{20} Loncatan
Fajar di sebuah kota kecil yang dilingkari perbukitan ini sungguh sangat mempesona. Matahari yang masih malu-malu mengintip di sebelah timur. Semburat lembayung pagi yang memancar dari celah perbukitan nampak seperti selendang bidadari yang membentang sampai ke atas langit. Beberapa penduduk nampak sedang berjalan-jalan pagi ikut mewarnai geliat pagi kota kecil asri. Beberapa pedagang mendoan dan bubur nampak menjajakan dagangannya di pinggiran trotoar. Beberapa orang lelaki nampak duduk mengelilingi meja tukang kopi sambil mengepulkan asap rokok dan saling bercerita diselingi gelak tawa menghilangkan penat sesaat setelah menempuh perjalanan jauh mengangkut barang dagangannya dari dusun di atas bukit.
Di halaman sebuah rumah mungil yang dipenuhi dengan
bunga-bunga warna-warni, nampak dua perempuan berbeda generasi tengah melakukan
gerakan gerakan yang mirip gerakan tai chi, atau wushu, atau mungkin tari. Yang
pasti, gerakan mereka berdua nampak begitu lembut dan terlihat indah dipadu
dengan kibasan jubah longgar yang mereka kenakan. Mereka berdua adalah Retna
Nawangsih dan putrinya, Sitakara. Sitakara mengenakan jubah dan kerudung putih
gading identitas Alang-alang Segara Wedi. Sementara Retna Nawangsih mengenakan jubah
yang sangat lembut berwarna putih dengan beberapa sapuan ungu tergradasi gelap
beberapa bagian. Kerudung dengan warna senada nampak menutupi kepalanya dan
menyembunyikan dengan ketat rambutnya sehingga gerakan sekuat apapun yang dia
lakukan tidak akan melepaskan rambutnya. Dari beberapa gerakan nampak sesekali
terlihat gerakan menyerang yang begitu lembut namun berubah menjadi gerakan
yang mematikan ketika sampai pada jarak terdekat dari target. Sebagian besar
gerakan yang dilatih terlihat selalu mengarah ke panggul mendekati pantat dan
dikombinasi dengan serangan ke arah pangkal leher.
Waktu terus berjalan, dan kedua perempuan itu masih terus
berlatih dan berhenti ketika bayangan mereka mulai terlihat jelas tergambar di
atas tanah halaman.
“Sudah, cukup latihan kita hari ini Sitakara!” teriak Retna
Nawangsih setelah bersalto menghindari serangan Sitakara. Sitakara yang masih
melompat dengan tangan kananya menjulur ke depan seketika menarik tangannya dan
memutar tubuhnya dan mendarat membelakangi Ibunya. Sitakara membalik badannya
sambil tersenyum ke arah Ibunya. Dia sangat berharap ibunya akan puas dengan
latihannya hari ini. Dan ketika dia lihat ibunya pun tersenyum, ada rasa senang
yang menyeruak yang membuat senyumnya semakin lebar. Setelah melakukan beberapa
gerakan pernafasan, mereka berdua berjalan ke arah teras rumah. Bersamaan
dengan itu, baju jubah yang mereka kenakan berubah menjadi pakaian santai di
rumah. Kaus panjang dan celana kain yang lebar nampak dikenakan oleh Retna
Nawangsih. Sementara Sitakara mengenakan manset hitam dan kaos oblong putih
serta celana jins biru longgar. Kedua-duanya mengenakan kerudung putih.
Sesampai di teras, mereka tidak lansung masuk namun malah
duduk di tangga teras dengan kedua kaki diselonjorkan.
“Sitakara, kamu harus benar-benar telah menguasai jurus yang
barusan Ibu ajarkan. Kamu harus cepat mengidentifikasi titik kematian para
makhluk persepsi agar dapat menyasar dengan tepat untuk kemudian
menghancurkannya. Kita tidak bisa hanya mengandalkan Arundhati dan Sekar
Kenanga!” tutur Retna Nawangsih sambil memijat-mijat pahanya sampai ke lutut.
“Siap, Ibu! Sitakara siap menjalankan titah Ibunda!” sahut
Sitakara sambil tersenyum memeluk ibunya dari samping. Ibunya sangat senang
mendengar jawaban Sitakara.
“Sitakara, meski saat ini Arundhati telah sangat maju
kemampuannya dan akan semakin maju ketika versinya di lapis kedua dimensi mimpi
selesai dari latihan bersama Nyi Ajar Nismara di Ranusimpar, namun bila dia
berhadapan dengan musuh yang sangat banyak, maka dia akan keteteran dan sangat
mungkin memunculkan kecerobohannya. Semoga gemblengan Nyi Ajar Nismara termasuk
mengikis kecerobohannya.” Retna Nawangsih melanjutkan penuturannya.
“Tapi Ibu, kalau berbicara tentang latihan di Ranusimpar
apalagi ditangani langsung oleh Gurunda Nyi Ajar Nismara, maka dapat dipastikan
bahwa nantinya Arundhati di dimensi utama ini akan mengalami sebuah loncatan?”
“Betul, Sitakara!”
“Nah, yang jadi pertanyaan adalah, apakah Arundhati akan
sanggup untuk menerima loncatan ini? Setahu saya, locatan yang biasa-biasa saja
pun akan memberikan rasa sakit yang luar biasa.” Dengan nada yang sangat cemas,
Sitakara ingin memastikan tentang proses loncatan ini.
“Ibu mengerti kecemasanmu Sitakara. Kamu sangat mencemaskan
Arundhati yang sudah kamu anggap adikmu sendiri.” Sitakara tersenyum saat
Ibunya menyebutkan bahwa Arundhati sebagai seperti adiknya adiknya, meskipun
ibunya mengatakannya dengan sangat lirih seperti menahan sesuatu. Sitakara
sangat berharap Arundhati memang adalah adiknya. “Ibu akan menjaganya ketika
proses itu berjalan. Demikian juga dengan gurumu Nyi Ajar Nismara. Dia akan
menjaga di sisi lapis kedua juga!”
Sitakara sangat senang mendengar penjelasan ibunya. Dia
peluk ibunya kencang. Memang seperti yang dibilang ibunya, Arundhati baginya
sudah seperti adik sendiri. Sitakara tidak tahu kenapa dia bisa begitu
menyayangi Arundhati, namun satu hal yang
pasti baginya Arundhati menempati posisi yang sangat istimewa.
Retna Nawangsih melepaskan pelukan tangan kanan Sitakara dan
memutar tubuhnya ke kiri menghadap Sitakara sambil berkata, “Sitakara, ini
adalah hari Minggu, dan menurut perhitungan ibu, pada hari ini pulalah mestinya
pelatihan yang dilakukan oleh Nyi Ajar Nismara selesai. Bila selama beberapa
minggu terakhir Arundhati tidak terhubung, maka hari ini mestinya Arundhati
akan terhubung. Kamu yang ada di lapis kedua, bersama Sekar Kenanga segeralah
pergi ke Ranusimpar. Jemput Arundhati, dan jaga dia bersama Nyi Ajar Nismara
dan Sekar Kenanga. Dan, pagi ini pergilah kamu ke rumah Arundhati. Sebisanya,
ajaklah dia agar sore ini dapat berada di rumah ini!”
Sitakara kaget mendengar penuturan ibunya. Dia tidak mengira
akan secepat ini Arundhati akan melakukan loncatan.
“Jangan lupa ajak Sekar Kenanga untuk datang ke sini!”
Mendengar perintah ibunya, kekagetan Sitakara semakin
menjadi. Bila dilapis kedua dimensi mimpi harus mengajak Sekar Kenanga, itu hal
yang wajar. Tapi di dimensi utama ini, bagi Sitakara adalah hal yang sangat
aneh. Sitakara tidak tahu bahwa Sekar Kenanga telah diketemukan. Retna
Nawangsih melihat rona kekagetan di wajah anaknya. Dia tersenyum sambil
bertanya, “kaget Sekar Kenanga sudah diketemukan?”
Sitakara tersenyum senang. Ibunya menanyakan yang seperti
itu berarti memang Sekar Kenanga sudah diketemukan.
“Ibu tidak menyangka bahwa orang yang kita cari-cari
ternyata berada di sekitar sini. Arundhati dituntun oleh intuisinya yang
didukung kemampuannya untuk mendeteksi kehadiran kesadaran yang telah pernah
dikenal sebelumnya mampu menemukan Sekar Kenanga dengan sangat cepat.”
“Apakah prosesnya mulus, Ibu?” tanya Sitakara ingin tahu
proses yang terjadi. Ada sedikit rona kekecewaan muncul dari wajahnya karena
dia tidak diikutsertakan dalam proses penemuan Sekar Kenanga. Padahal, ibunya
selalu dapat dia andalkan untuk dapat memantau aktifitas luar biasa Arundhati.
“Ibu sengaja tidak mau ikut campur, dan tidak memberitahumu
juga. Ibu harus dapat memastikan Arundhati mampu mengatasinya sendiri. Meskipun
sambil dag-dig-dug karena takut terjadi sesuatu terhadap Arundhati, Ibu harus
tetap membiarkannya sambil berjaga-jaga!”
Mendengar penuturan terakhir dari Ibunya, dahi Sitakara
berkerut. Dalam kondisi seperti itu, sangat tidak mungkin bagi Arundhati untuk
tidak menyadari kehadiran Ibunya. Dan, pastinya akan menimbulkan tanda tanya
bagi Arundhati.
“Ibu telah melakukan kesalahan!” kata Sitakara memberikan
penilaian kepada Ibunya.
“Betul, ibu juga berpikir seperti itu. Saat ini pasti
Arundhati sedang bingung dan bukan tidak mungkin akan timbul kecurigaan dia
terhadap ibu. Saat ini tidak ada satu
orang pun dari padepokan yang mengenal ibu selain Nyi Ajar Nismara dan Ki
Ageng Turangga Seto. Dan sebagai putri Ibu mestinya kamu adalah salah satunya.”
“Tapi, kenapa Ibu tetap membiarkan Arundhati berjuang
sendiri?” tanya Sitakara yangmasih belum puas dengan penjelasan ibunya. Retna
Nawangsih malah tersenyum sambil bertanya, “Apakah menurut kamu, Arundhati memang
harus ditolong?”
Sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Benar,
memang Arundhati tidak harus ditolong, dalam perasaannya sebagai kakak dorongan
untuk menolong atau setidaknya membantu. Tidak ada respon yang cukup baik
selain nyengir. Retna Nawangsih pun tersenyum sambil mengelus kepala Sitakara,
“Sudah sana, mandi. Mungkin kamu perlu Ansuman untuk mengajak Arundhati
kemari!”
Sitakara segera bangun dan berdiri dan bergegas masuk ke
rumah sambil berbisik, “Yes Mam, everything will be OK!”
Retna Nawangsih tertawa melihat kelakuan anaknya. Sitakara,
anak tunggalnya memang termasuk manja. Dan dia tahu, bahwa Sitakara sangat
senang dapat menemukan Arundhati yang dia anggap adhik sendiri. Sampai di sini,
terlihat Retna Nawangsih meneteskan air matanya.
---///\\\---
Sementara itu, di sebuah dangau di suatu areal persawahan
nampak Arundhati sedang duduk seorang diri. Dia memperhatikan tanaman padinya
yang berantakan. Bukan hanya sawah keluarganya saja yang rusak. Kerusakan ini
meluas sampai beberapa blok ke depan. Tak jauh dari dangau terlihat Man Sardi
dan Bapak serta beberapa orang lelaki dewasa sedang berdiri sambil
bercakap-cakap. Sesekali tangan mereka menunjuk ke suatu tempat. Meskipun
kadang terdengar mereka tertawa, namun bagi Arundhati mereka tidak dapat
menyembunyikan nada sedihnya.
Siang ini Arundhati sengaja mengikuti Bapak dan Man Sardi
pergi ke sawah. Arundhati ingin memastikan bahwa kerusakan yang terjadi bukan
karena kelakuan makhluk persepsi atau makhluk biologis yang telah tertanam
persepi merusak dari makhluk-makhluk itu. Arundhati telah berulangkali
mengerahkan kesadarannya untuk membaca kehadiran makhluk-makhluk tersebut,
namun selalu gagal. Bahkan ketika jangkauannya dia perluas sampai melewati
batas kampung pun masih belum terbaca kehadiran mereka. Namun justeru dia
menangkap kehadarin dua orang yang sangat dia kenal, Sitakara dan Sekar
Kenanga. Sontak rona mukanya berubah menjadi gembira. Namun, dengan tiba-tiba
wajahnya berubah menjadi murung. Dalam hatinya dia menggerutu, “yah, Yu Ara!
Ibu Retna Nawangsih!” Kehadiran Retna Nawangsih yang tidak membantunya
menyelamatkan Sekar Kenanga ternyata masih menjadi ganjalan baginya. “Tapi, Yu
Ara kan tidak ada sangkut pautnya dalam kasus ini? Dan bisa jadi justeru dia
tidak tahu. Tapi… mengapa Yu Ara datang bersama Sekar Kenanga? Bukankah Yu Ara
belum tahu keberadaan Sekar Kenanga? Bisa jadi.. hm… mungkin Ibu Retna
Nawangsih yang memberitahu?”
Banyak pertanyaan menggantung di kepala Arundhati. Kalau pun
ada jawaban, itu harus dipastikan. Arundhati segera turun dari dangau, dan bergerak
ke arah tanggul saluran irigasi sambil berteriak keras, “Bapak…. Ayun pulang
dulu!”. Arundhati pamit dan dibalas oleh Bapak, “Ya.. ati-ati! Bilang sama Ibu,
Bapak masih ada yang dibicarakan sama teman-teman Bapak!”
Arundhati yang sedang mendorong sepeda motornya ke arah
jalan, tidak mempedulikan lagi teriakan bapaknya, “Ya Pak, nanti Ayun
bilangin!”
Setelah berhasil mendorong motornya sampai ke jalan,
Arundhati langsung menyalakan motornya dan menjalankannya. Seperti orang
kerasukan, Arundhati langsung tancap gas menggeber motornya pada kecepatan
tertinggi yang dia mampu. Bapak dan orang-orang yang bersamanya kaget dan
semuanya menoleh ke arah motor Arundhati yang terlihat melaju sangat kencang.
Bapak cuma bisa geleng-geleng kepala. Sementara orang-orang yang bersamanya
semuanya tertawa.
Arundhati yang tengah melaju dengan motornya terlihat sedang
melintasi jalan tengah sawah. Tidak ada seorang pun yang lewat sana. Tiba-tiba,
motor dengan Arundhati yang tengah mengendarainya menghilang dari pandangan. Sekali lagi, Arundhati mengacak-acak hukum
fisika. Dengan kemampuannya itu, dalam sekejap Arundhati telah sampai di jalan
sepi dekat rumahnya. Arundhati mengurangi laju motornya, berjalan normal sampai
ke halaman rumahnya.
Saat memasuki halaman rumahnya, handphonenya berbunyi.
Arundhati mengabaikan dering handphonenya. Dia yakin itu adalah panggilan dari
ibunya. Sesampainya di plataran rumah, dengan cekatan dia kunci motornya dan
lari naik ke teras rumahnya. Di situ sudah ada Sitakara dan Sekar Kenanga. Arundhati
menyapa keduannya.
“Assalamu’alaikum…! Eh Yu Ara, Sekar! kapan datang? Sudah
lama menunggu?”
“Wa’alikum salam…! Baru saja!” Sitakara menjawab salam
Arundhati sambil tersenyum
Sementara itu dari dalam rumah, Ibu keluar sambil memegang
handphoe di telinganya sambil merutuk dengan wajah kusut, “Aduh….. ini anak
ditelepon gak diangkat!”. Arundhati yang melihat kejadian itu menahan tawa
sambil mengambil handphonenya dan menjawab panggilan, “Iya Bu! Ada apa ya?”
Wajah ibu nampak senang, “Ayun… cepet pulang! Ini lho ada Mbak Sitakara sama
Sekar di rumah. Cepetan ya…! Awas jangan lama-lama!”
“Inggih, Bu! Ayun gak akan kemana-mana!” jawab Arundhati
masih tetap menahan tawa. Sitakara dan Sekar Kenanga juga nampak menahan tawa
melihat kelakuan Arundhati.
Setelah menurunkan tangannya, Ibu langsung berjalan
mendekati Sitakara dan Sekar Kenanga tanpa melihat ke luar, “Ayo Mbak Sita,
Mbak Sekar, diunjuk minumannya. Maaf, Ayun lagi ikut bapaknya menengok sawah.
Sebentar lagi dia sampai. Monggo diunjuk!”
Arundhati tidak mampu menahan tawanya lagi. Dengan agak
teriak sambil tertawa, “Ha ha ha ha…. Ibu….! Ini Ayun….. Jangan mentang-mentang
badan kecil Ayun gak dilihat sama Ibu! Lagian, Ibu juga sih, punya anak kecil
mungil gini!” Arundhati memutar badannya saat mengatakan, “anak kecil mungil
gini!”. Sitakara dan Sekar Kenanga ikut
tertawa melihat kelakuan Arundhati.
Menyadari kejadian ini, Ibu kaget. Namun, kemudian Ibu juga
ikut tertawa sambil mendekati Arundhati. Arundhati diam saja ketika Ibu
mendekat, dan tanpa diduga-duga ibu jari dan telunjuk Ibu bekerja sama menjapit
kupingnya. Ibu menjewer Arundhati dengan pelan sambil menyebutkan dua kata,
“Anak nakal!”. Arundhati teriak sambil
tertawa, “Aduh… ampun ibu… sakit..!”.
Masih sambil tertawa ibu mempersilakan kedua tamu anaknya, “ya sudah,
Ayunnya sudah datang. Ibu masuk dulu, ya!”. Sitakara dan Sekar Kenanga
mengangguk sambil berkata, “monggo, Bu!”
Arundhati masih berdiri sambil melihat ibunya masuk. Setelah
ibunya masuk, dia segera menarik kursi, duduk dan kembali menyapa kedua
tamunya.
“Aduh, maaf Yu Ara, Sekar! Tadi Ayun ikut bapak lihat sawah.
Entahlah, sawah pada rusak. Tapi, ngomong-ngomong, tumben Yu Ara kemari? Ha ha
ha…. udah lama ya kita gak ketemu. Sejak Ayun dapat titah nyari Sekar. Tapi…
eh…ngomong-ngomong… Yu Ara sudah kenal sama Sekar? Gimana, gimana, gimana
ceritanya?” Arundhati langsung nerocos menanyakan banyak hal kepada kedua
tamunya. Sekar Kenanga bingung melihat kelakuan Arundhati. Sitakara yang
melihat kebingungan Sekar Kenanga tersenyum, “Sekar, gak usah bingung. Tuan
putrimu memang seperti itu!”. Arundhati
yang melihat Sitakara yang malah menegur Sekar Kenanga berubah jadi cemberut. Sitakara yang hapal dengan sifat kolokan
Arundhati sengaja membiarkan Arundhati menjadi cemberut. Dia masih memperhatikan kebingungan Sekar
Kenanga.
“Sekar, kamu gak usah bingung begitu dong!” tegur Sitakara sekali
lagi.
“Bukan Yu Sita, eh .. maaf… maaf Ayun. Sekar bukan bingung
sama Ayun. Maaf.. maaf!” Sekar Kenanga salah tingkah mendengar teguran Sitakara
dan melihat sikap Arundhati.
“Ha ha ha… ya sudah Sekar. Biasa aja kali” ucap Sitakara sambil
mengalihkan pandangannya kepada Arundhati. Arundhati masih nampak cemberut.
“Aduh adik cantik, gak usah cemberut gitu dong. Yu Ara
barusan cuma pengin memastikan Sekar biar nggak kaku-kaku amat! Tapi ya
sudahlah, mungkin dia memang begitu adanya.”
“Terus?” sahut Arundhati sambil bertanya.
“Terus apa?”
“Ya yang tadi?”
“Yang tadi yang mana?”
“Yang tadi, yang Ayun tanya?”
Arundhati makin kesal. Tadi, di sawah dia sebenarnya sudah
agak kesal karena beberapa pertanyaan yang muncul di kepalanya. Sebenarnya
kekesalannya sudah mulai cair ketika dia mengerjain ibunya. Dan ini mungkin
yang tidak diketahui oleh Sitakara, karena saat dia temui tadi Arundhati adalah
seperti Arundhati yang dia kenal selama ini. Hanya Sekar Kenanga yang tahu
bagaimana sikap tegas Arundhati.
“Baiklah, kalau begitu, ada apa Mbakyu Sitakara datang ke
rumah Ayun!”
Saat ini giliran Sitakara yang kaget dan bingung. Nada
berbicara Arundhati saat ini sangat teratur. Sama sekali berbeda dengan
Arundhati yang sering berinteraksi dengannya. Nada yang sangat tegas bahkan dia
tidak menggunakan sebutan ‘Yu Ara’. Sekar Kenanga memilih diam. Karena
perubahan situasi ini, Sitakara tidak dapat segera menjawab pertanyaan
Arundhati. Dia benar-benar terjebak dalam kebingungannya.
Setelah beberapa detik tidak dapat berfikir sedikitpun, tiba-tiba
baik Sitakara maupun Sekar Kenanga seperti tehenyak dari lamunan saat mendapati
lingkungan mereka saat ini ternyata telah berubah. Arundhati ternyata telah
membawa mereka ke dalam kantung waktunya. Sebuah hamparan awan yang sangat
luas. Mereka bertiga duduk di atas awan seperti sedang duduk di atas tanah.
Mereka bertiga saat ini terlihat mengenakan identitas Alang-alang Segara Wedi, jubah
dan kerudung putih gading. Ini benar-benar telah memaksa Sitakara untuk mengakui
bahwa Arundhati, juniornya, memang lebih unggul. Untuk mengakhiri kecanggungan
ini, akhirnya Sitakara bersuara, “Ampun Ayun…, bukan maksud Yu Ara untuk
mengecewakan Ayun. Yu Ara datang ke sini justeru karena ingin memberikan
penjelasan kepada Ayun terkait beberapa kejadian yang dialami Ayun, terutama ketika
harus menyelamatkan Sekar Kenanga!”
“Baiklah lanjutkan!” sahut Arundhati menyuruh Sitakara untuk
melanjutkan. Tetap dengan gaya penyampaian yang sangat tenang.
Mendengar perintah dari Arundhati, Sitakara memulai
ceritanya. “Baiklah Ayun, sebelumnya Ibunda Retna Nawangsih titip permohonan
maaf atas apa yang telah beliau lakukan saat Ayun bertempur melawan Upala
Carma. Bukan maksud Ibunda Retna
Nawangsih untuk tidak mau membantumu, namun menurut perhitungan Ibunda Retna
Nawangsih, Ayun pasti akan dengan mudah mengalahkan Upala Carma. Dan untuk diketahui, selama ini Ibunda Retna
Nawangsih belum pernah tahu bahwa ternyata Sekar Kenanga tinggal tidak jauh
dari kami. Upala Carma telah berhasil menutup identitas Sekar Kenanga secara
sempurna selama bertahun-tahun sehingga Ibunda Retna Nawangsih tidak mampu
mengenalinya.” Sitakara berhenti sejenak.
Dia menunggu response Arundhati.
“Baiklah, dapat diterima. Lanjutkan!”
“Baiklah, Ayun! Hal kedua yang membuat kami datang menemuimu
adalah bahwa saat ini pelatihan yang dilakukan oleh Nyi Ajar Nismara telah
selesai. Ini adalah saatnya Ayun untuk melakukan penyelarasan. Namun, sesuai
perhitungan Gurunda Nyi Ajar Nismara proses penyelarasan kali ini akan sangat
menyakitkan baik bagimu, juga bagi Arundhati di lapis kedua!”
Arundhati terhenyak kaget. Dia berdiri dari duduknya sambil
berkata, “Mbakyu Sitakara, Ayun masih bisa merasakan sakitnya saat satu bulan
menerima penyelarasan yang tertunda. Ayun tidak tahu pada tingkatan apa rasa
sakit yang akan Ayun terima sehingga Ibu Retna Nawangsih mengutus Mbakyu
Sitakara untuk menemui Ayun, bahkan ditemani oleh Sekar Kenanga?”
Sitakara tidak langsung menjawab. Dia terdiam agak lama.
Tidak mungkin baginya untuk mengatakan bakal sakit sekali. Namun bila tidak
dikatakan, itu sama artinya dengan membohongi Arundhati. Dia tidak sampai hati
untuk melakukan itu. Namun, belum sampai dia menjawab, tiba-tiba terdengar
suara yang sangat dia kenal. Ibunya, Retna Nawangsih.
“Arundhati Striratna!” tiba-tiba terdengar suara Retna
Nawangsih lembut menyapa Arundhati dengan nama lengkapnya. Arundhati terkesima
mendengar suara yang begitu lembut namun sangat berwibawa. Suara Retna Nawangsih.
Arundhati tertegun sambil bertanya-tanya, bagaimana mungkin Retna Nawangsih
mampu menembus kantung waktunya. Ini hanya mungkin dilakukan oleh orang yang
saat ini berada pada koordinat waktu yang sama. Rupanya Retna Nawangsih telah
mempersiapkan semuanya. Ini menyadarkan Arundhati, bahwa saat ini dia tengah
berada di antara orang-orang yang sangat luar biasa
“Ayun, sebelumya, Ibu meminta maaf kepadamu bahwa saat itu
Ibu tidak membantu kamu. Ibu melakukan itu karena ibu lihat kamu telah
berkembang begitu pesat meskipun tidak terhubung denganmu di lapis kedua. Dari
sini ibu menyimpulkan bahwa kamu pasti mampu mengatasi kecoa macam Upala Carma.
Terbukti, karena kamu tahu ada Ibu yang memperhatikanmu, kamu mampu
mengalahkannya dengan cara unik, yang bahkan tidak terpikirkan oleh Ibu. Dan
itu kamu lakukan dengan sedikit mengerahkan potensi kesadaranmu.” Kembali suara
Retna Nawangsih terdengar menjelaskan.
Suara lembut Retna Nawangsih ternyata mampu meluruhkan
kekesalan Arundhati. Namun, Arundhati masih tetap memepertahankan kantung
waktunya. Arundhati masih merasa ada yang disembunyikan oleh Retna Nawangsih.
“Ah, Ibu Retna Nawangsih. Sebenarnya yang Ibu sampaikan juga
sudah Ayun pikirkan. Ini seperti sebuah ujian bagi Ayun. Namun, bila memang
betul seperti itu, lantas buat apa?”
Suara Retna Nawangsih tidak langsung menjawab pertanyaan
Arundhati. Dan, tiba-tiba di antara mereka muncul sosok Retna Nawangsih.
Arundhati sangat terkejut melihat kehadiran Retna Nawangsih. Ibunda dari
Sitakara ini nampak cantik dengan jubah biru muda ungu yang cenderung putih (bunga
teleng) dan kepala berbalut kerudung dengan warna yang seirama.
“Mungkin kamu terkejut, Ayun. Tapi, Ibu sudah memperkirakan
kamu akan membuat suatu kantung waktu. Maka setelah kepergian Sitakara
menemuimu, Ibu sudah bersiap masuk ke dimensi dimana kantung waktu dikembangkan.”
Arundhati semakin kagum, mendengar bagaimana Retna Nawangsih
dapat memasuki kantung waktunya. Sebuah tempat yang sebelumnya pernah dia pikir
sebagai tempat yang paling private, kali ini anggapannya itu benar-benar musnah.
Setelah Sekar Kenanga yang mampu mengintersepsi perjalanannya, hari ini Retna
Nawangsih bahkan mampu memasuki kantung waktunya yang notabene 100% adalah ada
pada kendalinya.
“Tidak, Arundhati! Dapat memanipulasi waktu dalam bentuk
kantung waktu tidak kemudian menjadi seratus persen menjadi pengendali Inilah
yang harus aku pastikan bahwa kamu memahami ini. Dan, hari ini kamu telah memberikanku
kesempatan untuk memasuki kantung waktumu sehingga kamu tahu ada kelemahan
dalam kantung waktu. Dan bila tadi kamu menanyakan buat apa, maka aku harus
memberitahumu bahwa penting bagiku untuk memastikan kamu telah menguasai kemampuan
yang dibutuhkan untuk menerima penyelarasan setelah pelatihan di Ranusimpar!”
Jelas Retna Nawangsih dengan diawali penyanggahan terhadap apa yang ada pada
pikiran Arundhati. Hal ini tentunya semakin membuat Arundhati kagum kepada Retna
Nawangsih. Arundhati merasa semakin tidak berarti di hadapan Retna Nawangsih. Ini
menyadarkan Arundhati atas kekurangan
yang tidak dia sadari. Arundhati segera berlutut satu kaki dengan kepala
menunduk dan kedua tangan bertumpu pada salah satu pahanya.
“Ampunkan Ayun yang telah bertindak berlebihan baik kepada
saudara Ayun maupun kepada musuh-musuh Ayun, Ibu Retna Nawangsih!”
Retna Nawangsih tersenyum melihat apa yang dilakukan oleh
Arundhati. Sitakara bingung melihat sikap Arundhati. Namun, berbeda dengan
Sitakara, Sekar Kenanga justeru tiba-tiba berlutut di depan Retna Nawangsih
dengan sikap yang persis sama. Ini semakin membuat Sitakara bingung.
“Ampunkan ananda yang tidak mengenali kehadiran bibi Retna
Nawangsih Bawana Nisala Putri!”
Retna Nawangsih tersenyum, Sitakara semakin bingung.
Sepanjang itukah nama ibunya? Selama ini bila ia lihat di KK maupun di KTP
ibunya cuma menyebut nama Retna Nawangsih. Tidak pernah sekalipun dia membaca Retna
Nawangsih Bawana Nisala Putri. Bahkan di padepokan pun dia tidak pernah
mendengar hal itu.
Retna Nawangsih berjalan mendekati kedua gadis yang sedang
berlutut di hadapannya. Sambil menyentuh pundak dan membimbing Arundhati untuk
berdiri, Retna Nawangsih berkata, “Berdirilah anakku! Tidak ada yang pantas
untuk berlutut di depanku. Bukankah kamu selalu mengataku itu pada Sekar
Kenanga?”. Sitakara, agak sedikit
terperangah saat mendengar ibunya menyebut Arundhati dengan sebutan anakku.
Tidak biasanya ibunya menyapa teman-temannya dengan sebutan itu.
“Baik, Ibu Retna Nawangsih!” sambut Arundhati setelah tegak
berdiri.
Retna Nawangsih tersenyum. Kemudian dia berjalan mendekati Sekar
Kenanga dan bertanya, “Sekar Kenanga, kenapa kamu berani menyimpulkan bahwa
saya adalah Retna Nawangsih Bawana Nisala Putri?”
“Ampun bibi, saya hanya mengenal dari orang tua saya tentang
seorang perempuan yang mampu menebak pikiran orang lain dengan tepat. Dari tadi
saya perhatikan bibi selalu menebak pikiran Ayun tanpa ada penolakan dari Ayun.
Kemudian orang tua saya juga bilang bahwa orang ini mempunyai kemampuan di atas
kami dan bila kami dalam suatu situasi mengenakan jubah putih gading, maka
dalam situasi yang kurang lebih sama orang ini mengenakan jubah seperti yang
bibi kenakan!” jawab Sekar Kenanga dengan lancar.
Retna Nawangsih tersenyum. Kemudian, dia membimbing Sekar
Kenanga untuk berdiri. Setelah Sekar
Kenanga berdiri. Retna Nawangsih tidak segera melepaskan tangannya. Dia justeru
memegang kedua lengan Sekar Kenanga yang saat ini berdiri berhadapan dengannya.
Retna Nawangsih berkali-kali terlihat tersenyum dan sedih secara begantian sambil
menatap wajah Sekar Kenanga. Tanpa dinyana-nyana, tiba-tiba Retna Nawangsih
menarik punggung Sekar Kenanga dan memeluknya erat. Sambil menangis dan tetap
memeluk Sekar Kenanga, Retna Nawangsih bertanya, “Di lapis kedua, kamu adalah
putri kinasih Ki Ageng Gagak Pergola dan alamarhumah Dinda Nyi Ageng Retna
Gantari Nisreya Wanda, bukan?”
“Betul, bibi Retna Nawangsih!” jawab Sekar Kenanga. Dan,
jawaban ini membuat Retna Nawangsih semakin mempererat pelukannya kepada Sekar
Kenanga. Setelah puas memeluk Sekar Kenanga, Retna Nawangsih mundur melepaskan
Sekar Kenanga.
“Sitakara!” Retna Nawangsih memanggil Sitakara.
“Dalem, Ibu!”
“Sekar Kenanga adalah adik sepupumu di lapis kedua. Tapi,
jangan pernah katakan pada siapapun di sana bahwa kalian masih bersaudara!”
Retna Nawangsih tidak menginginkan identitas anaknya dan
Sekar Kenanga diungkap di lapis kedua. Sitakara mengangguk masih dengan
beberapa pertanyaan yang tertinggal di kepalanya. Melihat raut muka Sitakara, Retna
Nawangsih kemudian menegurnya, “kenapa? Kamu bingung ibumu memanggil Ayun sebagai
anakku?” Menjawab pertanyaan ibunya, Sitakara hanya menanggukkan kepala. Retna
Nawangsih tersenyum sambil berkata, “yakinlah Sitakara Anakku, bahwa perasaanmu
yang mendalam kepada Ayun dan menganggapnya sebagai adik bukanlah hal yang
salah!”. Sitakara tersenyum.
“Dan kalian Sitakara, Sekar Kenanga, serta Arundhati aku minta
pada kalian, jangan pernah mengungkap kehadiranku di dimensi utama ini kepada
orang-orang di lapis kedua!”
Disamping identitas ikatan darah antara Sitakara dan Sekar
Kenanga, Retna Nawangsih juga meminta kepada ketiga gadis itu untuk menyimpan
rahasia kehadirannya di dimensi utama, yang secara serempak dijawab oleh ketiga
gadis itu, “Baik Ibu!”
Dengan masih berhadap-hadapan dengan Sekar Kenanga, Retna
Nawangsih menepuk pundak Sekar Kenanga sambil berkata, “Sekar, sebenarnya
banyak yang mau bibi tanyakan kepadamu. Namun, saat ini membantu Ayun lebih
penting!” yang dibalas dengan anggukan oleh Sekar Kenanga.
Retna Nawangsih berjalan ke arah Arundhati sambil berkata, “kembali
lagi ibu harus meminta maaf kepadamu, karena barusan telah memanfaatkan kantung
waktumu bukan untuk kepentinganmu, Ayun!”
“Tidak apa-apa Ibu Retna Nawangsih, pelajaran yang telah Ibu
Retna berikan kepada Ayun jauh lebih berarti daripada kantung waktu Ayun!” balas
Ayun dan disambut senyum Retna Nawangsih sambil meminta sesuau, “kalau begitu,
sekali lagi Ibu merepotkanmu, boleh?”
“Bila Ayun mampu, Ayun tidak akan berkeberatan!”
“Kalau begitu, bawa kami bersama kantung waktumu ke puncak Gunung
Sindoro! Dan lepaskan kantung waktumu setelah kita sampai di sana”
Tampak keraguan pada raut muka Arundhati yang langsung
ditangkap oleh Retna Nawangsih.
“Sekar, tolong lapisi kantung waktu Ayun dengan kantung
waktumu!”
“Baik, Bibi Retna!”
Retna Nawangsih tersenyum sambil memegangi kedua lengan Arundhati.
Arundhati yang telah mengerti maksud Retna Nawangsih pun tersenyum. Dan, tiba-tiba
mereka telah berada di sebuah area yang sangat dingin dengan bebatuan seukuran
kelapa berserakan. Puncak Gunung Sindoro. Retna Nawangsih melepaskan pegangannya
dan berbalik ke arah Sitakara.
“Sitakara, persiapkan tempat untuk melakukan penyelarasan!”
perintah Retna Nawangsih kepada anaknya.
“Baik, Bu!”
Sitakara segera berjalan ke posisi paling tengah. Bersamaan
dengan dia berjalan, suasana berubah menjadi semakin gelap. Batu-batu besar yang
berserakan di sekitar mereka tiba-tiba terangkat dan berkumpul di salah satu
titik. Area di sekitar mereka saat ini
bersih dari batu-batu yang berserakan. Sampai di titik tengah, Sitakara menggerakan
kedua tangannya, dan tiba-tiba tanah di depannya terangkat dalam bentuk balok. Terakhir,
dengan satu gerakan, tangan kanan Sitakara membuat gerakan menyapu memangkas
tanah yang terangkat tadi sehingga bagian atas tanah yang terangkat tadi berubah
menjadi sangat rata.
Arundhati baru kali ini melihat kemampuan Sitakara. Selama
ini hanya kemampuan beladiri saja yang dia tahu dari Sitakara. Retna Nawangsih
tersenyum melihat Arundhati yang terlihat takjub akan kemampuan Sitakara.
“Ayun, duduklah di atas tanah yang telah dipersiapkan oleh
mBakyumu Sitakara!” perintah Retna Nawangsih kepada Arundhati. Arundhati segera
mengikuti perintah Retna Nawangsih. Dia berjalan ke arah balok tanah buatan
Sitakara. Naik dan duduk bersila di atasnya. Retna Nawangsih sangat senang,
karena Arundhati mau mengikuti perintahnya.
“Sebelum kita mulai, Sitakara, bagaimana dengan persiapan di
lapis kedua?” tanya Retna Nawangsih kepada Sitakara sesaat setelah Arundhati
duduk bersila.
“Di lapis kedua mereka telah siap. Mereka justeru
mengkhawatirkan kita!” jawab Sitakara.
“Kalau begitu, sampaikan ke mereka, bunga teleng selalu
terselip di telinga!” Sitakara tersenyum mendengar perintah Ibunya.
“Sudah Bu, mereka mengerti dan Nyi Ajar Nismara pun sudah bilang
aman! Mereka menunggu aba-aba saya saat kita siap”
“Baiklah! Sekar kamu duduk di sebelah sana, dan kamu Sitkara,
duduklah di sebelah sana. Sementara saya akan duduk di sana. Setelah mereka
bertiga duduk, Retna Nawangsih berkata, “Sitakara, katakan sudah dapat
dimulai!”. Sitakara manganggukan
kepalanya. Dan bersamaan dengan itu, dari tubuh mereka memendar cahaya putih
sangat menyilaukan. Cahaya putih dari mereka bertiga menyatu membuat suatu
kubah dimana ada Arundhati di tengahnya. Setelah sekian lama berjalan, tubuh Arundhati
mulai nampak bergetar. Wajah Arundhati memperlihatkan ekspresi kesakitan yang
sangat luar biasa. Berkali-kali terlihat tubuh Arundhati limbung. Namun, pada
saat yang bersamaan, kubah cahaya itu langsung memeluk dan menyelimuti tubuh
Arundhati serta mendudukkan pada posisi semula. Kubah cahaya ini tidak langsung
kembali ke bentuk semula, namun bertahan agak lama menempel pada tubuh
Arundhati dan berpendar mengikuti irama jantung. Setelah irama pendaran itu
stabil, pendaran cahaya itu kembali membentuk kubah.
Sementara itu, di lapis kedua dimensi mimpi di tepi sebuah
danau yang tenang, juga tengah berlangsung proses yang sama. Nyi Ajar Nismara
dibantu oleh Sitakara dan Sekar Kenanga membantu Arundhati melakukan proses
penyelarasan. Sama seperti di dimensi
utama, Arundhati diselimuti kubah cahaya dan dikelilingi orang-orang
terdekatnya.
Proses penyelarasan yang sangat tidak biasa ini berlangsung
cukup lama. Setelah kira-kira tiga jam berlalu, proses mulai memasuki fase
final. Arundhati nampak sudah sering limbung, dan ketiga orang yang menjaganya
juga sudah mulai nampak kecapekan. Dalam situasi yang kritis ini, baik
Arundhati pada lapis kedua maupun pada dimensi utama nampak melayang dengan
posisi bersila sampai pada ketinggian sekitar dua meter. Pada ketinggian ini,
Arundhati membuka matanya dan kemudian berdiri dengan kedua tangan terbuka di
samping tubuhnya. Bersamaan dengan itu, ketiga orang yang menjaganya menarik
kembali energi kesadaran yang mereka pancarkan untuk membantu Arundhati. Setelah itu, baik Sitakara maupun Sekar
Kenanga nampak lunglai dan menjatuhkan tubuhnya ke belakang dan melurukan
kakinya, telentang dengan kedua tangan terbuka kesamping. Nyi Ajar Nismara di
lapis kedua dan Retna Nawangsih di dimensi utama tersenyum melihat Sitakara
maupun Sekar Kenanga.
Arundhati yang masih melayang nampak mulai menyelesaikan
fase terakhir penyelarasan ini. Dari gerakan tubuhnya, nampak dia seperti
sedang menghirup napas sebanyak-banyaknya. Angin sepoi-sepoi berhembus
mengelilingi tubuh Arundhati. Tubuhnya ikut berputar mengikuti arah angin.
Tetumbuhan di sekitar danau Ranusimpar maupun di sekitar puncak Sindoro pada
radius 15 kilomter nampak berayun lembut dan kuncup bunga nampak mekar.
Penduduk di lapis kedua yang berada di radius tersebut terlihat gembira melihat
bunga-bunga yang tiba-tiba bermekaran di sore hari ini.
Baik Nyi Ajar Nismara maupun Retna Nawangsih terlihat senang
melihat Arundhati yang tengah menyatudiri dengan bumi. Dan sepertinya bumi menyambutnya dengan hangat.
Ini terlihat dari bermekarannya kuncup bunga seakan memberikan salam kepada Arundhati.
Setelah beberapa lama berputar-putar sambil melayang, secara
perlahan arundhati kemudian turun. Setelah menapak Arundhati segera berlagi ke
arah Retna Nawangsih dan memeluknya sambil menangis. Sambil terbata-bata
Arundhati mengungkapkan perasaan terimakasihnya kepada Retna Nawangsih,
“terimakasih Ibunda Retna Nawangsih. Dalam masa paling kritis ini, Ibunda telah
menemani dan menjaga Ayun!”. Retna Nawangsih tersenyum. Rupanya, Nyi Ajar
Nismara telah menceriterakan semua kepada Arundhati saat memberikan pelatihan
di Ranusimpar.
Sitakara dan Sekar Kenanga kaget dan heran mendengar
Arundhati memanggil Retna Nawangsih dengan sebutan Ibunda.
“Sitakara, kamu tidak usah kaget. Ayun ini adalah adikmu
satu bapak. Bapak Arundhati sebenarnya pula adalah bapakmu. Ada kisah yang
teramat panjang untuk diceritakan. Ibu memang pernah menjadi isteri dari Mad
Kusen, bapaknya Ayun, yang waktu itu bernama Bajranala dengan nama panjang Bajranala
Badasusena . Kamu adalah anak dari perkawinan kami, Sitakara Dhanta. Nenek
buyutmu yang memberikan nama Sitakara yang berarti rembulan sementara Dhanta
adalah putih gading.”
Dengan hati-hati Retna Nawangsih menceritakan kisahnya
dengan bapaknya Arundhati. Sitakara sangat senang mendengar penuturan ibunya
bahwa ternyata Arundhati adalah adiknya satu bapak. Namun, ada perasaan marah
yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. Bagaimana tidak, Mad Kusen, tinggal tidak
jauh dari kotanya. Namun, seperti hilang tertelan bumi. Tidak pernah sekalipun
menjenguknya meskipun mungkin perceraian telah memisahkan mereka. Retna
Nawangsih yang merasakan kemarahan yang muncul dalam hati putrinya segera
mencegah perasaan itu marah dan mempengaruhi putrinya.
“Sitakara anakku, kamu tidak perlu marah. Perpisahan kami
terjadi bukan karena pertengkaran atau hadirnya orang ketiga, apalagai orang
ketiganya itu adalah ibunya Arundhati. Kami terpisah karena adanya kekacauan yang
ditimbulkan oleh makhluk-makhluk persepsi. Kekacauan yang terjadi pada tahun 98
telah memisahkan kami. Ibu yang tengah mengandung dirimu nekad maju ke dalam
peperangan melawan para makhluk persepsi itu. Namun tanpa disangka-sangka, ibu
terlempar jauh menembus dimensi akibat serangan yang dilakukan oleh Dhemit
Marumaya, makhluk persepsi pemimpin utama kakak dari Dhemit Bacira. Dhemit
Marumaya ini sama saja dengan Dhemit Bacira. Dia aseli penghuni lapis pertama,
dan di lapis kedua dia dibantu oleh gerombolan Alap-alap Selogiri. Dan dalam peperangan di lapis kedua ini,
Retna Gantari, bibimu yang belum lama melahirkan Sekar Kenanga, terbunuh oleh Alap-alap Selogiri. Sementara Retna Gantari versi dimensi utama
ini meninggal terbunuh oleh Dhemit Marumaya. Bibimu terbunuh karena berusaha
melindungi ibumu. Ibumu selamat, namun terlempar ke lapis ke-sembilan dimensi
mimpi. Kamu lahir di sana, Sitakara. Namamu adalah pemberian nenek buyutmu yang
ternyata masih hidup di lapis ke-sembilan itu. Nenek buyutmu Endang Paramayana
Wardini adalah mahaguru di padepokan Ugra Sundari. Dan di padepokan inilah
ibumu meningkatkan kemampuan ibu dan bertemu dengan guru kalian, Nyi Ajar
Nismara. Setelah lima tahun berada di lapis kesembilan, ibu yang lahir dan
besar di dimensi utama merasa harus kembali ke dimensi utama. Setelah dibekali
kemampuan menembus dimensi, ibu berhasil kembali ke dimensi utama. Kemampuan
menembus dimensi ini harus disertai dengan pengorbanan kembaran eksistensi mu
di lapis kedua. Ibumu ini dan ibumu yang di lapis kedua harus melakukan
penyatuan. Hal ini hanya diketahui oleh Ki Ageng Turangga Seta dan Nyi Ajar
Nismara.” Retna Nawangsih, menghela
nafas sambil mengingat-ingat kejadian yang pernah dia alami di masa lampau.
Sitakara yang mendengarkan dengan seksama penuturan ibunya
mulai paham, meskipun dia lahir mendekati masa pergantian milenium, namun kilasan
kenangan masa kecil dia di sebuah kampung yang sangat asri di lingkungan yang
kental berbahasa jawa, mestinya dia berada di pulau jawa. Namun, seingat dia, tidak ada listrik dan televisi di situ.
Bahkan motor mobil dan simbol-simbol kemajuan jaman tidak dia jumpai dalam
pengalaman masa kecilnya. Simbol-simbol kemajuan jaman mulai dia temui ketika
dia dan ibunya kembali ke dimensi utama. Meskipun di kampung terpencil di jawa,
setidaknya sepeda motor seharusnya pernah dia temui. Apalagi sudah lewat
pergantian milenium. Dia tidak pernah berfikir
sedikitpun bahwa dia pernah terlempar ke lapisan dimensi yang sangat
merepresentasikan masa yang jauh dari abad ke 21. Masa dimana bahkan nenek
buyutnya masih muda. Sebenarnya ada beberapa pertanyaan, namun dia menunggu
sampai ibunya selesai bercerita tentang asal-usulnya dan asal-usul Arundhati.
“Di dimensi utama, Ibu berusaha untuk mencari bapakmu. Rumah
yang kita tinggali adalah rumah adalah hasil jerih payah bapakmu yang kami
tinggali setelah menikah. Dan ketika ibu terlempar ke lapis kesembilan, bapakmu
meninggalkan rumah itu satu tahun setelah berusaha mencari keberadaan Ibu namun
selalu gagal. Rumah dititipkan kepada Badrun, bapaknya Sweta Nandini. Badrun
yang pada versi lapis kedua adalah adik ipar Nyi Ajar Nismara, meninggali rumah
sambil mengembangkan usahanya menjual sembako di pasar. Dan ketika ibu datang, Badrun sangat senang
karena tugasnya menjaga rumah temannya itu akan selesai, dan saat itu bisnis
Badrun sudah bisa dibilang sukes. Dan, dari Badrun ini Ibu tahu kisah bapakmu. Ternyata,
selama empat tahun Bapakmu itu selalu mencari Ibu. Namun karena tidak pernah
berhasil, keluarganya selalu menghiburnya dan bahkan banyak yang menyarankan
untuk menikah lagi. Termasuk nenekmu dari bapakmu, Sitakara. Beliau sangat
sedih melihat kondisi bapakmu. Beliau kemudian meminta bapakmu untuk menikah
lagi, dan beliau sudah mempunyai calon buat bapakmu. Karena yang meminta adalah
nenekmu, bapakmu tidak kuasa untuk menolaknya. Dan, akhirnya bapakmu menikah
dengan perempuan pilihan nenekmu, Dewi Wikasitapaliya Wanodya, dengan syarat
bahwa mereka berdua tidak lagi dilibatkat dalam urusan dengan para makhluk
persepsi dan apalagi interaksi antar dimensi. Syarat ini disetujui baik oleh
nenekmu maupun Dewi Wikasitapaliya Wanodya, Ibunya Arundhati. Sebagai
perwujudan syarat itu, Dewi Wikasitapaliya Wanodya mengganti namanya menjadi
Saliyah, dan Bajranala Badasusena merubah namanya menjadi Mad Kusen. Mereka
berdua mendapat jatah untuk mengelola sawah di kampungnya Arundhati saat ini.”
kembali Retna Nawangsih berhenti bercerita sambil menarik nafas dalam-dalam.
Dari sudut matanya, mulai nampak mengalir tetesan air mata. Retna Nawangsih
seperti sengaja membiarkan airmatanya menetes saat menceritakan tentang Bajranala.
Retna Nawangsih seperti meminta Sitakara agar memahami, bahwa yang menjadi
korban dari situasi itu bukan hanya dia dan ibunya. Bapaknya juga adalah korban
dari situasi itu. Dan ibu Arundhati bukanlah merebut bapaknya dari dari Ibunya.
Sitakara hanya bisa diam mendengarkan cerita ibunya yang
belum selesai. Dia mulai dapat memahami posisi Mad Kusen atau bapaknya
Arundhati. Akan tetapi ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Kenapa Eyang
Endang Paramayana Wardini, justeru menikahkan muridnya Wikasitapaliya kepada
cucunya sementara isteri cucunya ini sedang dalam perlindungannya. Akhirnya
Sitakara memberanikan diri untuk bertanya pada ibunya, “Ibu, bukankah saat bibi
Wikasitapaliya dinikahkan dengan bapak, Ibu sedang berada dalam perlindungan
Eyang buyut? Apakah eyang buyut tidak tahu?”
Agak lama, Retna Nawangsih terdiam. Semua berdebar menunggu
jawaban Retna Nawangsih.
“Untuk hal ini Ibu tidak bisa menjawab pertanyaanmua
Sitakara. Tapi yang perlu diingat adalah, Ibu tidak pernah tahu bahwa nenek
buyutmu masih ada, dan bapakmu sepertinya tidak pernah menceritakan perihal
ibumu kepada nenek buyutmu.” Retna Nawangsih menghela nafas sebentar,
“sementara ibu juga pada awal-awal sampai ke tempat nenek buyutmu tidak pernah
menceritakan siapa bapakmu. Baru setelah kamu berumur 5 tahun, pandangan beliau
yang dalam dapat melihat bapakmu dalam dirimu. Di situ ibu baru menceriterakan
perihal bapakmu. Dan, semenjak saat itu nenek buyutmu terlihat lebih sering
menyendiri. Setelah ibu berpamitan dan kembali ke dimensi utama ini, barulah
ibu berfikir bahwa sepertinya nenek buyutmu itu sangat masygul karena
seharusnya dia bisa mencegah anaknya untuk memaksa cucunya menikah lagi! Dan
satu lagi, nenekmupun sepertinya tidak tahu bahwa ibu ada dalam perlindungan
nenek buyutmu. Beberapa hari setelah ibu bercerita kepada nenek buyutmu, ibu
lihat nenek kalian Sitakara dan Arundhati, datang menemui nenek buyut kalian.
Mereka berdua berdialog sangat emosional. Sesekali terlihat nenek kalian
menangis di pangkuan nenek buyut kalian. Sepertinya nenek kalian pulang dengan
membawa penyesalan yang sangat dalam. Dan bila mendengar cerita dari Badrun, nenek kalian meninggal beberapa bulan setelah
waktu itu.”
Sitakara masih terdiam saat Retna Nawangsih mengakhiri
ceritanya. Dalam hatinya, dia sangat senang bahwa ternyata Arundhati adalah
benar-benar adiknya, namun terselip juga rasa tidak ikhlash terhadap nasib
ibunya.
“Sebagai informasi saja, Yu Ara! Sampai saat ini Bapak masih
memegang komitmennya untuk tidak lagi berurusan dengan makhluk persepsi dan
dimensi mimpi serta para penjaga. Ketika Ayun kehilangan memory saat terjadi
persentuhan pertama alam pikiran Ayun yang ada pada lapis pertama dan Ayun dimensi
utama ini, Bapak tidak pernah sekalipun menggunakan kemampuannya untuk membantu
Ayun.” Arundhati menyela Retna Nawangsih menjelaskan sikap Bapaknya. Retna
Nawangsih tersenyum, sambil memandang ke arah Arundhati, dan beralih kembali
kepada Sitakara melanjutkan kisahnya.
“Mendengar cerita dari Badrun, Ibu tidak tega untuk menemui
bapakmu yang telah memulai hidup baru dengan ibunya Arundhati. Kemudian ibu meminta Badrun untuk menanyakan
harga rumah bila dijual. Setelah mendapatkan informasi tentang harga rumah, Ibu
menyuruh Badrun untuk menjual beberapa perhiasan pemberian nenekmu dari lapis
kesembilan. Badrun yang tahu barang ini ternyata menjual perhiasan itu bukan ke
toko emas, namun langsung kepada beberapa kolektor perhiasan sehingga bisa laku
sangat mahal. Kemudian, uang hasil penjualan perhiasan itu, Ibu bayarkan kepada
bapakmu untuk menebus rumah kita itu. Badrun, preman insyaf ini, betul-betul
amanah. Dia menyampaikan kepada bapakmu bahwa rumah telah dibeli orang dari
Jakarta. Bila kamu bertanya kenapa harus dibayar sementara rumah itu juga
adalah hak ibu, maka ibu telah mendengarnya terlebih dulu dari Badrun. Ibu
harus melakukan itu untuk bersembunyi dari bapakmu. Ibu tidak mau mengganggu
hidup bapakmu. Dengan adanya jual beli
rumah, Bapakmu tidak akan curiga kenapa tiba-tiba Badrun keluar dari rumah itu,
yang bila ditelusuir akan mengarah kepada kehadiran ibu di sini. Begitu, Sitakara.
Dan, sebagaimana yang telah Ibu lakukan,
ibu berharap untuk sementara kamu jangan dulu meminta pengakuan dari bapakmu!”
Sitakara mengangguk tanda setuju. Dia ingat sorot mata bapak
Arundhati saat pertama kali bertemu dengannya. Dia yakin, bapak Arundhati sangat
mengenalinya sebagai anaknya. Namun dia sangat menjaga perasaan Ibu Arundhati.
Sementara Ibu Arundhati yang terlihat
sangat expresif, dia yakin juga tidak pernah membencinya. Terbukti tadi saat
menunggu Arundhati, dia terlihat sangat repot melayaninya. Bukan sebagai tamu
pastinya. Namun, sebagai anak suaminya. Dan itu berarti anaknya juga.
Sepertinya Ibu Arundhati hanya kaget bahwa ternyata Retna Nawangsih masih
hidup. Dan, seiring waktu kekagetan ini pastinya akan hilang. Dan, saat itulah
dia meminta pengakuan dari bapaknya.
Menyatukan kembali Ibu dan Bapaknya, sepertinya bukanlah sebuah keniscayaan.
Sitakara tidak ingin berangan-angan sampai ke sana. Memanggil seseorang dengan
sebutan bapak sebagai orang-tuanya adalah salah satu keinginan terbesarnya. Dan
itu sepertinya telah ada di depan mata. Sitakara tersenyum. Melihat Sitakara
tersenyum, baik Retna Nawangsih maupun Arundhati terlihat sangat lega.
Suasana hening dalam beberapa saatm. Namun, tanpa diduga
sama sekali, Sitakara berdiri dan berlari memeluk Arundhati sambil
menangis. Sambil terisak Sitakara mengungkapkan
perasaan hatinya, “Ayun, Yu Ara sangat bahagia bahwa ternyata Ayun yang selama
ini hanya Yu Ara anggap sebagai adik, ternyata memang adik Yu Ara yang
sesungguhnya. Yu Ara akan sabar menunggu saat yang terbaik mendapatkan
pengakuan dari Bapak. Beberapa hari atau beberapa bulan, bukanlah waktu yang
lama bagi Yu Ara menunggu waktu itu dibanding berpuluh tahun kehidupan yang Yu
Ara lalui tanpa kehadiran Bapak!”.
Arundhati membalas pelukan Sitakara dengan sangat lembut. “Yu Ara, Ayun
tidak dapat menjanjikan apapun mengenai pengakuan Bapak karena ini semua
keputusannya ada pada Bapak. Namun, Ayun janji untuk menjadi adik yang baik
bagi Yu Ara dan akan ikut memperjuangkan keinginan Yu Ara!”. Keduanya tenggelam
dalam isak tangis dan kesedihan yang mendalam. Sekar Kenanga yang merupakan orang luar dalam
kisah sedih itu nampak ikut menangis, terlihat dari lelehan air mata yang
mengalir dari sudut matanya. Retna Nawangsih yang tidak mau terlalu lama
terlarut dalam kesedihan tiba-tiba berteriak memerintah, “Baiklah, sekarang
Ayun, kamu lapisi lagi kantung waktu Sekar Kenanga. Dan Sekar, setelah kantung
waktu kamu terlapisi oleh Ayun segera tarik dan lepaskan kantung waktumu! Dan,
Ayun, bawa kita kembali ke tempat kita berangkat tadi”
Demi mendengar perintah itu, Arundhati melepaskan pelukannya
kepada Sitakara. Demikian juga Sitakara. Kemudian tanpa dikomdo, Arundhati dan
Sekar Kenanga sama-sama mengucapkan “Siap!”
Retna Nawangsih tersenyum. Dia telah melepaskan segenap
beban yang selama ini telah dia simpan sendiri. Dia senang bahwa Sitakara mau
menerima dengan lapang kenyataan yang telah dia ungkapkan. Dan, ketika
lingkungannya telah kembali seperti saat berangkat tadi, Retna Nawangsih segera
pamit untuk kembali ke tempatnya semula.
“Ayun, Ibu akan keluar dari kantung waktumu untuk kembali
ke-tempat ibu berangkat tadi. Sitakara, jaga adikmu, Ibu pulang dulu!”
Sitakara mengangguk sambil membalas pesan ibunya, “baik Ibu.
Sebelum tahu Ayun adalah adik Ara pun Ara sudah menjaganya. Apalagi setelah
tahu sekarang. Ara akan menjaganya sepenuh hati. Terutama dari Ansuman!”
Arundhati mencubit tangan Sitakara sekuatnya saat mendengar
namanya dikaitkan dengan Ansuman. Sitakara menjerit kesakitan sambil tertawa. Retna
Nawangsih tidak sanggup menahan tawa melihat kelakuan Arundhati.
“O… Ansuman? Ibu kira dia mengejarmu, Sitakara. Ternyata
Ayun yang dia kejar?”
Sitakara tertawa, Sekar Kenanga menahan tawa, dan Arundhati
sambil bersungut-sungut kemudian berkata, “sudah… sudah! Ibu katanya mau
pulang. Monggo!”
Retna Nawangsih tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya
ke arah Sitakara dan berkata membalas Arundhati, “O… ngusir.. ya sudah, Ibu
pergi dulu ya….! Assalamu’alaikum!”.
Dalam sekejap mata Retna Nawangsih telah menghilang dari pandangan.
“E.. enggak, enggak! Bukan maksud Ayun….! Ah… wa’alaikum
salam!” Arundhati bermaksud mengkoreksi kata-katanya, namun terlambat
menyampakan. Akhirnya dia menutup
kalimatnya dengan membalas salam Retna Nawangsih setelah Sitakara dan Sekar
Kenanga melakukannya.
“Yu Ara, Sekar Kenanga. Ayun mohon maaf atas sikap tengil
Ayun tadi ya!”. Sambil berjalan ke arah sebelumnya
dia duduk, Arundhati memohon maaf atas ketengilannya tadi.
“Tidak apa-apa Ayun. Yu Ara sangat mengerti kegelisahan
Ayun. Dan Yu Ara yakin demikian juga dengan mBakyu Sekar Kenanga. Begitu bukan
mBakyu Sekar?” Sitakara menjawab permohonan Arundhati sambil memastikannya
kepada Sekar Kenanga. Pipi Sekar Kenanga mendadak memerah. Dia merasa malu dan
risih karena tiba-tiba dia harus dipanggil mBakyu oleh dua orang yang sangat
dia hormati. Arundhati tersenyum melihat perubahan rona wajah Sekar Kenanga.
“Iya.. eh iya… iya.. Yu Ara, eh mohon maaf, bolehkah saya
memanggil seperti sebelumnya?”
“Tidak boleh!” jawab Sitakara tegas. “Mbakyu Sekar adalah
kakak sepupu saya. Almarhum budhe Retna Gantari adalah kakak dari Ibu Retna
Nawangsih. Dan mBakyu Sekar pun lahir satu tahun lebih dulu dari saya, maka
akan kualat nanti saya dan Ayun bila menerima panggilan mBakyu dari mBakyuku
sendiri!”
“Baik, baiklah! Baiklah Ara!”
Sitakara tersenyum senang dipanggil Ara oleh Sekar Kenanga.
Arundhati tersenyum sambil meminta mereka untuk menempati posisi mereka saat
datang tadi, “Sudah sudah…! Yu Ara dan Yu Sekar, silakan mengambil posisi duduk
kalian. Ayun akan menarik kantung waktu Ayun!”
Sitakara dan Sekar Kenanga segera mengambil sikap duduk
seperti saat mereka datang di atas hamparan awan ini. Dan, baru saja mereka
menduduki gundukan awan dan menikmati sensainya, tiba-tiba saja suasanyanya
berubah kembali ke teras rumah Arundhati.
Di teras rumah ternyata Ibu tengah berada di halaman sambil
berteriak-teriak memanggil Arundhati, “Ayun….! Ayun! Hmmm… kemana anak ini? Ayun…..!”
Rupanya pergantian kantung waktu tadi telah membuat
penutupan kantung waktunya tidak tepat pada posisi saat dia pergi. Arundhati
memberikan kode kepada Sitakara dan Sekar Kenanga untuk berdiri dan berjalan
mengikutinya.
“Ibu….., ada apa ya?” Arundhati berteriak memanggil ibunya.
Ibu terdiam sebentar dan membalik badannya ke arah teras. Setelah melihat
Arundhati dan teman-temannya, wajahnya nampak Sumringah.
“Aduh kamu Ayun, kemana saja! Ibu teriak mencari-cari dari
tadi kamu nggak nyahut?”
“Ha ha ha…. Ibu. Orang kami tadi ke belakang. Ke sumur, ada
yang kepengin pipis. Ya sudah Ayun anterin!”
“Masa pipis sampai 30 menit?”
Arundhati, Sitakara, dan Sekar Kenanga saling berpandangan. Selama
itukah pergeseran yang terjadi akibat pergantian kantung waktu tadi?
“Ya sudah, yang penting mbak Sitakara aman gak
kenapa-kenapa. Masalahnya dari tadi sebelum kamu datang, si Klewer bolak-balik di
jalan depan rumah!”
Arundhati dan Sitakara saling berpandangan dan saling
mengedipkan sebelah matanya. Si Klewer adalah lelaki idiot anak Juragan Maming
pemilik penggilingan padi yang dibiarkan bebas berkeliaran di kampung. Karena
secara biologis si Klewer sudah dewasa, dia mulai tertarik kepada lawan jenis
dan sering mengganggu perempuan yang dilihatnya. Anehnya, meskipun Idiot, si
Klewer hanya mengganggu perempuan-perempuan yang memang memiliki wajah cantik.
Arundhati memang cantik, tapi karena badannya kecil mungkin, klewer tidak
menganggapnya sebagai perempuan yang menarik. Namun, Sitakara adalah perempuan
dewasa dengan paras cantik dan ukuran tubuh agak lebih tinggi dari rata-rata.
Ini sangat menarik perhatian Klewer. Dan, Ibu sangat mencemaskan Sitakara.
Padahal, Sekar Kenanga juga memiliki paras cantik, meskipun tidak secantik Sitarkara,
namun memiliki postur yang lebih menarik
dibanding Sitakara. Arundhati dan Sitakara tersenyum.
“Ada orang tua cemas, kalian malah senyum-senyum. Tuh lihat
si Klewer masuk ke halaman sambil cengar-cengir! Dia pasti mau mencari mBak
Sitakara! Sudah, ayo masuk… masuk ke-dalam!” dengan raut muka sangat cemas, Ibu
memaksa Arundhati dan kawan-kawan untuk masuk ke dalam rumah.
“Ibu, gak usah kuatir. Itu si Klewer nggak akan sampai ke
mari. Lihat saja!”
Arundhati menolak masuk ke dalam, malah menyuruh ibunya
untuk melihat si Klewer.
“Enggak enggak, ayo semua kalian masuk!”
Ibu tidak peduli dengan ucapan Arundhati. Pokoknya semua
harus masuk ke rumah. Akhrinya, mau tak mau Arundhati harus menuruti kata-kata
orang-tuanya. Arundhati mengajak Sitakara dan Sekar Kenanga untuk masuk ke
dalam rumah. Mereka bertiga duduk di sofa di depan televisi. Ibu segera menutup
pintu, namun tidak ikut bergabung duduk di sofa. Ibu malah mengintip keluar
dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Di luar terlihat si Klewer seperti
tengah berbicara dengan seseorang. Dan sambil tertawa dengan gerakan seperti
merangkul seseorang. Melihat kejadian itu, ibu cuma bisa melongo sambil
berkomentar, “eh bener…. Si Klewer pergi!”
Mendengar komentar Ibu, Arundhati tertawa sambil menutup
mulutnya. Sitakara tahu, ini pasti kerjaan Arundhati. Kemudian sambil berbisik,
Sitakara bertanya kepada Arundhati.
“Ssst… kamu apain?”
“Ayun kirim sugesti kehadiran Jing Tian dengan kostum Jenderal
Lin Mei dalam film The Great Wall!” jawab Arundhati sambil berbisik juga.
Arundhati dan Sitakara tertawa ngikik, sementara Sekar
Kenanga nampak bingung dan bertanya sambil berbisik juga, “Jing Tian itu sopo
to?”. Mendengar pertanyaan Sekar
Kenanga, sontak Arundhati dan Sitakara semakin kekel ketawanya, meskipun sambil
ngikik. Ternyata Sekar Kenanga bukan penggemar filem China.
Tengah mereka tertawa-tawa, tiba-tiba handphone ibu yang
ditaruh di atas meja makan berbunyi. Ibu segera melepaskan pegangannya ke pintu
sambil membukanya, dan berjalan ke arah meja makan untuk mengambil handphone-nya.
Dari handphone dengan setelan speaker maksimal, sayup-sayup terdengar suara
Bapak uluk salam
“Assalammu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam! Ada apa, Pak?” Ibu menjawab salam dari
Bapak dan dilanjut bertanya.
“Kabar baik, Bu!”
“Kabar baik, apa? Bapak ki lo ya… kalo kasih kabar
setengah-setengah!”
“Kabar baik, padi-padi kita yang rusak sekarang telah kembali
normal. Entah apa atau siapa yang melakukan ini, yang pasti saat ini kerusakan sudah
tidak nampak lagi. Bahkan semua nampak sangat bagus!”
“Masa iya, Pak?”
Arundhati tertegun saat mencuri dengar percakapan Bapak dan
Ibu, namun dia sangat bersyukur bahwa proses menyatudirinya juga memberikan pengaruh
positif pada lingkungannya, terutama pada sawahnya. Dan, meskipun dia belum
bisa memastika siapa yang melakukan perusakan terhadap sawahnya, bila itu
dilakukan oleh makhluk-makhluk persepsi, maka kejadian ini akan memberikan efek
deteren yang sangat efektif sehingga beberapa minggu ke depan, Arundhati dapat
berharap bahwa perusakan sawah tidak akan terjadi lagi.
.jpg)
0 comments:
Posting Komentar