{18} Pencarian
Siang ini sehabis istirahat kedua, suasana kelas Arundhati
sangat ramai. Ibu Nastiti yang seharusnya mengajar Fisika pada jam ini
kebetulan sedang berhalangan hadir sementara guru pengganti tidak tersedia. Terlalu banyak guru yang berhalangan hadir
hari ini. Arundhati asik sendiri di tempat duduknya. Ia nampak menggores-gores
kertas HVS putih dengan sebuah pensil.
Sesekali dia picingkan matanya, dia angkat kertasnya, dan kemudian
ditaruhnya lagi dan menggores lagi.
Di tempat lain, Sweta Nandini pun asik di tempat duduknya. Pandangannya
tidak lepas ke arah Arundhati. Dia memperhatikan terus tingkah kawannya itu sambil
sesekali tersenyum. Ada rasa penasaran
yang hinggap di kepalanya, namun masih dia tahan untuk menanyakan langsung ke
Arundhati. Saat gerakan Arundhati menggores-gores kertas putih di depannya
mulai berkurang, Sweta Nandini tak lagi bisa menahan keingintahuannya. Ia
berdiri dan berjalan mendekati bangku Arundhati. Sampai di belakang Arundhati, Sweta Nandini memegang
pundak Arundhati sambil bertanya, “lagi ngapain?”
Arundhati terlonjak kaget mendengar pertanyaan itu. Namun,
Arundhati malah tertawa demi menyadari apa yang barusan terjadi pada dirinya.
Teman-temannya yang ada di sekelilingnya yang kebetulan melihatnya sontak ikut
tertawa. Pipi Arundhati terlihat memerah
menahan malu. Namun, belum lagi Arundhati menjawab pertanyaan Dini, dari arah
depan terdengar suara Ketua Kelas mengumumkan sesuatu.
“Dengar saudara-saudara!” teriak ketua kelas dengan gaya
formal yang disambut dengan “huuuuuu……!”
oleh kawan-kawannya. Ketua kelas cuma nyengir sambil melanjutkan teriakannya,
“Mengingat bahwa Ibu Nastiti berhalangan hadir serta menimbang
bahwa saat ini adalah jam pelajaran terakhir tanpa guru pengganti kami telah
memutuskan untuk menanyakan kepada Kepala Sekolah yang mana kemudian Kepala
Sekolah membolehkan kita untuk…… Pulang……..!”
Kali ini teriakan ketua kelas disambut suka-cita oleh warga
kelas Arundhati. Ada yang teriak asik, ada yang teriak jos, ada yang teriak
alhamdulillah, namun tidak ada yang teriak huu.
Arundhati meremas kertas putih yang barus dia corat-coret
dan melemparkanya ke depan, percis masuk ke tempat sampah di samping kanan papan
tulis. Jarak yang cukup jauh untuk melakukannya dengan tepat dan akurat
sebenarnya. Arundhati segera meraih tasnya, memasukkan kembali semua barangnya
yang tergeletak di atas meja ke dalam tasnya dan segera bergegas meninggalkan
mejanya sambil membisikkan suara ke telinga Dini, “Ayun tunggu di depan, dekat
pohon kemuning”. Sweta Nandini tidak sempat
menjawab, apalagi menanyakan gambar apa yang dibikin, Arundhati sudah berlari
keluar kelas. Dia berlari ke arah pohon kemuning di dekat pintu gerbang
sekolahan. Tak lama kemudian, tampak Sweta Nandini menyusul. Kemudian, mereka berdua nampak bercakap serius
dan segera keluar melalui gerbang sekolahan ke kiri. Mereka berdua menyusuri
trotoar di pinggir jalan yang mengarah ke hutan kota. Suasana masih sepi karena
memang belum jam pulang sekolah. Arundhati
mengerahkan kesadarannya untuk mendeteksi kehadiran orang lain pada radius
limapuluh meter. Setelah memastikan tidak ada orang pada area itu, Arundhati meminta
Sweta Nandini untuk melihat apakah ada orang di sekeliling mereka.
“Dini, coba kamu tengok kiri-kanan, ada orang gak”
“Tar…. Tid…” belum selesai Sweta Nandini menjawab, Arundhati
telah memegang tangan Sweta Nandini dan tahu-tahu mereka sudah berdiri di teras
rumah Arundhati, “dak….!”
Meskipun Arundhati sudah pernah membawanya berteleportasi,
namun tetap saja ketika sampai di rumah Arundhati dalam sekejap, Sweta Nandini masih
dibuat terkagum-kagum dengan kemampuan gadis teman sekelasnya ini. “Kamu tunggu
di sini, saya masuk dulu!”. Sweta Nandini mengangguk.
Di dalam rumah Arundhati cuma ada Bulek Tantri yang sedang memasak. Ibu dan Bapak
kebetulan sedang menengok sawah di sebelah Timur Utara dekat rel kereta api.
“Assalamu’alaikum….!” Arundhati uluk sama saat memasuki
rumah yang kebetulan tidak terkunci.
“Wa’alaikum salam!” terdengar Bulek Tantri menjawab salam Arundhati
dari dalam rumah.
“Bulek… Sendirian?” sapa Ayun basa-basi sambil teriak.
Mereka memang tidak ngobrol berhadap-hadapan.
“Iya, Ayun…!”
“Man Sardi ke mana?” tanya Ayun sambil masuk ke kamar.
“Ikut Bapak sama Ibu tengok sawah!”
“Wah, ada apa? Tumben Man Sardi ikut ke sawah.”
“Itu Ayun, kata orang, sawah kita dan sawah beberapa orang
yang dekat dengan sawah kita berantakan seperti habis buat main sama babi hutan
atau apa entah yang pasti kata orang-orang, batang padi pada rubuh berantakan!”
Arundhati kaget mendengar jawaban dari Bulek Tantri.
“O, Gitu Bulek? Sudah
ketahuan itu kelakuan siapa?”
“Belum Ayun, makanya ini tadi Man Sardi ikut. Entah buat
apa, cuma kata Bapak sama Ibu siapa tahu nanti bisa bantu. Tadi, Pak Lurah juga
ikut ke lokasi sepertinya!”
“O, Pak Lurah sudah ke lokasi juga?”
“Sudah, tadi berangkatnya juga bareng sama Bapak sama Ibu!”
“Ok, makasih Bulek… saya mau pergi dulu ya Buleki Tantri!”
Arundhati langsung bergegas keluar tanpa menemui bibinya. Dengan
setelah jubah dan kerudung biru muda, Arundhati menemui Sweta Nandini yang
masih menunggu di luar.
“Maaf kalau kelamaan. Sekarang kita ke rumah mu, setelah itu
kita pergi”
“Pergi? Pergi kemana Ayun, ke sawahmu? ada apa di sawah
kamu, Ayun. Tadi aku dengar bulek Tantri juga teriak-teriak tentang sawah”
Arundhati tersenyum lebar. Percakapannya dengan bulek Tantri
ternyata didengar oleh Dini. Namun, kali
ini tanpa memegang anggota tubuh Dini, Arundhati telah berhasil memindahkan
Sweta Nandini ke rumahnya. Sweta Nandini
yang tidak menyadari kelakuan Arundhati, masih menunggu jawaban Arundhati.
“Sudah Dini ganti baju, Ayun tunggu Dini di sini. Di luar saja!”
Dini bengong, Tanpa melakukan kontak dengan anggota
tubuhnya, Arundhati telah berhasil membawanya berteleportasi dari rumah
Arundhati ke rumahnya. Ini sudah mirip dengan kemampuan Ki Ageng Turangga Seto.
Dini segera bergegas ke dalam rumahnya. Juragan Badrun yang
sedang leyeh-leyeh di sofanya.
“Assalamu’alaikum!” Sweta Nandini uluk salam dan dijawab
oleh juragan Badrun, “wa’alaikum salam! Dini sudah pulang?”
“Sampun, Pak! Nganu, Pak! Keleresan bu Nastiti tidak dapat
hadir hari ini, sementara guru lain juga sedang menggantikan guru-guru yang
tidak masuk. Jadi deh pulang lebih awal”
“Oh… gitu?”
“Hala Ya… nggih ngaten!” jawab Sweta Nandini sekenanya
sambil masuk ke kamarnya. Ayahnya
tertawa mendengar jawaban Sweta Nandini. Setelah berganti pakaian dengan
setelan warna hijau pareanom, Sweta Nandini mendekati ayahnya sambil mengecup
dahi ayahnya, Sweta Nandini pamit mau pergi.
“Dini, mau pergi dulu ya, Pak?”
“Halah kok, baru pulang sudah mau pergi. Sama siapa perginya?”
“Sama Ayun, Pak!”
“Oh, Ayun yang tukang tidur itu?”
Swetat Nandini tertawa mendengar pertanyaan ayahnya.
“Sampun mboten Pak, dia sekarang gak tukang tidur lagi.
Sekarang malah hebat dia! Mungkin pas lagi tidur panjang kemarin dia belajar
sama maha guru tak terdengar mungkin!” Jawab Sweta Nandini sambil bercanda.
Juragan Badrun tertawa, dia paham. Juragan Badrun memang sering
menemani anaknya uji bertarung dengan Arundhati. Dia tahu bahwa Arundhati sudah
melampaui Sweta Nandini anaknya. Dan, dia juga sering memberikan arahan untuk
memperbaiki jurus-jurusnya. Juragan Badrun merasa merasa aman kalau anaknya
pergi bersama Arundhati. Disamping anaknya memang sudah tinggi kemampuannya,
bila pergi dengan seseorang yang lebih tinggi kemampuannya mestinya tidak ada
yang perlu ditakutkan lagi.
“Mana Ayun nya?”
“Di luar, Pak. Kita sedang buru-buru ada tugas!”
“Oh, gitu… Ya udah sana. Hati-hati ya….!”
Setelah salim kepada ayahnya, Sweta Nandini langsung
ngeloyor sambil mengucap salam. “Nggih Pak! Assalamu’alaikum!”.
“Wa’alaikum salam!”
Juragan Badrun cuma geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat
anak perempuannya yang terlihat sok sibuk kali ini.
Sesampainya di luar, Arundhati segera menggamit tangan Dini.
“Ayo!”
Dini sudah tidak kaget dengan kelakuan Arundhati yang
seperti ini. Dia sudah hapal benar karena sudah dari SD dia begitu.
“Ayun, mau kemana kita?” tanya Sweta Nandini penasaran dengan semua
ketergesa-gesaan Arundhati. Arundhati
tidak menjawab karena saat ini mereka telah berada di tempat lain. Saat ini
mereka ada di puncak sebuah bukit.
“Ayun, di mana ini?” tanya Sweta Nandini sekali lagi, dengan
pertanyaan yang berbeda. Arundhati tersenyum
“Aku sudah mencuri ingatan bapak. Salah satunya ya tempat
ini. Saat ini mungkin kita ada pegunungan Indrakila. Aku juga gak tahu pasti,
tapi kalau kita turun ke arah selatan sana kita akan melewati Semali, Pekuncen,
dan sampai ke Kota!” terang Arundhati sambil melihat ke sekeliling sambil
mebentangkan kedua tangannya dan berputar.
“Sebentar, kamu….. mencuri…. Ingatan bapakmu? Bagaimana
caranya?”
Arundhati berhenti berputar dan mendekati Sweta Nandini
sambil berbisik, “ngobrol sama bapak sambil mancing-mancing cerita!”
Dini yang telah bersiap untuk mendapatkan kejutan baru dari Arundhati
agak sedikit merasa terkecoh, namun dia paham kedegilan Arundhati dan bahkan
kemudian dia tertawa.
“Kamu, ada-ada aja. Kirain kamu sudah mampu memasuki alam
pikiran orang lain. Ngeri aku kalau kamu udah kayak gitu!”
Arundhati tertawa , “Ha ha ha…. ya ndhak lah! Ayun tuh Cuma mampu
memahami apa yang tampak saja. Cuma, sepertinya Allah memberikan kemampuan
analisa yang terlalu sensitif sehingga fakta paling detil sekalipun tidak sempat
menghindar dari pengamatan Ayun. Kemudian, berkat bimbingan Yu Ara, Ayun mampu
mengelola hal lain yang ada dalam diri Ayun. Dan ini mungkin aneh bila dilihat
orang normal. Makanya Ayun gak berani menunjukkan selain ke orang-orang yang
sama dengan Ayun! Ya sesekali ke Bapak sama Ibu, buat tahu reaksi mereka.
Sejauh ini sih ya….” Arundhati menahan kata-katanya sambil tersenyum pada Sweta
Nandini. Sweta Nandini tidak bereaksi. Entah kenapa, mungkin sedang ada yang
dia pikirkan. Arundhati melanjutkan, “sampai saat ini mereka biasa-biasa saja,
tidak merespon apapun. Mereka berbuat seperti tidak ada apa-apa. Dan itu baik
buat Ayun!”
“Jangan orang normal, menurut aku aja kamu udah aneh Ayun!”,
sahut Sweta Nandini terlambat mengomentari cerita Arundhati.
Arundhati tertawa saat mendengar komentar Dini.
“Ha ha ha ha ha…. Jadi kamu gak normal, ya Din?”
Dini kaget, dia baru menyadari bahwa komentarnya memang
berpotensi salah arti.
“Ya… ya normal sih, masa gak normal? Orang secantik Sweta
Nandini Satrianingsih anak kesayangan Juragan Badrun masa gak normal sih?”
Sweta Nandini mengkoreksi komentarnya sambil memuji dirinya
sendiri. Arundhati tersenyum mendengar koreksi dari temannya.
“Ayun, terus kenapa kamu mengajak aku ke mari”, tanya Sweta
Nandini kemudian.
Arundhati tidak langsung menjawab. Dia berjalan menuju ke
satu batu hitam di bawah pohon kelapa tak jauh dari posisi Dini. Setelah
melakukan beberapa gerakan standar, seperti menepuk-tepuk batu membersihkan
area yang mau diduduki misalnya, Arundhati dengan sedikit melompat kemudian
terduduk di atas batu.
“Yu Ara adalah putri dari Ibu Retna Nawangsih. Dia punya
kisah masa lalu dengan Bapak!” Sambil duduk, Arundhati menjelaskan hubungan
ayahnya dengan Ibu Sitakara.
“Lalu, apa hubungannya dengan kita?” tanya Sweta Nandini
penasaran. Arundhati, memandangi Sweta Nandini. Kemudian, dia menunduk dan mengambil
kerikil. Sambil melihat ke tempat lain Arundhati melempar-lemparkan batunya.
Kemudian, dia menoleh ke arah Swera Nandini, dan bersiap melemparkan batunya.
Sweta Nandini kaget melihat gerakan Arundhati.
“Ayun, hati-hati jangan melempar ke arahku. Ayun… aku bisa
ke..”
Sweta Nandini yang ketakutan mencoba untuk menyadarkan
Arundhati. Namun Arundhati tidak menggubris teriakan Sweta Nandini. Dia tetap
melempar.
“Ayun……!” teriak Sweta Nandini ketakutan sambil memejamkan
matanya. Dan, “wuzzzz….!” Batu tetap terlempar ke arah Sweta Nandini namun
tidak mengenai sedikitpun tubuh Sweta Nandini.
Sweta Nandini terkejut, dia gak tahu kenapa Arundhati
bersikap seperti itu. Dia membalik badannya melihat ke arah batu kerikil tadi.
Dan dia menjadi semakin terkejut ketika melihat seekor ular tengah tergelepar
di tanah dengan pangkal kepalanya nayaris putus. Dan keterkejutannya tidak
berhenti sampai di situ. Tubuh ular itu mendadak seperti terbakar dan
menghilang begitu saja.
“Ayun….!” Suara Sweta Nandini pelan penuh keheranan
“Betul, mereka penyusup dari lapis pertama dunia mimpi.
Mestinya kita memang tidak mampu membunuh mereka. Hanya makhluk sejenis yang mampu
membunuhnya, atau makhluk dari dimensi lain dengan dibantu benda yang berasal
dari dimensinya.”
“Kamu.. kok…bisa? Ayun?”
“Sebagian Ayun berasal dari lapis pertama dimensi mimpi maka
Ayun juga punya kemampuan untuk itu” Arundhati mengingatkan kembali Sweta
Nandini bahwa Arundhati juga berasal dari lapis pertama dunia mimpi, “O, iya
ya… kamu kan orang yang dicari-cari sama Gurunda Nyi Ajar Nismara, ya?”
“Betul, biasanya yang dicari sama para Guru itu memang orang
Istimewa!” sahut Arundhati santai.
“Ya… betul, termasuk yang sekarang lagi kita cari!” balas
Sweta Nandini sambil bersungut-sungut karena kata-katanya justeru telah
membangunkan ketengilan Arundhati. Arundhati sendiri suka melakukan itu dengan
sangat sengaja, karena dia suka bila lawan bicaranya merasa keki.
“Di sini banyak sekali penyusup dari lapis pertama dunia
mimpi. Mereka adalah anak buah Dhemit Bacira yang kemarin sempat bentrok dengan
Ayun. Namun, karena Ayun belum tahu bahwa kelemahan mereka adalah Ayun sendiri,
Dhemit Bacira tidak Ayun bunuh, namun Ayun buang melalui lubang cacing yang
terbentuk melalui kesadaran Ayun di sini maupun di lapis kedua dimensi mimpi.
Ayun sendiri tidak tahu, apakah Dhemit Bacira masih hidup atau tidak. Namun,
para pengikut Dhemit Bacira mengira Ayun telah membunuhnya. Termasuk saudaranya
yang telah dibunuh oleh Sekar Kenanga. Mereka semua hendak menuntut balas
kapada Ayun!” lanjut Arundhati menjelaskan dengan lebih lengkap.
“Apakah Ki Ageng Turangga Seto dan Gurunda Nyi Ajar Nismara
tahu mengenai hal ini?”
“Mereka sangat tahu. Dan, untuk mengantisipasi kembalinya
Dhemit Bacira yang tentunya akan mengancam dimensi kita, Guru berdua meminta
Ayun untuk mencari keberadaan Sekar Kenanga versi dimensi utama ini!”
“Dan, kamu akan memulai dari pegunungan Indrakila ini?”
tanya Sweta Nandini menebak dan dibenarkan oleh Arundhati, “Betul!”
Jawaban Arundhati malah membuat Sweta Nandini penasaran
dengan apa yang direncanakan oleh Arundhati.
“Apa yang akan kamu lakukan sekarang?”
“Sebenarnya aku sendiri tidak yakin. Tapi, aku punya firasat
bahwa kehadiran para makhluk persepsi ini dapat menghubungkan kita dengan Sekar
Kenanga dan juga Ibu Retna Nawangsih.”
Persis saat Arundhati menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba
dia meoleh ke arah kanannya. Arundhati langsung berdiri dan mengamati area di
depannya.
Sama seperti Arundhati, Sweta Nandini juga tiba-tiba
bersiaga dan kedua gadis cantik ini tiba-tiba terlihat bersiaga.
“Ayun, ada seorang yang baru datang dan sembunyi di gerumbul
semak di bawah sana!” bisik Sweta Nandini.
“Betul. Seorang perempuan yang sama tinggi sama kamu. Sebuah
tiang listrik berjalan!”
Air muka Sweta Nandini langsung berubah kecut saat mendengar
istilah tiang listrik berjalan. Istilah ini sering diungkapkan Arundhati untuk
meledek dirinya. Tapi, karena itu adalah Arundhati maka dia tidak pernah marah,
meskipun dia kesal.
Arundhati menoleh ke arah Sweta Nandini sambil nyengir.
Sweta Nandini tidak menggubris gurauan Arundhati. Dia fokus ke arah gerumbul
semak lima meter di bawah posisi mereka.
“Gak usah terlalu tegang, Dini. Anak ini kemampuannya bahkan
masih di bawah murid junior Alang-alang Segara Wedi!”
“Kamu itu masih yunior, dan Yu Sita sekarang kemampuannya di
bawah kamu!”
Sweta Nandini makin kesal dengan gaya tengilnya Arundhati
yang dianggapnya sudah mulai sombong. Kembali Arundhati menoleh ke arah Sweta
Nandini. Sambil nyengir dia menjelaskan, “Eh bener ini, maksud saya Ayun Alang-alang
Segoro Wedi yang baru ndaftar. Kalau aku kan gak daftar. Malah dicari!”
“Aku juga!” bisik Sweta Nandini ketus sambil tetap
memperhatikan ke arah gerumbul dengan sikap siaga.
Setelah beberapa lama kedua gadis cantik itu mengamati
gerumbul dan area sekelilingnya, tiba-tiba Arundhati tampat menggernyitkan
dahinya dan berkata, “Dini…., sebentar…!”
“Ada apa Ayun!”
“Ini kenapa saya kok merasakan kehadiran Sekar Kenanga?”
“Apakah anak perempuan yang bersembunyi di gerumbul itu
adalah Sekar Kenanga? Kamu bilang tadi, dia badannya tinggi yakan? Bukannya
Sekar Kenanga juga badannya tinggi?” Arundhati mulai serius, karena dia
merasakan kehadiran Sekar Kenanga tidak jauh dari tempat mereka, “bisa jadi,
tapi nanti dulu….! Tidak jauh dari posisi dia, kenapa ada makhluk persepsi yang
ikut mengamati gadis itu ya? Siapa makhluk persepsi itu?”
“Apa mungkin.. Dhe…!” Sweta Nandini mau berkomentar, namun
belum selesai dia menyebut Dhemit Bacira, Arundhati telah melesat melompat ke
arah gerumbul semak tersebut. “Ah…. Kamu itu Ayun….!” gerutu Sweta Nandini. Sweta
Nandini langsung melesat menyusul Arundhati.
Saat ini baik Arundhati maupun Sweta Nandini telah berada di
sekitar gerumbul semak itu. Mereka berputar mencari perempuan yang mereka
yakini sedang bersembunyi di gerumbul semak itu. Sampai pada gerrumbul semak
paling rimbun, terlihat seorang gadis dengan baju compang-camping dan rambut
acak-acakan. Kulit gadis ini sebenarnya putih, namun karena tidak terawat maka
terlihat kotor. Gadis itu terlihat
sangat ketakutan.
Pelan-pelan Arundhati mendekati gadis itu sambil menyapa,
“Dhik…!”
Sweta Nandini yang berada di sampingnya mendengar, menoleh dan
setengah berbisik protes, “Dhik….? Gak liat apa badannya tinggi gitu. Biar dia
lagi ngeringkuk kan keliatan kamu lebih kecil, Yun!”
Arundhat gak peduli protes Sweta Nandini, dan tetap terlihat
tenang sambil terus memanggil gadis dengan sebutan Dhik, “gak usah peduliin
kakak cerewet yang berjalan di samping saya, ya! Dia memang gitu orangnya.
Cerewet, tapi baik kok!”
Tanpa disangka-sangka, gadis itu malah berdesis,
“Ssssss…..!” sambil menggerakkan sebelah tangannya seakan memberi peringatan
agar jangan mendekat. Mendapatkan peringatan ini, baik Arundhati maupun Sweta
Nandini sama-sama mundur. Namun mereka tidak menyerah, dan kembali dengan
perlahan mulai lagi mendekati gadis itu sambil terus menyapa, “Dhik…, jangan
takut. Kami bukan orang jahat!”
Kali ini gadis itu tidak bereaksi secara ekspresif. Hanya
ketakutan yang masih nampak pada wajah gadis itu. Semakin mendekat Arundhat dan
Sweta Nandini, semakin takut gadis itu.
Namun, karena rasa ingin tahu dan empati pada gadis itu, Arundhati malah
semakin mendekati gadis itu sampai akhirnya dia mampu meraih tangan gadis itu. Gadis
itu tidak memberikan perlawanan apapun.
“Ayo, Dhik.. mari sini…!” Arundhati menarik tangan gadis itu
pelan-pelan sampai dia keluar dari semak dan berdiri. Dan benar saja, gadis itu lebih tinggi dibanding Arundhati.
Kira-kira sama dengan Sweta Nandini. Arundhati dan gadis itu berdiri
berhadapan. Gadis itu menunduk sementara Arundhati ndangak melihat ke wajah gadis
itu sambil kedua tangannya saling berpegangan.
“Lihatlah, kami tidak berniat jahat kepadamu. Siapa namamu,
Dhik?” tanya Arundhati kepada anak itu. Dengan sedikit ragu, gadis itu terlihat
ingin tersenyum. Sebentar dia memandang lurus ke depan. Namun, tiba-tiba gadis
itu terlihat takut dan mulai beringsut ke belakang ke arah semak. Dengan keras
dia lepaskan pegangan tangan Arundhati, mundur dan jongkok dengan kepalanya
menelungkup di antara kedua lututnya. Sementara, tangannya memeluk kedua
lututnya. Gadis itu terlihat gemetar dan
terndengar suara tangis yang sangat pelan.
Arundhati tidak langsung mendekati anak itu. Dia terlihat
tegang. Dia merasa ada bentuk kesadaran yang berasal dari lapis pertama dimensi
mimpi. Bukan kesadaran manusia, dan bukan pula jenis Dhemit Bacira. Ini bentuk
kesadaran yang sama yang dia rasakan saat pertama kali menyadari kehadiran anak
perempuan itu. Kehadiran bentuk kesadaran itu semakin lama semakin kuat
pertanda bahwa kesadaran itu tengah mendekat. Di saat yang sama, dia juga
merasakan kehadiran Sekar Kenanga dari arah anak perempuan yang ketakutan itu.
Arundhati berbalik membelakangi anak perempuan itu.
“Dini, siap-siap…. Lindungi Sekar Kenanga! Seekor makhluk
persepsi tengah menuju kemari!”
“Sekar Kenanga?” Sweta Nandini bertanya keheranan.
“Iya, gadis itu adalah Sekar Kenanga yang kita cari!”
“Gak salah? Kok demikian mudahnya?”
“Udah gak usah bawel, siaga lindungi anak itu!”
Arundhati mulai gak sabar dan mulai memarahi Sweta Nandini.
“Iya iya… ini juga Dini udah siap!”
Sweta Nandini dan Arundhati saling membelakangi dengan gadis
itu ada di antara mereka. Sementara tubuh gadis itu semakin bergetar karena
ketakutannya.
“Dini, sepertinya musuh kita kali ini punya kemampuan tidak
di bawah Dhemit Bacira. Aku akan melindungi kalian dengan perisai persepsi.
Makhluk persepsi manapun tidak akan ada yang mampu menembusnya! Namun,
bagaimanapun juga kamu harus tetap berjaga melindungi anak itu, terutama
menjaga jangan sampai dia lari dan keluar dari kubah perlindungan”
Selesai memberikan arahan kepada Sweta Nandini, Arundhati
sudah melesat duapuluh meter ke depan dengan meninggalkan kubah perlindungan
yang menyelubungi Sweta Nandini dan gadis yang sedang ketakutan itu.
“Siap!” jawab Sweta Nandini sambil berbalik ke arah
Arundhati. Saat ini dia lihat Arundhati sedang berhadapan dengan seorang pemuda
yang sangat tampan. Entah apa yang mereke bicarakan, namun sesekali terlihat tangan
Arundhati menyala, menandakan ada energi yang dia kumpulkan ke tangan dan siap
untuk dilepaskan. Sementara pemuda tampan di hadapan Arundhati itu tidak nampak
sedikitpun hendak menyerang. Setelah beberapa saat kemudian, tiba-tiba pemuda
itu melompat menjauhi Arundhati. Pemuda
tampan itu pergi meninggalkan Arundhati.
Setelah pemuda tampan itu pergi, Arundhati membalikan
badannya berjalan ke arah Sweta Nandini dan anak perempuan yang ketakutan itu.
Kubah perlindungan buatan Arundhati pun telah hilang. Arundhati telah
membatalkannya. Sweta Nandini menarik nafas lega. Dia kembali ke sikap normal.
“Siapa dia, Ayun?” tanya Sweta Nandini saat Arundhati
semakin mendekat. Arundhati sengaja tidak langsung menjawabnya. Dia tau, pasti
Sweta Nandini tertarik sama pemuda tampan tadi. Bahkan ketika sudah berhadapan,
Arundhati malah membungkuk memegang bahu gadis yang masih ketakutan itu.
Arundhati membimbingnya untuk berdiri.
“Sudah, Sekar. Siluman ular itu sudah pergi! Dia bukan
musuh.” kata Arundhati perlahan setengah merayu. Sepertinya Arundhati mulai
yakin bahwa gadis itu adalah Sekar Kenanga versi dimensi utama. Gadis itu
berdiri mematuhi permintaan Arundhati.
Sweta Nandini kaget mendengar kata siluman ular. Siluman
yang mana? Mana ada siluman. Dia bingung, “siluman ular, maksud kamu… anak
laki-laki tadi itu…?”. Sweta Nandini yang
sangat penasaran berusaha menarik perhatian Arundhati yang tengah asik
membimbing Sekar Kenanga. Sweta Nandini juga pengin diperhatiin dan
pertanyaannya bisa terjawab. Namun, Arundhati yang suka usil ini justeru
mengabaikan aksi Sweta Nandini.
Arundhati memegang kedua lengan Sekar Kenanga sambil ndangak
dan melanjutkan petuahnya, “kamu gak usah takut! Siluman ular yang kerap
nampang jadi lelaki tampan itu tidak akan berani lagi mengejarmu. Ada Yu Ayun
di sini yang akan melindungi kamu sampai kamu terhubung dengan avatarmu. Ok?!”
Arundhati yang menyebut dirinya Yu Ayun, kontan membuat
Sweta Nandini tertawa terpingkal-pingkal sambil menutup mulutnya.
“Yu Ayun…..? Sejak kapan kamu jadi mbakyu, Ayun?” canda
Sweta Nandini memprotes deklarasi Arundhati menjadi Yu Ayun. Arundhati tak tahan lagi bergaya serius. Dia
pun tertawa.
“Sirik amat sih kamu, Dini? Biar badan pendek kalo dipanggil
mBakyu kan lumayan juga, kan?”
“PPpfff……ppfff!” sambil menutup mulutnya dengan kedua
tangannya, Sweta Nandini menahan tawa demi mendengar pengakuan Arundhati. Badan
pendek!
“Sudah… sudahlah! Gimana sekarang kita apakan Sekar
Kenanga?” tukas Arundhati mengakhir candaan mereka. Dia menyadari telah
melakukan kesalahan dengan mengakui badannya pendek.
Demi melihat respon Arundhati, Sweta Nandini berusaha
mengkoreksi sikapnya. “Tapi Ayun, kamu itu gak pendek sebenarnya. Tapi kamu
yang suka srantal-sruntul itu jadi mengesankan kamu itu pendek. Yu Sita juga
kan cuma beda dikit tingginya sama kamu. Ya to?”
Mendengar kata srunthal-srunthul, Arundhati tersenyum lebar.
Dia ingin memberikan sinyal bahwa dia gak marah karena candaan tadi.
“Sekar, Ayun mau
nanya, ini gimana ceritanya kamu bisa…… aduh… rambut acak-acakan, badan kucel
bau….?”
Sekar Kenanga yang sedari tadi cuma senyum-senyum melihat
kedua penolongnya kemudian terdiam. Matanya
menerawang. Terlihat ada tetesan aliran air mata dari sudut matanya. Dia
menangis. Kemudian, dengan suara yang sangat pelan dia mulai bicara.
“Sebelumnya, Sekar mau mengucapkan terimakasih kepada mbakyu
berdua. Kalau bukan karena kalian menolong, Sekar mungkin telah digondol siluman
tengik yang bernama Sanca Budjangga tadi…”
“O… namanya Sanca Budjangga….” Sweta Nandini yang masih
penasaran, tiba-tiba menyela demi mendengar sebuah nama disebut. Arundhati
langsung melotot ke arah Sweta Nandini. Sweta Nandini segera mengatupkan kedua
tangannya ke mulutnya sambil mengucap, “Upppsss…!”. Sementara Arundhati masih melotot, Sekar Kenanga
malah tersenyum sambil mengucap matanya.
“Mbakyu berdua memang lucu, Sekar sungguh terhibur dengan
kehadiran kalian berdua! Sekar mengucapkan terimkasih yang sangat untuk kalian
berdua!”
Arundhati melongo mendengar penuturan Sekar Kenanga, sambil
kemudian bertanya lagi, “Terus, ini gimana ceritanya, kamu bisa seperti ini?”
“O iya…, maaf bila Sekar telah mengomentari kalian berdua!”
Sekar Kenanga meminta maaf kepada kedua penolongnya dan mulai menceritakan
pengalamannya, “Baiklah Sekar lanjutkan. Sekar sebenarnya tinggal di bawah. Di
papringan pinggir kali Kedung Ampel. Suatu hari, ketika sekar sedang berada di
Papringan, tiba-tiba suasana di papringan berubah menjadi gelap dan papringan
yang tinggal beberapa rumpun tiba-tiba menjadi sangat luas. Beberapa rumah
terlihat menghilang dari papringan dan berubah menjadi rumpun bambu. Kemudian,
dalam kebingungan Sekar, tiba-tiba datang seorang pemuda tampan yang mengaku
bernama Sanca Budjangga. Dan, anehnya
tanpa rasa curiga Sekar menerima ajakan berteman darinya. Kemudian kami
berjalan ke tepi sungai dan bercengkerama berdua di tepi sungai. Setelah puas
bercengkarama, dia mengantar saya ke tempat pertemuan kami. Setelah dia pergi, kondisi
papringan kembali seperti semula. Dan, situasi yang sebenarnya aneh tidak
pernah saya rasakan sebagai sebuah situasi yang aneh. Dan, untuk selanjutnya,
pada hari-hari berikutnya, bila saya merasa pengin bertemu Sanca Budjangga,
saya selalu menyepi di tepi sungai. Dia selalu menunggu saya di sana. Dan
seperti biasanya, kami kemudian bercengkerama dan bercanda di sana.”
Sekar Kenanga menghentikan sejenak ceritanya. Ada sesuatu
yang berat yang membuat dia harus berhenti bercerita untuk mengambil nafas.
Namun, sebelum Sekar Kenanga melanjutkan ceritanya, Arundhati menyela, “Sebentar
dulu, selama kalian berdua-duaan, kamu pernah diapa-apain gak sama si Sanca
Budjangga?”
“Diapa-apain bagaimana, Ya?” Sekar Kenanga justeru balik
bertanya.
“Gini, kamu kan perempuan, dan seperti Sekar Kenanga yang
pernah Ayun kenal, kamu pasti cantik. Dan dengan badan langsing serta lebih
tinggi dari Ayun, pasti dong si siluman tengik Sanca Budjangga itu tertarik
untuk melakukan sesuatu padamu.” Arundhati menjelaskan apa yang dimaksud
diapa-apain.
“Maaf, melakukan apa ya?” Sekar Kenanga masih belum mudeng
mendengar penjelasan Arundhati. Sweta Nandini tertawa melihat percakapan Arundhati
dan Sekar Kenanga.
“Ya sudah, sudahlah! Mari kita lanjutkan sambil kita keluar
dari hutan ini!”
Ajakan Arundhati disambut anggukan oleh Sekar Kenanga.
“Ayo!” dengan semangat, Sweta Nandini menyambut ajakan
Arundhati. Kemudian, mereka bertiga berjalan satu-satu menyusuri jalan setapak
yang agak menurun. Sweta Nandini
berjalan paling depan diikuti oleh Sekar Kenanga, dan Arundhati paling
belakang. Dia sengaja memilih paling belakang agar dapat berjaga terhadap hal
yang tidak diinginkan dari arah belakang dan mengantisipasi bila itu datang
dari arah depan.
“Ayo, Sekar, silakan lanjutkan ceritamu!” seru Sweta Nandini
yang tiba-tiba jadi penasaran dengan cerita Sekar Kenanga. “Betul, Sekar!”
sahut Arundhati dari belakang.
“Namun,” Sekar mulai melanjutkan ceritanya, “setelah
beberapa hari hubungan kami berjalan tanpa hambatan, pada suatu hari ketika
saya mendatangi tempat biasa kami bertemu, saya belum melihat dia ada di sana.
Dan ketika saya sedang mencari-cari, tiba-tiba datang seekor ular yang sangat besar
yang berhenti di semak tak jauh dari batu tempat kami bercengkerama. Tiba-tiba
ular itu menghilang dan digantikan oleh sesosok laki-laki yang sudah saya
kenal. Sanca Budjangga. Ternyata nama Sanca yang melekat pada dirinya memang
menunjukkan bahwa dia adalah seekor ular. Dan, dalam sekejap waktu, tiba-tiba
kesadaran saya hadir dan dapat menilai kembali setiap keanehan. Dan kesadaran
ini kemudian membuat saya takut dan jijik karena telah berkawan dengan seekor
ular. Saya berusaha kabur ke arah utara. Dia mengejar. Namun, meskipun dia tahu
bahwa saya sudah tahu ujud aselinya, dia mengejar dalam bentuk manusia. Akan
tetapi, dia tetap membuat saya merasa bahwa saya ada di lingkungan yang berbeda
dengan keseharian saya. Saya seperti di bawa ke beberapa puluh tahun ke
belakang. Kompleks militer di sebelah utara masih banyak tentara yang tinggal
di sana. Benteng Van Der Wijk masih digunakan sebagai tangsi militer!”
“Sebentar dulu, Benteng Van Der Wijk bukannya masuk ke
dalam? Kamu sengaja mampir?” seperti biasa, Arundhati selalu menyela penuturan
siapapun. Dan ini tentunya mengganggu Sweta Nandini yang sedang asik mengikuti
cerita yang disampaikan oleh Sekar Kenanga.
“Udah, Sekar! Gak usah dilanggati, dia emang hobinya
begitu!”
Sekar tersenyum manis sambil kemudian melanjutkan ceritanya,
“saya memang sengaja masuk ke area Van Der Wijk, namun tak seorangpun yang menyadari
kehadiran saya. Bahkan semuanya seperti tidak melihat saya. Saya minta tolong kepada
bapak-bapak tentara itu, namun mereka justeru seperti orang bingung ketika
tanganya saya tarik-tarik. Si siluman tengik Sanca Budjangga malah terlihat
tersenyum melihat ketakutan saya. Entah apa yang dia pikirkan, dia seperti
menikmati ketakutan saya. Karea gagal meminta bantuan kepada para bapak tentara
itu, saya kemudian memutuskan untuk terus berlari hingga sampai ke pegunungan
ini. Yang saya heran, sebenarnya dia bisa saja menangkap saya. Namun sepertinya
dia sengaja tidak melakukan itu. Dan, dalam pelarian saya sampai ke puncak
bukti tadi, beberapa kali saya terpeleset masuk ke jurang. Dalam situasi ini,
dia akan semakin mendekat. Namun, saya selalu mengusir dia, dan dia kemudian
kembali mengambil jarak. Itulah mengapa penampilan saya jadi seperti sekarang
ini…”
Sekar Kenanga menyelesaikan ceritanya sambil berjalan
mengikuti kedua penolongnya dengan sesekali ditimpali oleh Arundhati dan Sweta
Nandini secara Bergantian. Mereka terus berjalan beringan menyurusi jalan
setapak. Sampai pada jalan yang agak
landai, tiba-tiba Sweta Nandini memberi isyarat untuk berhenti. Bersamaan
dengan itu Arundhati yang juga merasakan sesuatu segera meningkatkan
kesadarannya untuk dapat mendeteksi kehadiran subject-subject yang mengancam.
Kali ini dia tidak menemukan bentuk kesadaran lain, namun dia menemukan subject
yang tingkat ancamannya juga tidak kecil.
“Sekar, sejak kapan hutan di Semali ini ada macan?” tanya
Arundhati sambil berbisik kepada Sekar Kenangan.
“Macan apa? Macan Jawa apa macan kumbang?” Sekar Kenanga
balik bertanya. Masih berbisik.
“Macan Kumbang!”
“Kalau macan kumbang, dulu memang pernah ada, namun setahu
saya sekarang sudah tidak pernah lagi ada yang pernah menemui macan ini”
“Dini, siap-siap yang kita hadapi kali ini adalah macan
kumbang beneran. Beda sama ular yang mau nyium kami tadi. Namun, Ayun sempat
merasakan adanya pengaruh Dhemit Bacira pada kehadiran mereka! Jangan bunuh
mereka” Teriak Ayun memberitahu Sweta Nandini.
“Siap! Ada berapa jumlah mereka?” jawab Sweta Nandini sambil
balik bertanya.
“Ada banyak, bergerombol sekitar 40 ekor!”
Betul saja, pada radius 10 meter, saat ini mereka bertiga
telah dikepung oleh sekitar 40 an ekor macan kumbang. Saudara cheetah yang
berwarna kelam dan pandai memanjat pohon itu saat ini terlihat sangat
mengancam.
“Baik, tapi bagaimana bila mereka menyerang kita?”
“Lumpuhkan saja atau lempar ke tempat lain!”
“Lempar ke tempat lain, bukannya itu cuma kamu sama Sekar
yang bisa melakukan?” Sweta Nandini, agak bingung mendengar saran Arundhati.
“Yap, kamu lumpuhkan saja. Kalau kamu bunuh susah ngurus
bangkainya!” Teriak Arundhati menegaskan yang disambut tertawa oleh Sweta Nandini.
“Ha ha ha ha….!”
“Untuk urusan membuang ke tempat lain, biar Ayun sama Sekar
aja yang beresin!”
Sekar Kenanga bingung, kenapa kedua penolongnya ini
teriak-teriak meskipun deket-deketan gini. Lha wong cuma jarak 2 meter, ngapain
coba pada teriak. Namun belum lagi habis bingungnya, Arundhati sudah menggamit
tangannya dan tiba-tiba tangannya sudah dipegang oleh Arundhati dan suasana di
sekitar dia sudah berubah sama sekali. Saat ini mereka seperti berada di hutan
yang lain. Pohonnya lebih besar dan suasananya tidak lebih rimbun. Sialnya, 40
ekor macan kumbang itu masih terlihat mengepung mereka. Tangan Sekar Kenanga
masih dipegang oleh Arundhati. Hal yang
kurang adalah, Sweta Nandini tidak terlihat di sini.
Tiba-tiba Arundhati melesat ke atas sambil menarik Sekar
Kenanga, “Bila kamu memang Sekar Kenanga yang sebenarnya, maka kamu bisa
mengatasi ini!”
Dengan suarau keras, Arundhati berteriak mengingatkan Sekar
Kenanga sambil melemparnya dari ketinggian 500 meter.
Tubuh Sekar Kenanga meluncur deras ke bawah. Sekar Kenanga
berteriak ketakutan. “mBakyu Arundhati, apa maksudmu dengan melemparku seperti
ini? Kalau kautolong aku hanya untuk mati, kenapa tidak kau biarkan aku mati di
tangan siluman Sanca Budjangga?”
Arundhati hanya tersenyum sambil dag-dig-dug dari posisinya
mengambang saat ini. Sekar Kenanga masih terus meracau dengan berbagai sumpah
serapah sampai kemudian mulai menghilang. Dia pingsan dalam ketakutannya, dan pada posisi 100 meter dari permukaan dalam
kondisi, tiba-tiba tubuh Sekar Kenanga turun melambat dan berputar dari kepala
di bawah kepada posisi berdiri. Para
macan kumbang terlihat bereaksi melihat kejadian ini. Namun, tidak satu pun
dari mereka yang berusaha mundur atau lari. Apalagi saat melihat tubuh Sekar
Kenanga yang turun dengan perlahan tanpa terlihat gerakan akan menyerang sampai
ketika kedua telapak kakinya menjejakkan tanah dengan kepala menunduk. Dan,
percis saat Sekar Kenanga menjejakan kaki ke tanah, tidak lagi terlihat baju
compang-camping yang dia kenakan. Sekar
Kenanga telah mengenakan jubah dan kerudung putih gading. Alang-alang Segara
Wedi.
Sekar Kenanga mengangkat kepalanya sambil tersenyum.
Sebentar dulu. Bukan tersenyum sebenarnya, lebih tepat menyeringai. Sekar Kenanga mengangkat kepalanya sambil
menyeringai. Kelompok macan kumbang yang mengepung mereka nampak beringsut ke
belakang. Mereka merasakan aura membunuh yang sangat kuat. Arundhati pun kaget
dan segera melesat turun percis di depan Sekar Kenanga. Sambil memegang lengan
Sekar Kenanga, Arundhati meminta Sekar Kenanga untuk tidak membunuh macan
kumbang itu.
“Sekar, jangan kamu bunuh macan-macan itu. Mereka adalah
makhluk berdarah dan berdaging seperti kita. Mereka hanya sedang dikendalikan
oleh gerombolan Dhemit Bacira!”
Arundhati memegang kuat kedua lengan Sekar Kenanga. Arundhat
berusaha menahan Sekar Kenanga dari membunuh macan-macan kumbang itu. Sejenak
Sekar Kenanga terdiam. Aura membunuhnya perlahan mereda, namun tanpa
diduga-duga, aura membunuhnya menguat kembali. Arundhati yang tidak menduga
perubahan ini, tiba-tiba mendapatkan serangan dari Sekar Kenanga. Kedua tangan
Sekar Kenanga tiba-tiba bergerak dengan gerakan memelintir melepaskan pegangan
tangan Arundhati dan dalam waktu singkat kedua tangan Sekar Kenanga telah
memegang lengan Arundhati. Kemudian dengan kecepatannya, Sekar Kenanga menarik
tangannya sambil mundur sehingga pegangan Sekar Kenanga berpindah ke
pergelangan tangan Arundhati dengan posisi kedua tangan Arundhati
terpelintir. Tentu saja ini tidak
menguntungkan Arundhati. Bila dia memaksa bergerak, maka tangannya akan
terkilir.
Dalam kondisi yang bisa dibilang tanpa daya, Arundhati
terdiam. Sekar Kenanga memang adalah murid senior Alang-alang Segoro Wedi. Ilmu
beladirinya pasti sangat tinggii dan konon dia juga memiliki kemampuan
manipulasi kesadaran yang mirip dengannya. Namun, seharusnya kekuatan dan
kemampuan Sekar Kenanga belum akan mampu menandinginya. Kontak dengan Sekar Kenanga di lapis kedua
dimensi mimpi yang baru sebentar, semestinya belum mampu mensingkronkan kedua
Sekar ini. Ini pasti ada yang salah.
Belum lagi Arundhati mendapatkan kesimpulannya, tiba-tiba
Sekar Kenanga membuang kedua tangan Arundhati ke kiri dan kanan sehingga kedua
tangan Arundhati terbentang dan bidang serang Arundhati terbuka lebar. Kondisi
ini tidak disia-siakan oleh Sekar Kenanga.
Dia mengayunkan kedua tangannya ke arah Arundhati dan bersamaan dengan
ayunannya dari arah pundak Sekar Kenanga muncul bola sinar kuning yang merambat
dan lepas sebagai tembakan ke arah Arundhati.
Arundhati yang menjadi sasaran, segera mengenali bentuk
serangan tersebut.
“Bola kesadaran!? Dia mampu memanfaatkan kesadarannya
sebagai senjata untuk menyerang? Dan bola itu berwarna kuning?”
Menyadari hal ini, Arundhati justeru tersenyum. Tiba-tiba
Arundhati melesat ke atas menghindar
dari serangan Sekar Kenanga. Sambil melesat ke udara tampak Arundhati telah
mengenakan jubah dan kerudung putih gading khas Alang-alang Segoro Wedi, dan dari
pinggang Arundhati keluar cincin sinar putih yang keluar seperti gelombang yang
semakin lama semakin besar dengan intensitas yang semakin kuat.
Arundhati mengangkat tangan kirinya mengepal ke atas, dan
dengan kecepatan yang sangat cepat sumber cincin sinar putih itu berpindah ke
telapak tangan kiri Arundhati. Cincin putih itu kemudian membentuk sebuah kubah
lancip. Tangan kanan Arundhati bersiaga untuk menahan serangan bila diperlukan.
Kubah sinar Arundhati gelombangnya sudah menyentuh tanah.
Sekar Kananga bersiap untuk menyerang, namun begitu dia melesat, dengan cepat
Arundhati menarik tangan kirinya, dan cincin putih yang sebelumnya jatuh ke
tanah tiba-tiba tersibak melebar dan menabrak apapun termasuk apapun termasuk
Sekar Kenanga. Tabrakan cincin dengan tubuh Sekar Kenanga membuat tubuh Sekar
Kenangan terlempar dan menimbulkan satu dentuman yang sangat keras. Saat tubuh
Sekar Kenanga terlempar terlihat tubuh lain yang terlempar dari tubuh Sekar
Kenanga. Sebuah tubuh humanoid bertangan dan berjari sangat panjang dengan muka
tua tanpa rambut mirip Gollum pada Lord
Of The Ring namun dengan tubuh lebih kerdil, kunting. Bersamaan dengan lepasnya
makhluk humanoid tersebut, dari tubuh para macan kumbang juga keluar bayang
hitam yang kemudian menghilang begitu saja. Setelah bayang hitam itu
lenyap, para macan kumbang itu segera
berlarian menyelamatkan diri.
Sekar Kenanga pingsan, makhluk humanoid tersebut terhuyung
mendekati tubuh Sekar Kenanga. Arundhati yang melihat gerakan makhluk itu
menyadari bahwa makhluk itu bermaksud hendak menyatu dengan tubuh Sekar Kenanga
lagi. Arundhati segera mengangkat tangan
kanannya dan dengan satu putaran tangan, dia telah membentuk satu kubah putih
yang memberikan pagar kepada Sekar Kenanga.
Makhluk itu marah karena dia tidak mampu menembus dinding kubah Arundhati.
Dia mengaum dahsyat sambil meepuk-nepuk dadanya. Sesuatu yang mengingatkan
Arundhati akan terhadap Dhemit Bacira.
Arundhati mendekati tubuh Sekar Kenanga. Kubah yang
mempunyai titik pusat pada tubuh Arundhati itu juga ikut bergeser. Sambil
bergerak, Arundhati menanyakan identitas makhluk kunting tersebut.
“Hai kunting, sopo to sejatine awakmu?”
Makhluk kerdil yang
berbadan kurus itu menjawab dengan suara berat
“Aku Upala Carma, mrimpeni menungsa gaweanku. Dhemit Bacira
ratuku!”
“Njur nangopo kowe kok odo-odo ndadak ngodha dulurku Sekar
Kenanga!”
“Ha ha ha…. Aku mung manut kandane ratuku, kowe ra perlu
melu-melu!”
Setelah menjawab pertanyaan terakhir, makhluk humanoid yang
bernama Upala Carma itu kembali melakukan serangan. Upala Carma berusaha
membobol dinding pelindung Arundhati.
Arundhati tidak menanggapi usaha Upala Carma. Dengan tenang
dia jongkok meraih pundak Sekar Kenanga, mengangkat dan menyandarkan pada sebuah
batu besar tidak jauh dari situ. Sambil menolong Sekar Kenanga, dan dengan
tenang pula dia bicara kepada Upala Carma, “Upala Carma! Silakan kamu merasa
tak terkalahkan di sini. Tapi kamu saat ini tengah berhadapan dengan aku,
Arundhati, murid Ki Ageng Turangga Seto dan Nyi Ajar Nismara. Dalam diriku saat
ini mengalir kesadaran yang berasal dari dimensimu!”
Upala Carma agak tersentak mendengar penuturan Arundhati. Ada
rona ketakutan tiba-tiba muncul pada wajah jelaknya. Dia tahu, bahwa siapapun
di dimensi ini tidak ada yang mampu membunuhnya. Namun, Arundhati adalah manusia
dengan kesadaran yang berasal dari dimensinya. Maka sangat mudah bagi Arundhati
untuk membunuhnya.
Pelahan, Upala Carma mulai menjauhi kubah perlindungan Arundhati.
Meskipun tidak melihat, Arundhati tahu bahwa Upala Carma mau melarikan diri.
“Upala Carma!” Arundhati berteriak menyebut nama Upala Carma
tanpa menengok sama sekali. Getaran suara Arundhati ternyata adalah sebuah
serangan yang mampu menahan langkah Upala Carma.
Setelah menyandarkan Sekar Kenanga pada posisi paling nyaman
dan menyalurkan sedikit kesadarannya untuk menopang tubuh Sekar Kenanga,
Arundhati berdiri dan berbaik ke arah Upala Carma. Arundhat nampak sangat marah
terlihat dari raut mukanya yang tidak lagi memancarkan Arundhati yang periang. Saat ini yang nampak adalah wajah seorang
perempuan dengan api amarah yang meluap-luap.
“Upala Carma!” sekali lagi, masih tanpa melihat Upala Carma,
Arundhati membentak dengan suara yang sangat keras. Tangan kirinya dia angkat
mengarah kepada Upala Carma. Dari tangannya tiba-tiba muncul bayangan putih
berbentuk tangan yang semakin panjang menjangkau Upala Carma. Telapaknya yang
semakin besar mampu menggenggam Upala Carma. Arundhati menjatuhkan Upala Carma
dan menekannya ke tanah.
“Upala Carma, kamu berasal dari lapis pertama, dan dalam
diriku juga ada kesadaran yang berasal dari sana. Semua sugesti dan persepsi di
antara kita adalah kenyataan. Namun, sugestiku terlalu kuat untuk kamu
kendalikan!” dingin Arundhati menjelaskan situasinya sambil melepaskan
genggamannya pada Upala Carma. Sebagai gantinya, Arundhati menghadirkan sebuah kandang
yang mampu menahan Upala Carma yang nampak semakin gelisah.
Arundhati berjalan mendekati kandang Upala Carma. Kali ini kemarahannya
sudah mereda, dan dengan gaya Seorang Arundhati, dia mulai meledek, “Upala
Carma, aku menahan kamu bukan karena kamu ganteng terus aku gak rela ditinggal
sama kamu. Aku yakin, kamu juga tahu kalau kamu jelek. Aku menahan kamu, cuma pengin
ngobrol sebentar sama kamu!”
Upala Carma semakin gelisah. Arundhati tersenyum merendahkan
Upala Carma sambil berputar mengitari kandang dengan tangan kanannya menyapu
jeruji kandang. Tiba-tiba Arundhati berhenti dan menghadap ke dalam kandang
sambil membentak penuh tenaga.
“Pertama, kenapa kamu lari?”
“Aku tidak tahu kalau kamu adalah Arundhati, murid yang
dicari oleh Nyi Ajar Nismara.”
Bentakan yang disertai dengan serangan terhadap kesadaran
Upala Carma ternyata mampu membuat ciut Upala Carma.
“Kenapa kamu takut sama Arundhati, tapi malah mempermainkan
saudaraku, Sekar Kenanga?”
“Aku…. Aku tidak tahu itu saudaramu, dan aku cumu disuruh
sama ratuku untuk untuk tetap tinggal dalam tubuhnya!”
“Ratumu Dhemit Bacira telah aku hilangkan. Saudaranya, Pangka
Tamomaya telah dibunuh oleh saudaraku Sekar Kenanga dari lapis kedua. Sekarang
kamu mau kabur kemana. Para tuanmu sudah tidak ada.” Arundhati menggertak dengan
menjelaskan situasi yang telah terjadi kepada Upala Carma. Demi mendengar
situasi yang terjadi, Upala Carma terlihat pasrah,
“Terus, aku harus bagaimana?”
“Ada dua pilihan buatmu. Kabur dan mati di tanganku, atau bertobat
dan tidak lagi mengganggu umat manusia di dimensi manapun!”
Upala Carma semakin nglokro, dia mulai berkata-kata pelan “demi
menjalankan tugas yang dititahkan oleh ratuku, aku rela meninggalkan
anak-anakku. aku belum selesai menjalankan tugasku, kamu telah merusak semua
usahaku. Bila aku bertahan, aku tahu kalian pasti tidak akan melepaskanku. Terlalu
bodoh bila aku mati di tanganmu tanpa pernah bertemu dengan anak-anakku.”
“Terus maumu apa?” tanya Arundhati menyela.
“Bertemu anak-anakku” jawab Upala Carma pelan.
“Kabur dan bertemu anak-anakmu?”
Upala Carma diam tidak menjawab
“Kuberi kamu sepuluh hitungan untuk menjawab!”
Arundhati sudah mulai kehilangan kesabarannya, “Satu….!”
Arundhati mulai menghitung, Upala Carma nampak semakin gelisah, namun tidak
menjawab.
“Dua….!” Arundhati melanjutkan hitungannya. Upala Carma
masih belum juga menjawab. Arundhati terus berhitung dengan tanpa jawaban dari
Upala Carma.
“Sembilan! Baiklah Upala Carma, pada hitungan kesepuluh nyawamu
akan melayang kuantar dengan gumpalan api Cidrapati!”
Tangan kanan Arundhati mengepal dengan selubung putih cerah
sangat menyllaukan. Itulah perwujudan api Cidrapati. Upala Carma terlihat
sangat ketakutan. Sementara Arundhati sangat serius. Dia tidak peduli bahwa
Upala Carma sangat meriundukan anak-anaknya. Risiko terhadap umat manusia jauh
lebih besar. Dia benar-benar berniat unutk membunuh.
“Baik! Baiklah aku menyerah….! Aku akan bertobat dan
menjauhi gerombolah Dhemit Bacira maupun Tamomaya! Meksipun aku harus menjadi buron
bekas teman-temanku!”
Upala Carma akhirnya menyerah dan menyatakan bertobat. Api
Cidrapati di tangan Arundhati juga sudah lenyap.
“Kamu tidak akan dikejar-kejar bila kamu mau bertobat dan
bergabung bersama Sanca Budjangga!”
Entah kenapa Arundhati menyarankan Upala Carma untuk
bergabung dengan Sanca Budjangga.
“Baik, baik, aku mau bertobat, aku mau bertobat”
Mendengar pernyataan Upala Carma yang mau bertobat,
Arundhati mendekati kandang Upala Carma. Berdiri di samping Upala Carma sambil
berkacak pinggang. Gak usah dibayangin bagaimana degelnya Arundhati perempuan
berbadan mungil berkacak pinggang di dekat Upala Carma, makhluk mirip Gollum
namun berpostur tinggi.
Arundhati tersenyum sambil masih tetap berkacak pinggang.
“Betul, kamu mau bertobat?” tanya Arundhati ingin ketegasan
Upala Carma.
“Iya… Iya.. saya mau tobat. Capek ngikutin Dhemit Bacira!”
jawab Upala Carma keras dan tegas.
“Baiklah!”
Arundhati mengayunkan tangan kanannya ke arah kandang Upala
Carma. Ketika tangannya menyentuh, jeruji kandang seperti tersapu mengikuti
gerakan tangan Arundhati yang berhenti mendarat pada punggung Upala Carma. Seluruh
bentuk kandang terserap ke punggung Upala Carma. Upala Carma mendadak seperti tersentak,
terdorong hampir terjungkal ke depan.
Sambil menahan laju tubuhnya agar tidak terjungkal, Upala
Carma beteriak, “Ada apa ini?”
“Kamu telah bebas sekarang!” jawab Arundhati santai sambil
meraih batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Arundhati duduk sambil
memperhatikan Upala Carma.
“Bebas?” tanya Upala Carma
“Iya, bebas! Sekarang pulanglah. Anak-anakmu sudah
menunggu!”
Tanpa diduga-duga, Upala Carma malah sambil berjoget-joget mendekati
Sekar Kenanga, “Ha ha ha….! Murid Alang-alang Segara Wedi, namanya doang yang
menakutkan. Ternyata mudah dibohongi. Upala Carma tidak pernah punya anak! Ha ha ha ha….!”
Arundhati masih terdiam tersenyum sambil terus memperhatikan
Upala Carma yang berjoget dan semakin mendekat ke arah Sekar Kenanga. Namun, semakin mendekat ke arah Sekar
Kenanga, langkah Upala Carma semakin berat. Setelah merasakan ada yang berubah
pada dirinya, Upala Carma berhenti dan menoleh ke arah Arundhati.
“A… ada apa ini?” tanya Upala Carma gugup.
Arundhati berdiri, dan berjalan santai ke arah Sekar Kenanga
sambil berujar kepada Upala Carma, “apa kamu tidak melihat kakimu?”
Upala Carma melihat ke kakinya dan kaget luar biasa, karena
ternyata kakinya sudah menghitam seperti batu gunung sampai ke lutut, “Apa
apaan ini?”
Arundhati tidak menjawab. Dia sibuk membangunkan Sekar
Kenanga. Upala Carma sangat marah dengan sikap cuek Arundhati. Namun semakin
marah, justeru perubahan tubuhnya semakin cepat. Upala Carma meronta-ronta
minta ampun, namun sudah terlambat. Ketika perubahan mencapai jantungnya, Upala
Carma tidak meronta-ronta lagi. Gelombang kemarahanya masih menguasai sisa
tubuhnya yang membuat proses perubahannya menjadi sempurna. Upala Carma telah
berubah menjadi patung batu yang terlihat meronta.
Tanpa menghiraukan kejadian yang menimpa Upala Carma,
Arundhati berjongkok meraih kepala Sekar Kenanga, dia gerakkan sampai menyentuh
pundaknya. Setelah berhasil membangunkan Sekar Kenanga, Arundhati segera membimbing
Sekar Kenanga untuk berdir dan memapahnya..
Sekar Kenanga yang telah kembali ke dengan pakaian
compang-camping agak heran dengan penampilan Arundhati yang mengenakan jubah
dan kerudung putih gading. Biarpun masih limbung, pandangan Sekar Kenanga tidak
kabur. Dia heran dengan suasana sekelilingnya, dia tidak macan-macan kumbang
tadi. Dia juteru melihat ada sebuah patung berdiri di dekatnya.
“Di mana kita? Dimana mBakyu siapa itu? Dan itu patung apa?”
Arundhati menjawab dengan santai, “patung ini? Ini adalah
Upala Carma yang telah bertahun-tahun bercokol dalam kesadaranmu!”. Sambil
menjelaskan kepada Sekar Kenanga, tangan kiri Arundhati membuat gerakan
berputar. Bersamaan dengan putaran tangan Arundhati, sebuah sinar putih yang
sangat menyilakan terlihat keluar dari patung Upala Carma. Bersamaan dengan
keluarnya sinar putih itu, patung Upala Carma justeru terlihat terbakar. Sekar
Kenanga kaget melihat proses barusan, dan lebih kaget lagi ketika dia kemudian
menyadari bahwa mereka sekarang sudah kembali ke hutan di Semali dan terlihat
Sweta Nandini masih bersiaga.
“Awas, Ayun! Kamu hajar semua yang dari arah belakang!”
teriak Sweta Nandini. Di depan Sweta Nandini, nampak beberapa ekor macan
kumbang yang tergeletak pingsan. “pukul bagian gerahamnya, untuk mengeluarkan
energi kendali dari tubuhnya tanpa membunuhnya!”
“Hajar? Apanya yang dihajar?” Arundhati yang sudah ada di
posisi semula menjawab dengan santai. Dari gerak tubuhnya, nampak Sweta Nandini
bingung. Kepalanya seperti sedang berfikir sesuatu. Sepertinya, Sweta Nandini
baru menyadari bahwa macan-macan kumbang yang mengepung mereka sudah tidak ada
lagi. Sweta Nandini berdiri tegak dengan kedua tangan di samping. Dan seperti
seorang komandan upacara, dia berbalik ke arah Arundhati. Wajah kesal dan gemas
nampak memancar kuat dari mukanya. Sekar
Kenanga ketakutan, namun Arundhati malah tersenyum.
“Ayun……! Kenapa kamu gak ajak aku menghabisi macan-macan
itu?”
Sweta Nandini tahu, Arundhati pasti telah mengacak-acak
hukum fisika lagi. Baginya ini sebuah petualangan yang sangat mengasikkan,
namun kemampuan ini hanya dipunyai oleh Arundhati. Bahkan Sitakara dan Ansuman
pun tidak punya kemampuan ini. Ki Ageng Turangga Seto dan Niken Landjar Sekar
Kenanga, konon memiliki kemampuan yang sama. Namun, tidak ada yang menyamai kemampuan
Arundhati. Bagi Arundhati, kemampuan ini dapat dia gunakan sama seperti saat
dia berbicara.
“Menghabisi apa, orang aku cuma mengembalikan mereka ke
habitatnya di India. Ayo kita jalan lagi! Sekar, kamu masih kuat bukan?” Santai
Arundhati menjawab sambil kemudian bertanya kepada Sekar Kenanga. Sekar Kenanga
mengangguk. Arundhati dan Sekar Kenanga kembali berjalan, Sweta Nandini masih
tetap berdiri. Sekar Kenanga berjalan melewati Sweta Nandini. Arundhati membungkuk ketika melintas di depan
Sweta Nandini, “ndherek langkung, mbak!”
Sweta Nandini tidak bergerak sama sekali ketika Arundhati
dan Sekar Kenanga meninggalkannya. Dia cuma memandangi mereka dengan kesal. Namun, lama-lama dia merasa gak enak juga
ditinggal sendirian. Sweta Nandini berlari mendekati Arundhati dan Sekar
Kenanga.
“Wooi… tunggu!”
Selangkah mendekati Arundhati dan Sekar Kenanga, Sweta
Nandini menyadari bahwa saat ini mereka sudah tidak berada lagi di bukit hutan
di Semali. Tapi ada di suatu tepi sebuah lapangan. Bila dia liat ke sebelah
kiri depan, nampak sebuah bangunan benteng peninggalan Belanda yang telah
dirusak dengan penambahan jalur kereta mainan di atapnya.
“Di mana ini Ayun?” Sweta Nandini bertanya kepada Arundhati,
“Lapangan Sekip, kalau ayah saya bilang!” pertanyaan Sweta
Nandini dijawab oleh Sekar Kananga.
“Lapangan…?” tanya Sweta Nandini terheran-heran, “kok bisa?”
“Tadi mBaku Arundhati tanya ke saya, ada gak tempat yang
jarang ada orangnya. Pas saya membayangkan lapangan ini, tiba-tiba kita sudah
ada di lapangan ini.”
“Baiklah, Ayun, permainan apa lagi ini?” kekesalan Sweta
Nandini semakin memuncak, Arundhati cume menanggapi dengan senyuman.
“Katanya kamu capek tadi, ini udah Ayun bantu lho biar gak
capek jalab kaki!’
“Tapi jangan di lapangan juga kali. Panas tahu…..!” protes
Sweta Nandini.
“Ah, kamu protes melulu!” timpal Arundhati dan disambut
tertawa oleh Sekar Kenanga. Sweta Nandini cuma bisa diam ngempet rasa kesalnya.
Sambil menunjuk ke arah sebuah pohon yang rindang di tepi
lapangan, jubah dan kerudung putih gading Arundhati berubah kembali menjadi seperti
saat dia pergi, “ayo kita ke sana, itu ada pohon yang cukup rindang!”. Sweta Nandini dan Sekar Kenanga mengangguk.
Mereka bertiga berjalan menuju ke pohon rindang yang ditunjuk oleh Arundhati.
Sesampainya di bawah pohon Rindang itu, Sweta Nandini dan Sekar
Kenanga bingung mau duduk di mana. Namun, tiba-tiba Arundhati menggelar tikar
dan duduk.
“Silakan duduk!”
Sekar Kenanga semakin bingung, tapi tidak tahu apa yang akan
dia tanyakan,
“Ayun, ini tiker kamu ambil dari mana? Halal gak nih kalau
Dini dudukin?” tanya Sweta Nandini memastikan status tikar yang digelar oleh
Arundhati. Sweta Nandini tahu bahwa ini bukan sihir Arundhati. Sekali lagi,
pasti dia baru mengacak-acak hukum fisika.
“Halal, ini tadi sebelum berangkat aku lihat ada tiker
pandan yang dilipat di teras. Barusan aku ambil ini.”
“O.. gitu. Baiklah!” Sweta Nandini melepas alas kakinya dan
duduk di atas tikar, “Sekar, duduk! Halal ini, bukan barang curian!”. Setelah duduk di tiker, Sweta Nandini
menyuruh Sekar Kenanga untuk duduk juga.
Setelah mereka bertiga duduk di atas tikar, Sekar Kenanga
yang ternyata tidak sabar ingin menanyakan sesuatu langsung buka suara
mendahului Arundhati dan Sweta Nandini yang sudah bersiap membuka mulut.
“Mohon maaf mbakyu berdua. Sebenarnya, banyak sekali yang Sekar
ingin tanyakan kepada mBakyu berdua. Pertama, kenapa mBakyu berdua yang
sepertinya bukan orang sini dan apalagi bukan orang Semali, namun tadi ada di
Semali dan terima kasih telah menolong Sekar. Kedua, terkait yang pertama, saya
heran kenapa mBakyu berdua tahu nama Sekar dan begitu yakin dengan nama Sekar
mekipun kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Dan bila saya lihat, sepertinya
mBakyu berdua ini begitu senang saat memastikan bahwa nama saya memang Sekar
Kenanga?”
Arundhati yang sudah membuka mulutnya, terpaksa mengatupkan
mulutnya lagi. Sementara, Sweta Nandini justeru berimprovisasi dengan merubahnya
untuk menjawab pertanyaan Sekar. Meskipun itu harus disela dengan menelan ludah
terlebih dulu.
“Gini Sekar. Saya, Sweta Nandini dan ini Arundhati, kami
berdua memang sedang mencari seseorang yang bernama Sekar Kenanga. Ada banyak
hal yang tidak bisa kami ceritakan selain harus kamu alami sendiri. Termasuk bagaimana instink kuat Arundhati menuntun
kami ke bukit di hutan di Semali tempat pertemuan kita tadi. Teruskan, Ayun….!”
Karena banya yang tidak ia ketahui dari pengalaman hari ini,
Sweta Nandini meminta Arundhati untuk meneruskan caritanya.
“Terusin aja….!” jawab Arundhati ogah-ogahan.
“Issh…. Saya kan banyak gak tahu!” lanjut Sweta Nandini
merajuk. Arundhati tersenyum.
“Sekar. Di dunia ini kita sering bermimpi. Namun, karena
pengalaman mimpi kita Cuma mencapai lapisan pertama saja, maka bentuk mimpi
kita cuma berupa mozaik-mozaik tak beraturan. Namun, bila kamu mampu mencapai
lapis kedua, maka kamu akan menemui dunia yang utuh. Ini mirip multiverse di
film marvel. Namun seperti teori tentang multiverse, tidak semua orang mempunyai
avatarnya di lapis kedua itu. Ayun dan Dini
merupakan beberapa orang yang mempunyai avatar kami di lapis kedua dimensi
mimpi. Nah, di lapis kedua dunia mimpi, kami mempunyai saudara seperguruan yang
bernama Niken Landjar Sekar Kenanga. Guru kami yang tidak mempunyai avatar atau
versi di dimensi utama, merasa yakin bahwa Niken Landjar Sekar Kenanga
mempunyai avatar atau versi di dimensi utama. Beliau memberikan amanah kepada Ayun
untuk mencari keberadaan versi dimensi utama dari Sekar Kenanga. Mungkin guru
yakin bahwa Ayun yang sering bergerak karena instink, dapat memanfaatkan instink
dalam pencarian Sekar Kenanga. Nah, tadi waktu ketakutan dikejar-kejar sama
Sanca Budjangga Ayun merasakan kehadiran Sekar Kenanga pada diri kamu. Apalagi
ketika ketakutan kamu sangat kuat. Kehadiran Sekar Kenanga terasa sangat kuat.
Nah, ketika kamu Ayun bawa ke padang rumput di India, tanpa sengaja Ayun telah
juga membebaskan kamu dari pengaruh makhuk persepsi Upala Carma yang menghambat
terhubungnya kamu ke lapis kedua dimensi mimpi!”
Ada sekian panjang kali lebar Arundhati menjawab pertanyaan Sekar
Kenanga.
“Sekarang, Ayun mau memastikan, apakah betul kamu bernama
Sekar Kenanga?” Arundhati balik bertanya kepada Sekar Kenanga.
“Mohon maaf, mBakyu, namun satu pertanyaan lagi mohon
dijawab. Saya baru ingat ketika berada di padang savana, saya dibawa terbang
tinggi sekali dan kemudian saya dilempar kebawah sehingga, mohon maaf karena
ketakutan saya yang amat sangat, sumpah serapah saya kepada mbakyu keluar semua
sampa kemudian saya tidak mampu mengingat apapun. Namun, dalam ketidaksadaran
saya terlintas kilatan-kilatan semacam pengalaman saya sendiri entah kapan!”
Nggak di lapis kedua, nggak di dimensi utama yang bernama
Sekar Kenanga memang kalau ngomong rapih banget. Ini membuat Sweta Nandini
terkikik-kikik menahan tawa. Namun tidak
dengan Arundhati. Dia malah agak sedikit takut bila itu memang benar-benar
Sekar Kenanga. Jangan-jangan yang versi ini nanti juga bakal menghaturkan sembah
kepadanya?
“Tadi itu… Ayun sangat yakin bila kamu masuk ke dalam
situasi nol, maka akan membantu saudara Ayun di lapis kedua dunia mimpi untuk
membentuk hubungan dengan kamu. Makanya Ayun lempar kamu!” Arundhati menjawab
dengan suatu alasan yang secara normal pasti akan mentrigger penyanggahan.
“Namun mBakyu, apakah mBakyu tidak memperhitungkan bila perhitungan
mBakyu salah? Apakah itu tidak kemudian saya akan terus jatuh dan mati?” kejar Sekar
Kenanga yang dibalas senyuman oleh Arundhati. “Tidak akan, karena Ayun bisa
bergerak jauh lebih cepat dari kecapatan jatuhmu!”
Sekar Kenanga ndomblong, Sweta Nandini menimpali, “jangan
kuatir, Ayun selalu punya cara, dan kamu sudah merasakannya!”
“Nah benar juga dugaanku, ketika kamu mencapai nol, saudara
kami di lapis kedua telah mencapai tubuhmu dan mengirimkan sebagian memorynya
kepadamu. Makanya seperti yang kamu bilang, tadi ada seperti kilatan-kilatan
pengalaman entah kapan. Itu adalah memori dari Sekar Kenanga versi lapis kedua
dunia mimpi. Dan mulai hari ini kedepan, kamu akan menerima
pengalaman-pengalaman dari lapis kedua. Pada beberapa situasi, mungkin kepalamu
akan merasa kesakitan. O, ya saat kamu jatuh tadi, kamu sempat berubah
mengenakan jubah dan kerudung putih gading khas murid Alang-alang Segara Wedi”
Mendengar penjelasan Arundhati, Sekar Kenanga terdiam. Arundhati
dan Sweta Nandini seperti sengaja memberikan waktu hanya untuk Sekar Kenanga.
Setelah beberapa saat kemudian, Sekar Kenanga mulai berbicara.
“Mohon maaf kepada mBakyu berdua yang sudah Sekar repotkan.
Benar, sewaktu kecil saya memang pernah menggunakan nama Sekar Kenanga.
Lengkapnya Niken Sekar Kenanga. Namun, karena saya sering bertingkah yang
aneh-aneh dan kadang membahayakan diri saya, kemudian Ayah merubah nama saya
menjadi Lanjar saja. Lanjar dari kata lanjaran atau bambu atau batang lain yang
digunakan petani sebagai tempat untuk merambat tanaman kacang panjang, atacu
kecipir. Ayah berharap agar dengan nama Lanjar ini akan menjadi sandaran yang
kuat agar saya tumbuh dengan normal. Dan betul saja, setelah menggunakan nama
ini, saya memang menjadi pendiam. Bukan karena saya berubah, namun saya malu
karena Dewi Lanjar adalah nama penguasa pantai utara tempat orang mencari
pesugihan. Dan apalagi setelah menggunakan nama itu, saya sering bertemu ular
jadi-jadian. Dan puncaknya adalah bertemu degnan Sanca Budjangga”
Arundhati mendengarkan penjelasan Sekar Kenanga dengan
seksama, dan dia sangat puas karena ternyata memang benar dia adalah orang yang
terlahir dengan nama Sekar Kenanga.
“Baiklah Sekar, karena memang kamu sejatinya adalah Sekar
Kenanga, maka pakailah lagi nama itu. Versi kamu di lapis kedua dimensi mimpi pun
bernama lengkap Niken Lanjar Sekar Kenanga. Nama terpanjang di antara kami.
Setelah mendengar penjelasan kamu, kami mengerti mengapa namanya bisa sepanjang
itu. Kemudian mengenai ular jadi-jadian, Ayun jamin itu tidak berhubungan
dengan Sanca Budjangga. Dia itu memang pemuja rahasia Sekar Kenanga, dan nanti
kamu juga akan tahu. Namun dia bukan jenis makhluk persepsi yang jahat seperti
Upala Carma yang telah terbunuh karena tingkahnya sendiri.”
Sekar Kenanga tersenyum mendengarkan penuturan Arundhati.
Setelah saling mengungkap identitas, kemudian mereka bertiga
terlibat dalam pembicaraan yang sangat cair. Mereka saling bercerita dengan
candaan-candaan mereka. Namun, semakin kemari gaya berbicara Sekar Kenanga
semakin kaku. Arundhati dan Sweta
Nandini sudah paham itu. Namun tiba-tiba wajah Sekar Kenanga berubah seperti
orang ketakutan. Sekar Kenanga berdiri dan pakaian yang dia kenakan berubah
menjadi jubah dan kerudung putih gading, mundur, dan kemudian berlutut dengan
lutut kanan menyentuh tanah sementara kedua tangannya dia tangkupkan di lutut
kiri. Kepala menunduk.
“Mohon maaf, paduka tuanku putri Arundhati Striratna atas
kelancangan hamba yang telah menganggap tuanku putri hanya sebagai teman
seperti biasanya!”
Arundhati hanya tertawa melihat tingkat Sekar Kenanga yang
tiba-tiba memberikan penghormatan formal itu.
“Dini, kalau begini Ayun semakin yakin kalau itu memang Sekar
Kenanga?” kata Arundhati kepada Sweta Nandini dengan nada meminta pertimbangan.
“Betul! Tapi kenapa secepat ini dia melakukan penyelarasan
dengan Sekar di sana?” jawab Sweta Nandini yang malah kemudian balik bertanya
tentang progress Sekar Kenanga.
“Iya, ya!” Arundhati mengiyakan, namun setelah diam sebentar
dia teriak lirih, “Aha… la memang penyelarasan ini dilakukan secara khusus
dengan melibatkann Ayun dan Yu Ara juga!”
“Hm…!” Sweta Nandini cuma menjawab dengan gumaman.
“Ha ha ha…. kamu lagi jalan sama kang Suman cari minyak
goreng!” Arundhati tertawa meledek Sweta Nandini yang memang di lapis kedua
dimensi mimpi sedang tidak bersama Arundhati dan Sitakara karena sedang
membantu orang dapur mencari minyak goreng.
“Bener-bener, gak di dimensi utama, gak di dimensi mimpi
minyak goreng langka!”. Kali ini, muka Sweta Nandini benar-benar keliatan
kesal.
“ha ha ha…. ya ya ya…. Penyelarasan hari ini sudah selesai!”
Arundhati kemudian berdiri dan mendekati
Sekar Kenanga yang masih berlutut.
“Sudah sudah sudah, Sekar. Ini udah jaman modern, udah gak
musimnya berlutut seperti itu, Arundhati memegang pundak Sekar Kenanga dan
membimbingnya untuk berdiri. Namun, setelah berdiri, Sekar Kenanga justeru
limbung dan jatuh. Untung, Sweta Nandi sigap menangkap tubuh Sekar Kenanga.
Kemudian Arundhati dan Sweta Nandini merebahkan Sekar Kenanga ke tikar
pandan. Mereka berdua pernah mengalami
ini ketika pertamakali melakukan penyelarasan. Ini adalah masa paling lemah
mereka. Oleh karena itu mereka berdua memutuskan untuk menemani Sekar Kenanga
sampai dia terbangun.
Sambil menemani Sekar Kenanga kedua baik Arundhati maupun
Sweta Nandini tidak saling berbicara. Arundhati sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan
yang tiba-tiba muncul. Sweta Nandini sibuk dengan pertanyaan tentang apa yang
dikatakan Arundhati tadi. Jenuh dengan keheningan, akhirnya Sweta Nandini pun
bertanya juga, “Ayun, tadi kamu menyinggung Ibu Retna Nawangsih, ibunya Yu Sita.
Emang kenapa dengan beliau?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Arundhati tidak langsung
menjawab. JIdatnya terlihat menggerenyit.
Mukanya kelihatan serius.
“Dini, apa kamu tidak pernah berfikir bahwa beberapa
kejadian terakhir ada hubungannya dengan Ibunda Yu Ara?”
“Sepertinya aku gak akan menjawab, karena kamu sendiri pun
mestinya tahu bahwa aku gak akan kepikiran seperti itu. Justeru aku yang
bertanya, kenapa muncul nama Ibu Retna Nawangsih?”
Arundhati terpaku sejenak. Dan memang betul bahwa dia tidak
meyakini bahwa Sweta Nandini akan punya pemikiran seperti itu. Arundhati
tersenyum.
“Ibu Retna Nawangsih sepertinya tahu apa yang kita alami
hari ini. Intuisiku mengatakan demikian. Dan, dalam pertarungan tadi, Ayun
merasakan kehadiran dari kesadaran beliau”
Sweta Nandini tertegun mendengar penjelesanan Arundhati.
Sweta Nandini awalnya cuma berfikir bahwa Arundhati hanya sekedar mencari Sekar
Kenanga seperti amanah yang telah diberikan oleh Ki Gagak Seto. Ternyata ada hal yang berbeda yang dipikirkan
oleh Arundhati dan tidak terpikirkan olehnya.
“Ya sudah, Dini, kita ngomongin yang lain aja ya, sambil
nungguin putri tidur ini!” ujar Arundhati sambil tersenyum.
0 comments:
Posting Komentar