya. Macan kumbang yang ada
di pegunungan Indrakila itu mesti dia keluarkan dari daerah itu. Namun, kemana?
Macan kumbang yang sempat menjadi alat makhluk persepsi Upala Carma itu mestinya
saat ini telah menjadi macan kumbang pada umumnya. Dia perkirakan yang ada di
pegunungan Indrakila ada sekitar tiga ekor. Tidak sulit baginya untuk
mengumpulkannya kembali. Namun, untuk mengembalikan ke lokasi asalnya adalah PR
yang sangat sulit baginya. Menunggu area konservasi itu merasa kehilangan,
mestinya agak sulit. Karena telah menjadi binatang yang langka,
ketidakhadirannya dalam satu hari saja tidak akan membuat pengelola merasa
kehilangan. Mungkin butuh beberapa hari bagi mereka untuk menyadari bahwa satwa
yang ada dalam pengawasan mereka telah berkurang. Untuk menunggu mereka merasa kehilangan bisa
berarti ancaman bagi area sungai Jawai maupun bagi penduduk sekitar Semali.
Arundhati betul-betul pusing.
Lama Arundhati terdiam pada posisinya. Tak terasa, hari
semakin mendekati senja. Bapak dan Ibu sepertinya sudah kembali ke rumah.
Terdengar suara ibu menegur Bulek Tantri.
“Tantri! Kamu itu lho ya… tivi murup kok malah main HP? Itu
juga lampu jalan durung diurupna!”
“Eh, Yayune… Wis teka? Anu…, Yu…. Tadi ada Ayun ikut
nonton!”
“Terus? Mana Ayun nya?”
“Lhah…. Tadi ada di sini dia nonton bareng saya! Kemana dia
ya?”
“Wis dipateni tivine, sebentar lagi mahrib!”
Mendengar suara ibunya menanyakan dirinya kepada buleknya,
Arundhati segera berdiri dari duduknya dan keluar ke ruang keluarga.
“Ayun, di kamar tadi, Bu! Ibu dari mana?” kata ayun pelan sambil berjalan mendekati
sofa tempat buleknya duduk.
“O, ya udah kalo di rumah. Kamu itu lho, kadang-kadang suka
tiba-tiba menghilang. Syukurlah kalau masih di rumah. Sekarang lagi banyak
kejadian!” sahut ibu sambil tersenyum untuk kemudian duduk di sofa. “Ini Ibu
baru datang dari sawab melihat sawah kita. Seperempat area sawah yang dkerjain
sama Man Kasdan berantakan. Padahal bulan depan seharusnya sudah bisa
dipanen. Kemudian kebun singkong yang
digarap sama Tarmidi hampir seluruhnya rusak. Untung sawah yang dikerjain sama Karsijan
masih aman. Tapi gak tahu besok-besok deh. Ini tadi Bapak sudah musyawarah
dengan Pak Lurah dan beberapa petani yang menjadi korban. Sepertinya malam ini
akan dilakukan ronda untuk berjaga-jaga di areal persawahan!” lanjut Ibu
bercerita tentang masalah hari ini tanpa semangat.
Arundhati semakin pusing. Belum lagi masalah yang dia buat di
Semali mendapatkan penyelesaiannya. Ini
lagi, di dekatnya, di kampungna sendiri. Sejenak ruangan keluarga, di depan
televisi, mendadak sepi. Televisi telah terlebih dahulu dimatikan oleh Bulek
Tantri.
Tiba-tiba Arundhati berdiri sambil mengucapkan sesuatu
meminta ijin, “Ibu, Ayun mau ke teras rumah dulu, ya! Cari angin, panas!”
“Ya udah sana. Sebentar lagi maghrib. Harus sudah masuk, pas
maghrib nanti!” jawab ibu mengijinkan sambil tersenyum. Arundhati tersenyum.
Arundhati duduk di risban di teras kanan rumah, Dia pandangi
orang yang lalu lalang di jalan. Tidak ada yang dia cari, cuma memandangi. Saat
ini dia memang sedang bingung. Pengin sebenarnya, pada saat seperti ini dia
curhat dengan ibunya. Namun, ini bukanlah perkara yang sepele. Apalagi bila dia
bilang India, la kapan perginya ke India. Ngimpi! Tapi memang, semua yang
Arundhati lakukan adalah perwujudan apa adanya dari mimpinya. Kesadaran milik
Arundhati adalah sebuah kesadaran mimpi yang menyatu. Dan, ini tidak mungkin
dibicarakan dengan sembarangan orang. Termasuk ibu.
Cukup lama Arundhati duduk diam di risban sampai kemudian terlintas
di dalam kepalanya gambar Sekar Kenanga. Setelah satu minggu, bagaimana
perkembangan Sekar Kenanga saat ini dia tidak tahu. Sudah beberapa minggu
memang Arundhati tidak terhubung dengan Arundhati di lapis kedua dimensi mimpi.
Bahkan ketika dia harus mengatasi Upala Carma, dia sedang tidak terhubung.
Kondisi ini mengakibatkan dia tidak bisa mendapatkan informasi kondisi
teman-temannya. Lapis kedua ini telah menjadi hub bukan hanya buat dirinya
sendiri namun juga untuk mendapatkan informasi dari teman-temannya. “Baiklah,
biar aku hubungi saja Sekar Kenanga. Kenapa aku juga lupa sama Sekar Kenanga?
Padahal lokasi dia ada dekat tempat kejadian.” rutuk Arundhati dalam hati
sambil nyengir. Untung, saat itu tidak
ada orag di depannya.
Setelah mendapatkan sedikit harapan untuk mendapatkan
petunjuk menyelesaikan permasalahan macan kumbang, Arundhati segera membentuk
kantung waktu untuk dapat menemui Sekar Kenaga dengan lebih leluasa. Dan, tanpa
membuang-buang waktu, dia juga segera memanfaatkan lipatan ruang yang terbentuk
untuk melesat menuju lokasi Sekar Kenanga. Namun, semakin mendekat ke lokasi
Sekar Kenanga, Arundhati mendapatkan sebentuk perlawanan yang menghambat laju
lesatannya. Arundhati berhenti dan berdiri dalam lipatan ruang yang terjadi.
Arundhati tersenyum. “Hmm…. Ini adalah kesadaran milik Sekar Kenanga.” Arundhati sangat mengenal pemilik kesadaran
yang menghalangi perjalanannya. Namun, kenapa Sekar Kenanga seperti menghalangi
perjalanannya?
“Paduka Tuanku Putri Arundhati Striratna, mohon tuanku tidak
mendekat ke lokasi pertarungan kemarin!”
Terdengar suara Sekar Kenanga melarang Arundhati untuk
mendatangi lokasi pertarungan kemarin. Dan, alamak, itu Sekar Kenanga masih
memanggil dia dengan sebutan tuan putri. Pasti dia sudah sepenuhnya terhubung
sehingga memory Sekar Kenanga di lapis kedua sudah mengisi memorinya. Artinya,
kemampuan kedua Sekar Kenanga sudah sama. Pantas saja dia mampu mengintersep kantung
waktu Arndhati.
“Tidak Sekar Kenanga, aku hanya mau bertemu denganmu!”
Arundhati merespon larangan dari Sekar Kenanga sambil
menjelaskan arah kedatangannya.
“Kalau begitu, biarlah Sekar Kenanga yang akan menemui duli
tuanku putri Arundhati Striratna!”
Sekar Kenanga tetap mencegah Arundhati, dan tiba-tiba di
depan Arundhati telah terlihat Sekar
Kenanga yang bertekuk lutut dengan lutut kaki kanan jadi tumpuan dan kedua
tangan bertumpu pada kaki kiri yang menapak. Kepala sekar kenanga menunduk
tidak berani melihat ke arah Arundhati.
“Mohon maaf kepada tuanku putri, Sekar Kenanga telah lancang
menghambat perjalanan tuan putri. Tapi ini Sekar Kenanga lakukan untuk kebaikan
tuanku putri!”
Dengan tenang dan penuh hormat, Sekar Kenanga menyampaikan
permohonan maafnya. Arundhat tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan Sekar
Kenanga.
“Owalah, Sekar..! Ini di dimensi utama, bukan di dimensi
mimpi. Aku temanmu, bukan tuan putrimu! Lagian ngapain sih kamu make gaya gak
jelas gitu. Udah, biasa aja kenapa sih?” tegur Arundhati masih dengan tersenyum.
“Tapi Sekar Kenanga telah ditolong oleh tuanku, maka ijinkanlah
hamba tetap memanggil dengan sebutan
tuanku!”
“Tidak!” tegas Arundhati menolak. Air mukanya berubah
menjadi sangat serius. Saat ini terlihat benar kewibawaan dari seorang gadis
manja semau gue yang bernama Arundhati.
Sekar Kenanga tampak kaget, “ampun tuanku, bukan Sekar untuk
membantah, namun, Sekar tidak punya keberanian untuk tidak memanggil dengan
sebutan tuanku!”
“Kalau begitu, kamu benar-benar telah membantah perintahku!”
Sekar Kenanga nampak ketakutan mendengar penyataan Arundhati.
Kali ini, Sekar Kenanga benar-benar tidak menyangka kemarahan Arundhati. Hal
mana membuat Sekar Kenanga semakin menunundukkan badannya.
“Mohon ampuni saya!”
“Baiklah, karena kamu telah melanggar perintahku, maka aku
akan memberikan perintah baru kepadamu sebagai hukuman!”
“Terimakasih tuanku Putri Arundhati Striratna, anda adalah
putri yang sangat bijaksana!”
Arundhati tampak pusing. Ada urusan macan kumbang maka dia
datang menemui Sekar Kenanga, ketemu Sekar Kananga, kenapa jadi terlihat aneh. Dan,
Arundhati tahu bahwa keanehan yang ada di depan matanya adalah riil meskipun
saat ini ada di dalam kantung waktu bikinannya yang berarti ada dalam domain
dia. Dan, ini berarti juga Sekar Kenanga tidak punya kuasa dalam bentuk apapun.
Namun, kenyataanya Sekar Kenanga saat ini telah berhasil memasuki kantung waktu
bikinannya dan bahkan menghambat perjalanannya. Ini berarti Sekar Kenanga telah
sepenuhnya terselaraskan dengan versi di lapis kedua dimensi mimpi.
“Baiklah Sekar, kalau kamu masih mau menghargai aku sebagai
tuan putrimu, maka aku mau bertanya, apakah kamu akan mematuhi semua
perintahku?”
“Sekar Kenanga tidak akan pernah mengkhianati kepatuhan yang
telah mengalir dalam urat nadi Sekar Kenanga. Sekar Kenanga akan mematuhi semua
perintah tuan putri. Silakan tuan putri memberikan perintah!”
Arundhati geleng-geleng kepala. Benar-benar telah menjadi
seorang Sekar Kenanga dengan gaya berbicara yang khas seperti mc pada upacara
kenegaraan. Sangat teratur dan dalam.
“Baiklah, perintah pertamaku adalah jangan kamu panggil lagi
aku dengan sebutan tuan putri!”
Sekar Kenanga kaget. Dia tidak menyangka perintah Arundhati
akan seperti itu. Sekar Kenanga mengangkat kepalanya, “tapi tuan…!”
“Stop, kamu bilang kamu akan patuh, maka aku menagih
janjimu. Panggil aku…. Hmmm….!” sesaat gaya santai Arundhati muncul, “karena
kamu sepertinya masih seangkatan sama saya, mmm betul Sekar?”
“Betul!”
“Hmm, baiklah panggil aku Ayun! Dan, perintah kedua adalah,
kamu berdiri sekarang!”
Sekar Kenanga nampak ragu-ragu untuk berdiri.
“Ayo berdiri, ini perintah!”
Akhirnya Sekar Kenanga berdiri meskipun masih menundukkan
kepala dengan sikap ngapurancang.
“Nah, gitu! Perintah ketiga, kamu harus tidak boleh
menundukkan kepala saat diajak bicara!”
Melihat kesungguhan Arundhati, kali ini Sekar Kenanga terpaksa
harus langsung mengangkat kepalanya. Arundhati tersenyum senang.
“Sekarang panggil aku!”
“Tuan…”
“Stop stop stop….! Bukan tuan putri! Ayun, panggil aku
Ayun!”
“Baiklah, Ayun!” Sekar Kenanga menuruti perintah Arundhati,
kendati tetap dengan gayanya yang dingin.
“Baiklah, baiklah….!” Arundhati akhirnya menyerah. Tapi
setidaknya Sekar Kenangan tidak lagi memanggilnya dengna sebutan tuan putri. “Baiklah
Sekar Kenanga, kenapa kamu melarang saya mendekati ke lokasi pertarungan
kemarin?”
“Mohon maaf tu…, Ayun!” hampir saja Sekar Kenanga kepleset
menyebut tuan, “saat ini tidak memungkinkan buat kita untuk memperbaiki
keadaan. Sudah terlalu banyak orang yang tahu bahwa ada sekelompok macan
kumbang di pegunungan Indrakila. Kita tidak mungkin menawarkan bantuan untuk
mengembalikan satwa-satwa tersebut ke habitat aselinya yang bahkan kita sendiri
tidak tahu. Mereka tidak akan percaya, dan bahkan bila kemudian mereka tidak
akan percaya dan kita nekad melakuka, itu sama saja membuka identitas kita.
Saya tahu Ayun suka menggunakan kantung waktu untuk menyembunyikan aksi, namun
bila kita menggunaan itu, menghilangnya satwa-satwa itu secara tiba-tiba juga
akan menimbulkan pertanyaan di benak khalayak!” tutur Sekar Kenanga dengan
takzim kepada Arundhati.
Arundhati terdiam sambil berfikir. Sempat terbersit dalam
benaknya akan menggunakan kekuatan sugestinya untuk memberikan persepi bahwa
tidak pernah ada macan kumbang yang berkeliaran di sekitar pegunungan Indrakila.
Namun,dia tidak mau menggunakan itu kepada manusia. Hatinya menolak untuk
berbohong.
“Tidak ada pilihan Sekar. Kita harus memindahkan satwa-satwa
itu dari pegunungan Indrakila!”
“Tap Ayun, kita tidak tahu harus dikembalikan kemana!” tukas
Sekar Kenanga.
“Sekar, sampai sekarang tidak ada yang tahu dengan pasti
populasi macan kumbang di hutan-hutan tempat mereka dilindungi. Artinya bila
kita tidak menambahkan jumlah mereka secara mencolok, maka tidak akan
menimbulkan pertanyaan!” terang Arundhati kepada Sekar Kenanga.
“Baik, saya mengerti maksud Ayun!” wajah Sekar Kenanga
nampak berbinar saat menyahut penjelasan Arundhati.
“Baiklah, mari kita mulai! Saya akan menyebarkan ke timur,
kamu ke barat!”
Sekar Kenanga bengong karena, tiba-tiba Arundhati sudah
menghilang entah kemana setelah meneriakkan perintahnya.
“Hmmm…., Tuan Putri Arundhati memang luar biasa!”
Masih dalam kantung waktunya Arundhati, Sekar Kenanga segera
melesat ke arah pegunungan Indrakila. Sesampainya di pegunungan Indrakila,
Sekar Kenanga segera mengevakuasi macan-macan kumbang yang tersisa. Sampai pada
macan kumbang terakhir dia bertemu kembali dengan Arundhati di dekat sebuah kali
kecil berbatu. Di dekat Arundhati terlihat seekor macan kumbang yang tengah
merunduk. Sementara tak jauh di depan macan kumbang tersebut terlihat seekor biawak.
Entah apa yang akan dilakukan macan kumbang tersebut. Cuma yang jadi pertanyaan
Sekar Kenanga adalah, sepertinya Arundhati tidak berniat untuk segera
mengevakuasi macan kumbang yang ada di dekatnya. Arundhati malah asik
melihat-lihat sekeliling dengan serius.
“Ada apa, Ayun? Kenapa tidak segera mengevakuasi macan
kumbang itu?” tanya Sekar Kenanga.
“Coba kamu perhatikan orang-orang yang sedang mengintai
macan kumbang ini!”
“Sepertinya kita harus segera mengevakuasi macan kumbang
ini, Ayun!”
Arundhati menoleh ke arah Sekar Kenanga sambil tersenyum,
“Tidak, Sekar! Orang-orang itu memang sedang berburu. Namun, bukan untuk mereka
bunuh. Mereka hanya mau mengamankan penduduk dari serangan macan kumbang, sekaligus
mengamankan macan kumbang dari penduduk yang marah. Yang aku fikirkan saat ini
adalah, bila satwa ini kemudian kita evakuasi, maka dalam waktu normal mereka,
mereka akan melihat macan kumbang ini menghilang.tiba-tiba menghilang dari
pandangan mereka. Dan itu akan memunculkan spekulasi lain dari kehadiran
satwa-satwa ini.”
“Jadi, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Sekar
Kenanga untuk memastikan.
“Kita tinggal saja. Karena toh tujuan mereka sama.
Menyelamatkan macan kumbang ini!”
Mendengar jawaban Arundhati, Sekar Kenanga mengangguk tanda
setuju dengan apa yang dikatakan Arundhati, “Baiklah, kalau begitu kita akhiri
saja acara mengevakuasi kucing-kucing ini. Namun, sebelum kita kembali ke waktu
normal, ada beberapa hal yang aku ingin tanyakan sama kamu, Sekar.”
“Silakan, Ayun!”
“Sepertinya kamu sudah terselaraskan, dan mestinya kamu juga
tahu situasi terakhir di padepokan. Namun, Ayun kok beberapa hari terakhir ini
justeru tidak terhubung ke sana. Apakah tengah terjadi sesuatu di Padepokan?”
Sekar Kenanga tersenyum mendengar pertanyaan Arundhati. Hal
ini tertangkap juga oleh Arundhati. Hal yang membuatnya senang tentunya. Dia
tidak suka gaya kaku Sekar Kenanga.
“Beberapa hari terakhir gurunda Nyi Ajar Nismara memang
sengaja melarang Ayun untuk terhubung karena beliau tengah menempa Ayun di Ranusimpar.
Menurut Ki Ageng Turangga Seto, Ayun yang di sini harus bersiap untuk sebuah
loncatan!” Tutur Sekar Kenanga menjelaskan dengan santai. Arundhati tertegun
mendengar penuturan Sekar Kenanga. Bukan cuma karena harus bersiapnya saja,
namun gaya berbicara Sekar Kenanga.
“Sekar, Ayun seneng kalau gaya bicara kamu seperti ini.
Biasa aja, seperti ke kawan!” ujar Arundhati mengomentari gaya berbicara Sekar
Kenanga barusan. Sekar Kenanga kembali tersenyum.
“Mbakyu Sitakara dan Sweta Nandini, yang telah berhasil meyakinkan
saya untuk bersikap biasa!”
Arundhati tertawa kecil mendengar penjelasan Sekar Kenanga.
Ternyata perlu banyak orang untuk merubah gaya bicara Sekar Kenanga.
“Baiklah Sekar, terimakasih untuk semuanya. Segera kembali
ke posisi awal kamu. Kantung waktu ini akan segera aku tarik. Sampai ketemu
lagi nanti!”
Selesai mengucapkan kata terakhir, Arundhati melesat ke arah
pulang. Sekar Kenanga paham bahwa dia harus segera mengikuti langkah Arundhati.
Dia bukan sedang berada pada kantung waktunya sendiri, namun ada pada kantung
waktu Arundhati. Artinya, bila Arundhati menarik kantung waktunya, maka dia
akan terjebak kepada superposisi yang bahkan dia tidak mampu mengendalikan.
Sementara itu, di rumah Arundhati, terdengar suara Ibu
memanggil dari dalam rumah.
“Ayun…!”
Tidak terdengar sahutan dari Arundhati. Arundhati yang baru
saja selesai menarik kantung waktunya, untuk beberapa saat tidak memberikan
respon apapun. Aktifitas barusan memang sangat menguras kesadarannya. Arundhati
butuh beberapa detik untuk menstabilkannya.
Dan, meskipun baru tujuh detik, ibu memanggil tidak ada
jawaban, Ibu mengulang panggilannya, “Ayun…..!
Nang ndhi to cah iki?”
“Dalem, Bu!”
Terdengar suara Arundhati menyahut dari luar.
“Sini, coba masuk dulu sebentar!”
“Inggih, Bu!”
Arundhati langsung turun dari risban, masuk ke rumah
memenuhi panggilan ibunya. Ibunya, sedang berdiri di samping meja makan membawa
rantangan 3 lapis.
“Ini, tolong anterin rantangan ini ke tempatnya Pakde
Muflih!”
Mendengar nama Pakde Muflih, raut muka Arundhati langsung
berubah menunjukkan ketidak sukaannya. Dalam hati, Arundhati menggerutu,
“Kenapa bukan bulek Tantri aja sih?”. Pakdhe Miflih itu bukan pakdhe nya, namun
karena beliau lebih tua dari Bapk dan Ibu, sebutan Pakdhe diberikan untuk
membahasakan Arundhati. Pakdhe Muflih adalah ayah Baidowi, alias Kang Dowi. Dan,
Ibu seperti tahu apa yang ada di pikiran Arundhati langsung berkata sambil
tersenyum, “Ayun…! Bulekmu lagi nganter juga, ke rumahnya Kaki Jumali!”
“Ih, Ibu tega ih. Ibu kan tahu, Kang Dowi centilnya minta
ampun kalo ketemu Ayun di luar!” protes Arundhati. Namun, Ibu malah tersenyum,
“Dowi lagi sibuk di sawah bareng Bapak. Tadi Ibu lihat. Bapak saja belum
pulang, maka pasti juga Dowi gak di rumah. Udah sana dianterin!”
Dengat teramat lagi sangat terpaksa sekali, Arundhati
akhirnya mau mengantarkan rantangannya ke Pakdhe Muflih. Sambil cemberut,
Arundhati mengambil rantangan yang dipegang ibunya dan melangkah keluar tanpa
mengatakan satu patah katapun. Ibu tersenyum sambil memperhatikan langkah
Arundhati dari belakang.
“Langsung pulang! Sebentar lagi mahrib!” teriak ibu
mengingatkan ketika Arundhati sudah sampai teras.

0 comments:
Posting Komentar