Senin, Oktober 23, 2023

{20} Loncatan


 

Fajar di sebuah kota kecil yang dilingkari perbukitan ini sungguh sangat mempesona. Matahari yang masih malu-malu mengintip di sebelah timur. Semburat lembayung pagi yang memancar dari celah perbukitan nampak seperti selendang bidadari yang membentang sampai ke atas langit. Beberapa penduduk nampak sedang berjalan-jalan pagi ikut mewarnai geliat pagi kota kecil asri. Beberapa pedagang mendoan dan bubur nampak menjajakan dagangannya di pinggiran trotoar. Beberapa orang lelaki nampak duduk mengelilingi meja tukang kopi sambil mengepulkan asap rokok dan saling bercerita diselingi gelak tawa menghilangkan penat sesaat setelah menempuh perjalanan jauh mengangkut barang dagangannya dari dusun di atas bukit.

Di halaman sebuah rumah mungil yang dipenuhi dengan bunga-bunga warna-warni, nampak dua perempuan berbeda generasi tengah melakukan gerakan gerakan yang mirip gerakan tai chi, atau wushu, atau mungkin tari. Yang pasti, gerakan mereka berdua nampak begitu lembut dan terlihat indah dipadu dengan kibasan jubah longgar yang mereka kenakan. Mereka berdua adalah Retna Nawangsih dan putrinya, Sitakara. Sitakara mengenakan jubah dan kerudung putih gading identitas Alang-alang Segara Wedi. Sementara Retna Nawangsih mengenakan jubah yang sangat lembut berwarna putih dengan beberapa sapuan ungu tergradasi gelap beberapa bagian. Kerudung dengan warna senada nampak menutupi kepalanya dan menyembunyikan dengan ketat rambutnya sehingga gerakan sekuat apapun yang dia lakukan tidak akan melepaskan rambutnya. Dari beberapa gerakan nampak sesekali terlihat gerakan menyerang yang begitu lembut namun berubah menjadi gerakan yang mematikan ketika sampai pada jarak terdekat dari target. Sebagian besar gerakan yang dilatih terlihat selalu mengarah ke panggul mendekati pantat dan dikombinasi dengan serangan ke arah pangkal leher.

Waktu terus berjalan, dan kedua perempuan itu masih terus berlatih dan berhenti ketika bayangan mereka mulai terlihat jelas tergambar di atas tanah halaman.

“Sudah, cukup latihan kita hari ini Sitakara!” teriak Retna Nawangsih setelah bersalto menghindari serangan Sitakara. Sitakara yang masih melompat dengan tangan kananya menjulur ke depan seketika menarik tangannya dan memutar tubuhnya dan mendarat membelakangi Ibunya. Sitakara membalik badannya sambil tersenyum ke arah Ibunya. Dia sangat berharap ibunya akan puas dengan latihannya hari ini. Dan ketika dia lihat ibunya pun tersenyum, ada rasa senang yang menyeruak yang membuat senyumnya semakin lebar. Setelah melakukan beberapa gerakan pernafasan, mereka berdua berjalan ke arah teras rumah. Bersamaan dengan itu, baju jubah yang mereka kenakan berubah menjadi pakaian santai di rumah. Kaus panjang dan celana kain yang lebar nampak dikenakan oleh Retna Nawangsih. Sementara Sitakara mengenakan manset hitam dan kaos oblong putih serta celana jins biru longgar. Kedua-duanya mengenakan kerudung putih.

Sesampai di teras, mereka tidak lansung masuk namun malah duduk di tangga teras dengan kedua kaki diselonjorkan.

“Sitakara, kamu harus benar-benar telah menguasai jurus yang barusan Ibu ajarkan. Kamu harus cepat mengidentifikasi titik kematian para makhluk persepsi agar dapat menyasar dengan tepat untuk kemudian menghancurkannya. Kita tidak bisa hanya mengandalkan Arundhati dan Sekar Kenanga!” tutur Retna Nawangsih sambil memijat-mijat pahanya sampai ke lutut.

“Siap, Ibu! Sitakara siap menjalankan titah Ibunda!” sahut Sitakara sambil tersenyum memeluk ibunya dari samping. Ibunya sangat senang mendengar jawaban Sitakara.

“Sitakara, meski saat ini Arundhati telah sangat maju kemampuannya dan akan semakin maju ketika versinya di lapis kedua dimensi mimpi selesai dari latihan bersama Nyi Ajar Nismara di Ranusimpar, namun bila dia berhadapan dengan musuh yang sangat banyak, maka dia akan keteteran dan sangat mungkin memunculkan kecerobohannya. Semoga gemblengan Nyi Ajar Nismara termasuk mengikis kecerobohannya.” Retna Nawangsih melanjutkan penuturannya.

“Tapi Ibu, kalau berbicara tentang latihan di Ranusimpar apalagi ditangani langsung oleh Gurunda Nyi Ajar Nismara, maka dapat dipastikan bahwa nantinya Arundhati di dimensi utama ini akan mengalami sebuah loncatan?”

“Betul, Sitakara!”

“Nah, yang jadi pertanyaan adalah, apakah Arundhati akan sanggup untuk menerima loncatan ini? Setahu saya, locatan yang biasa-biasa saja pun akan memberikan rasa sakit yang luar biasa.” Dengan nada yang sangat cemas, Sitakara ingin memastikan tentang proses loncatan ini.

“Ibu mengerti kecemasanmu Sitakara. Kamu sangat mencemaskan Arundhati yang sudah kamu anggap adikmu sendiri.” Sitakara tersenyum saat Ibunya menyebutkan bahwa Arundhati sebagai seperti adiknya adiknya, meskipun ibunya mengatakannya dengan sangat lirih seperti menahan sesuatu. Sitakara sangat berharap Arundhati memang adalah adiknya. “Ibu akan menjaganya ketika proses itu berjalan. Demikian juga dengan gurumu Nyi Ajar Nismara. Dia akan menjaga di sisi lapis kedua juga!”

Sitakara sangat senang mendengar penjelasan ibunya. Dia peluk ibunya kencang. Memang seperti yang dibilang ibunya, Arundhati baginya sudah seperti adik sendiri. Sitakara tidak tahu kenapa dia bisa begitu menyayangi Arundhati,  namun satu hal yang pasti baginya Arundhati menempati posisi yang sangat istimewa.

Retna Nawangsih melepaskan pelukan tangan kanan Sitakara dan memutar tubuhnya ke kiri menghadap Sitakara sambil berkata, “Sitakara, ini adalah hari Minggu, dan menurut perhitungan ibu, pada hari ini pulalah mestinya pelatihan yang dilakukan oleh Nyi Ajar Nismara selesai. Bila selama beberapa minggu terakhir Arundhati tidak terhubung, maka hari ini mestinya Arundhati akan terhubung. Kamu yang ada di lapis kedua, bersama Sekar Kenanga segeralah pergi ke Ranusimpar. Jemput Arundhati, dan jaga dia bersama Nyi Ajar Nismara dan Sekar Kenanga. Dan, pagi ini pergilah kamu ke rumah Arundhati. Sebisanya, ajaklah dia agar sore ini dapat berada di rumah ini!”

Sitakara kaget mendengar penuturan ibunya. Dia tidak mengira akan secepat ini Arundhati akan melakukan loncatan.

“Jangan lupa ajak Sekar Kenanga untuk datang ke sini!”

Mendengar perintah ibunya, kekagetan Sitakara semakin menjadi. Bila dilapis kedua dimensi mimpi harus mengajak Sekar Kenanga, itu hal yang wajar. Tapi di dimensi utama ini, bagi Sitakara adalah hal yang sangat aneh. Sitakara tidak tahu bahwa Sekar Kenanga telah diketemukan. Retna Nawangsih melihat rona kekagetan di wajah anaknya. Dia tersenyum sambil bertanya, “kaget Sekar Kenanga sudah diketemukan?”

Sitakara tersenyum senang. Ibunya menanyakan yang seperti itu berarti memang Sekar Kenanga sudah diketemukan.

“Ibu tidak menyangka bahwa orang yang kita cari-cari ternyata berada di sekitar sini. Arundhati dituntun oleh intuisinya yang didukung kemampuannya untuk mendeteksi kehadiran kesadaran yang telah pernah dikenal sebelumnya mampu menemukan Sekar Kenanga dengan sangat cepat.”

“Apakah prosesnya mulus, Ibu?” tanya Sitakara ingin tahu proses yang terjadi. Ada sedikit rona kekecewaan muncul dari wajahnya karena dia tidak diikutsertakan dalam proses penemuan Sekar Kenanga. Padahal, ibunya selalu dapat dia andalkan untuk dapat memantau aktifitas luar biasa Arundhati.

“Ibu sengaja tidak mau ikut campur, dan tidak memberitahumu juga. Ibu harus dapat memastikan Arundhati mampu mengatasinya sendiri. Meskipun sambil dag-dig-dug karena takut terjadi sesuatu terhadap Arundhati, Ibu harus tetap membiarkannya sambil berjaga-jaga!”

Mendengar penuturan terakhir dari Ibunya, dahi Sitakara berkerut. Dalam kondisi seperti itu, sangat tidak mungkin bagi Arundhati untuk tidak menyadari kehadiran Ibunya. Dan, pastinya akan menimbulkan tanda tanya bagi Arundhati.

“Ibu telah melakukan kesalahan!” kata Sitakara memberikan penilaian kepada Ibunya.

“Betul, ibu juga berpikir seperti itu. Saat ini pasti Arundhati sedang bingung dan bukan tidak mungkin akan timbul kecurigaan dia terhadap ibu. Saat ini tidak ada satu  orang pun dari padepokan yang mengenal ibu selain Nyi Ajar Nismara dan Ki Ageng Turangga Seto. Dan sebagai putri Ibu mestinya kamu adalah salah satunya.”

“Tapi, kenapa Ibu tetap membiarkan Arundhati berjuang sendiri?” tanya Sitakara yangmasih belum puas dengan penjelasan ibunya. Retna Nawangsih malah tersenyum sambil bertanya, “Apakah menurut kamu, Arundhati memang harus ditolong?”

Sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Benar, memang Arundhati tidak harus ditolong, dalam perasaannya sebagai kakak dorongan untuk menolong atau setidaknya membantu. Tidak ada respon yang cukup baik selain nyengir. Retna Nawangsih pun tersenyum sambil mengelus kepala Sitakara, “Sudah sana, mandi. Mungkin kamu perlu Ansuman untuk mengajak Arundhati kemari!”

Sitakara segera bangun dan berdiri dan bergegas masuk ke rumah sambil berbisik, “Yes Mam, everything will be OK!”

Retna Nawangsih tertawa melihat kelakuan anaknya. Sitakara, anak tunggalnya memang termasuk manja. Dan dia tahu, bahwa Sitakara sangat senang dapat menemukan Arundhati yang dia anggap adhik sendiri. Sampai di sini, terlihat Retna Nawangsih meneteskan air matanya.

---///\\\---

Sementara itu, di sebuah dangau di suatu areal persawahan nampak Arundhati sedang duduk seorang diri. Dia memperhatikan tanaman padinya yang berantakan. Bukan hanya sawah keluarganya saja yang rusak. Kerusakan ini meluas sampai beberapa blok ke depan. Tak jauh dari dangau terlihat Man Sardi dan Bapak serta beberapa orang lelaki dewasa sedang berdiri sambil bercakap-cakap. Sesekali tangan mereka menunjuk ke suatu tempat. Meskipun kadang terdengar mereka tertawa, namun bagi Arundhati mereka tidak dapat menyembunyikan nada sedihnya.

Siang ini Arundhati sengaja mengikuti Bapak dan Man Sardi pergi ke sawah. Arundhati ingin memastikan bahwa kerusakan yang terjadi bukan karena kelakuan makhluk persepsi atau makhluk biologis yang telah tertanam persepi merusak dari makhluk-makhluk itu. Arundhati telah berulangkali mengerahkan kesadarannya untuk membaca kehadiran makhluk-makhluk tersebut, namun selalu gagal. Bahkan ketika jangkauannya dia perluas sampai melewati batas kampung pun masih belum terbaca kehadiran mereka. Namun justeru dia menangkap kehadarin dua orang yang sangat dia kenal, Sitakara dan Sekar Kenanga. Sontak rona mukanya berubah menjadi gembira. Namun, dengan tiba-tiba wajahnya berubah menjadi murung. Dalam hatinya dia menggerutu, “yah, Yu Ara! Ibu Retna Nawangsih!” Kehadiran Retna Nawangsih yang tidak membantunya menyelamatkan Sekar Kenanga ternyata masih menjadi ganjalan baginya. “Tapi, Yu Ara kan tidak ada sangkut pautnya dalam kasus ini? Dan bisa jadi justeru dia tidak tahu. Tapi… mengapa Yu Ara datang bersama Sekar Kenanga? Bukankah Yu Ara belum tahu keberadaan Sekar Kenanga? Bisa jadi.. hm… mungkin Ibu Retna Nawangsih yang memberitahu?”

Banyak pertanyaan menggantung di kepala Arundhati. Kalau pun ada jawaban, itu harus dipastikan. Arundhati segera turun dari dangau, dan bergerak ke arah tanggul saluran irigasi sambil berteriak keras, “Bapak…. Ayun pulang dulu!”. Arundhati pamit dan dibalas oleh Bapak, “Ya.. ati-ati! Bilang sama Ibu, Bapak masih ada yang dibicarakan sama teman-teman Bapak!”

Arundhati yang sedang mendorong sepeda motornya ke arah jalan, tidak mempedulikan lagi teriakan bapaknya, “Ya Pak, nanti Ayun bilangin!”

Setelah berhasil mendorong motornya sampai ke jalan, Arundhati langsung menyalakan motornya dan menjalankannya. Seperti orang kerasukan, Arundhati langsung tancap gas menggeber motornya pada kecepatan tertinggi yang dia mampu. Bapak dan orang-orang yang bersamanya kaget dan semuanya menoleh ke arah motor Arundhati yang terlihat melaju sangat kencang. Bapak cuma bisa geleng-geleng kepala. Sementara orang-orang yang bersamanya semuanya tertawa.

Arundhati yang tengah melaju dengan motornya terlihat sedang melintasi jalan tengah sawah. Tidak ada seorang pun yang lewat sana. Tiba-tiba, motor dengan Arundhati yang tengah mengendarainya menghilang dari pandangan.  Sekali lagi, Arundhati mengacak-acak hukum fisika. Dengan kemampuannya itu, dalam sekejap Arundhati telah sampai di jalan sepi dekat rumahnya. Arundhati mengurangi laju motornya, berjalan normal sampai ke halaman rumahnya.

Saat memasuki halaman rumahnya, handphonenya berbunyi. Arundhati mengabaikan dering handphonenya. Dia yakin itu adalah panggilan dari ibunya. Sesampainya di plataran rumah, dengan cekatan dia kunci motornya dan lari naik ke teras rumahnya. Di situ sudah ada Sitakara dan Sekar Kenanga. Arundhati menyapa keduannya.

“Assalamu’alaikum…! Eh Yu Ara, Sekar! kapan datang? Sudah lama menunggu?”

“Wa’alikum salam…! Baru saja!” Sitakara menjawab salam Arundhati sambil tersenyum

Sementara itu dari dalam rumah, Ibu keluar sambil memegang handphoe di telinganya sambil merutuk dengan wajah kusut, “Aduh….. ini anak ditelepon gak diangkat!”. Arundhati yang melihat kejadian itu menahan tawa sambil mengambil handphonenya dan menjawab panggilan, “Iya Bu! Ada apa ya?” Wajah ibu nampak senang, “Ayun… cepet pulang! Ini lho ada Mbak Sitakara sama Sekar di rumah. Cepetan ya…! Awas jangan lama-lama!”

“Inggih, Bu! Ayun gak akan kemana-mana!” jawab Arundhati masih tetap menahan tawa. Sitakara dan Sekar Kenanga juga nampak menahan tawa melihat kelakuan Arundhati.

Setelah menurunkan tangannya, Ibu langsung berjalan mendekati Sitakara dan Sekar Kenanga tanpa melihat ke luar, “Ayo Mbak Sita, Mbak Sekar, diunjuk minumannya. Maaf, Ayun lagi ikut bapaknya menengok sawah. Sebentar lagi dia sampai. Monggo diunjuk!”

Arundhati tidak mampu menahan tawanya lagi. Dengan agak teriak sambil tertawa, “Ha ha ha ha…. Ibu….! Ini Ayun….. Jangan mentang-mentang badan kecil Ayun gak dilihat sama Ibu! Lagian, Ibu juga sih, punya anak kecil mungil gini!” Arundhati memutar badannya saat mengatakan, “anak kecil mungil gini!”.  Sitakara dan Sekar Kenanga ikut tertawa melihat kelakuan Arundhati.

Menyadari kejadian ini, Ibu kaget. Namun, kemudian Ibu juga ikut tertawa sambil mendekati Arundhati. Arundhati diam saja ketika Ibu mendekat, dan tanpa diduga-duga ibu jari dan telunjuk Ibu bekerja sama menjapit kupingnya. Ibu menjewer Arundhati dengan pelan sambil menyebutkan dua kata, “Anak nakal!”.  Arundhati teriak sambil tertawa, “Aduh… ampun ibu… sakit..!”.  Masih sambil tertawa ibu mempersilakan kedua tamu anaknya, “ya sudah, Ayunnya sudah datang. Ibu masuk dulu, ya!”. Sitakara dan Sekar Kenanga mengangguk sambil berkata, “monggo, Bu!”

Arundhati masih berdiri sambil melihat ibunya masuk. Setelah ibunya masuk, dia segera menarik kursi, duduk dan kembali menyapa kedua tamunya.

“Aduh, maaf Yu Ara, Sekar! Tadi Ayun ikut bapak lihat sawah. Entahlah, sawah pada rusak. Tapi, ngomong-ngomong, tumben Yu Ara kemari? Ha ha ha…. udah lama ya kita gak ketemu. Sejak Ayun dapat titah nyari Sekar. Tapi… eh…ngomong-ngomong… Yu Ara sudah kenal sama Sekar? Gimana, gimana, gimana ceritanya?” Arundhati langsung nerocos menanyakan banyak hal kepada kedua tamunya. Sekar Kenanga bingung melihat kelakuan Arundhati. Sitakara yang melihat kebingungan Sekar Kenanga tersenyum, “Sekar, gak usah bingung. Tuan putrimu memang seperti itu!”.  Arundhati yang melihat Sitakara yang malah menegur Sekar Kenanga berubah jadi cemberut.  Sitakara yang hapal dengan sifat kolokan Arundhati sengaja membiarkan Arundhati menjadi cemberut.  Dia masih memperhatikan kebingungan Sekar Kenanga.

“Sekar, kamu gak usah bingung begitu dong!” tegur Sitakara sekali lagi.

“Bukan Yu Sita, eh .. maaf… maaf Ayun. Sekar bukan bingung sama Ayun. Maaf.. maaf!” Sekar Kenanga salah tingkah mendengar teguran Sitakara dan melihat sikap Arundhati.

“Ha ha ha… ya sudah Sekar. Biasa aja kali” ucap Sitakara sambil mengalihkan pandangannya kepada Arundhati. Arundhati masih nampak cemberut.

“Aduh adik cantik, gak usah cemberut gitu dong. Yu Ara barusan cuma pengin memastikan Sekar biar nggak kaku-kaku amat! Tapi ya sudahlah, mungkin dia memang begitu adanya.”

“Terus?” sahut Arundhati sambil bertanya.

“Terus apa?”

“Ya yang tadi?”

“Yang tadi yang mana?”

“Yang tadi, yang Ayun tanya?”

Arundhati makin kesal. Tadi, di sawah dia sebenarnya sudah agak kesal karena beberapa pertanyaan yang muncul di kepalanya. Sebenarnya kekesalannya sudah mulai cair ketika dia mengerjain ibunya. Dan ini mungkin yang tidak diketahui oleh Sitakara, karena saat dia temui tadi Arundhati adalah seperti Arundhati yang dia kenal selama ini. Hanya Sekar Kenanga yang tahu bagaimana sikap tegas Arundhati.

“Baiklah, kalau begitu, ada apa Mbakyu Sitakara datang ke rumah Ayun!”

Saat ini giliran Sitakara yang kaget dan bingung. Nada berbicara Arundhati saat ini sangat teratur. Sama sekali berbeda dengan Arundhati yang sering berinteraksi dengannya. Nada yang sangat tegas bahkan dia tidak menggunakan sebutan ‘Yu Ara’. Sekar Kenanga memilih diam. Karena perubahan situasi ini, Sitakara tidak dapat segera menjawab pertanyaan Arundhati. Dia benar-benar terjebak dalam kebingungannya.

Setelah beberapa detik tidak dapat berfikir sedikitpun, tiba-tiba baik Sitakara maupun Sekar Kenanga seperti tehenyak dari lamunan saat mendapati lingkungan mereka saat ini ternyata telah berubah. Arundhati ternyata telah membawa mereka ke dalam kantung waktunya. Sebuah hamparan awan yang sangat luas. Mereka bertiga duduk di atas awan seperti sedang duduk di atas tanah. Mereka bertiga saat ini terlihat mengenakan identitas Alang-alang Segara Wedi, jubah dan kerudung putih gading. Ini benar-benar telah memaksa Sitakara untuk mengakui bahwa Arundhati, juniornya, memang lebih unggul. Untuk mengakhiri kecanggungan ini, akhirnya Sitakara bersuara, “Ampun Ayun…, bukan maksud Yu Ara untuk mengecewakan Ayun. Yu Ara datang ke sini justeru karena ingin memberikan penjelasan kepada Ayun terkait beberapa kejadian yang dialami Ayun, terutama ketika harus menyelamatkan Sekar Kenanga!”

“Baiklah lanjutkan!” sahut Arundhati menyuruh Sitakara untuk melanjutkan. Tetap dengan gaya penyampaian yang sangat tenang.

Mendengar perintah dari Arundhati, Sitakara memulai ceritanya. “Baiklah Ayun, sebelumnya Ibunda Retna Nawangsih titip permohonan maaf atas apa yang telah beliau lakukan saat Ayun bertempur melawan Upala Carma.  Bukan maksud Ibunda Retna Nawangsih untuk tidak mau membantumu, namun menurut perhitungan Ibunda Retna Nawangsih, Ayun pasti akan dengan mudah mengalahkan Upala Carma.  Dan untuk diketahui, selama ini Ibunda Retna Nawangsih belum pernah tahu bahwa ternyata Sekar Kenanga tinggal tidak jauh dari kami. Upala Carma telah berhasil menutup identitas Sekar Kenanga secara sempurna selama bertahun-tahun sehingga Ibunda Retna Nawangsih tidak mampu mengenalinya.”  Sitakara berhenti sejenak. Dia menunggu response Arundhati.

“Baiklah, dapat diterima. Lanjutkan!”

“Baiklah, Ayun! Hal kedua yang membuat kami datang menemuimu adalah bahwa saat ini pelatihan yang dilakukan oleh Nyi Ajar Nismara telah selesai. Ini adalah saatnya Ayun untuk melakukan penyelarasan. Namun, sesuai perhitungan Gurunda Nyi Ajar Nismara proses penyelarasan kali ini akan sangat menyakitkan baik bagimu, juga bagi Arundhati di lapis kedua!”

Arundhati terhenyak kaget. Dia berdiri dari duduknya sambil berkata, “Mbakyu Sitakara, Ayun masih bisa merasakan sakitnya saat satu bulan menerima penyelarasan yang tertunda. Ayun tidak tahu pada tingkatan apa rasa sakit yang akan Ayun terima sehingga Ibu Retna Nawangsih mengutus Mbakyu Sitakara untuk menemui Ayun, bahkan ditemani oleh Sekar Kenanga?”

Sitakara tidak langsung menjawab. Dia terdiam agak lama. Tidak mungkin baginya untuk mengatakan bakal sakit sekali. Namun bila tidak dikatakan, itu sama artinya dengan membohongi Arundhati. Dia tidak sampai hati untuk melakukan itu. Namun, belum sampai dia menjawab, tiba-tiba terdengar suara yang sangat dia kenal. Ibunya, Retna  Nawangsih.

“Arundhati Striratna!” tiba-tiba terdengar suara Retna Nawangsih lembut menyapa Arundhati dengan nama lengkapnya. Arundhati terkesima mendengar suara yang begitu lembut namun sangat berwibawa. Suara Retna Nawangsih. Arundhati tertegun sambil bertanya-tanya, bagaimana mungkin Retna Nawangsih mampu menembus kantung waktunya. Ini hanya mungkin dilakukan oleh orang yang saat ini berada pada koordinat waktu yang sama. Rupanya Retna Nawangsih telah mempersiapkan semuanya. Ini menyadarkan Arundhati, bahwa saat ini dia tengah berada di antara orang-orang yang sangat luar biasa

“Ayun, sebelumya, Ibu meminta maaf kepadamu bahwa saat itu Ibu tidak membantu kamu. Ibu melakukan itu karena ibu lihat kamu telah berkembang begitu pesat meskipun tidak terhubung denganmu di lapis kedua. Dari sini ibu menyimpulkan bahwa kamu pasti mampu mengatasi kecoa macam Upala Carma. Terbukti, karena kamu tahu ada Ibu yang memperhatikanmu, kamu mampu mengalahkannya dengan cara unik, yang bahkan tidak terpikirkan oleh Ibu. Dan itu kamu lakukan dengan sedikit mengerahkan potensi kesadaranmu.” Kembali suara Retna Nawangsih terdengar menjelaskan.

Suara lembut Retna Nawangsih ternyata mampu meluruhkan kekesalan Arundhati. Namun, Arundhati masih tetap memepertahankan kantung waktunya. Arundhati masih merasa ada yang disembunyikan oleh Retna Nawangsih.

“Ah, Ibu Retna Nawangsih. Sebenarnya yang Ibu sampaikan juga sudah Ayun pikirkan. Ini seperti sebuah ujian bagi Ayun. Namun, bila memang betul seperti itu, lantas buat apa?”

Suara Retna Nawangsih tidak langsung menjawab pertanyaan Arundhati. Dan, tiba-tiba di antara mereka muncul sosok Retna Nawangsih. Arundhati sangat terkejut melihat kehadiran Retna Nawangsih. Ibunda dari Sitakara ini nampak cantik dengan jubah biru muda ungu yang cenderung putih (bunga teleng) dan kepala berbalut kerudung dengan warna yang seirama.

“Mungkin kamu terkejut, Ayun. Tapi, Ibu sudah memperkirakan kamu akan membuat suatu kantung waktu. Maka setelah kepergian Sitakara menemuimu, Ibu sudah bersiap masuk ke dimensi dimana kantung waktu dikembangkan.”

Arundhati semakin kagum, mendengar bagaimana Retna Nawangsih dapat memasuki kantung waktunya. Sebuah tempat yang sebelumnya pernah dia pikir sebagai tempat yang paling private, kali ini anggapannya itu benar-benar musnah. Setelah Sekar Kenanga yang mampu mengintersepsi perjalanannya, hari ini Retna Nawangsih bahkan mampu memasuki kantung waktunya yang notabene 100% adalah ada pada kendalinya.

“Tidak, Arundhati! Dapat memanipulasi waktu dalam bentuk kantung waktu tidak kemudian menjadi seratus persen menjadi pengendali Inilah yang harus aku pastikan bahwa kamu memahami ini. Dan, hari ini kamu telah memberikanku kesempatan untuk memasuki kantung waktumu sehingga kamu tahu ada kelemahan dalam kantung waktu. Dan bila tadi kamu menanyakan buat apa, maka aku harus memberitahumu bahwa penting bagiku untuk memastikan kamu telah menguasai kemampuan yang dibutuhkan untuk menerima penyelarasan setelah pelatihan di Ranusimpar!” Jelas Retna Nawangsih dengan diawali penyanggahan terhadap apa yang ada pada pikiran Arundhati. Hal ini tentunya semakin membuat Arundhati kagum kepada Retna Nawangsih. Arundhati merasa semakin tidak berarti di hadapan Retna Nawangsih. Ini menyadarkan Arundhati atas  kekurangan yang tidak dia sadari. Arundhati segera berlutut satu kaki dengan kepala menunduk dan kedua tangan bertumpu pada salah satu pahanya.

“Ampunkan Ayun yang telah bertindak berlebihan baik kepada saudara Ayun maupun kepada musuh-musuh Ayun, Ibu Retna Nawangsih!”

Retna Nawangsih tersenyum melihat apa yang dilakukan oleh Arundhati. Sitakara bingung melihat sikap Arundhati. Namun, berbeda dengan Sitakara, Sekar Kenanga justeru tiba-tiba berlutut di depan Retna Nawangsih dengan sikap yang persis sama. Ini semakin membuat Sitakara bingung.

“Ampunkan ananda yang tidak mengenali kehadiran bibi Retna Nawangsih Bawana Nisala Putri!”

Retna Nawangsih tersenyum, Sitakara semakin bingung. Sepanjang itukah nama ibunya? Selama ini bila ia lihat di KK maupun di KTP ibunya cuma menyebut nama Retna Nawangsih. Tidak pernah sekalipun dia membaca Retna Nawangsih Bawana Nisala Putri. Bahkan di padepokan pun dia tidak pernah mendengar hal itu.

Retna Nawangsih berjalan mendekati kedua gadis yang sedang berlutut di hadapannya. Sambil menyentuh pundak dan membimbing Arundhati untuk berdiri, Retna Nawangsih berkata, “Berdirilah anakku! Tidak ada yang pantas untuk berlutut di depanku. Bukankah kamu selalu mengataku itu pada Sekar Kenanga?”.  Sitakara, agak sedikit terperangah saat mendengar ibunya menyebut Arundhati dengan sebutan anakku. Tidak biasanya ibunya menyapa teman-temannya dengan sebutan itu.

“Baik, Ibu Retna Nawangsih!” sambut Arundhati setelah tegak berdiri.

Retna Nawangsih tersenyum. Kemudian dia berjalan mendekati Sekar Kenanga dan bertanya, “Sekar Kenanga, kenapa kamu berani menyimpulkan bahwa saya adalah Retna Nawangsih Bawana Nisala Putri?”

“Ampun bibi, saya hanya mengenal dari orang tua saya tentang seorang perempuan yang mampu menebak pikiran orang lain dengan tepat. Dari tadi saya perhatikan bibi selalu menebak pikiran Ayun tanpa ada penolakan dari Ayun. Kemudian orang tua saya juga bilang bahwa orang ini mempunyai kemampuan di atas kami dan bila kami dalam suatu situasi mengenakan jubah putih gading, maka dalam situasi yang kurang lebih sama orang ini mengenakan jubah seperti yang bibi kenakan!” jawab Sekar Kenanga dengan lancar.

Retna Nawangsih tersenyum. Kemudian, dia membimbing Sekar Kenanga untuk berdiri.  Setelah Sekar Kenanga berdiri. Retna Nawangsih tidak segera melepaskan tangannya. Dia justeru memegang kedua lengan Sekar Kenanga yang saat ini berdiri berhadapan dengannya. Retna Nawangsih berkali-kali terlihat tersenyum dan sedih secara begantian sambil menatap wajah Sekar Kenanga. Tanpa dinyana-nyana, tiba-tiba Retna Nawangsih menarik punggung Sekar Kenanga dan memeluknya erat. Sambil menangis dan tetap memeluk Sekar Kenanga, Retna Nawangsih bertanya, “Di lapis kedua, kamu adalah putri kinasih Ki Ageng Gagak Pergola dan alamarhumah Dinda Nyi Ageng Retna Gantari Nisreya Wanda, bukan?”

“Betul, bibi Retna Nawangsih!” jawab Sekar Kenanga. Dan, jawaban ini membuat Retna Nawangsih semakin mempererat pelukannya kepada Sekar Kenanga. Setelah puas memeluk Sekar Kenanga, Retna Nawangsih mundur melepaskan Sekar Kenanga.

“Sitakara!” Retna Nawangsih memanggil Sitakara.

“Dalem, Ibu!”

“Sekar Kenanga adalah adik sepupumu di lapis kedua. Tapi, jangan pernah katakan pada siapapun di sana bahwa kalian masih bersaudara!”

Retna Nawangsih tidak menginginkan identitas anaknya dan Sekar Kenanga diungkap di lapis kedua. Sitakara mengangguk masih dengan beberapa pertanyaan yang tertinggal di kepalanya. Melihat raut muka Sitakara, Retna Nawangsih kemudian menegurnya, “kenapa? Kamu bingung ibumu memanggil Ayun sebagai anakku?” Menjawab pertanyaan ibunya, Sitakara hanya menanggukkan kepala. Retna Nawangsih tersenyum sambil berkata, “yakinlah Sitakara Anakku, bahwa perasaanmu yang mendalam kepada Ayun dan menganggapnya sebagai adik bukanlah hal yang salah!”. Sitakara tersenyum.

“Dan kalian Sitakara, Sekar Kenanga, serta Arundhati aku minta pada kalian, jangan pernah mengungkap kehadiranku di dimensi utama ini kepada orang-orang di lapis kedua!”

Disamping identitas ikatan darah antara Sitakara dan Sekar Kenanga, Retna Nawangsih juga meminta kepada ketiga gadis itu untuk menyimpan rahasia kehadirannya di dimensi utama, yang secara serempak dijawab oleh ketiga gadis itu, “Baik Ibu!”

Dengan masih berhadap-hadapan dengan Sekar Kenanga, Retna Nawangsih menepuk pundak Sekar Kenanga sambil berkata, “Sekar, sebenarnya banyak yang mau bibi tanyakan kepadamu. Namun, saat ini membantu Ayun lebih penting!” yang dibalas dengan anggukan oleh Sekar Kenanga.

Retna Nawangsih berjalan ke arah Arundhati sambil berkata, “kembali lagi ibu harus meminta maaf kepadamu, karena barusan telah memanfaatkan kantung waktumu bukan untuk kepentinganmu, Ayun!”

“Tidak apa-apa Ibu Retna Nawangsih, pelajaran yang telah Ibu Retna berikan kepada Ayun jauh lebih berarti daripada kantung waktu Ayun!” balas Ayun dan disambut senyum Retna Nawangsih sambil meminta sesuau, “kalau begitu, sekali lagi Ibu merepotkanmu, boleh?”

“Bila Ayun mampu, Ayun tidak akan berkeberatan!”

“Kalau begitu, bawa kami bersama kantung waktumu ke puncak Gunung Sindoro! Dan lepaskan kantung waktumu setelah kita sampai di sana”

Tampak keraguan pada raut muka Arundhati yang langsung ditangkap oleh Retna Nawangsih.

“Sekar, tolong lapisi kantung waktu Ayun dengan kantung waktumu!”

“Baik, Bibi Retna!”

Retna Nawangsih tersenyum sambil memegangi kedua lengan Arundhati. Arundhati yang telah mengerti maksud Retna Nawangsih pun tersenyum. Dan, tiba-tiba mereka telah berada di sebuah area yang sangat dingin dengan bebatuan seukuran kelapa berserakan. Puncak Gunung Sindoro. Retna Nawangsih melepaskan pegangannya dan berbalik ke arah Sitakara.

“Sitakara, persiapkan tempat untuk melakukan penyelarasan!” perintah Retna Nawangsih kepada anaknya.

“Baik, Bu!”

Sitakara segera berjalan ke posisi paling tengah. Bersamaan dengan dia berjalan, suasana berubah menjadi semakin gelap. Batu-batu besar yang berserakan di sekitar mereka tiba-tiba terangkat dan berkumpul di salah satu titik.  Area di sekitar mereka saat ini bersih dari batu-batu yang berserakan.  Sampai di titik tengah, Sitakara menggerakan kedua tangannya, dan tiba-tiba tanah di depannya terangkat dalam bentuk balok. Terakhir, dengan satu gerakan, tangan kanan Sitakara membuat gerakan menyapu memangkas tanah yang terangkat tadi sehingga bagian atas tanah yang terangkat tadi berubah menjadi sangat rata.

Arundhati baru kali ini melihat kemampuan Sitakara. Selama ini hanya kemampuan beladiri saja yang dia tahu dari Sitakara. Retna Nawangsih tersenyum melihat Arundhati yang terlihat takjub akan kemampuan Sitakara.

“Ayun, duduklah di atas tanah yang telah dipersiapkan oleh mBakyumu Sitakara!” perintah Retna Nawangsih kepada Arundhati. Arundhati segera mengikuti perintah Retna Nawangsih. Dia berjalan ke arah balok tanah buatan Sitakara. Naik dan duduk bersila di atasnya. Retna Nawangsih sangat senang, karena Arundhati mau mengikuti perintahnya.

“Sebelum kita mulai, Sitakara, bagaimana dengan persiapan di lapis kedua?” tanya Retna Nawangsih kepada Sitakara sesaat setelah Arundhati duduk bersila.

“Di lapis kedua mereka telah siap. Mereka justeru mengkhawatirkan kita!” jawab Sitakara.

“Kalau begitu, sampaikan ke mereka, bunga teleng selalu terselip di telinga!” Sitakara tersenyum mendengar perintah Ibunya.

“Sudah Bu, mereka mengerti dan Nyi Ajar Nismara pun sudah bilang aman! Mereka menunggu aba-aba saya saat kita siap”

“Baiklah! Sekar kamu duduk di sebelah sana, dan kamu Sitkara, duduklah di sebelah sana. Sementara saya akan duduk di sana. Setelah mereka bertiga duduk, Retna Nawangsih berkata, “Sitakara, katakan sudah dapat dimulai!”.  Sitakara manganggukan kepalanya. Dan bersamaan dengan itu, dari tubuh mereka memendar cahaya putih sangat menyilaukan. Cahaya putih dari mereka bertiga menyatu membuat suatu kubah dimana ada Arundhati di tengahnya.  Setelah sekian lama berjalan, tubuh Arundhati mulai nampak bergetar. Wajah Arundhati memperlihatkan ekspresi kesakitan yang sangat luar biasa. Berkali-kali terlihat tubuh Arundhati limbung. Namun, pada saat yang bersamaan, kubah cahaya itu langsung memeluk dan menyelimuti tubuh Arundhati serta mendudukkan pada posisi semula. Kubah cahaya ini tidak langsung kembali ke bentuk semula, namun bertahan agak lama menempel pada tubuh Arundhati dan berpendar mengikuti irama jantung. Setelah irama pendaran itu stabil, pendaran cahaya itu kembali membentuk kubah.

Sementara itu, di lapis kedua dimensi mimpi di tepi sebuah danau yang tenang, juga tengah berlangsung proses yang sama. Nyi Ajar Nismara dibantu oleh Sitakara dan Sekar Kenanga membantu Arundhati melakukan proses penyelarasan.  Sama seperti di dimensi utama, Arundhati diselimuti kubah cahaya dan dikelilingi orang-orang terdekatnya.

Proses penyelarasan yang sangat tidak biasa ini berlangsung cukup lama. Setelah kira-kira tiga jam berlalu, proses mulai memasuki fase final. Arundhati nampak sudah sering limbung, dan ketiga orang yang menjaganya juga sudah mulai nampak kecapekan. Dalam situasi yang kritis ini, baik Arundhati pada lapis kedua maupun pada dimensi utama nampak melayang dengan posisi bersila sampai pada ketinggian sekitar dua meter. Pada ketinggian ini, Arundhati membuka matanya dan kemudian berdiri dengan kedua tangan terbuka di samping tubuhnya. Bersamaan dengan itu, ketiga orang yang menjaganya menarik kembali energi kesadaran yang mereka pancarkan untuk membantu Arundhati.  Setelah itu, baik Sitakara maupun Sekar Kenanga nampak lunglai dan menjatuhkan tubuhnya ke belakang dan melurukan kakinya, telentang dengan kedua tangan terbuka kesamping. Nyi Ajar Nismara di lapis kedua dan Retna Nawangsih di dimensi utama tersenyum melihat Sitakara maupun Sekar Kenanga.

Arundhati yang masih melayang nampak mulai menyelesaikan fase terakhir penyelarasan ini. Dari gerakan tubuhnya, nampak dia seperti sedang menghirup napas sebanyak-banyaknya. Angin sepoi-sepoi berhembus mengelilingi tubuh Arundhati. Tubuhnya ikut berputar mengikuti arah angin. Tetumbuhan di sekitar danau Ranusimpar maupun di sekitar puncak Sindoro pada radius 15 kilomter nampak berayun lembut dan kuncup bunga nampak mekar. Penduduk di lapis kedua yang berada di radius tersebut terlihat gembira melihat bunga-bunga yang tiba-tiba bermekaran di sore hari ini.

Baik Nyi Ajar Nismara maupun Retna Nawangsih terlihat senang melihat Arundhati yang tengah menyatudiri dengan bumi.  Dan sepertinya bumi menyambutnya dengan hangat. Ini terlihat dari bermekarannya kuncup bunga seakan memberikan salam kepada Arundhati.

Setelah beberapa lama berputar-putar sambil melayang, secara perlahan arundhati kemudian turun. Setelah menapak Arundhati segera berlagi ke arah Retna Nawangsih dan memeluknya sambil menangis. Sambil terbata-bata Arundhati mengungkapkan perasaan terimakasihnya kepada Retna Nawangsih, “terimakasih Ibunda Retna Nawangsih. Dalam masa paling kritis ini, Ibunda telah menemani dan menjaga Ayun!”. Retna Nawangsih tersenyum. Rupanya, Nyi Ajar Nismara telah menceriterakan semua kepada Arundhati saat memberikan pelatihan di Ranusimpar.

Sitakara dan Sekar Kenanga kaget dan heran mendengar Arundhati memanggil Retna Nawangsih dengan sebutan Ibunda.

“Sitakara, kamu tidak usah kaget. Ayun ini adalah adikmu satu bapak. Bapak Arundhati sebenarnya pula adalah bapakmu. Ada kisah yang teramat panjang untuk diceritakan. Ibu memang pernah menjadi isteri dari Mad Kusen, bapaknya Ayun, yang waktu itu bernama Bajranala dengan nama panjang Bajranala Badasusena . Kamu adalah anak dari perkawinan kami, Sitakara Dhanta. Nenek buyutmu yang memberikan nama Sitakara yang berarti rembulan sementara Dhanta adalah putih gading.”

Dengan hati-hati Retna Nawangsih menceritakan kisahnya dengan bapaknya Arundhati. Sitakara sangat senang mendengar penuturan ibunya bahwa ternyata Arundhati adalah adiknya satu bapak. Namun, ada perasaan marah yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. Bagaimana tidak, Mad Kusen, tinggal tidak jauh dari kotanya. Namun, seperti hilang tertelan bumi. Tidak pernah sekalipun menjenguknya meskipun mungkin perceraian telah memisahkan mereka. Retna Nawangsih yang merasakan kemarahan yang muncul dalam hati putrinya segera mencegah perasaan itu marah dan mempengaruhi putrinya.

“Sitakara anakku, kamu tidak perlu marah. Perpisahan kami terjadi bukan karena pertengkaran atau hadirnya orang ketiga, apalagai orang ketiganya itu adalah ibunya Arundhati. Kami terpisah karena adanya kekacauan yang ditimbulkan oleh makhluk-makhluk persepsi. Kekacauan yang terjadi pada tahun 98 telah memisahkan kami. Ibu yang tengah mengandung dirimu nekad maju ke dalam peperangan melawan para makhluk persepsi itu. Namun tanpa disangka-sangka, ibu terlempar jauh menembus dimensi akibat serangan yang dilakukan oleh Dhemit Marumaya, makhluk persepsi pemimpin utama kakak dari Dhemit Bacira. Dhemit Marumaya ini sama saja dengan Dhemit Bacira. Dia aseli penghuni lapis pertama, dan di lapis kedua dia dibantu oleh gerombolan Alap-alap Selogiri.  Dan dalam peperangan di lapis kedua ini, Retna Gantari, bibimu yang belum lama melahirkan Sekar Kenanga, terbunuh  oleh Alap-alap Selogiri.  Sementara Retna Gantari versi dimensi utama ini meninggal terbunuh oleh Dhemit Marumaya. Bibimu terbunuh karena berusaha melindungi ibumu. Ibumu selamat, namun terlempar ke lapis ke-sembilan dimensi mimpi. Kamu lahir di sana, Sitakara. Namamu adalah pemberian nenek buyutmu yang ternyata masih hidup di lapis ke-sembilan itu. Nenek buyutmu Endang Paramayana Wardini adalah mahaguru di padepokan Ugra Sundari. Dan di padepokan inilah ibumu meningkatkan kemampuan ibu dan bertemu dengan guru kalian, Nyi Ajar Nismara. Setelah lima tahun berada di lapis kesembilan, ibu yang lahir dan besar di dimensi utama merasa harus kembali ke dimensi utama. Setelah dibekali kemampuan menembus dimensi, ibu berhasil kembali ke dimensi utama. Kemampuan menembus dimensi ini harus disertai dengan pengorbanan kembaran eksistensi mu di lapis kedua. Ibumu ini dan ibumu yang di lapis kedua harus melakukan penyatuan. Hal ini hanya diketahui oleh Ki Ageng Turangga Seta dan Nyi Ajar Nismara.”  Retna Nawangsih, menghela nafas sambil mengingat-ingat kejadian yang pernah dia alami di masa lampau.

Sitakara yang mendengarkan dengan seksama penuturan ibunya mulai paham, meskipun dia lahir mendekati masa pergantian milenium, namun kilasan kenangan masa kecil dia di sebuah kampung yang sangat asri di lingkungan yang kental berbahasa jawa, mestinya dia berada di pulau jawa. Namun, seingat dia,  tidak ada listrik dan televisi di situ. Bahkan motor mobil dan simbol-simbol kemajuan jaman tidak dia jumpai dalam pengalaman masa kecilnya. Simbol-simbol kemajuan jaman mulai dia temui ketika dia dan ibunya kembali ke dimensi utama. Meskipun di kampung terpencil di jawa, setidaknya sepeda motor seharusnya pernah dia temui. Apalagi sudah lewat pergantian milenium.  Dia tidak pernah berfikir sedikitpun bahwa dia pernah terlempar ke lapisan dimensi yang sangat merepresentasikan masa yang jauh dari abad ke 21. Masa dimana bahkan nenek buyutnya masih muda. Sebenarnya ada beberapa pertanyaan, namun dia menunggu sampai ibunya selesai bercerita tentang asal-usulnya dan asal-usul Arundhati.

“Di dimensi utama, Ibu berusaha untuk mencari bapakmu. Rumah yang kita tinggali adalah rumah adalah hasil jerih payah bapakmu yang kami tinggali setelah menikah. Dan ketika ibu terlempar ke lapis kesembilan, bapakmu meninggalkan rumah itu satu tahun setelah berusaha mencari keberadaan Ibu namun selalu gagal. Rumah dititipkan kepada Badrun, bapaknya Sweta Nandini. Badrun yang pada versi lapis kedua adalah adik ipar Nyi Ajar Nismara, meninggali rumah sambil mengembangkan usahanya menjual sembako di pasar.   Dan ketika ibu datang, Badrun sangat senang karena tugasnya menjaga rumah temannya itu akan selesai, dan saat itu bisnis Badrun sudah bisa dibilang sukes. Dan, dari Badrun ini Ibu tahu kisah bapakmu. Ternyata, selama empat tahun Bapakmu itu selalu mencari Ibu. Namun karena tidak pernah berhasil, keluarganya selalu menghiburnya dan bahkan banyak yang menyarankan untuk menikah lagi. Termasuk nenekmu dari bapakmu, Sitakara. Beliau sangat sedih melihat kondisi bapakmu. Beliau kemudian meminta bapakmu untuk menikah lagi, dan beliau sudah mempunyai calon buat bapakmu. Karena yang meminta adalah nenekmu, bapakmu tidak kuasa untuk menolaknya. Dan, akhirnya bapakmu menikah dengan perempuan pilihan nenekmu, Dewi Wikasitapaliya Wanodya, dengan syarat bahwa mereka berdua tidak lagi dilibatkat dalam urusan dengan para makhluk persepsi dan apalagi interaksi antar dimensi. Syarat ini disetujui baik oleh nenekmu maupun Dewi Wikasitapaliya Wanodya, Ibunya Arundhati. Sebagai perwujudan syarat itu, Dewi Wikasitapaliya Wanodya mengganti namanya menjadi Saliyah, dan Bajranala Badasusena merubah namanya menjadi Mad Kusen. Mereka berdua mendapat jatah untuk mengelola sawah di kampungnya Arundhati saat ini.” kembali Retna Nawangsih berhenti bercerita sambil menarik nafas dalam-dalam. Dari sudut matanya, mulai nampak mengalir tetesan air mata. Retna Nawangsih seperti sengaja membiarkan airmatanya menetes saat menceritakan tentang Bajranala. Retna Nawangsih seperti meminta Sitakara agar memahami, bahwa yang menjadi korban dari situasi itu bukan hanya dia dan ibunya. Bapaknya juga adalah korban dari situasi itu. Dan ibu Arundhati bukanlah merebut bapaknya dari dari Ibunya.

Sitakara hanya bisa diam mendengarkan cerita ibunya yang belum selesai. Dia mulai dapat memahami posisi Mad Kusen atau bapaknya Arundhati. Akan tetapi ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Kenapa Eyang Endang Paramayana Wardini, justeru menikahkan muridnya Wikasitapaliya kepada cucunya sementara isteri cucunya ini sedang dalam perlindungannya. Akhirnya Sitakara memberanikan diri untuk bertanya pada ibunya, “Ibu, bukankah saat bibi Wikasitapaliya dinikahkan dengan bapak, Ibu sedang berada dalam perlindungan Eyang buyut? Apakah eyang buyut tidak tahu?”

Agak lama, Retna Nawangsih terdiam. Semua berdebar menunggu jawaban Retna Nawangsih.

“Untuk hal ini Ibu tidak bisa menjawab pertanyaanmua Sitakara. Tapi yang perlu diingat adalah, Ibu tidak pernah tahu bahwa nenek buyutmu masih ada, dan bapakmu sepertinya tidak pernah menceritakan perihal ibumu kepada nenek buyutmu.” Retna Nawangsih menghela nafas sebentar, “sementara ibu juga pada awal-awal sampai ke tempat nenek buyutmu tidak pernah menceritakan siapa bapakmu. Baru setelah kamu berumur 5 tahun, pandangan beliau yang dalam dapat melihat bapakmu dalam dirimu. Di situ ibu baru menceriterakan perihal bapakmu. Dan, semenjak saat itu nenek buyutmu terlihat lebih sering menyendiri. Setelah ibu berpamitan dan kembali ke dimensi utama ini, barulah ibu berfikir bahwa sepertinya nenek buyutmu itu sangat masygul karena seharusnya dia bisa mencegah anaknya untuk memaksa cucunya menikah lagi! Dan satu lagi, nenekmupun sepertinya tidak tahu bahwa ibu ada dalam perlindungan nenek buyutmu. Beberapa hari setelah ibu bercerita kepada nenek buyutmu, ibu lihat nenek kalian Sitakara dan Arundhati, datang menemui nenek buyut kalian. Mereka berdua berdialog sangat emosional. Sesekali terlihat nenek kalian menangis di pangkuan nenek buyut kalian. Sepertinya nenek kalian pulang dengan membawa penyesalan yang sangat dalam. Dan bila mendengar cerita dari Badrun,  nenek kalian meninggal beberapa bulan setelah waktu itu.”

Sitakara masih terdiam saat Retna Nawangsih mengakhiri ceritanya. Dalam hatinya, dia sangat senang bahwa ternyata Arundhati adalah benar-benar adiknya, namun terselip juga rasa tidak ikhlash terhadap nasib ibunya.

“Sebagai informasi saja, Yu Ara! Sampai saat ini Bapak masih memegang komitmennya untuk tidak lagi berurusan dengan makhluk persepsi dan dimensi mimpi serta para penjaga. Ketika Ayun kehilangan memory saat terjadi persentuhan pertama alam pikiran Ayun yang ada pada lapis pertama dan Ayun dimensi utama ini, Bapak tidak pernah sekalipun menggunakan kemampuannya untuk membantu Ayun.” Arundhati menyela Retna Nawangsih menjelaskan sikap Bapaknya. Retna Nawangsih tersenyum, sambil memandang ke arah Arundhati, dan beralih kembali kepada Sitakara melanjutkan kisahnya.

“Mendengar cerita dari Badrun, Ibu tidak tega untuk menemui bapakmu yang telah memulai hidup baru dengan ibunya Arundhati.  Kemudian ibu meminta Badrun untuk menanyakan harga rumah bila dijual. Setelah mendapatkan informasi tentang harga rumah, Ibu menyuruh Badrun untuk menjual beberapa perhiasan pemberian nenekmu dari lapis kesembilan. Badrun yang tahu barang ini ternyata menjual perhiasan itu bukan ke toko emas, namun langsung kepada beberapa kolektor perhiasan sehingga bisa laku sangat mahal. Kemudian, uang hasil penjualan perhiasan itu, Ibu bayarkan kepada bapakmu untuk menebus rumah kita itu. Badrun, preman insyaf ini, betul-betul amanah. Dia menyampaikan kepada bapakmu bahwa rumah telah dibeli orang dari Jakarta. Bila kamu bertanya kenapa harus dibayar sementara rumah itu juga adalah hak ibu, maka ibu telah mendengarnya terlebih dulu dari Badrun. Ibu harus melakukan itu untuk bersembunyi dari bapakmu. Ibu tidak mau mengganggu hidup bapakmu.  Dengan adanya jual beli rumah, Bapakmu tidak akan curiga kenapa tiba-tiba Badrun keluar dari rumah itu, yang bila ditelusuir akan mengarah kepada kehadiran ibu di sini. Begitu, Sitakara.  Dan, sebagaimana yang telah Ibu lakukan, ibu berharap untuk sementara kamu jangan dulu meminta pengakuan dari bapakmu!”

Sitakara mengangguk tanda setuju. Dia ingat sorot mata bapak Arundhati saat pertama kali bertemu dengannya. Dia yakin, bapak Arundhati sangat mengenalinya sebagai anaknya. Namun dia sangat menjaga perasaan Ibu Arundhati. Sementara Ibu Arundhati yang  terlihat sangat expresif, dia yakin juga tidak pernah membencinya. Terbukti tadi saat menunggu Arundhati, dia terlihat sangat repot melayaninya. Bukan sebagai tamu pastinya. Namun, sebagai anak suaminya. Dan itu berarti anaknya juga. Sepertinya Ibu Arundhati hanya kaget bahwa ternyata Retna Nawangsih masih hidup. Dan, seiring waktu kekagetan ini pastinya akan hilang. Dan, saat itulah dia  meminta pengakuan dari bapaknya. Menyatukan kembali Ibu dan Bapaknya, sepertinya bukanlah sebuah keniscayaan. Sitakara tidak ingin berangan-angan sampai ke sana. Memanggil seseorang dengan sebutan bapak sebagai orang-tuanya adalah salah satu keinginan terbesarnya. Dan itu sepertinya telah ada di depan mata. Sitakara tersenyum. Melihat Sitakara tersenyum, baik Retna Nawangsih maupun Arundhati terlihat sangat lega.

Suasana hening dalam beberapa saatm. Namun, tanpa diduga sama sekali, Sitakara berdiri dan berlari memeluk Arundhati sambil menangis.  Sambil terisak Sitakara mengungkapkan perasaan hatinya, “Ayun, Yu Ara sangat bahagia bahwa ternyata Ayun yang selama ini hanya Yu Ara anggap sebagai adik, ternyata memang adik Yu Ara yang sesungguhnya. Yu Ara akan sabar menunggu saat yang terbaik mendapatkan pengakuan dari Bapak. Beberapa hari atau beberapa bulan, bukanlah waktu yang lama bagi Yu Ara menunggu waktu itu dibanding berpuluh tahun kehidupan yang Yu Ara lalui tanpa kehadiran Bapak!”.  Arundhati membalas pelukan Sitakara dengan sangat lembut. “Yu Ara, Ayun tidak dapat menjanjikan apapun mengenai pengakuan Bapak karena ini semua keputusannya ada pada Bapak. Namun, Ayun janji untuk menjadi adik yang baik bagi Yu Ara dan akan ikut memperjuangkan keinginan Yu Ara!”. Keduanya tenggelam dalam isak tangis dan kesedihan yang mendalam.  Sekar Kenanga yang merupakan orang luar dalam kisah sedih itu nampak ikut menangis, terlihat dari lelehan air mata yang mengalir dari sudut matanya. Retna Nawangsih yang tidak mau terlalu lama terlarut dalam kesedihan tiba-tiba berteriak memerintah, “Baiklah, sekarang Ayun, kamu lapisi lagi kantung waktu Sekar Kenanga. Dan Sekar, setelah kantung waktu kamu terlapisi oleh Ayun segera tarik dan lepaskan kantung waktumu! Dan, Ayun, bawa kita kembali ke tempat kita berangkat tadi”

Demi mendengar perintah itu, Arundhati melepaskan pelukannya kepada Sitakara. Demikian juga Sitakara. Kemudian tanpa dikomdo, Arundhati dan Sekar Kenanga sama-sama mengucapkan “Siap!”

Retna Nawangsih tersenyum. Dia telah melepaskan segenap beban yang selama ini telah dia simpan sendiri. Dia senang bahwa Sitakara mau menerima dengan lapang kenyataan yang telah dia ungkapkan. Dan, ketika lingkungannya telah kembali seperti saat berangkat tadi, Retna Nawangsih segera pamit untuk kembali ke tempatnya semula.

“Ayun, Ibu akan keluar dari kantung waktumu untuk kembali ke-tempat ibu berangkat tadi. Sitakara, jaga adikmu, Ibu pulang dulu!”

Sitakara mengangguk sambil membalas pesan ibunya, “baik Ibu. Sebelum tahu Ayun adalah adik Ara pun Ara sudah menjaganya. Apalagi setelah tahu sekarang. Ara akan menjaganya sepenuh hati. Terutama dari Ansuman!”

Arundhati mencubit tangan Sitakara sekuatnya saat mendengar namanya dikaitkan dengan Ansuman. Sitakara menjerit kesakitan sambil tertawa. Retna Nawangsih tidak sanggup menahan tawa melihat kelakuan Arundhati.

“O… Ansuman? Ibu kira dia mengejarmu, Sitakara. Ternyata Ayun yang dia kejar?”

Sitakara tertawa, Sekar Kenanga menahan tawa, dan Arundhati sambil bersungut-sungut kemudian berkata, “sudah… sudah! Ibu katanya mau pulang. Monggo!”

Retna Nawangsih tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Sitakara dan berkata membalas Arundhati, “O… ngusir.. ya sudah, Ibu pergi dulu ya….! Assalamu’alaikum!”.   Dalam sekejap mata Retna Nawangsih telah menghilang dari pandangan.

“E.. enggak, enggak! Bukan maksud Ayun….! Ah… wa’alaikum salam!” Arundhati bermaksud mengkoreksi kata-katanya, namun terlambat menyampakan.  Akhirnya dia menutup kalimatnya dengan membalas salam Retna Nawangsih setelah Sitakara dan Sekar Kenanga melakukannya.

“Yu Ara, Sekar Kenanga. Ayun mohon maaf atas sikap tengil Ayun tadi ya!”.  Sambil berjalan ke arah sebelumnya dia duduk, Arundhati memohon maaf atas ketengilannya tadi.

“Tidak apa-apa Ayun. Yu Ara sangat mengerti kegelisahan Ayun. Dan Yu Ara yakin demikian juga dengan mBakyu Sekar Kenanga. Begitu bukan mBakyu Sekar?” Sitakara menjawab permohonan Arundhati sambil memastikannya kepada Sekar Kenanga. Pipi Sekar Kenanga mendadak memerah. Dia merasa malu dan risih karena tiba-tiba dia harus dipanggil mBakyu oleh dua orang yang sangat dia hormati. Arundhati tersenyum melihat perubahan rona wajah Sekar Kenanga.

“Iya.. eh iya… iya.. Yu Ara, eh mohon maaf, bolehkah saya memanggil seperti sebelumnya?”

“Tidak boleh!” jawab Sitakara tegas. “Mbakyu Sekar adalah kakak sepupu saya. Almarhum budhe Retna Gantari adalah kakak dari Ibu Retna Nawangsih. Dan mBakyu Sekar pun lahir satu tahun lebih dulu dari saya, maka akan kualat nanti saya dan Ayun bila menerima panggilan mBakyu dari mBakyuku sendiri!”

“Baik, baiklah! Baiklah Ara!”

Sitakara tersenyum senang dipanggil Ara oleh Sekar Kenanga. Arundhati tersenyum sambil meminta mereka untuk menempati posisi mereka saat datang tadi, “Sudah sudah…! Yu Ara dan Yu Sekar, silakan mengambil posisi duduk kalian. Ayun akan menarik kantung waktu Ayun!”

Sitakara dan Sekar Kenanga segera mengambil sikap duduk seperti saat mereka datang di atas hamparan awan ini. Dan, baru saja mereka menduduki gundukan awan dan menikmati sensainya, tiba-tiba saja suasanyanya berubah kembali ke teras rumah Arundhati.

Di teras rumah ternyata Ibu tengah berada di halaman sambil berteriak-teriak memanggil Arundhati, “Ayun….! Ayun! Hmmm… kemana anak ini? Ayun…..!”

Rupanya pergantian kantung waktu tadi telah membuat penutupan kantung waktunya tidak tepat pada posisi saat dia pergi. Arundhati memberikan kode kepada Sitakara dan Sekar Kenanga untuk berdiri dan berjalan mengikutinya.

“Ibu….., ada apa ya?” Arundhati berteriak memanggil ibunya. Ibu terdiam sebentar dan membalik badannya ke arah teras. Setelah melihat Arundhati dan teman-temannya, wajahnya nampak Sumringah.

“Aduh kamu Ayun, kemana saja! Ibu teriak mencari-cari dari tadi kamu nggak nyahut?”

“Ha ha ha…. Ibu. Orang kami tadi ke belakang. Ke sumur, ada yang kepengin pipis. Ya sudah Ayun anterin!”

“Masa pipis sampai 30 menit?”

Arundhati, Sitakara, dan Sekar Kenanga saling berpandangan. Selama itukah pergeseran yang terjadi akibat pergantian kantung waktu tadi?

“Ya sudah, yang penting mbak Sitakara aman gak kenapa-kenapa. Masalahnya dari tadi sebelum kamu datang, si Klewer bolak-balik di jalan depan rumah!”

Arundhati dan Sitakara saling berpandangan dan saling mengedipkan sebelah matanya. Si Klewer adalah lelaki idiot anak Juragan Maming pemilik penggilingan padi yang dibiarkan bebas berkeliaran di kampung. Karena secara biologis si Klewer sudah dewasa, dia mulai tertarik kepada lawan jenis dan sering mengganggu perempuan yang dilihatnya. Anehnya, meskipun Idiot, si Klewer hanya mengganggu perempuan-perempuan yang memang memiliki wajah cantik. Arundhati memang cantik, tapi karena badannya kecil mungkin, klewer tidak menganggapnya sebagai perempuan yang menarik. Namun, Sitakara adalah perempuan dewasa dengan paras cantik dan ukuran tubuh agak lebih tinggi dari rata-rata. Ini sangat menarik perhatian Klewer. Dan, Ibu sangat mencemaskan Sitakara. Padahal, Sekar Kenanga juga memiliki paras cantik, meskipun tidak secantik Sitarkara, namun  memiliki postur yang lebih menarik dibanding Sitakara. Arundhati dan Sitakara tersenyum.

“Ada orang tua cemas, kalian malah senyum-senyum. Tuh lihat si Klewer masuk ke halaman sambil cengar-cengir! Dia pasti mau mencari mBak Sitakara! Sudah, ayo masuk… masuk ke-dalam!” dengan raut muka sangat cemas, Ibu memaksa Arundhati dan kawan-kawan untuk masuk ke dalam rumah.

“Ibu, gak usah kuatir. Itu si Klewer nggak akan sampai ke mari. Lihat saja!”

Arundhati menolak masuk ke dalam, malah menyuruh ibunya untuk melihat si Klewer.

“Enggak enggak, ayo semua kalian masuk!”

Ibu tidak peduli dengan ucapan Arundhati. Pokoknya semua harus masuk ke rumah. Akhrinya, mau tak mau Arundhati harus menuruti kata-kata orang-tuanya. Arundhati mengajak Sitakara dan Sekar Kenanga untuk masuk ke dalam rumah. Mereka bertiga duduk di sofa di depan televisi. Ibu segera menutup pintu, namun tidak ikut bergabung duduk di sofa. Ibu malah mengintip keluar dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Di luar terlihat si Klewer seperti tengah berbicara dengan seseorang. Dan sambil tertawa dengan gerakan seperti merangkul seseorang. Melihat kejadian itu, ibu cuma bisa melongo sambil berkomentar, “eh bener…. Si Klewer pergi!”

Mendengar komentar Ibu, Arundhati tertawa sambil menutup mulutnya. Sitakara tahu, ini pasti kerjaan Arundhati. Kemudian sambil berbisik, Sitakara bertanya kepada Arundhati.

 “Ssst… kamu apain?”

“Ayun kirim sugesti kehadiran Jing Tian dengan kostum Jenderal Lin Mei dalam film The Great Wall!” jawab Arundhati sambil berbisik juga.

Arundhati dan Sitakara tertawa ngikik, sementara Sekar Kenanga nampak bingung dan bertanya sambil berbisik juga, “Jing Tian itu sopo to?”.  Mendengar pertanyaan Sekar Kenanga, sontak Arundhati dan Sitakara semakin kekel ketawanya, meskipun sambil ngikik. Ternyata Sekar Kenanga bukan penggemar filem China.

Tengah mereka tertawa-tawa, tiba-tiba handphone ibu yang ditaruh di atas meja makan berbunyi. Ibu segera melepaskan pegangannya ke pintu sambil membukanya, dan berjalan ke arah meja makan untuk mengambil handphone-nya. Dari handphone dengan setelan speaker maksimal, sayup-sayup terdengar suara Bapak uluk salam

“Assalammu’alaikum!”

“Wa’alaikum salam! Ada apa, Pak?” Ibu menjawab salam dari Bapak dan dilanjut bertanya.

“Kabar baik, Bu!”

“Kabar baik, apa? Bapak ki lo ya… kalo kasih kabar setengah-setengah!”

“Kabar baik, padi-padi kita yang rusak sekarang telah kembali normal. Entah apa atau siapa yang melakukan ini, yang pasti saat ini kerusakan sudah tidak nampak lagi. Bahkan semua nampak sangat bagus!”

“Masa iya, Pak?”

Arundhati tertegun saat mencuri dengar percakapan Bapak dan Ibu, namun dia sangat bersyukur bahwa proses menyatudirinya juga memberikan pengaruh positif pada lingkungannya, terutama pada sawahnya. Dan, meskipun dia belum bisa memastika siapa yang melakukan perusakan terhadap sawahnya, bila itu dilakukan oleh makhluk-makhluk persepsi, maka kejadian ini akan memberikan efek deteren yang sangat efektif sehingga beberapa minggu ke depan, Arundhati dapat berharap bahwa perusakan sawah tidak akan terjadi lagi.

0 comments: