{13} Avatar
Pada ketinggian 5000mdpl, Arundhati melihat ke sekeliling.
Rumah Retna Nawangsih ada di sebelah timur agak ke utara. Dari posisinya saat
ini, sebenarnya dia dapat langsung turun mengarah ke rumah Retna Nawangsih.
Namun, hamparan awan yang ada di sekelilingnya memberikan godaan yang berbeda.
Hamparan putih yang sangat luas dan pada beberapa bidang terlihat bukit
kumulonimbus, terlalu indah untuk dilewatkan.
Sementara itu, di tanah lapang samping curug di dekat
Padepokan, terlihat Sitakara tengah melatih Arundhati dan Nandini.
“Sekarang kalian perhatikan bandul-bandul kain itu!”
Arundhati dan Sweta Nandini kompak mengarahkan pandangannya
ke bandul-bandul yang ditunjuk oleh Sitakara.
Ada dua lingakaran berdiameter 5 meter yang masing-masing tersusun dari
12 bandul yang tergantung pada kaerangka kayu hiitam di sepuluh meter arah
barat.
“Mungkin kalian pernah dan suatu saat akan menemui situasi
ini. Menghadapi pengeroyokan. Anggap bandul-bandul itu adalah kepala pengeroyok.
Saya akan menunjukkan teknik tendangan
untuk melumpuhkan mereka. Perhatikan!”
Sitakara langsung melompat, melambung dan bersalto di udara,
kemudian mendarat miring dengan satu tangan bergantian sebagai tumpuan mengayunkan
kaki berputar bergantian mengikuti irama pergantian tumpuan menendang dengan
keras setiap bandul. Dalam waktu kurang 3 detik detik keduabelas bandul itu
telah mendapatkan tendangan Sitakara. Secara teknis, putaran kaki Sitakara
mampu menghantam 4 bandul dalam satu detik. Dengan hanya mengandalkan kecapatan
dan diametet putaran, tanpa tambahan tenaga saja sudah menghasilkan momentum yang
cukup besar untuk membuat orang terkapar. Arundhati berdecak kagum, dan setelah
Sitakara keluar dari lingkaran dia segera melompat, melambung dan turun
mengikuti pola gerakan Sitakara. Hanya dalam sekejapan mata, keduabelas bandul
itu telah bertebaran entah kemana dan diikuti kapuk yang berterbangan. Setelah
selesai menghajar keduabelas bandul teresebut, Arundhati langsung duduk bersila
dan ambil nafas dengan kedua tangan memegang lututnya. Sitakara terncengang,
melongo beberapa saat. Tidak rugi Ki Ageng Turangga Seta dan Guru Nyi Ajar
Nismara membimbing langsung Arundhati. Kekuatan Arundhati telah berkembang sangat pesat. Sitakara mendekati Arundhati dan duduk bersila
juga didepannya. Mereka berdua saling berpandangan dengan tatapan yang tajam
dan tegas.
“Ayun, kanapa Ayun bertingkah seperti itu?” tanya Sitakara
hanya dengan memggerakan bibirnya tanpa bersuara.
“Maafkan Ayun, Yu Ara. Tapi, Ayun pingin acara di sini
segera selesai karena ada yang hendak Ayun sampaikan!” jawab ayun hanya dengan
menggerakkan bibirnya tanpa bersuara.
“Katakan Ayun, bila itu memang penting!”
“Hari ini keselarasan Ayun telah kembali, Ayun minta ijin
untuk menemui Ibunda Yu Ara, Dewi Retna Nawangsih!”
Sitakara paham maksud Arundhati, dan dia membalas permohonan
Arundhati, masih dengan cara tadi, “silakan Ayun, Yu Ara juga akan
menyambutmu!”
Sementara itu di rumah Retna Nawangsih, seorang perempuan
muda berhijab tengah asik dengan tanaman di samping rumahnya. Tiba-tiba
perempuan itu berdiri tegak, terdiam sejenak sebelum kemudian berteriak, “Ibu….
Ada tamu! Temen Ara! Boleh bawa ke rumah?”
Kemudian dari dalam rumah terdengar balasan, “Sebentar Ibu
lihat dulu!”. Tidak berapa lama kemudian
dari dalam rumah keluar perempuan setengah baya dalam balutan hijab warna khaki
dengan kerudung putih lebar. Perempuan itu melihat ke atas sebentar, dan mak
tleset.. dia menghilang. Perempuan muda
yang sedang berkebun itu, tersenyum.
Kita kembali ke Arundhati yang sedang menikmati
penerbangannya. Ini adalah kali pertama dia terbang. Arundhati tidak menyangka
sama sekali bahwa dia akan melakukan hal ini di dimensinya sendiri. Sebelumnya
dia sangat ingin meniru Sitakara dan Ansuman yang terbang meninggalkannya saat
mau menyeberang jembatan. Bahkan waktu ke Gunung Suwung pun dia tidak dapat
menikmati terbang. Dia melesat dengan kecepatan yang sangat tinggi dengna satu
koordinat yang memang telah dia kunci. Hari ini, meskipun dia bisa mengunci
tujuannya dan melesat sejadinya, itu tidak dia lakukan hari ini.
Hamparan awan cumulus yang terkena sinar matahari sore ini
betul-betul indah tertangkap di matanya. Namun, saat sedang asik-asiknya
menikmati pemandangan itu, tiba-tiba muncul seorang perempuan cantik paruhbaya
tepat di depannya. Perempuan itu berdiri
mengambang tanpa posisi khusus. Perempuan ini tidak bersedekap atau miring dengan
posisi siap tempur, bahkan tangannya dia
bebaskan di sisi kanan dan kirinya. Perempuan itu menyapa sambil tersenyum,
“Arundhati!”
Arundati kaget dan menghentikan gerakannya seketika. Dia
ambil sikap tegak mengambang, ternyata sebuah persepsi tentang lantai telah disematkan
dalam kesadaran Arundhati. Arundhati dapat menapak bebas meskipun saat itu
tengah melayang. Perempuan paruh baya itu pun kelihatannya juga menapak bebas satu lantai dengannya. “Hmmm….
boleh juga ibu satu ini…!” Arundhati membatin. Arundhati membalas senyuman
perempuan paruh baya tadi. Namun, dengan tetap dalam sikap waspada, dia amat-amati
perempuan paruh baya di depannya. Dia merasa kenal perempuan paruh baya ini,
namun seperti ada yang berbeda yang membuatnya belum berani menyimpulkan,
sampai akhirnya dia teringat Sitakara. Perempuan paruh baya di hadapannya ini
mirip Sitakara namun lebih tua. “Jangan-jangan ibu ini ibunya Yu Ara…?!” Arundhati
bertanya dalam hati. Dan, untuk memastikan akhirnya dia bertanya kepada
perempuan paruh baya itu.
“Mohon maaf, apakah ibu ini yang bernama Dewi Retna
Nawangsih?”
Perempuan berumur tigapuluhan itu kembali tersenyum dan
mengangguk. Arundhati senang sekali, dia melesat ke arah si Ibu dan kemudian
memeluknya. Sebenarnya perempuan tigapuluhan ini hendak menahan Arundhati dari
memeluknya, namun kecepatan Arundhati sungguh luarbiasa. Dan lebih luar biasa
lagi, Arundhati dapat menghentikan tepat pada sasaran tanpa menyisakan gaya
dorong sedikitpun. Perempuan tigapuluhan yang ternyata adalah Retna Nawangsih
membiarkan dirinya dipeluk oleh Arundhati. Setelah puas memeluk Retna Nawangsih,
Arundhati mundur sambil minta maaf, “maar…, maaf…! Saking senangnya bertemu ibu
dari Yu Ara, saya langsung memeluk Ibu!”
Retna Nawangsih kembali tersenyum, dan sambil memegang
pundak Arundhati, Retna Nawangsih berkata, “Arundhati, aku akan membawamu ke
rumah. Jangan lakukan apapun!”
Arundhati mengangguk, dan saat selesai mengangguk dia sudah
berada di halaman sebuah rumah. Di hadapannya berdiri perempuan muda yang
sangat dia segani dan kagumi. Sitakara Dhanta. Kontan saja Arundhati berteriak,
“Yu Ara….!” Dan, kemudian seperti tadi dia lakukan kepada Retna Nawangsih, tahu-tahu
Arundhati sudah memeluk Sitakara sambil menangis. Arundhati menangis, karena
ternyata Sitakara benar-benar ada di dimensi utama. Arundhati berkenalan dengan
Sitakara justeru di lapis kedua dimensi mimpinya.
Lama Arundhati memeluk Sitakara, dan Sitakara sengaja
membiarkan Arundhati memeluknya. Setelah puas memeluk Sitakara, Arundhati
mundur membuat jarak sambil kedua tangannya memegang kedua tangan Sitakara.
Pandangan Arundhati tetap lekat menatap wajah Sitakara, “Yu Ara, ternyata
penampilanmu jauh lebih cantik si sini!” tanpa ragu-ragu Arundhati memuji kecantikan
Sitakara. Sitakara tersenyum lebar. Dia juga senang dapat bertemu dengan
Arundhati, “kamu juga Ayun, Yu Ara gak nyangka kamu ternyta lebih cantik
terlihat di dimensi utama ini!” Kedua gadis itu saling memuji kecantikan
masing-masing.
Arundhati melepaskan pegangannya dari tangan Sitakara dan
memutar tubuhnya ke arah Retna Nawangsih, “Ibu Retna, Yu Ara ini memang luar
biasa. Yu Ara ini lah yang membimbing Ayun hanya dalam waktu satu bu..,
sebentar-sebentar… Yu Ara……”. Arundhati kembali menatap Sitakara. Tiba-tiba
Arundhati ragu-ragu mengatakan waktunya. Dalam pengalaman Arundhati, waktu itu
memang baru berlalu satu bulan lebih, tapi dari hasil penyelarasan tadi
sepertinya kok lebih lama. Arundhati menatap Sitakara dengan tatapan penuh
pertanyaan.
Sitakara tersenyum sambil menatap balik wajah Arundhati yang
tiba-tiba kebingungan dan kearah Ibunya yang kemudian tersenyum dan mengangguk.
“Baiklah Arundhati, mari kita ngobrol di dalam saja!” ajak
Sitakara. Arundhati yang masih bingung, hanya bisa menuruti ajakan Sitakara. Retna
Nawangsih mengikuti kedua gadis itu dari belakang. Sesampainya di ruang tamu, mereka
duduk di kursi rotan yang mengelilingi sebuah meja kecil.
“Ayun…, masih ingat ketika kita ngobrol sama Bu Anis mu?”
Sitakara membuka percakapan. Arundhati klecam-klecem malu sambil menyahut
mengkoreksi, “Gurunda Nyi Ajar Nismara!”. Sitakara menoleh ke arah Ibunya
sambil tersenyum. Ibunya ikut tersenyum, lebih sumringah. Arundhati tidak
menyadari hal ini.
“Jadi ketika beliau dipanggil sama Ki Ageng Turangga Seto, ternyata
beliau mendapatkan amanat untuk membimbingmu secara langsung. Yu Ara, hanya
membantu Gurunda. Disamping dibimbing langsung oleh Gurunda, ternyata Ki Ageng
juga berkenan membimbingmu juga. Ini adalah hal yang luar biasa Ayun.”, tutur
Sitakara menjelaskan. Arundhati mendengarkan sambil terbayang kilasan-kilasan
pengalaman yang tampil begitu saja.
“Tapi, ini belum menjelaskan waktunya!”
“Iya, karena kebetulan Ayun juga mengunci diri Ayun dari
lapis kedua dimensi mimpi, maka Ki Ajar kemudian membuat lengkungan waktu tiga
tahun pada simpul waktu saat kamu melakukan penguncian. Tidak satupun di
padepokan terbawa dalam arus lengkungan waktu. Hanya Ayun Ki Ageng dan Nyi
Ajar. Jadi di saat yang sama ketika Ayun melakukan penguncian, sebenarnya Ayun
telah menghabiskan waktu selama tiga tahun. Dan hari ini, dalam sesi latihan
siang tadi, Ayun bilang sudah membuka penguncian dan mau menemui Ibunda Retna
Nawangsih”
“Jadi,sudah tiga tahun?” tanya Arundhati memastikan.
Sitakara mengangguk.
“Tapi, kenapa Yu Sita gak tambah tua?”
Retna Nawangsih dan anaknya, Sitakara, tertawa lepas.
“Ayun, perubahan tubuh kita di lapis kedua dimensi mimpi itu
bergantung pada perubahan tubuh di dimensi utama ini. Jadi kalo secara teknis,
umur kita cuma bertambah satu bulan, maka meskipun pengalaman kita telah
menghabiskan waktu seratus tahun misalnya, kita tetap akan menjadi berumur
seperti kita di dimensi utama ini”
“Oh…!”
“Bukankan di padepokan Ayun pernah cerita kalau Ayun pernah
bereksperimen lengkungan waktu untuk mengatasi keterbatasan ruang di dimensi
utama ini, sewaktu kamu di rumah sakit?”
Arundhati nyengir kuda. Arundhati telah mendapat ingatan
bahwa pernah suatu malam, sambil mereka berdua Arundhati dan Sitakara
bertengger di bubungan atap padepokan, Arundhati menceritakan pengalamannya
ngerjain Sweta Nandini sampai dia harus kelelahan karena memang tingkat energi
kesadarannya masih belum tinggi.
“Sebenarnya, kamu telah menghabiskan beberapa menit dengan
Dini, namun kamu lengkungkan bahkan kurang dari satu detik. Itu yang dilakukan
oleh Ki Ajar. Namun, Ki Ajar tidak hanya membawa kamu dan Gurunda. Seluruh yang
masih tertinggal di padepokan dilibatkan oleh Ki Ajar. Dan sebenarnya, Yu Ara
juga bersyukur karena telah ditempa selama tiga tahun tanpa membuang sedikitpun
waktu Yu Ara!”. Sitakara menutup penjelasannya sambil tersenyum memperlihatkan
deretan rapi gigi putihnya, manis sekalai.
“Oh… gitu.. to? Pantesan tadi waktu mau bilang satu bulan
tiba-tiba Ayun ingat sudah lebih dari satu bulan….!”
“Udah…?” tanya Sitakara ke Arundhati. “Udah apanya?” Arundhati
balik bertanya. Sitakara tertawa, “Udah paham maksudnya….”
“Ya… ya… sudah sih.
Tapi gini, sebenarnya Ayun masih bingung. Kenapa bisa ada 3 dunia yang
karakteristiknya berbeda-beda. Terutama pada lapis kedua dari dimensi mimpi
Ayun. Dan kenapa Ayun bisa berbeda dengan orang lain, meskipun kemudian Ayun
tahu ada Yu Ara, Ibu Retna, dan Dini. Tapi, apa sebenarnya yang terjadi? Kalau
sebelum-sebelumnya Yu Ara memberikan arahan tentang penyelarasan, baiklah,
tidak ada pertanyaan tentang hal ini. Ayun sudah bisa menerima dan menjalankan.
Tapi bagaimanapun, tentang asal usul dan
bagaimana terjadinya, Ayun juga perlu tahu dong!” tanya Arundhati merajuk.
Mendengar pertanyaan Arundhati, baik Retna Nawangsih maupun
Sitakara terdiam. Agak sulit memang menjelaskan,
namun hal ini sudah di tanyakan. Sitakara yang sudah kuliah semester akhir teknik
nuklir pun ragu-ragu untuk menjelaskan. Apa yang mereka alami ini banyak
bersinggungan dengan teori-teori yang ia dapatkan dari perkuliahan, namun
banyak hal yang akhirnya dia hanya dapat menerima begitu saja.
“Ayun, pada hari saat Ayun terjebak di balaidesa, apa yang Ayun
ingat? Terutama saat di sekolah”
“O, iya… saat itu handphone banyak yang ngadat, Ayun mau
telepon bapak dari sekolahan aja sulit sekali!”
“Itu adalah pengaruh dari badai matahari yang nyasar ke
tempat kita. Yu Ara gak terlalu yakin karena posisi kita ada di khatulistiwa,
namun hanya itulah yang mampu Yu Ara pahami.”
“Baiklah, kalau memang itu adalah pengaruh dari badai
matahari, terus bagaimana itu bisa membuat kita jadi begini?”
“Begini, Ayun!” Retna Nawangsih yang sedari tadi hanya duduk
dan mendengarkan kedua gadis itu bercakap, tiba-tiba ikut nimbrung.
“Bagaimana Ibu Retna?”
“Mimpi adalah sebuah paradoks dari suatu dimensi. Mimpi terlalu
private untuk orang lain dapat ambil bagian. Hanya pemilik mimpi yang mampu
merasakan kehadirannya dan kemudian menyimpannya sebagai sebuah kenangan, dan
sampai batas tertentu orang akan tidak lagi mampu membedakan mana pengalaman
yang memang benar-benar dia alami atau hanya curahan data saat dia bermimpi.
Sampai di sini, persepsi tentang mimpi akan berubah dan dari kondisi ini
sepertinya kita boleh berasumsi ada dua dimensi inheren yang dialami oleh seseorang.
Kedua dimensi ini terhubung melalui suatu frekuensi yang memberikan persepsi kepada
memory dan kemudian orang menyebutnya sebagai mimpi. Normalnya, kejadian ini hanya
mungkin bila kesadarannya tidak tertaut dengn baik dengan memorynya baik karena
pingsan, maupun tertidur. Orang mengatakan ini sebagai hilang kesadaran, padahal
sebenarnya kesadaran ini tidaklah hilang. Kesadarannya tetap ada dan tetap
bekerja.”
Arundhati mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Retna
Nawangsih. Penjelasan Retna Nawangsih betul-betul membuat Arundhati terpana
sehingga tanpa dia sadari bibir mungilnya terbuka. Seakan dua buah telinga
tidak cukup untuk menyerap sebanyak-banyaknya penjelasan Retna Nawangsih. Retna
Nawangsih melanjutkan penjelasannya sambil tersenyum melihat mimik muka Arundhati.
“Kesadaran ini bekerja secara acak dalam suatu gelombang dan
frekuensi tertentu. Ketika dia berada pada satu frekuensi dan gelombang yang
sama dengan dimensi mimpi maka akan terjadi resonansi yang akan akan diterima
oleh memory kita sebagai sebuah pengalaman. Inilah kemudian yang disebut
sebagai mimpi. Kejadian yang sangat acak inilah kemudian membuat mimpi hanya
sebagai fragmen-fragmen yang kadang sulit dimengerti. Namun, banyak orang yang
terobsesi tentang masa depan akan mencari tafsirnya, dan orang yang haus
pengakuan membuatkan tafsir sesuai seleranya. Padahal, mimpi hanyalah
pengalaman biasa yang tidak perlu mendapatkan tafsir.”
Arundhati tersenyum saat mendengarkan penjelasan dari Retna
Nawangsih tentang tafsir mimpi. Dia teringat Man Sardi, tukang kebon rumahnya
yang suka nanyain arti mimpinya. Dia sering ngerjain Man Sardi dengan
memberikan jawaban sekenanya, dan bila kemudian salah dan Man Sardi kesal,
Arundhati cuma bilang, “lagian sih… mimpi make ditanyain segala… Man Sardi yang
baik…. mimpi adalah mimpi, bukan sesuatu yang istimewa!”. Namun dengan penjelasan bahwa mimpi adalah
sebuah pengalaman biasa yang tidak terkait dengan masa depan, Arundhati justeru
bertanya, “maaf, Ibu Retna! Apakah dimensi mimpi adalah seperti dimensi yang
kita tempati saat ini?”
Retna Nawangsih terdiam sebentar sambil menatap dalam-dalam
ke arah Arundhati. Arundhati jadi salah tingkah dan bertanya terbata-bata,
“sa.. salah ya Ibu Retna?” Retna Nawangsih tertawa kecil dan bertanya, “saat kedua
kali kamu bertemu dengan Sitakara, apakah kamu merasa bahwa itu adalah kumpulan
fragmen acak yang tidak terhubung?”.
Arundhati tercenung sejenak berusaha mencerna pertanyaan Retna Nawangsih.
Dia mengingat kembali yang dia alami di jembatan maupun penginapan merpati. Dia
masih ingat ketika dia berdiskusi dengan Sitakara, atau saat dia ngerjain
Ansuman. Meskipun banyak keajaiban yang dia alami, namun itu berjalan biasa
saja seperti yang biasa dia alami.
“Hmmm….. ya tidak sih? Bahkan Ayun pernah berdiskusi sama Yu
Ara, ya Yu Aya?!”. Arundhati menjawab
sambil menegaskan kepada Sitakara yang dijawab sambil bercanda oleh Sitakara, “Enggak
tuh! Kapan Ayun diskusi sama Yu Ara?”. Mendengar jawaban Sitakara, Arundhati
kesal dan melotot ke arah Sitakara. Retna Nawangsih dan Sitakara tertawa.
Arundhati tambah cemberut.
“Iya Ayun, Yu Ara ingat kok! Sudah diskusi, Ayun ngerjain Yu
Ara make teleportasi atau apa lah, yang pasti waktu itu Yu Ara Ayun pindahin!”
kata Sitakara mengkoreksi candaannya tadi. Wajah Arundhati berubah cerah dan tersenyum.
“Kemudian, Ibu Retna, kalau tadi Yu Ara sempat membuka
cerita dengan kisah badai matahari. Bagaimana kaitannya dengan mimpi-mimpi
tadi?” tanya Arundhat setelah agak lama mereka terdiam.
“Badai matahari adalah ledakan maha dahsyat yang mampu
menyemburkan gelombang elektrokmagnetik mengarungi jarak 150 juta kilometer
dari matahari sampai ke bumi. Sejauh ini badai matahari telah dipahami dapat
mempengaruhi gelombang radio dan alat-alat listrik. Badai matahari terbesar dalam sejarah modern terjadi
pada 1859 dan dikenal sebagai peristiwa
Carrington dan di Quebec 1989. Kedua peristiwa besar inii tercatat mampu
menghancurkan telknologi buatan manusia dalam sekejap. Namun, karena kita
berada di Khatulistiwa, maka bisa dikatakan kita aman dari gangguan badai
matahari karena gelombang elektromagnetik berenergi tinggi berbelok ke arah
kutub. Akan tetapi, efek dari pergerakan
gelombang elektromagnetik ini juga akan mempengaruhi kita di khatulistiwa
melalui terganggunya GPS maupun kinerja satelit. Kemudian, bagaimana mempengaruhi
kita, maksudnya Ibu, Yu Ara, Ayun, dan Dini? Bagaimana hanya kepada kita saya
ini berpengaruh Yu Ara tidak tahu. Mungkin ini bentuk makro dari
ketidakpastian, atau mungkin ada hal lain. Bila kesadaran adalah gelombang,
maka kemungkinan kesadaran kita bereaksi terhadap gelombang badai matahari yang
tersisa itu. Reaksi ini membuat kesadaran kita beresonansi dengan dimensi mimpi
secara lebih baik. Kejadian ini kami namakan trance. Gejala trance yang Ayun
alami itu mulai saat Ayun terjebak di Balaidesa dan selesai saat bangun di
penginapan merpati. Cukup lama untuk mencapai keselarasan, karena energi gelombang
elektromagnetik dari kesadaran Ayun terlalu tinggi. Dan, ketika keselarasan
telah terbentuk, maka memory di dimensi mimpi dan dimensi utama ini akan
terhubung melalui satu kesadaran. Dan pada beberapa kasus bahkan bukan cuma
memory yang terhubung, namun seluruh property dari avatarnya akan
tersingkronisasi, meskipun setiap avatar secara relatif dapat berinisiatif
secara otonom. Dalam kasus ini Ayun yang ada di dimensi mimpi adalah avatar
dari ayun yang ada di depan Yu Ara sekarang, sebaliknya Ayun yang ada di depan
Yu Ara Sekarang adalah Avatar dari Ayun yang ada di dunia mimpi.”
“Yup, makanya Ibu Retna tahu Ayun bakal datang dan kemudian
menjemput, karena Yu Ara kasih tahu ke Bu Retna, sementara Yu Ara tahunya dari
Ayun! Kemudian, kemampuan aneh-aneh yang Ayun punya sekarang ini sebenarnya
refleksi dari kondisi di dimensi mimpi dimana semua serba mungkin” sela
Arundhati memotong penjelasan dari Sitakara. Arundhati sengaja menyela
penjelasan karena curiga, Sitakara akan mengulangi penjelasan tentang
keselarasan, dan sebenarnya yang ingin dia tanyakan juga. Sitakara hanya
tersenyum sambil menatap ibunya.
“Tapi, kenapa Yu Ara harus mencurigai badai matahari yang
harus bertanggung-jawab terhadap semua kejadian yang kita alami?” tanya
Arundhati.
“Ayun, dari beberapa obrolan dengan warga padepokan yang mempunyai
domain aseli dimensi yang sama dengan kita, kita mendapatkan korelasi antara
kejadian trance mereka dengan terjadinya badai matahari. Kemudian masalah kemampuan
Ayun yang aneh-aneh saat ini, itu memang refleksi dari kondisi di dimensi mimpi,
tapi tidak semua refleksi itu dapat digunakan di sini.” Jawab Sitakara.
“Kalau masalah refleksi tidak semua dapat digunakan di sini
sih, Ayu malah seneng. Tapi ini, bila kejadiannya memang karena badai matahari,
maka ada kemungkinan bila kesadaran kembali tersentuh gelombang elektromagnetik
badai matahari, maka akan terjadi respon lain?” tanya Arundhati lagi.
“Tidak, Ayun. Kemungkinannya sangat kecil kesadaran yang
keterhubungannya dengan dimensi mimpi telah stabil akan merespon gelombang
elektromagnetik badai matahari atau gelombang elektromagnetik dari manapun.”
“Oh…, gitu! Untuk sementara Ayun dapat menerima sebelum ada penjelasan
yang lebih juoss”. Arundhati merasa puas dengan penjelasan dari Sitakara.
Kemudian mereka bertiga lanjut ngobrol.
Sore itu tiga wanita dari dua generasi yang berbeda terlibat
dalam bincang-bincang seru menceeritakan pengalamannya masing-masing. Suasana
semakin meriah ketika Arundhati menceritaka kisah Bapak tentang Retna Nawangsih.
Sitakara ikut-ikutan meledek ibunya. Retna Nawangsih cuma bisa tersenyum dan
tertawa. Ada sebaris cerita yang sebenarnya ingin ia ceritakan kepada Sitakara
maupun Arundhati, namun melihat Arundhati pun belum tahu kisahnya ia urungkan
niatnya.
Hari semakin senja, semburat lembayung mulai nampak di ufuk
barat menandakan maghrib akan datang sebentar lagi. Arundhati pamit undur diri,
pulang ke rumah.
“Yu Ara, Ayun pamit
dulu ya… Ibu Retna Nawangsih, Ayun pamit dulu ya!”
“Ya udah, salamin Bapak ya…! Bilang dari Ibu Retna Nawangsih!”
Arundhati berjalan di depan keluar dari rumah. Sitakara dan
Ibunya berdiri bersebelahan. Tiba-tiba Arundhati berhenti dan membalikkan
badan.
“O, ya… ada yang lupa!”
Arundhati buru-buru berbailik dan menyisip diantara Retna
Nawangsih dan Sitakara. Kemudian, Arundhati mengambil handphone dan melakuan selfie
atau groupy bertiga.
“Nah, sudah! Terimakasih Yu Ara! Bu Retna!”
Arundhati kemudian melangkah tiga langkah ke depan, dan
membalik badannya sambil berucap salam, “Assalamu’alaikum……!”
Belum lagi baik Sitakara maupun Retna Nawangsing menjawab
salamnya, Arundhati sudah menghilang. Dia melesat ke ketinggian 5000mdpl, dan
dilanjutkan turun secara diagonal tepat di depan rumahnya. Ternuata, baik Bapak maupun Ibu sedang duduk
di teras dengan satu orang laki-laki. Untung mereka tidak melihat kedatangan
Arundhati yang secara tiba-tiba muncul. Kalau ngeliat, terutama tamu itu, bakal
jadi isu gak jelas di kampungnya.
“Kang Dowi? Astaghfirullah, dosa apa Ayun ini, kenapa juga ada
kang Dowi di rumah?” Arundhati merutuk dalam hati demi mengenali lelaki yang
sedang bertamu itu adalah Dowi supir angkutan pedesaan.

0 comments:
Posting Komentar