Senin, Oktober 16, 2023

{13} Avatar


 

Pada ketinggian 5000mdpl, Arundhati melihat ke sekeliling. Rumah Retna Nawangsih ada di sebelah timur agak ke utara. Dari posisinya saat ini, sebenarnya dia dapat langsung turun mengarah ke rumah Retna Nawangsih. Namun, hamparan awan yang ada di sekelilingnya memberikan godaan yang berbeda. Hamparan putih yang sangat luas dan pada beberapa bidang terlihat bukit kumulonimbus, terlalu indah untuk dilewatkan.

Sementara itu, di tanah lapang samping curug di dekat Padepokan, terlihat Sitakara tengah melatih Arundhati dan Nandini.

“Sekarang kalian perhatikan bandul-bandul kain itu!”

Arundhati dan Sweta Nandini kompak mengarahkan pandangannya ke bandul-bandul yang ditunjuk oleh Sitakara.  Ada dua lingakaran berdiameter 5 meter yang masing-masing tersusun dari 12 bandul yang tergantung pada kaerangka kayu hiitam di sepuluh meter arah barat.

“Mungkin kalian pernah dan suatu saat akan menemui situasi ini. Menghadapi pengeroyokan. Anggap bandul-bandul itu adalah kepala pengeroyok. Saya akan menunjukkan  teknik tendangan untuk melumpuhkan mereka. Perhatikan!”

Sitakara langsung melompat, melambung dan bersalto di udara, kemudian mendarat miring dengan satu tangan bergantian sebagai tumpuan mengayunkan kaki berputar bergantian mengikuti irama pergantian tumpuan menendang dengan keras setiap bandul. Dalam waktu kurang 3 detik detik keduabelas bandul itu telah mendapatkan tendangan Sitakara. Secara teknis, putaran kaki Sitakara mampu menghantam 4 bandul dalam satu detik. Dengan hanya mengandalkan kecapatan dan diametet putaran, tanpa tambahan tenaga saja sudah menghasilkan momentum yang cukup besar untuk membuat orang terkapar. Arundhati berdecak kagum, dan setelah Sitakara keluar dari lingkaran dia segera melompat, melambung dan turun mengikuti pola gerakan Sitakara. Hanya dalam sekejapan mata, keduabelas bandul itu telah bertebaran entah kemana dan diikuti kapuk yang berterbangan. Setelah selesai menghajar keduabelas bandul teresebut, Arundhati langsung duduk bersila dan ambil nafas dengan kedua tangan memegang lututnya. Sitakara terncengang, melongo beberapa saat. Tidak rugi Ki Ageng Turangga Seta dan Guru Nyi Ajar Nismara membimbing langsung Arundhati. Kekuatan Arundhati telah  berkembang sangat pesat.  Sitakara mendekati Arundhati dan duduk bersila juga didepannya. Mereka berdua saling berpandangan dengan tatapan yang tajam dan tegas.

“Ayun, kanapa Ayun bertingkah seperti itu?” tanya Sitakara hanya dengan memggerakan bibirnya tanpa bersuara.

“Maafkan Ayun, Yu Ara. Tapi, Ayun pingin acara di sini segera selesai karena ada yang hendak Ayun sampaikan!” jawab ayun hanya dengan menggerakkan bibirnya tanpa bersuara.

“Katakan Ayun, bila itu memang penting!”

“Hari ini keselarasan Ayun telah kembali, Ayun minta ijin untuk menemui Ibunda Yu Ara, Dewi Retna Nawangsih!”

Sitakara paham maksud Arundhati, dan dia membalas permohonan Arundhati, masih dengan cara tadi, “silakan Ayun, Yu Ara juga akan menyambutmu!”

Sementara itu di rumah Retna Nawangsih, seorang perempuan muda berhijab tengah asik dengan tanaman di samping rumahnya. Tiba-tiba perempuan itu berdiri tegak, terdiam sejenak sebelum kemudian berteriak, “Ibu…. Ada tamu! Temen Ara! Boleh bawa ke rumah?”

Kemudian dari dalam rumah terdengar balasan, “Sebentar Ibu lihat dulu!”.  Tidak berapa lama kemudian dari dalam rumah keluar perempuan setengah baya dalam balutan hijab warna khaki dengan kerudung putih lebar. Perempuan itu melihat ke atas sebentar, dan mak tleset.. dia menghilang.  Perempuan muda yang sedang berkebun itu, tersenyum.

Kita kembali ke Arundhati yang sedang menikmati penerbangannya. Ini adalah kali pertama dia terbang. Arundhati tidak menyangka sama sekali bahwa dia akan melakukan hal ini di dimensinya sendiri. Sebelumnya dia sangat ingin meniru Sitakara dan Ansuman yang terbang meninggalkannya saat mau menyeberang jembatan. Bahkan waktu ke Gunung Suwung pun dia tidak dapat menikmati terbang. Dia melesat dengan kecepatan yang sangat tinggi dengna satu koordinat yang memang telah dia kunci. Hari ini, meskipun dia bisa mengunci tujuannya dan melesat sejadinya, itu tidak dia lakukan hari ini.

Hamparan awan cumulus yang terkena sinar matahari sore ini betul-betul indah tertangkap di matanya. Namun, saat sedang asik-asiknya menikmati pemandangan itu, tiba-tiba muncul seorang perempuan cantik paruhbaya tepat di depannya.  Perempuan itu berdiri mengambang tanpa posisi khusus. Perempuan ini tidak bersedekap atau miring dengan posisi siap tempur,  bahkan tangannya dia bebaskan di sisi kanan dan kirinya. Perempuan itu menyapa sambil tersenyum, “Arundhati!”

Arundati kaget dan menghentikan gerakannya seketika. Dia ambil sikap tegak mengambang, ternyata sebuah persepsi tentang lantai telah disematkan dalam kesadaran Arundhati. Arundhati dapat menapak bebas meskipun saat itu tengah melayang. Perempuan paruh baya itu pun kelihatannya juga  menapak bebas satu lantai dengannya. “Hmmm…. boleh juga ibu satu ini…!” Arundhati membatin. Arundhati membalas senyuman perempuan paruh baya tadi. Namun, dengan tetap dalam sikap waspada, dia amat-amati perempuan paruh baya di depannya. Dia merasa kenal perempuan paruh baya ini, namun seperti ada yang berbeda yang membuatnya belum berani menyimpulkan, sampai akhirnya dia teringat Sitakara. Perempuan paruh baya di hadapannya ini mirip Sitakara namun lebih tua. “Jangan-jangan ibu ini ibunya Yu Ara…?!” Arundhati bertanya dalam hati. Dan, untuk memastikan akhirnya dia bertanya kepada perempuan paruh baya itu.

“Mohon maaf, apakah ibu ini yang bernama Dewi Retna Nawangsih?”

Perempuan berumur tigapuluhan itu kembali tersenyum dan mengangguk. Arundhati senang sekali, dia melesat ke arah si Ibu dan kemudian memeluknya. Sebenarnya perempuan tigapuluhan ini hendak menahan Arundhati dari memeluknya, namun kecepatan Arundhati sungguh luarbiasa. Dan lebih luar biasa lagi, Arundhati dapat menghentikan tepat pada sasaran tanpa menyisakan gaya dorong sedikitpun. Perempuan tigapuluhan yang ternyata adalah Retna Nawangsih membiarkan dirinya dipeluk oleh Arundhati. Setelah puas memeluk Retna Nawangsih, Arundhati mundur sambil minta maaf, “maar…, maaf…! Saking senangnya bertemu ibu dari Yu Ara, saya langsung memeluk Ibu!”

Retna Nawangsih kembali tersenyum, dan sambil memegang pundak Arundhati, Retna Nawangsih berkata, “Arundhati, aku akan membawamu ke rumah. Jangan lakukan apapun!”

Arundhati mengangguk, dan saat selesai mengangguk dia sudah berada di halaman sebuah rumah. Di hadapannya berdiri perempuan muda yang sangat dia segani dan kagumi. Sitakara Dhanta. Kontan saja Arundhati berteriak, “Yu Ara….!” Dan, kemudian seperti tadi dia lakukan kepada Retna Nawangsih, tahu-tahu Arundhati sudah memeluk Sitakara sambil menangis. Arundhati menangis, karena ternyata Sitakara benar-benar ada di dimensi utama. Arundhati berkenalan dengan Sitakara justeru di lapis kedua dimensi mimpinya.

Lama Arundhati memeluk Sitakara, dan Sitakara sengaja membiarkan Arundhati memeluknya. Setelah puas memeluk Sitakara, Arundhati mundur membuat jarak sambil kedua tangannya memegang kedua tangan Sitakara. Pandangan Arundhati tetap lekat menatap wajah Sitakara, “Yu Ara, ternyata penampilanmu jauh lebih cantik si sini!” tanpa ragu-ragu Arundhati memuji kecantikan Sitakara. Sitakara tersenyum lebar. Dia juga senang dapat bertemu dengan Arundhati, “kamu juga Ayun, Yu Ara gak nyangka kamu ternyta lebih cantik terlihat di dimensi utama ini!” Kedua gadis itu saling memuji kecantikan masing-masing.

Arundhati melepaskan pegangannya dari tangan Sitakara dan memutar tubuhnya ke arah Retna Nawangsih, “Ibu Retna, Yu Ara ini memang luar biasa. Yu Ara ini lah yang membimbing Ayun hanya dalam waktu satu bu.., sebentar-sebentar… Yu Ara……”. Arundhati kembali menatap Sitakara. Tiba-tiba Arundhati ragu-ragu mengatakan waktunya. Dalam pengalaman Arundhati, waktu itu memang baru berlalu satu bulan lebih, tapi dari hasil penyelarasan tadi sepertinya kok lebih lama. Arundhati menatap Sitakara dengan tatapan penuh pertanyaan.

Sitakara tersenyum sambil menatap balik wajah Arundhati yang tiba-tiba kebingungan dan kearah Ibunya yang kemudian tersenyum dan mengangguk.

“Baiklah Arundhati, mari kita ngobrol di dalam saja!” ajak Sitakara. Arundhati yang masih bingung, hanya bisa menuruti ajakan Sitakara. Retna Nawangsih mengikuti kedua gadis itu dari belakang. Sesampainya di ruang tamu, mereka duduk di kursi rotan yang mengelilingi sebuah meja kecil.

“Ayun…, masih ingat ketika kita ngobrol sama Bu Anis mu?” Sitakara membuka percakapan. Arundhati klecam-klecem malu sambil menyahut mengkoreksi, “Gurunda Nyi Ajar Nismara!”. Sitakara menoleh ke arah Ibunya sambil tersenyum. Ibunya ikut tersenyum, lebih sumringah. Arundhati tidak menyadari hal ini.

“Jadi ketika beliau dipanggil sama Ki Ageng Turangga Seto, ternyata beliau mendapatkan amanat untuk membimbingmu secara langsung. Yu Ara, hanya membantu Gurunda. Disamping dibimbing langsung oleh Gurunda, ternyata Ki Ageng juga  berkenan membimbingmu juga.  Ini adalah hal yang luar biasa Ayun.”, tutur Sitakara menjelaskan. Arundhati mendengarkan sambil terbayang kilasan-kilasan pengalaman yang tampil begitu saja.

“Tapi, ini belum menjelaskan waktunya!”

“Iya, karena kebetulan Ayun juga mengunci diri Ayun dari lapis kedua dimensi mimpi, maka Ki Ajar kemudian membuat lengkungan waktu tiga tahun pada simpul waktu saat kamu melakukan penguncian. Tidak satupun di padepokan terbawa dalam arus lengkungan waktu. Hanya Ayun Ki Ageng dan Nyi Ajar. Jadi di saat yang sama ketika Ayun melakukan penguncian, sebenarnya Ayun telah menghabiskan waktu selama tiga tahun. Dan hari ini, dalam sesi latihan siang tadi, Ayun bilang sudah membuka penguncian dan mau menemui Ibunda Retna Nawangsih”

“Jadi,sudah tiga tahun?” tanya Arundhati memastikan. Sitakara mengangguk.

“Tapi, kenapa Yu Sita gak tambah tua?”

Retna Nawangsih dan anaknya, Sitakara, tertawa lepas.

“Ayun, perubahan tubuh kita di lapis kedua dimensi mimpi itu bergantung pada perubahan tubuh di dimensi utama ini. Jadi kalo secara teknis, umur kita cuma bertambah satu bulan, maka meskipun pengalaman kita telah menghabiskan waktu seratus tahun misalnya, kita tetap akan menjadi berumur seperti kita di dimensi utama ini”

“Oh…!”

“Bukankan di padepokan Ayun pernah cerita kalau Ayun pernah bereksperimen lengkungan waktu untuk mengatasi keterbatasan ruang di dimensi utama ini, sewaktu kamu di rumah sakit?”

Arundhati nyengir kuda. Arundhati telah mendapat ingatan bahwa pernah suatu malam, sambil mereka berdua Arundhati dan Sitakara bertengger di bubungan atap padepokan, Arundhati menceritakan pengalamannya ngerjain Sweta Nandini sampai dia harus kelelahan karena memang tingkat energi kesadarannya masih belum tinggi.

“Sebenarnya, kamu telah menghabiskan beberapa menit dengan Dini, namun kamu lengkungkan bahkan kurang dari satu detik. Itu yang dilakukan oleh Ki Ajar. Namun, Ki Ajar tidak hanya membawa kamu dan Gurunda. Seluruh yang masih tertinggal di padepokan dilibatkan oleh Ki Ajar. Dan sebenarnya, Yu Ara juga bersyukur karena telah ditempa selama tiga tahun tanpa membuang sedikitpun waktu Yu Ara!”. Sitakara menutup penjelasannya sambil tersenyum memperlihatkan deretan rapi gigi putihnya, manis sekalai.

“Oh… gitu.. to? Pantesan tadi waktu mau bilang satu bulan tiba-tiba Ayun ingat sudah lebih dari satu bulan….!”

“Udah…?” tanya Sitakara ke Arundhati. “Udah apanya?” Arundhati balik bertanya. Sitakara tertawa, “Udah paham maksudnya….”

“Ya… ya… sudah sih.  Tapi gini, sebenarnya Ayun masih bingung. Kenapa bisa ada 3 dunia yang karakteristiknya berbeda-beda. Terutama pada lapis kedua dari dimensi mimpi Ayun. Dan kenapa Ayun bisa berbeda dengan orang lain, meskipun kemudian Ayun tahu ada Yu Ara, Ibu Retna, dan Dini. Tapi, apa sebenarnya yang terjadi? Kalau sebelum-sebelumnya Yu Ara memberikan arahan tentang penyelarasan, baiklah, tidak ada pertanyaan tentang hal ini. Ayun sudah bisa menerima dan menjalankan. Tapi bagaimanapun, tentang asal usul  dan bagaimana terjadinya, Ayun juga perlu tahu dong!” tanya Arundhati merajuk.

Mendengar pertanyaan Arundhati, baik Retna Nawangsih maupun Sitakara terdiam.  Agak sulit memang menjelaskan, namun hal ini sudah di tanyakan. Sitakara yang sudah kuliah semester akhir teknik nuklir pun ragu-ragu untuk menjelaskan. Apa yang mereka alami ini banyak bersinggungan dengan teori-teori yang ia dapatkan dari perkuliahan, namun banyak hal yang akhirnya dia hanya dapat menerima begitu saja.

“Ayun, pada hari saat Ayun terjebak di balaidesa, apa yang Ayun ingat? Terutama saat di sekolah”

“O, iya… saat itu handphone banyak yang ngadat, Ayun mau telepon bapak dari sekolahan aja sulit sekali!”

“Itu adalah pengaruh dari badai matahari yang nyasar ke tempat kita. Yu Ara gak terlalu yakin karena posisi kita ada di khatulistiwa, namun hanya itulah yang mampu Yu Ara pahami.”

“Baiklah, kalau memang itu adalah pengaruh dari badai matahari, terus bagaimana itu bisa membuat kita jadi begini?”

“Begini, Ayun!” Retna Nawangsih yang sedari tadi hanya duduk dan mendengarkan kedua gadis itu bercakap, tiba-tiba ikut nimbrung.

“Bagaimana Ibu Retna?”

“Mimpi adalah sebuah paradoks dari suatu dimensi. Mimpi terlalu private untuk orang lain dapat ambil bagian. Hanya pemilik mimpi yang mampu merasakan kehadirannya dan kemudian menyimpannya sebagai sebuah kenangan, dan sampai batas tertentu orang akan tidak lagi mampu membedakan mana pengalaman yang memang benar-benar dia alami atau hanya curahan data saat dia bermimpi. Sampai di sini, persepsi tentang mimpi akan berubah dan dari kondisi ini sepertinya kita boleh berasumsi ada dua dimensi inheren yang dialami oleh seseorang. Kedua dimensi ini terhubung melalui suatu frekuensi yang memberikan persepsi kepada memory dan kemudian orang menyebutnya sebagai mimpi. Normalnya, kejadian ini hanya mungkin bila kesadarannya tidak tertaut dengn baik dengan memorynya baik karena pingsan, maupun tertidur. Orang mengatakan ini sebagai hilang kesadaran, padahal sebenarnya kesadaran ini tidaklah hilang. Kesadarannya tetap ada dan tetap bekerja.”

Arundhati mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Retna Nawangsih. Penjelasan Retna Nawangsih betul-betul membuat Arundhati terpana sehingga tanpa dia sadari bibir mungilnya terbuka. Seakan dua buah telinga tidak cukup untuk menyerap sebanyak-banyaknya penjelasan Retna Nawangsih. Retna Nawangsih melanjutkan penjelasannya sambil tersenyum melihat mimik muka Arundhati.

“Kesadaran ini bekerja secara acak dalam suatu gelombang dan frekuensi tertentu. Ketika dia berada pada satu frekuensi dan gelombang yang sama dengan dimensi mimpi maka akan terjadi resonansi yang akan akan diterima oleh memory kita sebagai sebuah pengalaman. Inilah kemudian yang disebut sebagai mimpi. Kejadian yang sangat acak inilah kemudian membuat mimpi hanya sebagai fragmen-fragmen yang kadang sulit dimengerti. Namun, banyak orang yang terobsesi tentang masa depan akan mencari tafsirnya, dan orang yang haus pengakuan membuatkan tafsir sesuai seleranya. Padahal, mimpi hanyalah pengalaman biasa yang tidak perlu mendapatkan tafsir.”

Arundhati tersenyum saat mendengarkan penjelasan dari Retna Nawangsih tentang tafsir mimpi. Dia teringat Man Sardi, tukang kebon rumahnya yang suka nanyain arti mimpinya. Dia sering ngerjain Man Sardi dengan memberikan jawaban sekenanya, dan bila kemudian salah dan Man Sardi kesal, Arundhati cuma bilang, “lagian sih… mimpi make ditanyain segala… Man Sardi yang baik…. mimpi adalah mimpi, bukan sesuatu yang istimewa!”.  Namun dengan penjelasan bahwa mimpi adalah sebuah pengalaman biasa yang tidak terkait dengan masa depan, Arundhati justeru bertanya, “maaf, Ibu Retna! Apakah dimensi mimpi adalah seperti dimensi yang kita tempati saat ini?”

Retna Nawangsih terdiam sebentar sambil menatap dalam-dalam ke arah Arundhati. Arundhati jadi salah tingkah dan bertanya terbata-bata, “sa.. salah ya Ibu Retna?” Retna Nawangsih tertawa kecil dan bertanya, “saat kedua kali kamu bertemu dengan Sitakara, apakah kamu merasa bahwa itu adalah kumpulan fragmen acak yang tidak terhubung?”.  Arundhati tercenung sejenak berusaha mencerna pertanyaan Retna Nawangsih. Dia mengingat kembali yang dia alami di jembatan maupun penginapan merpati. Dia masih ingat ketika dia berdiskusi dengan Sitakara, atau saat dia ngerjain Ansuman. Meskipun banyak keajaiban yang dia alami, namun itu berjalan biasa saja seperti yang biasa dia alami.

“Hmmm….. ya tidak sih? Bahkan Ayun pernah berdiskusi sama Yu Ara, ya Yu Aya?!”.  Arundhati menjawab sambil menegaskan kepada Sitakara yang dijawab sambil bercanda oleh Sitakara, “Enggak tuh! Kapan Ayun diskusi sama Yu Ara?”. Mendengar jawaban Sitakara, Arundhati kesal dan melotot ke arah Sitakara. Retna Nawangsih dan Sitakara tertawa. Arundhati tambah cemberut.

“Iya Ayun, Yu Ara ingat kok! Sudah diskusi, Ayun ngerjain Yu Ara make teleportasi atau apa lah, yang pasti waktu itu Yu Ara Ayun pindahin!” kata Sitakara mengkoreksi candaannya tadi. Wajah Arundhati berubah cerah dan tersenyum.

“Kemudian, Ibu Retna, kalau tadi Yu Ara sempat membuka cerita dengan kisah badai matahari. Bagaimana kaitannya dengan mimpi-mimpi tadi?” tanya Arundhat setelah agak lama mereka terdiam.

“Badai matahari adalah ledakan maha dahsyat yang mampu menyemburkan gelombang elektrokmagnetik mengarungi jarak 150 juta kilometer dari matahari sampai ke bumi. Sejauh ini badai matahari telah dipahami dapat mempengaruhi gelombang radio dan alat-alat listrik.  Badai matahari terbesar dalam sejarah modern terjadi  pada 1859 dan dikenal sebagai peristiwa Carrington dan di Quebec 1989. Kedua peristiwa besar inii tercatat mampu menghancurkan telknologi buatan manusia dalam sekejap. Namun, karena kita berada di Khatulistiwa, maka bisa dikatakan kita aman dari gangguan badai matahari karena gelombang elektromagnetik berenergi tinggi berbelok ke arah kutub.  Akan tetapi, efek dari pergerakan gelombang elektromagnetik ini juga akan mempengaruhi kita di khatulistiwa melalui terganggunya GPS maupun kinerja satelit. Kemudian, bagaimana mempengaruhi kita, maksudnya Ibu, Yu Ara, Ayun, dan Dini? Bagaimana hanya kepada kita saya ini berpengaruh Yu Ara tidak tahu. Mungkin ini bentuk makro dari ketidakpastian, atau mungkin ada hal lain. Bila kesadaran adalah gelombang, maka kemungkinan kesadaran kita bereaksi terhadap gelombang badai matahari yang tersisa itu. Reaksi ini membuat kesadaran kita beresonansi dengan dimensi mimpi secara lebih baik. Kejadian ini kami namakan trance. Gejala trance yang Ayun alami itu mulai saat Ayun terjebak di Balaidesa dan selesai saat bangun di penginapan merpati. Cukup lama untuk mencapai keselarasan, karena energi gelombang elektromagnetik dari kesadaran Ayun terlalu tinggi. Dan, ketika keselarasan telah terbentuk, maka memory di dimensi mimpi dan dimensi utama ini akan terhubung melalui satu kesadaran. Dan pada beberapa kasus bahkan bukan cuma memory yang terhubung, namun seluruh property dari avatarnya akan tersingkronisasi, meskipun setiap avatar secara relatif dapat berinisiatif secara otonom. Dalam kasus ini Ayun yang ada di dimensi mimpi adalah avatar dari ayun yang ada di depan Yu Ara sekarang, sebaliknya Ayun yang ada di depan Yu Ara Sekarang adalah Avatar dari Ayun yang ada di dunia mimpi.”

“Yup, makanya Ibu Retna tahu Ayun bakal datang dan kemudian menjemput, karena Yu Ara kasih tahu ke Bu Retna, sementara Yu Ara tahunya dari Ayun! Kemudian, kemampuan aneh-aneh yang Ayun punya sekarang ini sebenarnya refleksi dari kondisi di dimensi mimpi dimana semua serba mungkin” sela Arundhati memotong penjelasan dari Sitakara. Arundhati sengaja menyela penjelasan karena curiga, Sitakara akan mengulangi penjelasan tentang keselarasan, dan sebenarnya yang ingin dia tanyakan juga. Sitakara hanya tersenyum sambil menatap ibunya.

“Tapi, kenapa Yu Ara harus mencurigai badai matahari yang harus bertanggung-jawab terhadap semua kejadian yang kita alami?” tanya Arundhati.

“Ayun, dari beberapa obrolan dengan warga padepokan yang mempunyai domain aseli dimensi yang sama dengan kita, kita mendapatkan korelasi antara kejadian trance mereka dengan terjadinya badai matahari. Kemudian masalah kemampuan Ayun yang aneh-aneh saat ini, itu memang refleksi dari kondisi di dimensi mimpi, tapi tidak semua refleksi itu dapat digunakan di sini.” Jawab Sitakara.

“Kalau masalah refleksi tidak semua dapat digunakan di sini sih, Ayu malah seneng. Tapi ini, bila kejadiannya memang karena badai matahari, maka ada kemungkinan bila kesadaran kembali tersentuh gelombang elektromagnetik badai matahari, maka akan terjadi respon lain?” tanya Arundhati lagi.

“Tidak, Ayun. Kemungkinannya sangat kecil kesadaran yang keterhubungannya dengan dimensi mimpi telah stabil akan merespon gelombang elektromagnetik badai matahari atau gelombang elektromagnetik dari manapun.”

“Oh…, gitu! Untuk sementara Ayun dapat menerima sebelum ada penjelasan yang lebih juoss”. Arundhati merasa puas dengan penjelasan dari Sitakara. Kemudian mereka bertiga lanjut ngobrol.

Sore itu tiga wanita dari dua generasi yang berbeda terlibat dalam bincang-bincang seru menceeritakan pengalamannya masing-masing. Suasana semakin meriah ketika Arundhati menceritaka kisah Bapak tentang Retna Nawangsih. Sitakara ikut-ikutan meledek ibunya. Retna Nawangsih cuma bisa tersenyum dan tertawa. Ada sebaris cerita yang sebenarnya ingin ia ceritakan kepada Sitakara maupun Arundhati, namun melihat Arundhati pun belum tahu kisahnya ia urungkan niatnya.

Hari semakin senja, semburat lembayung mulai nampak di ufuk barat menandakan maghrib akan datang sebentar lagi. Arundhati pamit undur diri, pulang ke rumah.

“Yu Ara,  Ayun pamit dulu ya… Ibu Retna Nawangsih, Ayun pamit dulu ya!”

“Ya udah, salamin Bapak ya…! Bilang dari Ibu Retna Nawangsih!”

Arundhati berjalan di depan keluar dari rumah. Sitakara dan Ibunya berdiri bersebelahan. Tiba-tiba Arundhati berhenti dan membalikkan badan.

“O, ya… ada yang lupa!”

Arundhati buru-buru berbailik dan menyisip diantara Retna Nawangsih dan Sitakara. Kemudian, Arundhati mengambil handphone dan melakuan selfie atau groupy bertiga.

“Nah, sudah! Terimakasih Yu Ara! Bu Retna!”

Arundhati kemudian melangkah tiga langkah ke depan, dan membalik badannya sambil berucap salam, “Assalamu’alaikum……!”

Belum lagi baik Sitakara maupun Retna Nawangsing menjawab salamnya, Arundhati sudah menghilang. Dia melesat ke ketinggian 5000mdpl, dan dilanjutkan turun secara diagonal tepat di depan rumahnya.  Ternuata, baik Bapak maupun Ibu sedang duduk di teras dengan satu orang laki-laki. Untung mereka tidak melihat kedatangan Arundhati yang secara tiba-tiba muncul. Kalau ngeliat, terutama tamu itu, bakal jadi isu gak jelas di kampungnya.

“Kang Dowi? Astaghfirullah, dosa apa Ayun ini, kenapa juga ada kang Dowi di rumah?” Arundhati merutuk dalam hati demi mengenali lelaki yang sedang bertamu itu adalah Dowi supir angkutan pedesaan.

0 comments: