Senin, Oktober 23, 2023

{18} Pencarian


 Siang ini sehabis istirahat kedua, suasana kelas Arundhati sangat ramai. Ibu Nastiti yang seharusnya mengajar Fisika pada jam ini kebetulan sedang berhalangan hadir sementara guru pengganti tidak tersedia.  Terlalu banyak guru yang berhalangan hadir hari ini. Arundhati asik sendiri di tempat duduknya. Ia nampak menggores-gores kertas HVS putih dengan sebuah pensil.  Sesekali dia picingkan matanya, dia angkat kertasnya, dan kemudian ditaruhnya lagi dan menggores lagi.

Di tempat lain, Sweta Nandini pun asik di tempat duduknya. Pandangannya tidak lepas ke arah Arundhati. Dia memperhatikan terus tingkah kawannya itu sambil sesekali tersenyum.  Ada rasa penasaran yang hinggap di kepalanya, namun masih dia tahan untuk menanyakan langsung ke Arundhati. Saat gerakan Arundhati menggores-gores kertas putih di depannya mulai berkurang, Sweta Nandini tak lagi bisa menahan keingintahuannya. Ia berdiri dan berjalan mendekati bangku Arundhati.  Sampai di belakang Arundhati, Sweta Nandini memegang pundak Arundhati sambil bertanya, “lagi ngapain?”

Arundhati terlonjak kaget mendengar pertanyaan itu. Namun, Arundhati malah tertawa demi menyadari apa yang barusan terjadi pada dirinya. Teman-temannya yang ada di sekelilingnya yang kebetulan melihatnya sontak ikut tertawa.  Pipi Arundhati terlihat memerah menahan malu. Namun, belum lagi Arundhati menjawab pertanyaan Dini, dari arah depan terdengar suara Ketua Kelas mengumumkan sesuatu.

“Dengar saudara-saudara!” teriak ketua kelas dengan gaya formal yang disambut dengan  “huuuuuu……!” oleh kawan-kawannya. Ketua kelas cuma nyengir sambil melanjutkan teriakannya,

“Mengingat bahwa Ibu Nastiti berhalangan hadir serta menimbang bahwa saat ini adalah jam pelajaran terakhir tanpa guru pengganti kami telah memutuskan untuk menanyakan kepada Kepala Sekolah yang mana kemudian Kepala Sekolah membolehkan kita untuk…… Pulang……..!”

Kali ini teriakan ketua kelas disambut suka-cita oleh warga kelas Arundhati. Ada yang teriak asik, ada yang teriak jos, ada yang teriak alhamdulillah, namun tidak ada yang teriak huu.

Arundhati meremas kertas putih yang barus dia corat-coret dan melemparkanya ke depan, percis masuk ke tempat sampah di samping kanan papan tulis. Jarak yang cukup jauh untuk melakukannya dengan tepat dan akurat sebenarnya. Arundhati segera meraih tasnya, memasukkan kembali semua barangnya yang tergeletak di atas meja ke dalam tasnya dan segera bergegas meninggalkan mejanya sambil membisikkan suara ke telinga Dini, “Ayun tunggu di depan, dekat pohon kemuning”.  Sweta Nandini tidak sempat menjawab, apalagi menanyakan gambar apa yang dibikin, Arundhati sudah berlari keluar kelas. Dia berlari ke arah pohon kemuning di dekat pintu gerbang sekolahan. Tak lama kemudian, tampak Sweta Nandini menyusul.  Kemudian, mereka berdua nampak bercakap serius dan segera keluar melalui gerbang sekolahan ke kiri. Mereka berdua menyusuri trotoar di pinggir jalan yang mengarah ke hutan kota. Suasana masih sepi karena memang belum jam pulang sekolah.  Arundhati mengerahkan kesadarannya untuk mendeteksi kehadiran orang lain pada radius limapuluh meter. Setelah memastikan tidak ada orang pada area itu, Arundhati meminta Sweta Nandini untuk melihat apakah ada orang di sekeliling mereka.

“Dini, coba kamu tengok kiri-kanan, ada orang gak”

“Tar…. Tid…” belum selesai Sweta Nandini menjawab, Arundhati telah memegang tangan Sweta Nandini dan tahu-tahu mereka sudah berdiri di teras rumah Arundhati, “dak….!”

Meskipun Arundhati sudah pernah membawanya berteleportasi, namun tetap saja ketika sampai di rumah Arundhati dalam sekejap, Sweta Nandini masih dibuat terkagum-kagum dengan kemampuan gadis teman sekelasnya ini. “Kamu tunggu di sini, saya masuk dulu!”. Sweta Nandini mengangguk.

Di dalam rumah Arundhati cuma ada Bulek  Tantri yang sedang memasak. Ibu dan Bapak kebetulan sedang menengok sawah di sebelah Timur Utara dekat rel kereta api.

“Assalamu’alaikum….!” Arundhati uluk sama saat memasuki rumah yang kebetulan tidak terkunci.

“Wa’alaikum salam!” terdengar Bulek Tantri menjawab salam Arundhati dari dalam rumah.

“Bulek… Sendirian?” sapa Ayun basa-basi sambil teriak. Mereka memang tidak ngobrol berhadap-hadapan.

“Iya, Ayun…!”

“Man Sardi ke mana?” tanya Ayun sambil masuk ke kamar.

“Ikut Bapak sama Ibu tengok sawah!”

“Wah, ada apa? Tumben Man Sardi ikut ke sawah.”

“Itu Ayun, kata orang, sawah kita dan sawah beberapa orang yang dekat dengan sawah kita berantakan seperti habis buat main sama babi hutan atau apa entah yang pasti kata orang-orang, batang padi pada rubuh berantakan!”

Arundhati kaget mendengar jawaban dari Bulek Tantri.

“O, Gitu  Bulek? Sudah ketahuan itu kelakuan siapa?”

“Belum Ayun, makanya ini tadi Man Sardi ikut. Entah buat apa, cuma kata Bapak sama Ibu siapa tahu nanti bisa bantu. Tadi, Pak Lurah juga ikut ke lokasi sepertinya!”

“O, Pak Lurah sudah ke lokasi juga?”

“Sudah, tadi berangkatnya juga bareng sama Bapak sama Ibu!”

“Ok, makasih Bulek… saya mau pergi dulu ya Buleki Tantri!”

Arundhati langsung bergegas keluar tanpa menemui bibinya. Dengan setelah jubah dan kerudung biru muda, Arundhati menemui Sweta Nandini yang masih menunggu di luar.

“Maaf kalau kelamaan. Sekarang kita ke rumah mu, setelah itu kita pergi”

“Pergi? Pergi kemana Ayun, ke sawahmu? ada apa di sawah kamu, Ayun. Tadi aku dengar bulek Tantri juga teriak-teriak tentang sawah”

Arundhati tersenyum lebar. Percakapannya dengan bulek Tantri ternyata didengar oleh Dini.  Namun, kali ini tanpa memegang anggota tubuh Dini, Arundhati telah berhasil memindahkan Sweta Nandini ke rumahnya.  Sweta Nandini yang tidak menyadari kelakuan Arundhati, masih menunggu jawaban Arundhati.

“Sudah Dini ganti baju, Ayun tunggu Dini di sini. Di luar saja!”

Dini bengong, Tanpa melakukan kontak dengan anggota tubuhnya, Arundhati telah berhasil membawanya berteleportasi dari rumah Arundhati ke rumahnya. Ini sudah mirip dengan kemampuan  Ki Ageng Turangga Seto.

Dini segera bergegas ke dalam rumahnya. Juragan Badrun yang sedang leyeh-leyeh di sofanya.

“Assalamu’alaikum!” Sweta Nandini uluk salam dan dijawab oleh juragan Badrun, “wa’alaikum salam! Dini sudah pulang?”

“Sampun, Pak! Nganu, Pak! Keleresan bu Nastiti tidak dapat hadir hari ini, sementara guru lain juga sedang menggantikan guru-guru yang tidak masuk. Jadi deh pulang lebih awal”

“Oh… gitu?”

“Hala Ya… nggih ngaten!” jawab Sweta Nandini sekenanya sambil masuk ke kamarnya.  Ayahnya tertawa mendengar jawaban Sweta Nandini. Setelah berganti pakaian dengan setelan warna hijau pareanom, Sweta Nandini mendekati ayahnya sambil mengecup dahi ayahnya, Sweta Nandini pamit mau pergi.

“Dini, mau pergi dulu ya, Pak?”

“Halah kok, baru pulang sudah mau pergi. Sama siapa perginya?”

“Sama Ayun, Pak!”

“Oh, Ayun yang tukang tidur itu?”

Swetat Nandini tertawa mendengar pertanyaan ayahnya.

“Sampun mboten Pak, dia sekarang gak tukang tidur lagi. Sekarang malah hebat dia! Mungkin pas lagi tidur panjang kemarin dia belajar sama maha guru tak terdengar mungkin!” Jawab Sweta Nandini sambil bercanda.

Juragan Badrun tertawa, dia paham. Juragan Badrun memang sering menemani anaknya uji bertarung dengan Arundhati. Dia tahu bahwa Arundhati sudah melampaui Sweta Nandini anaknya. Dan, dia juga sering memberikan arahan untuk memperbaiki jurus-jurusnya. Juragan Badrun merasa merasa aman kalau anaknya pergi bersama Arundhati. Disamping anaknya memang sudah tinggi kemampuannya, bila pergi dengan seseorang yang lebih tinggi kemampuannya mestinya tidak ada yang perlu ditakutkan lagi.

“Mana Ayun nya?”

“Di luar, Pak. Kita sedang buru-buru ada tugas!”

“Oh, gitu… Ya udah sana. Hati-hati ya….!”

Setelah salim kepada ayahnya, Sweta Nandini langsung ngeloyor sambil mengucap salam. “Nggih Pak! Assalamu’alaikum!”.

“Wa’alaikum salam!”

Juragan Badrun cuma geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat anak perempuannya yang terlihat sok sibuk kali ini.

Sesampainya di luar, Arundhati segera menggamit tangan Dini.

“Ayo!”

Dini sudah tidak kaget dengan kelakuan Arundhati yang seperti ini. Dia sudah hapal benar karena sudah dari SD dia begitu.

“Ayun, mau kemana kita?”  tanya Sweta Nandini penasaran dengan semua ketergesa-gesaan Arundhati.  Arundhati tidak menjawab karena saat ini mereka telah berada di tempat lain. Saat ini mereka ada di puncak sebuah bukit.

“Ayun, di mana ini?” tanya Sweta Nandini sekali lagi, dengan pertanyaan yang berbeda. Arundhati tersenyum

“Aku sudah mencuri ingatan bapak. Salah satunya ya tempat ini. Saat ini mungkin kita ada pegunungan Indrakila. Aku juga gak tahu pasti, tapi kalau kita turun ke arah selatan sana kita akan melewati Semali, Pekuncen, dan sampai ke Kota!” terang Arundhati sambil melihat ke sekeliling sambil mebentangkan kedua tangannya dan berputar.

“Sebentar, kamu….. mencuri…. Ingatan bapakmu? Bagaimana caranya?”

Arundhati berhenti berputar dan mendekati Sweta Nandini sambil berbisik, “ngobrol sama bapak sambil mancing-mancing cerita!”

Dini yang telah bersiap untuk mendapatkan kejutan baru dari Arundhati agak sedikit merasa terkecoh, namun dia paham kedegilan Arundhati dan bahkan kemudian dia tertawa.

“Kamu, ada-ada aja. Kirain kamu sudah mampu memasuki alam pikiran orang lain. Ngeri aku kalau kamu udah kayak gitu!”

Arundhati tertawa , “Ha ha ha…. ya ndhak lah! Ayun tuh Cuma mampu memahami apa yang tampak saja. Cuma, sepertinya Allah memberikan kemampuan analisa yang terlalu sensitif sehingga fakta paling detil sekalipun tidak sempat menghindar dari pengamatan Ayun. Kemudian, berkat bimbingan Yu Ara, Ayun mampu mengelola hal lain yang ada dalam diri Ayun. Dan ini mungkin aneh bila dilihat orang normal. Makanya Ayun gak berani menunjukkan selain ke orang-orang yang sama dengan Ayun! Ya sesekali ke Bapak sama Ibu, buat tahu reaksi mereka. Sejauh ini sih ya….” Arundhati menahan kata-katanya sambil tersenyum pada Sweta Nandini. Sweta Nandini tidak bereaksi. Entah kenapa, mungkin sedang ada yang dia pikirkan. Arundhati melanjutkan, “sampai saat ini mereka biasa-biasa saja, tidak merespon apapun. Mereka berbuat seperti tidak ada apa-apa. Dan itu baik buat Ayun!”

“Jangan orang normal, menurut aku aja kamu udah aneh Ayun!”, sahut Sweta Nandini terlambat mengomentari cerita Arundhati.

Arundhati tertawa saat mendengar komentar Dini.

“Ha ha ha ha ha…. Jadi kamu gak normal, ya Din?”

Dini kaget, dia baru menyadari bahwa komentarnya memang berpotensi salah arti.

“Ya… ya normal sih, masa gak normal? Orang secantik Sweta Nandini Satrianingsih anak kesayangan Juragan Badrun masa gak normal sih?”

Sweta Nandini mengkoreksi komentarnya sambil memuji dirinya sendiri. Arundhati tersenyum mendengar koreksi dari temannya.

“Ayun, terus kenapa kamu mengajak aku ke mari”, tanya Sweta Nandini kemudian.

Arundhati tidak langsung menjawab. Dia berjalan menuju ke satu batu hitam di bawah pohon kelapa tak jauh dari posisi Dini. Setelah melakukan beberapa gerakan standar, seperti menepuk-tepuk batu membersihkan area yang mau diduduki misalnya, Arundhati dengan sedikit melompat kemudian terduduk di atas batu.

“Yu Ara adalah putri dari Ibu Retna Nawangsih. Dia punya kisah masa lalu dengan Bapak!” Sambil duduk, Arundhati menjelaskan hubungan ayahnya dengan Ibu Sitakara.

“Lalu, apa hubungannya dengan kita?” tanya Sweta Nandini penasaran. Arundhati, memandangi Sweta Nandini. Kemudian, dia menunduk dan mengambil kerikil. Sambil melihat ke tempat lain Arundhati melempar-lemparkan batunya. Kemudian, dia menoleh ke arah Swera Nandini, dan bersiap melemparkan batunya. Sweta Nandini kaget melihat gerakan Arundhati.

“Ayun, hati-hati jangan melempar ke arahku. Ayun… aku bisa ke..”

Sweta Nandini yang ketakutan mencoba untuk menyadarkan Arundhati. Namun Arundhati tidak menggubris teriakan Sweta Nandini. Dia tetap melempar.

“Ayun……!” teriak Sweta Nandini ketakutan sambil memejamkan matanya. Dan, “wuzzzz….!” Batu tetap terlempar ke arah Sweta Nandini namun tidak mengenai sedikitpun tubuh Sweta Nandini.

Sweta Nandini terkejut, dia gak tahu kenapa Arundhati bersikap seperti itu. Dia membalik badannya melihat ke arah batu kerikil tadi. Dan dia menjadi semakin terkejut ketika melihat seekor ular tengah tergelepar di tanah dengan pangkal kepalanya nayaris putus. Dan keterkejutannya tidak berhenti sampai di situ. Tubuh ular itu mendadak seperti terbakar dan menghilang begitu saja.

“Ayun….!” Suara Sweta Nandini pelan penuh keheranan

“Betul, mereka penyusup dari lapis pertama dunia mimpi. Mestinya kita memang tidak mampu membunuh mereka. Hanya makhluk sejenis yang mampu membunuhnya, atau makhluk dari dimensi lain dengan dibantu benda yang berasal dari dimensinya.”

“Kamu.. kok…bisa? Ayun?”

“Sebagian Ayun berasal dari lapis pertama dimensi mimpi maka Ayun juga punya kemampuan untuk itu” Arundhati mengingatkan kembali Sweta Nandini bahwa Arundhati juga berasal dari lapis pertama dunia mimpi, “O, iya ya… kamu kan orang yang dicari-cari sama Gurunda Nyi Ajar Nismara, ya?”

“Betul, biasanya yang dicari sama para Guru itu memang orang Istimewa!” sahut Arundhati santai.

“Ya… betul, termasuk yang sekarang lagi kita cari!” balas Sweta Nandini sambil bersungut-sungut karena kata-katanya justeru telah membangunkan ketengilan Arundhati. Arundhati sendiri suka melakukan itu dengan sangat sengaja, karena dia suka bila lawan bicaranya merasa keki.

“Di sini banyak sekali penyusup dari lapis pertama dunia mimpi. Mereka adalah anak buah Dhemit Bacira yang kemarin sempat bentrok dengan Ayun. Namun, karena Ayun belum tahu bahwa kelemahan mereka adalah Ayun sendiri, Dhemit Bacira tidak Ayun bunuh, namun Ayun buang melalui lubang cacing yang terbentuk melalui kesadaran Ayun di sini maupun di lapis kedua dimensi mimpi. Ayun sendiri tidak tahu, apakah Dhemit Bacira masih hidup atau tidak. Namun, para pengikut Dhemit Bacira mengira Ayun telah membunuhnya. Termasuk saudaranya yang telah dibunuh oleh Sekar Kenanga. Mereka semua hendak menuntut balas kapada Ayun!” lanjut Arundhati menjelaskan dengan lebih lengkap.

“Apakah Ki Ageng Turangga Seto dan Gurunda Nyi Ajar Nismara tahu mengenai hal ini?”

“Mereka sangat tahu. Dan, untuk mengantisipasi kembalinya Dhemit Bacira yang tentunya akan mengancam dimensi kita, Guru berdua meminta Ayun untuk mencari keberadaan Sekar Kenanga versi dimensi utama ini!”

“Dan, kamu akan memulai dari pegunungan Indrakila ini?” tanya Sweta Nandini menebak dan dibenarkan oleh Arundhati, “Betul!”

Jawaban Arundhati malah membuat Sweta Nandini penasaran dengan apa yang direncanakan oleh Arundhati.

“Apa yang akan kamu lakukan sekarang?”

“Sebenarnya aku sendiri tidak yakin. Tapi, aku punya firasat bahwa kehadiran para makhluk persepsi ini dapat menghubungkan kita dengan Sekar Kenanga dan juga Ibu Retna Nawangsih.”

Persis saat Arundhati menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba dia meoleh ke arah kanannya. Arundhati langsung berdiri dan mengamati area di depannya.

Sama seperti Arundhati, Sweta Nandini juga tiba-tiba bersiaga dan kedua gadis cantik ini tiba-tiba terlihat bersiaga.

“Ayun, ada seorang yang baru datang dan sembunyi di gerumbul semak di bawah sana!” bisik Sweta Nandini.

“Betul. Seorang perempuan yang sama tinggi sama kamu. Sebuah tiang listrik berjalan!”

Air muka Sweta Nandini langsung berubah kecut saat mendengar istilah tiang listrik berjalan. Istilah ini sering diungkapkan Arundhati untuk meledek dirinya. Tapi, karena itu adalah Arundhati maka dia tidak pernah marah, meskipun dia kesal.

Arundhati menoleh ke arah Sweta Nandini sambil nyengir. Sweta Nandini tidak menggubris gurauan Arundhati. Dia fokus ke arah gerumbul semak lima meter di bawah posisi mereka.

“Gak usah terlalu tegang, Dini. Anak ini kemampuannya bahkan masih di bawah murid junior Alang-alang Segara Wedi!”

“Kamu itu masih yunior, dan Yu Sita sekarang kemampuannya di bawah kamu!”

Sweta Nandini makin kesal dengan gaya tengilnya Arundhati yang dianggapnya sudah mulai sombong. Kembali Arundhati menoleh ke arah Sweta Nandini. Sambil nyengir dia menjelaskan, “Eh bener ini, maksud saya Ayun Alang-alang Segoro Wedi yang baru ndaftar. Kalau aku kan gak daftar. Malah dicari!”

“Aku juga!” bisik Sweta Nandini ketus sambil tetap memperhatikan ke arah gerumbul dengan sikap siaga.

Setelah beberapa lama kedua gadis cantik itu mengamati gerumbul dan area sekelilingnya, tiba-tiba Arundhati tampat menggernyitkan dahinya dan berkata, “Dini…., sebentar…!”

“Ada apa Ayun!”

“Ini kenapa saya kok merasakan kehadiran Sekar Kenanga?”

“Apakah anak perempuan yang bersembunyi di gerumbul itu adalah Sekar Kenanga? Kamu bilang tadi, dia badannya tinggi yakan? Bukannya Sekar Kenanga juga badannya tinggi?” Arundhati mulai serius, karena dia merasakan kehadiran Sekar Kenanga tidak jauh dari tempat mereka, “bisa jadi, tapi nanti dulu….! Tidak jauh dari posisi dia, kenapa ada makhluk persepsi yang ikut mengamati gadis itu ya? Siapa makhluk persepsi itu?”

“Apa mungkin.. Dhe…!” Sweta Nandini mau berkomentar, namun belum selesai dia menyebut Dhemit Bacira, Arundhati telah melesat melompat ke arah gerumbul semak tersebut. “Ah…. Kamu itu Ayun….!” gerutu Sweta Nandini. Sweta Nandini langsung melesat menyusul Arundhati.

Saat ini baik Arundhati maupun Sweta Nandini telah berada di sekitar gerumbul semak itu. Mereka berputar mencari perempuan yang mereka yakini sedang bersembunyi di gerumbul semak itu. Sampai pada gerrumbul semak paling rimbun, terlihat seorang gadis dengan baju compang-camping dan rambut acak-acakan. Kulit gadis ini sebenarnya putih, namun karena tidak terawat maka terlihat kotor.  Gadis itu terlihat sangat ketakutan.

Pelan-pelan Arundhati mendekati gadis itu sambil menyapa, “Dhik…!”

Sweta Nandini yang berada di sampingnya mendengar, menoleh dan setengah berbisik protes, “Dhik….? Gak liat apa badannya tinggi gitu. Biar dia lagi ngeringkuk kan keliatan kamu lebih kecil, Yun!”

Arundhat gak peduli protes Sweta Nandini, dan tetap terlihat tenang sambil terus memanggil gadis dengan sebutan Dhik, “gak usah peduliin kakak cerewet yang berjalan di samping saya, ya! Dia memang gitu orangnya. Cerewet, tapi baik kok!”

Tanpa disangka-sangka, gadis itu malah berdesis, “Ssssss…..!” sambil menggerakkan sebelah tangannya seakan memberi peringatan agar jangan mendekat. Mendapatkan peringatan ini, baik Arundhati maupun Sweta Nandini sama-sama mundur. Namun mereka tidak menyerah, dan kembali dengan perlahan mulai lagi mendekati gadis itu sambil terus menyapa, “Dhik…, jangan takut. Kami bukan orang jahat!”

Kali ini gadis itu tidak bereaksi secara ekspresif. Hanya ketakutan yang masih nampak pada wajah gadis itu. Semakin mendekat Arundhat dan Sweta Nandini, semakin takut gadis itu.  Namun, karena rasa ingin tahu dan empati pada gadis itu, Arundhati malah semakin mendekati gadis itu sampai akhirnya dia mampu meraih tangan gadis itu. Gadis itu tidak memberikan perlawanan apapun.

“Ayo, Dhik.. mari sini…!” Arundhati menarik tangan gadis itu pelan-pelan sampai dia keluar dari semak dan berdiri. Dan benar saja,  gadis itu lebih tinggi dibanding Arundhati. Kira-kira sama dengan Sweta Nandini. Arundhati dan gadis itu berdiri berhadapan. Gadis itu menunduk sementara Arundhati ndangak melihat ke wajah gadis itu sambil kedua tangannya saling berpegangan.

“Lihatlah, kami tidak berniat jahat kepadamu. Siapa namamu, Dhik?” tanya Arundhati kepada anak itu. Dengan sedikit ragu, gadis itu terlihat ingin tersenyum. Sebentar dia memandang lurus ke depan. Namun, tiba-tiba gadis itu terlihat takut dan mulai beringsut ke belakang ke arah semak. Dengan keras dia lepaskan pegangan tangan Arundhati, mundur dan jongkok dengan kepalanya menelungkup di antara kedua lututnya. Sementara, tangannya memeluk kedua lututnya.  Gadis itu terlihat gemetar dan terndengar suara tangis yang sangat pelan.

Arundhati tidak langsung mendekati anak itu. Dia terlihat tegang. Dia merasa ada bentuk kesadaran yang berasal dari lapis pertama dimensi mimpi. Bukan kesadaran manusia, dan bukan pula jenis Dhemit Bacira. Ini bentuk kesadaran yang sama yang dia rasakan saat pertama kali menyadari kehadiran anak perempuan itu. Kehadiran bentuk kesadaran itu semakin lama semakin kuat pertanda bahwa kesadaran itu tengah mendekat. Di saat yang sama, dia juga merasakan kehadiran Sekar Kenanga dari arah anak perempuan yang ketakutan itu. Arundhati berbalik membelakangi anak perempuan itu.

“Dini, siap-siap…. Lindungi Sekar Kenanga! Seekor makhluk persepsi tengah menuju kemari!”

“Sekar Kenanga?” Sweta Nandini bertanya keheranan.

“Iya, gadis itu adalah Sekar Kenanga  yang kita cari!”

“Gak salah? Kok demikian mudahnya?”

“Udah gak usah bawel, siaga lindungi anak itu!”

Arundhati mulai gak sabar dan mulai memarahi Sweta Nandini.

“Iya iya… ini juga Dini udah siap!”

Sweta Nandini dan Arundhati saling membelakangi dengan gadis itu ada di antara mereka. Sementara tubuh gadis itu semakin bergetar karena ketakutannya.

“Dini, sepertinya musuh kita kali ini punya kemampuan tidak di bawah Dhemit Bacira. Aku akan melindungi kalian dengan perisai persepsi. Makhluk persepsi manapun tidak akan ada yang mampu menembusnya! Namun, bagaimanapun juga kamu harus tetap berjaga melindungi anak itu, terutama menjaga jangan sampai dia lari dan keluar dari kubah perlindungan”

Selesai memberikan arahan kepada Sweta Nandini, Arundhati sudah melesat duapuluh meter ke depan dengan meninggalkan kubah perlindungan yang menyelubungi Sweta Nandini dan gadis yang sedang ketakutan itu.

“Siap!” jawab Sweta Nandini sambil berbalik ke arah Arundhati. Saat ini dia lihat Arundhati sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang sangat tampan. Entah apa yang mereke bicarakan, namun sesekali terlihat tangan Arundhati menyala, menandakan ada energi yang dia kumpulkan ke tangan dan siap untuk dilepaskan. Sementara pemuda tampan di hadapan Arundhati itu tidak nampak sedikitpun hendak menyerang. Setelah beberapa saat kemudian, tiba-tiba pemuda itu melompat menjauhi Arundhati.  Pemuda tampan itu pergi meninggalkan Arundhati.

Setelah pemuda tampan itu pergi, Arundhati membalikan badannya berjalan ke arah Sweta Nandini dan anak perempuan yang ketakutan itu. Kubah perlindungan buatan Arundhati pun telah hilang. Arundhati telah membatalkannya. Sweta Nandini menarik nafas lega. Dia kembali ke sikap normal.

“Siapa dia, Ayun?” tanya Sweta Nandini saat Arundhati semakin mendekat. Arundhati sengaja tidak langsung menjawabnya. Dia tau, pasti Sweta Nandini tertarik sama pemuda tampan tadi. Bahkan ketika sudah berhadapan, Arundhati malah membungkuk memegang bahu gadis yang masih ketakutan itu. Arundhati membimbingnya untuk berdiri.

“Sudah, Sekar. Siluman ular itu sudah pergi! Dia bukan musuh.” kata Arundhati perlahan setengah merayu. Sepertinya Arundhati mulai yakin bahwa gadis itu adalah Sekar Kenanga versi dimensi utama. Gadis itu berdiri mematuhi permintaan Arundhati.

Sweta Nandini kaget mendengar kata siluman ular. Siluman yang mana? Mana ada siluman. Dia bingung, “siluman ular, maksud kamu… anak laki-laki tadi itu…?”.  Sweta Nandini yang sangat penasaran berusaha menarik perhatian Arundhati yang tengah asik membimbing Sekar Kenanga. Sweta Nandini juga pengin diperhatiin dan pertanyaannya bisa terjawab. Namun, Arundhati yang suka usil ini justeru mengabaikan aksi Sweta Nandini.

Arundhati memegang kedua lengan Sekar Kenanga sambil ndangak dan melanjutkan petuahnya, “kamu gak usah takut! Siluman ular yang kerap nampang jadi lelaki tampan itu tidak akan berani lagi mengejarmu. Ada Yu Ayun di sini yang akan melindungi kamu sampai kamu terhubung dengan avatarmu. Ok?!”

Arundhati yang menyebut dirinya Yu Ayun, kontan membuat Sweta Nandini tertawa terpingkal-pingkal sambil menutup mulutnya.

“Yu Ayun…..? Sejak kapan kamu jadi mbakyu, Ayun?” canda Sweta Nandini memprotes deklarasi Arundhati menjadi Yu Ayun.  Arundhati tak tahan lagi bergaya serius. Dia pun tertawa.

“Sirik amat sih kamu, Dini? Biar badan pendek kalo dipanggil mBakyu kan lumayan juga, kan?”

“PPpfff……ppfff!” sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya, Sweta Nandini menahan tawa demi mendengar pengakuan Arundhati. Badan pendek!

“Sudah… sudahlah! Gimana sekarang kita apakan Sekar Kenanga?” tukas Arundhati mengakhir candaan mereka. Dia menyadari telah melakukan kesalahan dengan mengakui badannya pendek.

Demi melihat respon Arundhati, Sweta Nandini berusaha mengkoreksi sikapnya. “Tapi Ayun, kamu itu gak pendek sebenarnya. Tapi kamu yang suka srantal-sruntul itu jadi mengesankan kamu itu pendek. Yu Sita juga kan cuma beda dikit tingginya sama kamu. Ya to?”

Mendengar kata srunthal-srunthul, Arundhati tersenyum lebar. Dia ingin memberikan sinyal bahwa dia gak marah karena candaan tadi.

“Sekar,  Ayun mau nanya, ini gimana ceritanya kamu bisa…… aduh… rambut acak-acakan, badan kucel bau….?”

Sekar Kenanga yang sedari tadi cuma senyum-senyum melihat kedua penolongnya kemudian terdiam.  Matanya menerawang. Terlihat ada tetesan aliran air mata dari sudut matanya. Dia menangis. Kemudian, dengan suara yang sangat pelan dia mulai bicara.

“Sebelumnya, Sekar mau mengucapkan terimakasih kepada mbakyu berdua. Kalau bukan karena kalian menolong, Sekar mungkin telah digondol siluman tengik yang bernama Sanca Budjangga tadi…”

“O… namanya Sanca Budjangga….” Sweta Nandini yang masih penasaran, tiba-tiba menyela demi mendengar sebuah nama disebut. Arundhati langsung melotot ke arah Sweta Nandini. Sweta Nandini segera mengatupkan kedua tangannya ke mulutnya sambil mengucap, “Upppsss…!”.  Sementara Arundhati masih melotot, Sekar Kenanga malah tersenyum sambil mengucap matanya.

“Mbakyu berdua memang lucu, Sekar sungguh terhibur dengan kehadiran kalian berdua! Sekar mengucapkan terimkasih yang sangat untuk kalian berdua!”

Arundhati melongo mendengar penuturan Sekar Kenanga, sambil kemudian bertanya lagi, “Terus, ini gimana ceritanya, kamu bisa seperti ini?”

“O iya…, maaf bila Sekar telah mengomentari kalian berdua!” Sekar Kenanga meminta maaf kepada kedua penolongnya dan mulai menceritakan pengalamannya, “Baiklah Sekar lanjutkan. Sekar sebenarnya tinggal di bawah. Di papringan pinggir kali Kedung Ampel. Suatu hari, ketika sekar sedang berada di Papringan, tiba-tiba suasana di papringan berubah menjadi gelap dan papringan yang tinggal beberapa rumpun tiba-tiba menjadi sangat luas. Beberapa rumah terlihat menghilang dari papringan dan berubah menjadi rumpun bambu. Kemudian, dalam kebingungan Sekar, tiba-tiba datang seorang pemuda tampan yang mengaku bernama Sanca Budjangga.  Dan, anehnya tanpa rasa curiga Sekar menerima ajakan berteman darinya. Kemudian kami berjalan ke tepi sungai dan bercengkerama berdua di tepi sungai. Setelah puas bercengkarama, dia mengantar saya ke tempat pertemuan kami. Setelah dia pergi, kondisi papringan kembali seperti semula. Dan, situasi yang sebenarnya aneh tidak pernah saya rasakan sebagai sebuah situasi yang aneh. Dan, untuk selanjutnya, pada hari-hari berikutnya, bila saya merasa pengin bertemu Sanca Budjangga, saya selalu menyepi di tepi sungai. Dia selalu menunggu saya di sana. Dan seperti biasanya, kami kemudian bercengkerama dan bercanda di sana.”

Sekar Kenanga menghentikan sejenak ceritanya. Ada sesuatu yang berat yang membuat dia harus berhenti bercerita untuk mengambil nafas. Namun, sebelum Sekar Kenanga melanjutkan ceritanya, Arundhati menyela, “Sebentar dulu, selama kalian berdua-duaan, kamu pernah diapa-apain gak sama si Sanca Budjangga?”

“Diapa-apain bagaimana, Ya?” Sekar Kenanga justeru balik bertanya.

“Gini, kamu kan perempuan, dan seperti Sekar Kenanga yang pernah Ayun kenal, kamu pasti cantik. Dan dengan badan langsing serta lebih tinggi dari Ayun, pasti dong si siluman tengik Sanca Budjangga itu tertarik untuk melakukan sesuatu padamu.” Arundhati menjelaskan apa yang dimaksud diapa-apain.

“Maaf, melakukan apa ya?” Sekar Kenanga masih belum mudeng mendengar penjelasan Arundhati. Sweta Nandini tertawa melihat percakapan Arundhati dan Sekar Kenanga.

“Ya sudah, sudahlah! Mari kita lanjutkan sambil kita keluar dari hutan ini!”

Ajakan Arundhati disambut anggukan oleh Sekar Kenanga.

“Ayo!” dengan semangat, Sweta Nandini menyambut ajakan Arundhati. Kemudian, mereka bertiga berjalan satu-satu menyusuri jalan setapak yang agak menurun.  Sweta Nandini berjalan paling depan diikuti oleh Sekar Kenanga, dan Arundhati paling belakang. Dia sengaja memilih paling belakang agar dapat berjaga terhadap hal yang tidak diinginkan dari arah belakang dan mengantisipasi bila itu datang dari arah depan.

“Ayo, Sekar, silakan lanjutkan ceritamu!” seru Sweta Nandini yang tiba-tiba jadi penasaran dengan cerita Sekar Kenanga. “Betul, Sekar!” sahut Arundhati dari belakang.

“Namun,” Sekar mulai melanjutkan ceritanya, “setelah beberapa hari hubungan kami berjalan tanpa hambatan, pada suatu hari ketika saya mendatangi tempat biasa kami bertemu, saya belum melihat dia ada di sana. Dan ketika saya sedang mencari-cari, tiba-tiba datang seekor ular yang sangat besar yang berhenti di semak tak jauh dari batu tempat kami bercengkerama. Tiba-tiba ular itu menghilang dan digantikan oleh sesosok laki-laki yang sudah saya kenal. Sanca Budjangga. Ternyata nama Sanca yang melekat pada dirinya memang menunjukkan bahwa dia adalah seekor ular. Dan, dalam sekejap waktu, tiba-tiba kesadaran saya hadir dan dapat menilai kembali setiap keanehan. Dan kesadaran ini kemudian membuat saya takut dan jijik karena telah berkawan dengan seekor ular. Saya berusaha kabur ke arah utara. Dia mengejar. Namun, meskipun dia tahu bahwa saya sudah tahu ujud aselinya, dia mengejar dalam bentuk manusia. Akan tetapi, dia tetap membuat saya merasa bahwa saya ada di lingkungan yang berbeda dengan keseharian saya. Saya seperti di bawa ke beberapa puluh tahun ke belakang. Kompleks militer di sebelah utara masih banyak tentara yang tinggal di sana. Benteng Van Der Wijk masih digunakan sebagai tangsi militer!”

“Sebentar dulu, Benteng Van Der Wijk bukannya masuk ke dalam? Kamu sengaja mampir?” seperti biasa, Arundhati selalu menyela penuturan siapapun. Dan ini tentunya mengganggu Sweta Nandini yang sedang asik mengikuti cerita yang disampaikan oleh Sekar Kenanga.

“Udah, Sekar! Gak usah dilanggati, dia emang hobinya begitu!”

Sekar tersenyum manis sambil kemudian melanjutkan ceritanya, “saya memang sengaja masuk ke area Van Der Wijk, namun tak seorangpun yang menyadari kehadiran saya. Bahkan semuanya seperti tidak melihat saya. Saya minta tolong kepada bapak-bapak tentara itu, namun mereka justeru seperti orang bingung ketika tanganya saya tarik-tarik. Si siluman tengik Sanca Budjangga malah terlihat tersenyum melihat ketakutan saya. Entah apa yang dia pikirkan, dia seperti menikmati ketakutan saya. Karea gagal meminta bantuan kepada para bapak tentara itu, saya kemudian memutuskan untuk terus berlari hingga sampai ke pegunungan ini. Yang saya heran, sebenarnya dia bisa saja menangkap saya. Namun sepertinya dia sengaja tidak melakukan itu. Dan, dalam pelarian saya sampai ke puncak bukti tadi, beberapa kali saya terpeleset masuk ke jurang. Dalam situasi ini, dia akan semakin mendekat. Namun, saya selalu mengusir dia, dan dia kemudian kembali mengambil jarak. Itulah mengapa penampilan saya jadi seperti sekarang ini…”

Sekar Kenanga menyelesaikan ceritanya sambil berjalan mengikuti kedua penolongnya dengan sesekali ditimpali oleh Arundhati dan Sweta Nandini secara Bergantian. Mereka terus berjalan beringan menyurusi jalan setapak.  Sampai pada jalan yang agak landai, tiba-tiba Sweta Nandini memberi isyarat untuk berhenti. Bersamaan dengan itu Arundhati yang juga merasakan sesuatu segera meningkatkan kesadarannya untuk dapat mendeteksi kehadiran subject-subject yang mengancam. Kali ini dia tidak menemukan bentuk kesadaran lain, namun dia menemukan subject yang tingkat ancamannya juga tidak kecil.

“Sekar, sejak kapan hutan di Semali ini ada macan?” tanya Arundhati sambil berbisik kepada Sekar Kenangan.

“Macan apa? Macan Jawa apa macan kumbang?” Sekar Kenanga balik bertanya. Masih berbisik.

“Macan Kumbang!”

“Kalau macan kumbang, dulu memang pernah ada, namun setahu saya sekarang sudah tidak pernah lagi ada yang pernah menemui macan ini”

“Dini, siap-siap yang kita hadapi kali ini adalah macan kumbang beneran. Beda sama ular yang mau nyium kami tadi. Namun, Ayun sempat merasakan adanya pengaruh Dhemit Bacira pada kehadiran mereka! Jangan bunuh mereka” Teriak Ayun memberitahu Sweta Nandini.

“Siap! Ada berapa jumlah mereka?” jawab Sweta Nandini sambil balik bertanya.

“Ada banyak, bergerombol sekitar 40 ekor!”

Betul saja, pada radius 10 meter, saat ini mereka bertiga telah dikepung oleh sekitar 40 an ekor macan kumbang. Saudara cheetah yang berwarna kelam dan pandai memanjat pohon itu saat ini terlihat sangat mengancam.

“Baik, tapi bagaimana bila mereka menyerang kita?”

“Lumpuhkan saja atau lempar ke tempat lain!”

“Lempar ke tempat lain, bukannya itu cuma kamu sama Sekar yang bisa melakukan?” Sweta Nandini, agak bingung mendengar saran Arundhati.

“Yap, kamu lumpuhkan saja. Kalau kamu bunuh susah ngurus bangkainya!” Teriak Arundhati menegaskan yang disambut tertawa oleh Sweta Nandini.

“Ha ha ha ha….!”

“Untuk urusan membuang ke tempat lain, biar Ayun sama Sekar aja yang beresin!”

Sekar Kenanga bingung, kenapa kedua penolongnya ini teriak-teriak meskipun deket-deketan gini. Lha wong cuma jarak 2 meter, ngapain coba pada teriak. Namun belum lagi habis bingungnya, Arundhati sudah menggamit tangannya dan tiba-tiba tangannya sudah dipegang oleh Arundhati dan suasana di sekitar dia sudah berubah sama sekali. Saat ini mereka seperti berada di hutan yang lain. Pohonnya lebih besar dan suasananya tidak lebih rimbun. Sialnya, 40 ekor macan kumbang itu masih terlihat mengepung mereka. Tangan Sekar Kenanga masih dipegang oleh Arundhati.  Hal yang kurang adalah, Sweta Nandini tidak terlihat di sini.

Tiba-tiba Arundhati melesat ke atas sambil menarik Sekar Kenanga, “Bila kamu memang Sekar Kenanga yang sebenarnya, maka kamu bisa mengatasi ini!”

Dengan suarau keras, Arundhati berteriak mengingatkan Sekar Kenanga sambil melemparnya dari ketinggian 500 meter.

Tubuh Sekar Kenanga meluncur deras ke bawah. Sekar Kenanga berteriak ketakutan. “mBakyu Arundhati, apa maksudmu dengan melemparku seperti ini? Kalau kautolong aku hanya untuk mati, kenapa tidak kau biarkan aku mati di tangan siluman Sanca Budjangga?”

Arundhati hanya tersenyum sambil dag-dig-dug dari posisinya mengambang saat ini. Sekar Kenanga masih terus meracau dengan berbagai sumpah serapah sampai kemudian mulai menghilang. Dia pingsan dalam ketakutannya,  dan pada posisi 100 meter dari permukaan dalam kondisi, tiba-tiba tubuh Sekar Kenanga turun melambat dan berputar dari kepala di bawah kepada posisi berdiri.  Para macan kumbang terlihat bereaksi melihat kejadian ini. Namun, tidak satu pun dari mereka yang berusaha mundur atau lari. Apalagi saat melihat tubuh Sekar Kenanga yang turun dengan perlahan tanpa terlihat gerakan akan menyerang sampai ketika kedua telapak kakinya menjejakkan tanah dengan kepala menunduk. Dan, percis saat Sekar Kenanga menjejakan kaki ke tanah, tidak lagi terlihat baju compang-camping yang dia kenakan.  Sekar Kenanga telah mengenakan jubah dan kerudung putih gading. Alang-alang Segara Wedi.

Sekar Kenanga mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Sebentar dulu. Bukan tersenyum sebenarnya, lebih tepat menyeringai.  Sekar Kenanga mengangkat kepalanya sambil menyeringai. Kelompok macan kumbang yang mengepung mereka nampak beringsut ke belakang. Mereka merasakan aura membunuh yang sangat kuat. Arundhati pun kaget dan segera melesat turun percis di depan Sekar Kenanga. Sambil memegang lengan Sekar Kenanga, Arundhati meminta Sekar Kenanga untuk tidak membunuh macan kumbang itu.

“Sekar, jangan kamu bunuh macan-macan itu. Mereka adalah makhluk berdarah dan berdaging seperti kita. Mereka hanya sedang dikendalikan oleh gerombolan Dhemit Bacira!”

Arundhati memegang kuat kedua lengan Sekar Kenanga. Arundhat berusaha menahan Sekar Kenanga dari membunuh macan-macan kumbang itu. Sejenak Sekar Kenanga terdiam. Aura membunuhnya perlahan mereda, namun tanpa diduga-duga, aura membunuhnya menguat kembali. Arundhati yang tidak menduga perubahan ini, tiba-tiba mendapatkan serangan dari Sekar Kenanga. Kedua tangan Sekar Kenanga tiba-tiba bergerak dengan gerakan memelintir melepaskan pegangan tangan Arundhati dan dalam waktu singkat kedua tangan Sekar Kenanga telah memegang lengan Arundhati. Kemudian dengan kecepatannya, Sekar Kenanga menarik tangannya sambil mundur sehingga pegangan Sekar Kenanga berpindah ke pergelangan tangan Arundhati dengan posisi kedua tangan Arundhati terpelintir.  Tentu saja ini tidak menguntungkan Arundhati. Bila dia memaksa bergerak, maka tangannya akan terkilir.

Dalam kondisi yang bisa dibilang tanpa daya, Arundhati terdiam. Sekar Kenanga memang adalah murid senior Alang-alang Segoro Wedi. Ilmu beladirinya pasti sangat tinggii dan konon dia juga memiliki kemampuan manipulasi kesadaran yang mirip dengannya. Namun, seharusnya kekuatan dan kemampuan Sekar Kenanga belum akan mampu menandinginya.  Kontak dengan Sekar Kenanga di lapis kedua dimensi mimpi yang baru sebentar, semestinya belum mampu mensingkronkan kedua Sekar ini. Ini pasti ada yang salah.

Belum lagi Arundhati mendapatkan kesimpulannya, tiba-tiba Sekar Kenanga membuang kedua tangan Arundhati ke kiri dan kanan sehingga kedua tangan Arundhati terbentang dan bidang serang Arundhati terbuka lebar. Kondisi ini tidak disia-siakan oleh Sekar Kenanga.  Dia mengayunkan kedua tangannya ke arah Arundhati dan bersamaan dengan ayunannya dari arah pundak Sekar Kenanga muncul bola sinar kuning yang merambat dan lepas sebagai tembakan ke arah Arundhati.

Arundhati yang menjadi sasaran, segera mengenali bentuk serangan tersebut.

“Bola kesadaran!? Dia mampu memanfaatkan kesadarannya sebagai senjata untuk menyerang? Dan bola itu berwarna kuning?”

Menyadari hal ini, Arundhati justeru tersenyum. Tiba-tiba Arundhati melesat ke atas  menghindar dari serangan Sekar Kenanga. Sambil melesat ke udara tampak Arundhati telah mengenakan jubah dan kerudung putih gading khas Alang-alang Segoro Wedi, dan dari pinggang Arundhati keluar cincin sinar putih yang keluar seperti gelombang yang semakin lama semakin besar dengan intensitas yang semakin kuat.

Arundhati mengangkat tangan kirinya mengepal ke atas, dan dengan kecepatan yang sangat cepat sumber cincin sinar putih itu berpindah ke telapak tangan kiri Arundhati. Cincin putih itu kemudian membentuk sebuah kubah lancip. Tangan kanan Arundhati bersiaga untuk menahan serangan bila diperlukan.

Kubah sinar Arundhati gelombangnya sudah menyentuh tanah. Sekar Kananga bersiap untuk menyerang, namun begitu dia melesat, dengan cepat Arundhati menarik tangan kirinya, dan cincin putih yang sebelumnya jatuh ke tanah tiba-tiba tersibak melebar dan menabrak apapun termasuk apapun termasuk Sekar Kenanga. Tabrakan cincin dengan tubuh Sekar Kenanga membuat tubuh Sekar Kenangan terlempar dan menimbulkan satu dentuman yang sangat keras. Saat tubuh Sekar Kenanga terlempar terlihat tubuh lain yang terlempar dari tubuh Sekar Kenanga. Sebuah tubuh humanoid bertangan dan berjari sangat panjang dengan muka tua  tanpa rambut mirip Gollum pada Lord Of The Ring namun dengan tubuh lebih kerdil, kunting. Bersamaan dengan lepasnya makhluk humanoid tersebut, dari tubuh para macan kumbang juga keluar bayang hitam yang kemudian menghilang begitu saja. Setelah bayang hitam itu lenyap,  para macan kumbang itu segera berlarian menyelamatkan diri.

Sekar Kenanga pingsan, makhluk humanoid tersebut terhuyung mendekati tubuh Sekar Kenanga. Arundhati yang melihat gerakan makhluk itu menyadari bahwa makhluk itu bermaksud hendak menyatu dengan tubuh Sekar Kenanga lagi.  Arundhati segera mengangkat tangan kanannya dan dengan satu putaran tangan, dia telah membentuk satu kubah putih yang memberikan pagar kepada Sekar Kenanga.  Makhluk itu marah karena dia tidak mampu menembus dinding kubah Arundhati. Dia mengaum dahsyat sambil meepuk-nepuk dadanya. Sesuatu yang mengingatkan Arundhati akan terhadap Dhemit Bacira.

Arundhati mendekati tubuh Sekar Kenanga. Kubah yang mempunyai titik pusat pada tubuh Arundhati itu juga ikut bergeser. Sambil bergerak, Arundhati menanyakan identitas makhluk kunting tersebut.

“Hai kunting, sopo to sejatine awakmu?”

Makhluk kerdil  yang berbadan kurus itu menjawab dengan suara berat

“Aku Upala Carma, mrimpeni menungsa gaweanku. Dhemit Bacira ratuku!”

“Njur nangopo kowe kok odo-odo ndadak ngodha dulurku Sekar Kenanga!”

“Ha ha ha…. Aku mung manut kandane ratuku, kowe ra perlu melu-melu!”

Setelah menjawab pertanyaan terakhir, makhluk humanoid yang bernama Upala Carma itu kembali melakukan serangan. Upala Carma berusaha membobol dinding pelindung Arundhati.

Arundhati tidak menanggapi usaha Upala Carma. Dengan tenang dia jongkok meraih pundak Sekar Kenanga, mengangkat dan menyandarkan pada sebuah batu besar tidak jauh dari situ. Sambil menolong Sekar Kenanga, dan dengan tenang pula dia bicara kepada Upala Carma, “Upala Carma! Silakan kamu merasa tak terkalahkan di sini. Tapi kamu saat ini tengah berhadapan dengan aku, Arundhati, murid Ki Ageng Turangga Seto dan Nyi Ajar Nismara. Dalam diriku saat ini mengalir kesadaran yang berasal dari dimensimu!”

Upala Carma agak tersentak mendengar penuturan Arundhati. Ada rona ketakutan tiba-tiba muncul pada wajah jelaknya. Dia tahu, bahwa siapapun di dimensi ini tidak ada yang mampu membunuhnya. Namun, Arundhati adalah manusia dengan kesadaran yang berasal dari dimensinya. Maka sangat mudah bagi Arundhati untuk membunuhnya.

Pelahan, Upala Carma mulai menjauhi kubah perlindungan Arundhati. Meskipun tidak melihat, Arundhati tahu bahwa Upala Carma mau melarikan diri.

“Upala Carma!” Arundhati berteriak menyebut nama Upala Carma tanpa menengok sama sekali. Getaran suara Arundhati ternyata adalah sebuah serangan yang mampu menahan langkah Upala Carma.

Setelah menyandarkan Sekar Kenanga pada posisi paling nyaman dan menyalurkan sedikit kesadarannya untuk menopang tubuh Sekar Kenanga, Arundhati berdiri dan berbaik ke arah Upala Carma. Arundhat nampak sangat marah terlihat dari raut mukanya yang tidak lagi memancarkan Arundhati yang periang.  Saat ini yang nampak adalah wajah seorang perempuan dengan api amarah yang meluap-luap.

“Upala Carma!” sekali lagi, masih tanpa melihat Upala Carma, Arundhati membentak dengan suara yang sangat keras. Tangan kirinya dia angkat mengarah kepada Upala Carma. Dari tangannya tiba-tiba muncul bayangan putih berbentuk tangan yang semakin panjang menjangkau Upala Carma. Telapaknya yang semakin besar mampu menggenggam Upala Carma. Arundhati menjatuhkan Upala Carma dan menekannya ke tanah.

“Upala Carma, kamu berasal dari lapis pertama, dan dalam diriku juga ada kesadaran yang berasal dari sana. Semua sugesti dan persepsi di antara kita adalah kenyataan. Namun, sugestiku terlalu kuat untuk kamu kendalikan!” dingin Arundhati menjelaskan situasinya sambil melepaskan genggamannya pada Upala Carma. Sebagai gantinya, Arundhati menghadirkan sebuah kandang yang mampu menahan Upala Carma yang nampak semakin gelisah.

Arundhati berjalan mendekati kandang Upala Carma. Kali ini kemarahannya sudah mereda, dan dengan gaya Seorang Arundhati, dia mulai meledek, “Upala Carma, aku menahan kamu bukan karena kamu ganteng terus aku gak rela ditinggal sama kamu. Aku yakin, kamu juga tahu kalau kamu jelek. Aku menahan kamu, cuma pengin ngobrol sebentar sama kamu!”

Upala Carma semakin gelisah. Arundhati tersenyum merendahkan Upala Carma sambil berputar mengitari kandang dengan tangan kanannya menyapu jeruji kandang. Tiba-tiba Arundhati berhenti dan menghadap ke dalam kandang sambil membentak penuh tenaga.

“Pertama, kenapa kamu lari?”

“Aku tidak tahu kalau kamu adalah Arundhati, murid yang dicari oleh Nyi Ajar Nismara.”

Bentakan yang disertai dengan serangan terhadap kesadaran Upala Carma ternyata mampu membuat ciut Upala Carma.

“Kenapa kamu takut sama Arundhati, tapi malah mempermainkan saudaraku, Sekar Kenanga?”

“Aku…. Aku tidak tahu itu saudaramu, dan aku cumu disuruh sama ratuku untuk untuk tetap tinggal dalam tubuhnya!”

“Ratumu Dhemit Bacira telah aku hilangkan. Saudaranya, Pangka Tamomaya telah dibunuh oleh saudaraku Sekar Kenanga dari lapis kedua. Sekarang kamu mau kabur kemana. Para tuanmu sudah tidak ada.” Arundhati menggertak dengan menjelaskan situasi yang telah terjadi kepada Upala Carma. Demi mendengar situasi yang terjadi, Upala Carma terlihat pasrah,

“Terus, aku harus bagaimana?”

“Ada dua pilihan buatmu. Kabur dan mati di tanganku, atau bertobat dan tidak lagi mengganggu umat manusia di dimensi manapun!”

Upala Carma semakin nglokro, dia mulai berkata-kata pelan “demi menjalankan tugas yang dititahkan oleh ratuku, aku rela meninggalkan anak-anakku. aku belum selesai menjalankan tugasku, kamu telah merusak semua usahaku. Bila aku bertahan, aku tahu kalian pasti tidak akan melepaskanku. Terlalu bodoh bila aku mati di tanganmu tanpa pernah bertemu dengan anak-anakku.”

“Terus maumu apa?” tanya Arundhati menyela.

“Bertemu anak-anakku” jawab Upala Carma pelan.

“Kabur dan bertemu anak-anakmu?”

Upala Carma diam tidak menjawab

“Kuberi kamu sepuluh hitungan untuk menjawab!”

Arundhati sudah mulai kehilangan kesabarannya, “Satu….!” Arundhati mulai menghitung, Upala Carma nampak semakin gelisah, namun tidak menjawab.

“Dua….!” Arundhati melanjutkan hitungannya. Upala Carma masih belum juga menjawab. Arundhati terus berhitung dengan tanpa jawaban dari Upala Carma.

“Sembilan! Baiklah Upala Carma, pada hitungan kesepuluh nyawamu akan melayang kuantar dengan gumpalan api Cidrapati!”

Tangan kanan Arundhati mengepal dengan selubung putih cerah sangat menyllaukan. Itulah perwujudan api Cidrapati. Upala Carma terlihat sangat ketakutan. Sementara Arundhati sangat serius. Dia tidak peduli bahwa Upala Carma sangat meriundukan anak-anaknya. Risiko terhadap umat manusia jauh lebih besar. Dia benar-benar berniat unutk membunuh.

“Baik! Baiklah aku menyerah….! Aku akan bertobat dan menjauhi gerombolah Dhemit Bacira maupun Tamomaya! Meksipun aku harus menjadi buron bekas teman-temanku!”

Upala Carma akhirnya menyerah dan menyatakan bertobat. Api Cidrapati di tangan Arundhati juga sudah lenyap.

“Kamu tidak akan dikejar-kejar bila kamu mau bertobat dan bergabung bersama Sanca Budjangga!”

Entah kenapa Arundhati menyarankan Upala Carma untuk bergabung dengan Sanca Budjangga.

“Baik, baik, aku mau bertobat, aku mau bertobat”

Mendengar pernyataan Upala Carma yang mau bertobat, Arundhati mendekati kandang Upala Carma. Berdiri di samping Upala Carma sambil berkacak pinggang. Gak usah dibayangin bagaimana degelnya Arundhati perempuan berbadan mungil berkacak pinggang di dekat Upala Carma, makhluk mirip Gollum namun berpostur tinggi.

Arundhati tersenyum sambil masih tetap berkacak pinggang.

“Betul, kamu mau bertobat?” tanya Arundhati ingin ketegasan Upala Carma.

“Iya… Iya.. saya mau tobat. Capek ngikutin Dhemit Bacira!” jawab Upala Carma keras dan tegas.

“Baiklah!”

Arundhati mengayunkan tangan kanannya ke arah kandang Upala Carma. Ketika tangannya menyentuh, jeruji kandang seperti tersapu mengikuti gerakan tangan Arundhati yang berhenti mendarat pada punggung Upala Carma. Seluruh bentuk kandang terserap ke punggung Upala Carma. Upala Carma mendadak seperti tersentak, terdorong hampir terjungkal ke depan.

Sambil menahan laju tubuhnya agar tidak terjungkal, Upala Carma beteriak, “Ada apa ini?”

“Kamu telah bebas sekarang!” jawab Arundhati santai sambil meraih batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Arundhati duduk sambil memperhatikan Upala Carma.

“Bebas?” tanya Upala Carma

“Iya, bebas! Sekarang pulanglah. Anak-anakmu sudah menunggu!”

Tanpa diduga-duga, Upala Carma malah sambil berjoget-joget mendekati Sekar Kenanga, “Ha ha ha….! Murid Alang-alang Segara Wedi, namanya doang yang menakutkan. Ternyata mudah dibohongi. Upala Carma tidak pernah punya anak!  Ha ha ha ha….!”

Arundhati masih terdiam tersenyum sambil terus memperhatikan Upala Carma yang berjoget dan semakin mendekat ke arah Sekar Kenanga.  Namun, semakin mendekat ke arah Sekar Kenanga, langkah Upala Carma semakin berat. Setelah merasakan ada yang berubah pada dirinya, Upala Carma berhenti dan menoleh ke arah Arundhati.

“A… ada apa ini?” tanya Upala Carma gugup.

Arundhati berdiri, dan berjalan santai ke arah Sekar Kenanga sambil berujar kepada Upala Carma, “apa kamu tidak melihat kakimu?”

Upala Carma melihat ke kakinya dan kaget luar biasa, karena ternyata kakinya sudah menghitam seperti batu gunung sampai ke lutut, “Apa apaan ini?”

Arundhati tidak menjawab. Dia sibuk membangunkan Sekar Kenanga. Upala Carma sangat marah dengan sikap cuek Arundhati. Namun semakin marah, justeru perubahan tubuhnya semakin cepat. Upala Carma meronta-ronta minta ampun, namun sudah terlambat. Ketika perubahan mencapai jantungnya, Upala Carma tidak meronta-ronta lagi. Gelombang kemarahanya masih menguasai sisa tubuhnya yang membuat proses perubahannya menjadi sempurna. Upala Carma telah berubah menjadi patung batu yang terlihat meronta.

Tanpa menghiraukan kejadian yang menimpa Upala Carma, Arundhati berjongkok meraih kepala Sekar Kenanga, dia gerakkan sampai menyentuh pundaknya. Setelah berhasil membangunkan Sekar Kenanga, Arundhati segera membimbing Sekar Kenanga untuk berdir dan memapahnya..

Sekar Kenanga yang telah kembali ke dengan pakaian compang-camping agak heran dengan penampilan Arundhati yang mengenakan jubah dan kerudung putih gading. Biarpun masih limbung, pandangan Sekar Kenanga tidak kabur. Dia heran dengan suasana sekelilingnya, dia tidak macan-macan kumbang tadi. Dia juteru melihat ada sebuah patung berdiri di dekatnya.

“Di mana kita? Dimana mBakyu siapa itu? Dan itu patung apa?”

Arundhati menjawab dengan santai, “patung ini? Ini adalah Upala Carma yang telah bertahun-tahun bercokol dalam kesadaranmu!”. Sambil menjelaskan kepada Sekar Kenanga, tangan kiri Arundhati membuat gerakan berputar. Bersamaan dengan putaran tangan Arundhati, sebuah sinar putih yang sangat menyilakan terlihat keluar dari patung Upala Carma. Bersamaan dengan keluarnya sinar putih itu, patung Upala Carma justeru terlihat terbakar. Sekar Kenanga kaget melihat proses barusan, dan lebih kaget lagi ketika dia kemudian menyadari bahwa mereka sekarang sudah kembali ke hutan di Semali dan terlihat Sweta Nandini masih bersiaga.

“Awas, Ayun! Kamu hajar semua yang dari arah belakang!” teriak Sweta Nandini. Di depan Sweta Nandini, nampak beberapa ekor macan kumbang yang tergeletak pingsan. “pukul bagian gerahamnya, untuk mengeluarkan energi kendali dari tubuhnya tanpa membunuhnya!”

“Hajar? Apanya yang dihajar?” Arundhati yang sudah ada di posisi semula menjawab dengan santai. Dari gerak tubuhnya, nampak Sweta Nandini bingung. Kepalanya seperti sedang berfikir sesuatu. Sepertinya, Sweta Nandini baru menyadari bahwa macan-macan kumbang yang mengepung mereka sudah tidak ada lagi. Sweta Nandini berdiri tegak dengan kedua tangan di samping. Dan seperti seorang komandan upacara, dia berbalik ke arah Arundhati. Wajah kesal dan gemas nampak memancar kuat dari mukanya.  Sekar Kenanga ketakutan, namun Arundhati malah tersenyum.

“Ayun……! Kenapa kamu gak ajak aku menghabisi macan-macan itu?”

Sweta Nandini tahu, Arundhati pasti telah mengacak-acak hukum fisika lagi. Baginya ini sebuah petualangan yang sangat mengasikkan, namun kemampuan ini hanya dipunyai oleh Arundhati. Bahkan Sitakara dan Ansuman pun tidak punya kemampuan ini. Ki Ageng Turangga Seto dan Niken Landjar Sekar Kenanga, konon memiliki kemampuan yang sama. Namun, tidak ada yang menyamai kemampuan Arundhati. Bagi Arundhati, kemampuan ini dapat dia gunakan sama seperti saat dia berbicara.

“Menghabisi apa, orang aku cuma mengembalikan mereka ke habitatnya di India. Ayo kita jalan lagi! Sekar, kamu masih kuat bukan?” Santai Arundhati menjawab sambil kemudian bertanya kepada Sekar Kenanga. Sekar Kenanga mengangguk. Arundhati dan Sekar Kenanga kembali berjalan, Sweta Nandini masih tetap berdiri. Sekar Kenanga berjalan melewati Sweta Nandini.  Arundhati membungkuk ketika melintas di depan Sweta Nandini, “ndherek langkung, mbak!”

Sweta Nandini tidak bergerak sama sekali ketika Arundhati dan Sekar Kenanga meninggalkannya. Dia cuma memandangi mereka dengan kesal.  Namun, lama-lama dia merasa gak enak juga ditinggal sendirian. Sweta Nandini berlari mendekati Arundhati dan Sekar Kenanga.

“Wooi… tunggu!”

Selangkah mendekati Arundhati dan Sekar Kenanga, Sweta Nandini menyadari bahwa saat ini mereka sudah tidak berada lagi di bukit hutan di Semali. Tapi ada di suatu tepi sebuah lapangan. Bila dia liat ke sebelah kiri depan, nampak sebuah bangunan benteng peninggalan Belanda yang telah dirusak dengan penambahan jalur kereta mainan di atapnya.

“Di mana ini Ayun?” Sweta Nandini bertanya kepada Arundhati,

“Lapangan Sekip, kalau ayah saya bilang!” pertanyaan Sweta Nandini dijawab oleh Sekar Kananga.

“Lapangan…?” tanya Sweta Nandini terheran-heran, “kok bisa?”

“Tadi mBaku Arundhati tanya ke saya, ada gak tempat yang jarang ada orangnya. Pas saya membayangkan lapangan ini, tiba-tiba kita sudah ada di lapangan ini.”

“Baiklah, Ayun, permainan apa lagi ini?” kekesalan Sweta Nandini semakin memuncak, Arundhati cume menanggapi dengan senyuman.

“Katanya kamu capek tadi, ini udah Ayun bantu lho biar gak capek jalab kaki!’

“Tapi jangan di lapangan juga kali. Panas tahu…..!” protes Sweta Nandini.

“Ah, kamu protes melulu!” timpal Arundhati dan disambut tertawa oleh Sekar Kenanga. Sweta Nandini cuma bisa diam ngempet rasa kesalnya.

Sambil menunjuk ke arah sebuah pohon yang rindang di tepi lapangan, jubah dan kerudung putih gading Arundhati berubah kembali menjadi seperti saat dia pergi, “ayo kita ke sana, itu ada pohon yang cukup rindang!”.  Sweta Nandini dan Sekar Kenanga mengangguk. Mereka bertiga berjalan menuju ke pohon rindang yang ditunjuk oleh Arundhati.

Sesampainya di bawah pohon Rindang itu, Sweta Nandini dan Sekar Kenanga bingung mau duduk di mana. Namun, tiba-tiba Arundhati menggelar tikar dan duduk.

“Silakan duduk!”

Sekar Kenanga semakin bingung, tapi tidak tahu apa yang akan dia tanyakan,

“Ayun, ini tiker kamu ambil dari mana? Halal gak nih kalau Dini dudukin?” tanya Sweta Nandini memastikan status tikar yang digelar oleh Arundhati. Sweta Nandini tahu bahwa ini bukan sihir Arundhati. Sekali lagi, pasti dia baru mengacak-acak hukum fisika.

“Halal, ini tadi sebelum berangkat aku lihat ada tiker pandan yang dilipat di teras. Barusan aku ambil ini.”

“O.. gitu. Baiklah!” Sweta Nandini melepas alas kakinya dan duduk di atas tikar, “Sekar, duduk! Halal ini, bukan barang curian!”.  Setelah duduk di tiker, Sweta Nandini menyuruh Sekar Kenanga untuk duduk juga.

Setelah mereka bertiga duduk di atas tikar, Sekar Kenanga yang ternyata tidak sabar ingin menanyakan sesuatu langsung buka suara mendahului Arundhati dan Sweta Nandini yang sudah bersiap membuka mulut.

“Mohon maaf mbakyu berdua. Sebenarnya, banyak sekali yang Sekar ingin tanyakan kepada mBakyu berdua. Pertama, kenapa mBakyu berdua yang sepertinya bukan orang sini dan apalagi bukan orang Semali, namun tadi ada di Semali dan terima kasih telah menolong Sekar. Kedua, terkait yang pertama, saya heran kenapa mBakyu berdua tahu nama Sekar dan begitu yakin dengan nama Sekar mekipun kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Dan bila saya lihat, sepertinya mBakyu berdua ini begitu senang saat memastikan bahwa nama saya memang Sekar Kenanga?”

Arundhati yang sudah membuka mulutnya, terpaksa mengatupkan mulutnya lagi. Sementara, Sweta Nandini justeru berimprovisasi dengan merubahnya untuk menjawab pertanyaan Sekar. Meskipun itu harus disela dengan menelan ludah terlebih dulu.

“Gini Sekar. Saya, Sweta Nandini dan ini Arundhati, kami berdua memang sedang mencari seseorang yang bernama Sekar Kenanga. Ada banyak hal yang tidak bisa kami ceritakan selain harus kamu alami sendiri.  Termasuk bagaimana instink kuat Arundhati menuntun kami ke bukit di hutan di Semali tempat pertemuan kita tadi. Teruskan, Ayun….!”

Karena banya yang tidak ia ketahui dari pengalaman hari ini, Sweta Nandini meminta Arundhati untuk meneruskan caritanya.

“Terusin aja….!” jawab Arundhati ogah-ogahan.

“Issh…. Saya kan banyak gak tahu!” lanjut Sweta Nandini merajuk. Arundhati tersenyum.

“Sekar. Di dunia ini kita sering bermimpi. Namun, karena pengalaman mimpi kita Cuma mencapai lapisan pertama saja, maka bentuk mimpi kita cuma berupa mozaik-mozaik tak beraturan. Namun, bila kamu mampu mencapai lapis kedua, maka kamu akan menemui dunia yang utuh. Ini mirip multiverse di film marvel. Namun seperti teori tentang multiverse, tidak semua orang mempunyai avatarnya di lapis kedua itu.  Ayun dan Dini merupakan beberapa orang yang mempunyai avatar kami di lapis kedua dimensi mimpi. Nah, di lapis kedua dunia mimpi, kami mempunyai saudara seperguruan yang bernama Niken Landjar Sekar Kenanga. Guru kami yang tidak mempunyai avatar atau versi di dimensi utama, merasa yakin bahwa Niken Landjar Sekar Kenanga mempunyai avatar atau versi di dimensi utama. Beliau memberikan amanah kepada Ayun untuk mencari keberadaan versi dimensi utama dari Sekar Kenanga. Mungkin guru yakin bahwa Ayun yang sering bergerak karena instink, dapat memanfaatkan instink dalam pencarian Sekar Kenanga. Nah, tadi waktu ketakutan dikejar-kejar sama Sanca Budjangga Ayun merasakan kehadiran Sekar Kenanga pada diri kamu. Apalagi ketika ketakutan kamu sangat kuat. Kehadiran Sekar Kenanga terasa sangat kuat. Nah, ketika kamu Ayun bawa ke padang rumput di India, tanpa sengaja Ayun telah juga membebaskan kamu dari pengaruh makhuk persepsi Upala Carma yang menghambat terhubungnya kamu ke lapis kedua dimensi mimpi!”

Ada sekian panjang kali lebar Arundhati menjawab pertanyaan Sekar Kenanga.

“Sekarang, Ayun mau memastikan, apakah betul kamu bernama Sekar Kenanga?” Arundhati balik bertanya kepada Sekar Kenanga.

“Mohon maaf, mBakyu, namun satu pertanyaan lagi mohon dijawab. Saya baru ingat ketika berada di padang savana, saya dibawa terbang tinggi sekali dan kemudian saya dilempar kebawah sehingga, mohon maaf karena ketakutan saya yang amat sangat, sumpah serapah saya kepada mbakyu keluar semua sampa kemudian saya tidak mampu mengingat apapun. Namun, dalam ketidaksadaran saya terlintas kilatan-kilatan semacam pengalaman saya sendiri entah kapan!”

Nggak di lapis kedua, nggak di dimensi utama yang bernama Sekar Kenanga memang kalau ngomong rapih banget. Ini membuat Sweta Nandini terkikik-kikik menahan tawa.  Namun tidak dengan Arundhati. Dia malah agak sedikit takut bila itu memang benar-benar Sekar Kenanga. Jangan-jangan yang versi ini nanti juga bakal menghaturkan sembah kepadanya?

“Tadi itu… Ayun sangat yakin bila kamu masuk ke dalam situasi nol, maka akan membantu saudara Ayun di lapis kedua dunia mimpi untuk membentuk hubungan dengan kamu. Makanya Ayun lempar kamu!” Arundhati menjawab dengan suatu alasan yang secara normal pasti akan mentrigger penyanggahan.

“Namun mBakyu, apakah mBakyu tidak memperhitungkan bila perhitungan mBakyu salah? Apakah itu tidak kemudian saya akan terus jatuh dan mati?” kejar Sekar Kenanga yang dibalas senyuman oleh Arundhati. “Tidak akan, karena Ayun bisa bergerak jauh lebih cepat dari kecapatan jatuhmu!”

Sekar Kenanga ndomblong, Sweta Nandini menimpali, “jangan kuatir, Ayun selalu punya cara, dan kamu sudah merasakannya!”

“Nah benar juga dugaanku, ketika kamu mencapai nol, saudara kami di lapis kedua telah mencapai tubuhmu dan mengirimkan sebagian memorynya kepadamu. Makanya seperti yang kamu bilang, tadi ada seperti kilatan-kilatan pengalaman entah kapan. Itu adalah memori dari Sekar Kenanga versi lapis kedua dunia mimpi. Dan mulai hari ini kedepan, kamu akan menerima pengalaman-pengalaman dari lapis kedua. Pada beberapa situasi, mungkin kepalamu akan merasa kesakitan. O, ya saat kamu jatuh tadi, kamu sempat berubah mengenakan jubah dan kerudung putih gading khas murid Alang-alang Segara Wedi”

Mendengar penjelasan Arundhati, Sekar Kenanga terdiam. Arundhati dan Sweta Nandini seperti sengaja memberikan waktu hanya untuk Sekar Kenanga. Setelah beberapa saat kemudian, Sekar Kenanga mulai berbicara.

“Mohon maaf kepada mBakyu berdua yang sudah Sekar repotkan. Benar, sewaktu kecil saya memang pernah menggunakan nama Sekar Kenanga. Lengkapnya Niken Sekar Kenanga. Namun, karena saya sering bertingkah yang aneh-aneh dan kadang membahayakan diri saya, kemudian Ayah merubah nama saya menjadi Lanjar saja. Lanjar dari kata lanjaran atau bambu atau batang lain yang digunakan petani sebagai tempat untuk merambat tanaman kacang panjang, atacu kecipir. Ayah berharap agar dengan nama Lanjar ini akan menjadi sandaran yang kuat agar saya tumbuh dengan normal. Dan betul saja, setelah menggunakan nama ini, saya memang menjadi pendiam. Bukan karena saya berubah, namun saya malu karena Dewi Lanjar adalah nama penguasa pantai utara tempat orang mencari pesugihan. Dan apalagi setelah menggunakan nama itu, saya sering bertemu ular jadi-jadian. Dan puncaknya adalah bertemu degnan Sanca Budjangga”

Arundhati mendengarkan penjelasan Sekar Kenanga dengan seksama, dan dia sangat puas karena ternyata memang benar dia adalah orang yang terlahir dengan nama Sekar Kenanga.

“Baiklah Sekar, karena memang kamu sejatinya adalah Sekar Kenanga, maka pakailah lagi nama itu. Versi kamu di lapis kedua dimensi mimpi pun bernama lengkap Niken Lanjar Sekar Kenanga. Nama terpanjang di antara kami. Setelah mendengar penjelasan kamu, kami mengerti mengapa namanya bisa sepanjang itu. Kemudian mengenai ular jadi-jadian, Ayun jamin itu tidak berhubungan dengan Sanca Budjangga. Dia itu memang pemuja rahasia Sekar Kenanga, dan nanti kamu juga akan tahu. Namun dia bukan jenis makhluk persepsi yang jahat seperti Upala Carma yang telah terbunuh karena tingkahnya sendiri.”

Sekar Kenanga tersenyum mendengarkan penuturan Arundhati.

Setelah saling mengungkap identitas, kemudian mereka bertiga terlibat dalam pembicaraan yang sangat cair. Mereka saling bercerita dengan candaan-candaan mereka. Namun, semakin kemari gaya berbicara Sekar Kenanga semakin kaku.  Arundhati dan Sweta Nandini sudah paham itu. Namun tiba-tiba wajah Sekar Kenanga berubah seperti orang ketakutan. Sekar Kenanga berdiri dan pakaian yang dia kenakan berubah menjadi jubah dan kerudung putih gading, mundur, dan kemudian berlutut dengan lutut kanan menyentuh tanah sementara kedua tangannya dia tangkupkan di lutut kiri. Kepala menunduk.

“Mohon maaf, paduka tuanku putri Arundhati Striratna atas kelancangan hamba yang telah menganggap tuanku putri hanya sebagai teman seperti biasanya!”

Arundhati hanya tertawa melihat tingkat Sekar Kenanga yang tiba-tiba memberikan penghormatan formal itu.

“Dini, kalau begini Ayun semakin yakin kalau itu memang Sekar Kenanga?” kata Arundhati kepada Sweta Nandini dengan nada meminta pertimbangan.

“Betul! Tapi kenapa secepat ini dia melakukan penyelarasan dengan Sekar di sana?” jawab Sweta Nandini yang malah kemudian balik bertanya tentang progress Sekar Kenanga.

“Iya, ya!” Arundhati mengiyakan, namun setelah diam sebentar dia teriak lirih, “Aha… la memang penyelarasan ini dilakukan secara khusus dengan melibatkann Ayun dan Yu Ara juga!”

“Hm…!” Sweta Nandini cuma menjawab dengan gumaman.

“Ha ha ha…. kamu lagi jalan sama kang Suman cari minyak goreng!” Arundhati tertawa meledek Sweta Nandini yang memang di lapis kedua dimensi mimpi sedang tidak bersama Arundhati dan Sitakara karena sedang membantu orang dapur mencari minyak goreng.

“Bener-bener, gak di dimensi utama, gak di dimensi mimpi minyak goreng langka!”. Kali ini, muka Sweta Nandini benar-benar keliatan kesal.

“ha ha ha…. ya ya ya…. Penyelarasan hari ini sudah selesai!”  Arundhati kemudian berdiri dan mendekati Sekar Kenanga yang masih berlutut.

“Sudah sudah sudah, Sekar. Ini udah jaman modern, udah gak musimnya berlutut seperti itu, Arundhati memegang pundak Sekar Kenanga dan membimbingnya untuk berdiri. Namun, setelah berdiri, Sekar Kenanga justeru limbung dan jatuh. Untung, Sweta Nandi sigap menangkap tubuh Sekar Kenanga. Kemudian Arundhati dan Sweta Nandini merebahkan Sekar Kenanga ke tikar pandan.  Mereka berdua pernah mengalami ini ketika pertamakali melakukan penyelarasan. Ini adalah masa paling lemah mereka. Oleh karena itu mereka berdua memutuskan untuk menemani Sekar Kenanga sampai dia terbangun.

Sambil menemani Sekar Kenanga kedua baik Arundhati maupun Sweta Nandini tidak saling berbicara.  Arundhati sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba muncul. Sweta Nandini sibuk dengan pertanyaan tentang apa yang dikatakan Arundhati tadi. Jenuh dengan keheningan, akhirnya Sweta Nandini pun bertanya juga, “Ayun, tadi kamu menyinggung Ibu Retna Nawangsih, ibunya Yu Sita. Emang kenapa dengan beliau?”

Mendengar pertanyaan tersebut, Arundhati tidak langsung menjawab.  JIdatnya terlihat menggerenyit. Mukanya kelihatan serius.

“Dini, apa kamu tidak pernah berfikir bahwa beberapa kejadian terakhir ada hubungannya dengan Ibunda Yu Ara?”

“Sepertinya aku gak akan menjawab, karena kamu sendiri pun mestinya tahu bahwa aku gak akan kepikiran seperti itu. Justeru aku yang bertanya, kenapa muncul nama Ibu Retna Nawangsih?”

Arundhati terpaku sejenak. Dan memang betul bahwa dia tidak meyakini bahwa Sweta Nandini akan punya pemikiran seperti itu. Arundhati tersenyum.

“Ibu Retna Nawangsih sepertinya tahu apa yang kita alami hari ini. Intuisiku mengatakan demikian. Dan, dalam pertarungan tadi, Ayun merasakan kehadiran dari kesadaran beliau”

Sweta Nandini tertegun mendengar penjelesanan Arundhati. Sweta Nandini awalnya cuma berfikir bahwa Arundhati hanya sekedar mencari Sekar Kenanga seperti amanah yang telah diberikan oleh Ki Gagak Seto.  Ternyata ada hal yang berbeda yang dipikirkan oleh Arundhati dan tidak terpikirkan olehnya.

“Ya sudah, Dini, kita ngomongin yang lain aja ya, sambil nungguin putri tidur ini!” ujar Arundhati sambil tersenyum.

“Baiklah!” sahut Sweta Nandini. Kemudian dua gadis itu terlibat pembicaraan yang sama sekali tidak serius. Sesekali tawa renyah mereka terdengar menyeruak di antara derasnya aliran kata-kata yang keluar dari mulut kedua gadis tersebut. 

0 comments: