{22} Persembunyian
Lembah Prawala memang sangat indah. Hamparan hutan hijau yang dibelah oleh sungai dangkal jernih dengan lantai bebatuan menciptakan goresan eksotis meliuk-liuk diantara rerimbunan pohon. Deretan bukit kapur menyeruak pongah seolah menjadi paku bagi hamparan hijau. Baiklah mari kita berjalan-jalan di atas perbukitan kapur ini. Lupakan sejenak apa yang barusan terjadi di dekat pemukiman.
Perbukitan kapur di lembah Prawala ini bukanlah perbukitan yang gersang. Justeru di perut perbukitan ini tersimpang air yang cukup melimpah sehingga punggung perbukitan ini pun masih mampu untuk menumbuhkan beberapa tumbuhan.
Di salah satu tepi bukit yang agak menjulang, nampak sesosok perempuan dengan jubah dan kerudung putih kebiruan tengah memandangi hamparan di hadapannya. Retna Nawangsih ternyata mengikuti para kadal primata yang kabur dari pertarungan. Hamparan hutan di hadapannya, terlihat sangat sepi. Hanya beberapa burung yang melintas atau hinggap di pucuk-pucuk canopy hutan. Namun, seperti seluruh wilayah di lembah Prawala, kejadian yang sebenarnya tersembunyi dari setiap apa yang dapat dilihat.
Para kadal primata sebagai kelompok pemegang kuasa memperlakukan wilayah-wilayah di seluruh lembah Prawala dengan berbeda-beda sesuai dengan strategi pertahanan yang mereka tetapkan. Ada tempat-tempat yang mereka tetapkan sebagai tempat mengumpulkan informasi dari luar Prawala. Tempat tempat seperti ini akan mereka selubungi dengan sugesti yang memberikan persepsi keindahan bagi para pengunjungnya. Dan ini tentunya menarik bagi sesiapapun untuk bertandang dan kemudian akan bercerita sebagaimana mereka terapkan di Prawaladanda.
Hamparan di depan Retna Nawangsih adalah tempat dengan berbeda perlakuan. Tempat ini seperti sengaja dibuat untuk mencegah orang-orang masuk. Hutan yang indah dan rimbun ini justeru memancarkan aura yang sangat tidak bersahabat. Setiap orang yang mendekati hutan ini akan mendapatkan perasaan yang sangat mengancam mengakibatkan ketakutan yang amat sangat. Melihat bunga bermekaran menghiasi semak, orang justeru akan ketakutan tergigit ular berbisa yang mereka pikir akan datang dengan tiba-tiba dan menyerang. Berada di bawah pohon yang besar dan rindang, mereka akan merasa ketakutan bila tiba-tiba pohon rubuh dan mengenai mereka. Melihat sungai dangkal dengan air bening, mereka akan ketakutan bila air bah kemudian datang tiba-tiba. Makhluk-makhluk persepsi ini sengaja menyebarkan sugesti tidak wajar terhadap setiap object keindahan di tempat ini. Para kadal primata itu menyebut wilayah ini sebagai Prawalasapa.
Setelah lama berdiri diam mengamati hamparan di hadapannya, tiba-tiba tubuh Retna Nawangsih sedikit bergerak dan secara tiba-tiba pula seluruh tubuhnya seperti ditutup lapiasan energi, dan slap…., Retna Nawangsih tiba-tiba melesat dan masuk ke salah satu titik di hamparan hutan itu, mendarat tepat di salah satu tempat yang berupa air terjun yang sangat deras di tepi sebuah danau yang dalam. Ini adalah tempat dengan persepsi ketakutan yang sangat tinggi. Orang akan beranggapan bahwa dirinya akan terguyur derasnya air terjun dan tenggelam dalam danau yang dalam.
Retna Nawangsih mengamati kondisi sekitar dari pinggir danau. Pandangannya tajam ke arah air terjun di arah seberangnya. Dia tersenyum karena dia merasakan ada sebuah ceruk di balik tirai air dari air terjun kira kira dua meter dari permukaan danau. Saat dia tengah asik memperhatikan air terjun itu, entah darimana munculnya, tiba-tiba di belakang belakang Retna Nawangsih muncul dua ekor kadal primata. Salah satu dari mereka menempelkan senjata tangan yang mirip pestol tepat di tengkuk Retna Nawangsih, sementara lainnya yang membawa senjata yeng lebih besar, cuma berdiri sambil membopong senjatanya.
“Siapa kamu, dan kenapa kamu kemari?” tanya kadal primata yang menempelkan senjatanya ke tengkuk Retna Nawangsih. Retna Nawangsih nampak tenang dan malah terseyum. Namun, tiba-tiba dengan kecepatan yang sangat tinggi, Retna Nawangih memutar tubuhnya sambil tangan kananya menarik pergelangan tangan penodong dan memberikan tekanan. Tangan kirinya dengan sigap merebut senjata dari penodong yang pegangannya longgar karena tenakan tangan kanannya. Setelah mendapatkan senjata, tangan kirinya langsung menembak satu pengawal lainnya. Tubuh Retna Nawangsih berputar sekali lagi menjauh dari penodong sambil mendorong penodong ke arah danau. Dan sebuah tembakan akhirnya menghabisi kadal primata penodongnya.
Tempat ini memang tidak mendapatkan pengamanan maksimal, karena para kadal primata itu selalu menyangka tidak akan ada orang yang berani ke area itu. Hari ini mereka kecolongan. Retna Nawangsih telah memasuki area itu. Bahkan dua ekor pengawal yang menjaga area itu telah dimusnahkan oleh Retna Nawangsih. Padahal, setiap titik yang mendapatkan pengawalan itu berarti terhubung pusat kendali kekuasaan mereka.
Setelah menyelesaikan kedua pengawal tadi, Retna Nawangsih membuang senjata milik kadal primata. Kembali dia mengamati situasi sekeliling. Dia tahu, bahwa meskipun area ini cuma dikawal oleh dua ekor kadal primata, namun senjata mereka adalah alarm yang saling terhubung. Letupan yang terjadi pada salah satu senjata, akan mentriger alarm dari senjata sejenis lainnya sehingga semua pemegang senjata itu akan mendapatkan peringatan untuk siaga. Bukan saja alarm yang tertriger, senjata lainnya akan langsung mendeteksi koordinat letupan. Melalui koordinat tersebut, dengan mudah yang lain akan menemukan lokasi kejadian. Situasi ini tentunya tidak diharapkan oleh Retna Nawangsih. Sebentar lagi, tempat ini akan dipenuhi kadal primata. Ini pasti akan cukup merepotkan dan sangat membuang waktu karena dia masih harus menguntit Dhemit Marumaya. Satu-satunya tempat yang paling aman dan menguntungkan adalah di balik tirai air terjun. Dari tempat ini, Retna Nawangsih dapat mengamati situasi sambil melakukan serangan bila diperlukan. Retna Nawangsih segera melesat menembus air terjun.
Retna Nawangsih masuk ke dalam cerukan menjauh dari tirai air. Bila sebelumnya dia berencara untuk memperhatikan lingkungan itu dari sebalik tirai air, saat ini dia lebih memilih untuk melakukan scanning wilayah di sekitar. Retna Nawangsih duduk di atas sebuah batu yang agak besar dan kemudian melakukan bersilo dengan kedua tangan memegang lutut. Retna Nawangsih duduk dengan tegak. Setelah mengambil nafas beberapa kali, Retna Nawangsih menutup matanya. Setelah beberapa saat, matanya kembali terbuka dan mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangannya terbuka ke atas. Bersamaan dengan gerakan tangan Retna Nawangsih, air di danau juga terangkat membentuk gundukan air. Dan, ketika tangan kananya dia gerakkan lebih cepat, dari puncak gundukan terlihat seperti bayangan manusia melompat ke arah bagian lain dari area Prawalasapa. Para kadal primata itu mengira itu adalah orang yang mereka cara dan mereka berlarian mengejar bayang-bayang manusia itu. Tanpa mereka sadari gundukan air yang melontarkan bayang-bayang manusia itu tiba-tiba berubah bentuk menyerupai ular dan mengejar mereka serta mengikat dan memutar mereka dalam pusaran air yang mengambang di udara. Setelah beberapa berputar-putar, pusaran yang semakin kencang itu tiba-tiba berhenti. Para kadal primata itu mengikuti mementum mereka terlempar berhamburan, sementara yang memutar mereka oleh sebuah tenaga justeru dijatuhkan begitu saja menyirami hutan.
Air di danau berkurang sangat banyak. Retna Nawangsih keluar dari sebalik air terjun melompat masuk ke dalam danau yang air nya tingga seperempat. Dia melompat mendekati sebuah gua di kedalaman bekas danau disi kiri air terjun. Retna Nawangsih berjalan memasuki gua. Lantai gua agak menanjak, dan di ujung gua terdapat lubang sebesar gua yang mengarah ke atas vertikal. Dalam kondisi terisi air, mestinya orang berenang untu sampai ke atas. Tak menunggu waktu lama, Retna Nawangsih segera melesat atas dan keluar di sebuah gua yang sangat luas. Sebenarnya ini lebih mirip sebuah aula bila melihat ornamen yang terpasang pada dinding gua. Namun, tidak ada satupun kadal primata di sini terlihat di aula ini. Sepertinya mereka kabur ketika ada angin tarikan karena air danau yang dia angkat tadi. Di salah satu sisi aula terlihat ada lorong dengan yang sangat lurus sepanjang sekitar 200 meter dengan beberapa pintu di kedua sisinya. Retna Nawangsih segera berlari memasuki lorong tersebut. Hal yang aneh memang bila tidak diketemukan satupun kadal primata yang yang berkeliaran di area ini. Namun, dari beberapa pintu di lorong dia mendeteksi kehadiran makhluk-makluk perusuh ini. Retna Nawangsih sedang tidak berminat untuk bertarung. Meskipun saat ini dia sedang berada di lingkungan para kadal primata, namaun sesungguhnya dia sedang kehilangan jejak Dhemit Marumaya, dan dia ingin segera menemukan kembali jejak itu.
Di ujung lorong, ternyata lorong terpecah menjadi dua seperti hurif T. Retna Nawangsih tidak mau ambil pusing dalam memilih harus berbelok kemana karena dia tidak punya pengetahuan sama sekali tentang lorong ini sebelumnya. Belok ke kir maupun ke kanan sama saja. Retna Kenanga berbelok sesuai yang dia suka saja. Kali ini dia memilih belok ke kanan. Begitu terus saat dia harus bertemu persimpangan.
Retna Nawangsih terus berlari mengikuti lorong yang lebih mirip labirin tak ada habisnya itu. Terus berlari sampai merasa lelah bahkan merasa terjebak. Retna Nawangsih memperlambat larinya untuk kemudian hanya berjalan. Saat sedang berjalan, sayup dia mendengar keramaian dari balik dinding sebelah kirinya. Ini artinya pintu keluar seharusnya berada di sebelah kiri atau untuk persimpangan dia harus lurus saja atau belok ke kiri. Dan, benar saja, akhirnya setealh beberapa kali dia ambil lurus atau belok kiri, dia melihat ada cahaya terang dari ujung lorong, tepat saat dia mendengar hentakan puluhan kaki yang berlari agak jauh di belakangnya. Retna Nawangsih langsung melesat ke arah cahaya, dan mengurangi kecepatan untuk kemudian berjalan santai keluar dari pintu labirin.
Retna Nawangih saat ini tengah berada sebuah tribune membentuk U dari sebuah plaza yang sangat luas yang hampir setengahnya terisi oleh kadal primata. Di depan mereka semua, di sebuah podium yang sangat tinggi berdiri seekor kadal primata yang sedang berorasi.
“Saudara-saudaraku semua kaum Karkalasa! Biarlah mereka menyebut kita kadal, biarlah mereka menyebut kita monyet, tapi kita tetaplah kaum Karkalasa yang perkasa. Kaum Karkalasa yang ditakdirkan untuk menguasai semua dimensi karena hanya kaum Karkalasa yang mampu berpindah lapisan dimensi seperti melangkahkan kaki. Oleh karena itu, kita harus mampu menguasai seluruh lapis dimensi yang kita kenal, terutama dimensi utama. Para Penjaga yang tersisa sekarang berkumpul di sana. Kita harus mampu menaklukkan semuanya. Jangan kuatirkan perjuangan ini tanpa Pangka Tamomaya dan Bacira yang telah gugur mendahului kita. Ketahuilah, saat ini mereka sedang bersama kita untuk mewujudkan cita-cita kita! Namun, aku juga ingatkan pada kalian, jangan lagi mengambil tindakan sendiri-sendiri!”
Mendengar orasi dari Marumaya, para kadal primata yang hadir berlompatan sambil berteriak-teriak khas Sinpanse. Kemudian, tanpa dikomando semua berbalik badan mengarahkan ekornya kepada Marumaya. Mereka semua membanting-bantingkan ekornya berkali-kali. Tak mau kalah, Marumaya pun berbalik badan dan membanting-bantintingkan ekornya tiga kali. Setelah itu, Marumaya kembali menghadap ke arah para kadal primata.
“Saudaraku!” Marumaya melanjutkan orasinya. Para kadal primata kembali berbalik badan menghadap ke arah Marumaya semua.
“Saudaraku, kekalahan kita pada tahun 1998 dan 2008 adalah pelajaran-pelajaran yang telah kita cermati dengan sangat baik. Aku, Marumaya, pemimpin kalian, saat ini telah mendapatkan kekuatan terbaik. Di samping itu, para insinyur Karkalasa saat ini telah berhasil mengembangkan mesin yang mampu mengacaukan gelombang kesadaran sehingga kita tidak perlu lagi takut menghadapi para penjaga pada setiap dimensi!”
Semua kadal primata yang hadir bertepuk tangan. Dan, sekali lagi mereka berbalik badan untuk memukul-mukulkan ekornya ke tanah. Aksi ini di balas dengan gerakan yang sama oleh Marumaya.
Saking asiknya menonton kerumunan di plaza, Retna Nawangsih lupa bahwa dia masih ada di dekat pintu keluar labirin. Retna Nawangsih mulai menyadarinya saat suarau gedebuk kaki yang mengejarnya terdengar semakin keras semakin mendekati pintu keluar. Dengan kemampuannya yang telah terukur saat di Prawaladanda tadi, seharusnya dia mampu menghabisi mereka semua saat ini. Namun, dalam hati sebenarnya dia ragu juga. Meskipun 1998 dia belum berlatih di Ugra Sundari, namun tetap saja apa yang ditampilkan oleh Marumaya tadi di Prawaladanda masih jauh lebih rendah dibanding saat dia menghadapinnya di 1998. Sebebarnya da keraguan bahwa yang dia hadapi tadi adalah Marumaya karena dia sendiri belum melihat jelas mukanya. Apalagi bisa menyebut senjata yang mampu mengacau kesadaran penjaga. Dia memang belum melihatnya dengan pasti, namun menghadapinya sendirinya tentunya akan sangat tidak baik. Karena banyak hal yang dia tidak tahu, akhirnya Retna Nawangsih memilih untuk kabur. Retna Nawangsih melesat jauh ke atas dan menghilang. Kadal primata yang mengejar Retna Nawangsih bingung saat sampai di luar. Tidak ada Retna Nawangsih, malah harus melihat rapat umum yang bahkan mereka sendiri seharusnya dapat mengikuti. Kemudian dengan lemas mereka memasuki kembali pintu labirin. Sementara para kadal primata dan oratornya sekalipun, tidak sadar dengan apa yang terjadi di atas tribun.
Sementara itu, Retna Nawangsih telah berada di batas lapis dimensi. Melayang tanpa merasakan apapun dimana hanya ada kesadarannya saja. Di sini dia merasakan kehadiran guru sekaligus neneknya. Kehadiran yang semakin dekat dan menariknya ke arah yang tidak seharusnya. Saat eksistensinya kembali penuh dan dia dapat membuka matanya, dilihatnya ada seorang perempuan seumuran dirinya berdiri di depanna, Endang Paramayana Wardini. Perempuan itu tersenyum dan menyapanya dengan hangat, “selamat datang cucuku!”
Mendapat sapaan yang hangat itu, Retna Nawangsih langsung menekuk lututnya dan menghaturkan hormat, “salam dari cucumu yang tak pernah sempat menjengukmu eyang Endang Paramayana Wardini!” Endang Paramayana tersenyum dan membalas salam dari cucunya itu, “bangunlah cucuku, aku sangat paham dengan urusanmu di sana!”. Retna Nawangsih bangun sambil tetap menundukkan kepalanya.
Di samping Endang Paramayana, berdiri seorang gadis cantik dengan berwajah bulat, Sophia Indrakanya yang clingukan melihat kedua perempuan itu. Kalau dilihat dari umur, sepertinya masih sama seumuran. Tapi, kenapa perempuan yang sempat bertempur bersamanya melawan Marumaya dan pasukannya tadi terlihat sangat menghormati dan bahkan menyebutnya sebagai eyang.
“Sophia, ini adalah Retna Nawangsih Bawana Nisala Putri. Dia adalah cucuku di dimensi utama. Tapi dia di sini masih seumuran denganku. Kamu nggak usah kaget!” Endang Paramayana Wardini menjelaskan kepada Sophia. Sophia cuma bisa bilang dalam hati sambll mengangguk dan tersenyum, “Oo… bisa begitu ya? jangan-jangan ada juga cucuku di dimensi lain!”
“Cucuku, aku terpaksa menarikmu dalam perjalanan kembali ke dimensimu. Keadaan sudah semakin genting. Aku telah mengutus muridku Sophia ke lapis pertama untuk mengamati gerak-gerik Karkalasa. Dari pengamatannya, saat ini mereka memang telah mengalami banyak kemajuan dalam pengembangan teknologi tempur untuk melawan kemampuan kita.” Endang Paramayana memulai pembicaraan dengan Retna Nawansih.
“Betul Eyang, bahkan Marumaya sendiri juga telah meningkatkan kemampuanya. Tadi saat saya dengan murid Eyang yang cantik itu bertempur melawan Marumaya pun hampir dikalahkan. Untung, murid Eyang ini sungguh luar biasa sehingga kami berdua dapat membuatnya melarikan diri!” sahut Retna Nawangsih sambil tersenyum ke arah Sophia. Namun, mendapatkan senyum Retna Nawangasih, Sophia justeru nampak pucat ketakutan. Endang Paramayana justeru tersenyum melihat perubahan pada Sophia.
“Tidak apa-apa Sophia, dia ini adalah seniormu. Kamu boleh menampilkan dirimu kepadanya!” tegur Endang Paramayana.
“Iya, Guru!” jawab Sophia sambil senyum tersipu-sipu. Ini tentunya membuat Retna Nawangsih dan Endang Paramayana Wardini tertawa.
“Sophia adalah generasi terbaik dari perguruan kita. Andai Guru Wikasitapaliya masih berada di tengah kita, pasti beliau akan sangat bangga melihatnya!” tutur Endang Paramayana. Kali ini ada nada bangga dan nada sedih sekaligus terlintas dalam ungkapan Endang Paramayana. Suasana menjadi sangat hening. Retna Nawangsih tidak berani berbicara. Dia sangat memahami kemasygulan neneknya terhadap keputusan Wikasitapaliya untuk benar-benar mengikuti keinginan Bajranala menghindari urusan penjaga, sementara avatarnya menghilang dalam suatu kerusuhan di lapis kedua. Wikasitapaliya menghilang saat berusaha menghalangi gelombang energi yang berisi sugesti menyasar Jakarta di lapis kedua.
“Gurunda Endang Paramayana Wardini tidak usah khawatir. Saat ini saya bersama Dinda Retna Nawangsih tengah membentuk tim yang sangat kuat dan berjalan seiring baik di lapis kedua maupun di dimensi utama!”
Tiba-tiba terdengar suara perempuan yang sangat lembut memecah keheningan dan kebekuan itu. Entah darimana datangnya di samping Retna Nawangsih saat ini telah berdiri Nyi Ajar Nismara. Perempuan cantik dengan dandanan mirip kisah 1001 malam lengkap dengan cadarnya itu kemudian berlutut memberikan penghormatan kepada Endang Paramayana Wardini.
“Deriya Habibah , bangunlah!”
Endang Paramayana memegang bahu Nyi Ajar Nismara yang ternyata mempunyai nama Deriya Habibah , dan membimbingnya untuk berdiri lagi. Wajah Endang Paramayana nampak sumringah melihat kehadiran Nyi Ajar Nismara atau Deriya Habibah . Tambah lagi dengan berita yang disampaikan oleh Nyi Ajar Nismara.
“Betulkah itu?” tanya Endang Paramayana.
Nyi Ajar Nismara alias Deriya Habibah tidak langsung menjawab. Dia melirik ke arah Retna Nawangsih. Endang Paramayana yang melihat lirikan mata Nyi Ajar Nismara menoleh ke arah Retna Nawangsih dengan tatapan penuh tanya.
Melihat tatapan mata gurunya, Retna Nawangsih kemudian menggantikan Nyi Ajar Nismara untuk menjawab pertanyaan gurunya.
“Betul, Guru! Setelah kami mengetahui bahwa Gurunda Wikasitapaliya di dimensi utama mempunyai seorang putri, saya bersama Yunda Deriya Habibah mempersiapkan putri saya, Sitakara, dan seorang murid lelaki Alang-alang Segara Wedi untuk mencari putri Gurunda yang berada di lapis pertama. Alhamdulillah, mereka dapat menemukan Arundhati Striratna, adik satu bapaknya!” Meskipun berucap Alhamdulillah, namun nada bicara Retna Nawangsih justeru menampakkan sebuah kesedihan ketika menyebut status Sitakara dan Arundhati. Endang Paramayana sangat memahami hal ini. Dia melirik kepada Nyi Ajar Nismara yang membalasnya dengan senyum dan melanjutkan penjelasan Retna Nawangsih.
“Sebagai anak yang lahir dari Gurunda Wikasitapaliya, Arundhati adalah wadah yang tepat untuk menerima seluruh ajar dari perguruan yang kami dirikan bersama Kakang Gagak Seto. Karena kecerdasannya, saya memutuskan untuk meneruskan seluruh apa yang saya kuasa kepada Arundhati secara khusus. Tidak lebih dari sepuluh hari dia telah mendekati kesempurnaan adikodrati dalam arti bahwa dia akan mendapatkan kemampuan yang melebihi kita. Namun, ada hal lain yang lebih luar biasa. Penyelarasan Arundhati ini terjadi seratus persen dalam arti bahkan, Arundhati dimensi utama ini mendapatkan keuntungan dari hasil latihan kembarannya di lapis kedua tanpa harus berlatih lagi. Demikian juga sebaliknya, kemampuan Arundhati di dimensi utama juga terserap oleh Arundhati pada lapis kedua. Memang ini adalah hal yang juga terjadi pada ananda Sitakara dan kawan-kawannya, namun pada Arundhati prosesnya jauh lebih cepat”
Endang Paramayana terlihat sangat sumringah mendengar penjelasan Nyi Ajar Nismara alias Deriya Habibah .
“Luar biasa! Mendengar cerita kalian, sepertinya aku tidak lagi perlu untuk merasa cemas!” kata Endang Paramayana Wardini menyela.
“Di samping mereka berdua, kami juga mempunya Niken Landjar Sekar Kenanga, putri kinasih Ki Ageng Gagak Pergola dan almarhumah Yunda Retna Gantari kakak Dinda Retna Nawangsih! Sekar Kenangan adalah murid paling tangguh di perguruan kami, dan sebenarnya Sekar Kenanga ini pada beberapa hal mempunya dasar kemampuan yang sama dengan Arundhati, namun daya serap Arundhati ini sulit untuk dibandingkan dengannya sehingga meskipun Arundhati baru masuk beberapa bulan, telah mampu melampaui kemampuan Sekar Kenanga.” lanjut Nyi Ajar Nismara memungkasi cerita kepada Endang Paramayana. Mendengar penuturan kedua muridnya, Endang Paramayana tidak lagi sanggup untuk tidak memperlihatkan ekspresi kegembiraanya.
“Luar biasa, kerja yang sangat luar biasa. Kalau begitu bawa mereka siapa itu…. Arundhati, Sitakara, terus siapa lagi itu… Niken.. Niken……” Endang Paramayana nampak mengerutkan jidatnya kerena lupa dengan nama lengkap Sekar Kenanga. Retna Nawangsih yang melihat kebingungan Gurunya segera melanjutkan nama lengkap Sekar Kenanga, “Niken Lanjar Sekar Kenanga, Guru!”
“E iya…. Iya.. Niken Lanjar Sekar Kenangan….!”
“Kenanga Guru, bukan Kenangan!”
“Iya… iya… Kenanga!”
Retna Nawangsih dan Nyi Ajar Nismara alias Deriya Habibah tertawa. Sophia nampak menahan tawa. Dia tidak mau ikut tertawa bareng para seniornya. Takut kualat. Retna Nawangsih yang melihat tingkah Sophia semakin terpingkal-pingkal tertawanya.
“Sophia, gak usah sungkan kalau mau ikut tertawa!” tergur Retna Nawangsih. Sophia cuma bisa nyengir kuda, karena dia masih takut kualat.
“O iya, Deriya Habibah, Retna, ini muridku yang paling mungil dengan kemampuan yang telah melebihi bahkan para senior kalian di perguruan. Dan mungkin bila mendengar cerita kalian, mungkin dia setara dengan Sekar Kenanga. Namanya Sophia Indrakanya!”
Dengan bangga Endang Paramayana memperkenalkan Sophia kepada Nyi Ajar Nismara dan Retna Nawangsih.
“Betul, Yunda Deriya Habibah, Sophia ini memang sangat hebat. Tadi kami, Saya sama Sophia sempat bekerja sama menghajar Marumaya dan pasukannya!” tutur Retna Nawangsih memperkuat pendapat guru mereka. Pipi yang menempel di sebidang wajah cantik milik Sophia itu kembali memerah. Kali ini si pemilik wajah cantik ini, memberanikan diri untuk bertanya kepada gurunya.
“Guru, apakah boleh saya memperlihatkan jati diri saya kepada mereka?”
“Mereka siapa yang kamu maksud, Sophia?” tanya Retna Nawangsih. Endang Paramayana dan Nyi Ajar Nismara mengangguk dan kompak bertanya kepada Sophia, “Iya, mereka siapa Sophia?”
“Ih… Guru….! Maksud Sophia, bolehkah saya memperlihatkan jati diri saya kepada Arundhati, Yu Sitakara, dan Yu Sekar Kenanga?” jawab Sophia menjelaskan pertanyaannya. Dan sekalilagi, tanpa dikomando mereka bertiga menjawab, “Boleh… cah ayu!”
“Memang kenapa Sophia, bukankah nanti kalian juga akan berlatih bersama?” Nyi Ajar Nismara menanyakan sesuatu yang sangat tidak diharapkan oleh Sophia. Kembali lagi, Sophia jadi salah tingkah dibuatnya. Retna Nawangsih tersenyum.
“Bukan begitu maksud saya Bibi Deriya Habibah! Tapi…..” Sophia tidak segera menyelesaikan kata-katanya.
“Tapi apa, sayang?” Tanya Nyi Ajar Nismara. Meskipun status dia adalah kakak seperguruan, namun karena umur yang terpaut jauh ada rasa sayang seorang ibu kepada anaknya yang tiba-tiba menyeruak dari hati Nyi Ajar Nismara.
“Guru….!” panggil Sophia kepada gurunya.
“Iya Sophia, ada apa?” sahut Endang Paramayana lembut.
“Anu… Guru…! Tapi Guru jangan marah ya?!” pinta Sophia agak manja.
“Iya, gak akan marah!” jawab Endang Paramayana lembut.
“Jadi gini Guru, tadi setelah Bibi Retna Nawangsih pergi, datang Kakang Arya Kandaga. Saya kira kalau sama kakang Arya Kandaga, itu tidak masalah. Kakang Arya Kandaga tidak pernah saya kenal di dimensi utama. Bahkan di lapis pertama pun saya beru mengenalnya. Namun, ternyata bersama Kakang Arya Kandaga datang pula Ayun atau kalian kenal dengan nama Arundhati, Sweta Nandini, Yu Sitakara, Yu Sekar, dan Kang Ansuman. Karena ada Ayun dan Sweta Nandini, saya lupa bahwa saya harus bersembunyi. Saya malah menyambut kedua teman sekolah saya ini dengan suka cita!” jelas Sophia menunduk sambil meremas-remas jubah gamisnya. Endang Paramayana tersenyum sambil mengusap kepala Sophia dan berkata, “Tidak apa-apa Cah Ayu. Tapi sebagai hukuman, dalam latihan berikutnya, kamu harus ditemani mereka!”
Sophia kaget namun juga gembira. Wajahnya nampak sumringah, karena dia bakal berlatih bersama dengan Arundhati. Namun tiba-tiba dia teringat Sweta Nandini. Dia berpikir keras bagaimana caranya agar Sweta Nandini yang merupakan kawan akrab Arundhati dapat diikutkan dalam latihan mereka di lapis kesembilan.
“Baik Guru, tapi bolehkah kalau hukuman murid ditambah?”
Retna Nawangsih, Nyi Ajar Nismara, dan Endang Paramayana bingung.
“Ditambah bagaimana Sophia?” tanya Endang Paramayana.
“Bolehkah bila Sweta Nandini diikutsertakan dalam pelatihan di Ugra Sundari?”
Semua yang mendengarkan permintaan Sophia tertawa terpingkal-pingkal. Setelah puas tertawa, Endang Paramayana menjawab permintaan Sophia.
“Boleh boleh boleh! Boleh saja. Cuma karena kita adalah perguruan khusus perempuan, kamu tidak boleh meminta Ansuman atau Arya Kandaga untuk ikut berlatih di sini. Dan satu lagi, meskipun nanti mereka akan berlatih sini, mereka bukanlah murid Ugra Sundari. Mereka tidak boleh tahu tempat kita saat ini!
Kali ini, wajah Sophia nampak bahagia sempurna, “Asiiikkkkk, terimakasih, Guru!” teriak Sophia sambil memeluk gurunya dan kemudian berkata, “terimakasih Guru!” yang dibalas dengan bisikan, “ingat jangan pernah memberitahukan lokasi tempat ini kepada mereka!”. Sophia mengangguk-angguk sambil tetap mengucapkan “terimakasih Guru!”
Setelah puas memeluk gurunya, Sophia segera mundur dan melepaskan tangannya. Setelah agak jauh dari gurunya, Sophia membungkuk memberikan hormat kepada gurunya dan kedua seniornya.
“Terimakasih guru dan para bibi semua, namun sepertinya hari ini sudah terlalu lama Sophia meninggalkan rumah Sophia di dimensi utama. Sophia pamit undur diri!”
Mendengar kata pamit Sophia, Endang Paramayana baru ingat untuk memberitahukan kepada kedua murid seniornya.
“Tunggu dulu Sophia. Ada yang ingin aku sampaikan kepada kalian bertiga. Retna dan Deriya Habibah, ada yang seharusnya kalian ketahui. Bila kehadiran Deriya Habibah bersifat tunggal hanya ada di dimensi mimpi ini, kemudian kehadiran Retna Nawangsih bersifat ganda baik di dimensi utama maupun dimensi mimpi, maka kehadiran Sophia ini bersifat tunggal hanya ada di dimensi utama. Ada satu hal yang sama di antara kalian. Sebagai penjaga, kalian semua bebas memasuki semua dimensi baik sebagai kesadaran yang mewujud, maupun membawa badan wadag kalian. Namun ada yang unik pada Sophia, kehadiran dia di dimensi mimpi hanya merupakan kesadaran yang mewujud. Di sini dia tidak dapat dibunuh oleh siapapun. Jadi, dugaan saya, terutama kamu Retna, untuk menghindari risiko terbunuh saat melintas dimensi, jangan bawa badan wadag kalian keluar dari dimensi asal kalian!”
“Terimakasih, Guru!” sambut Retna Nawangsih dan Nyi Ajar Nismara secara bersamaan.
“Namun Guru, saya dan putri saya di lapis kedua saat ini belum mampu mendeteksi keberadaan saya versi dimensi mimpi, Guru!” lanjut Retna Nawangsih mengungkapkan kegelisahannya.
“Jangan khawatir Retna, Aku secara pribadi juga tidak tinggal diam. Semenjak terakhir kamu meninggalkan lapis kesembilan belasan tahun yang lalu, setiap ada kesempatan aku selalu berusaha untuk mendeteksi kehadiranmu di antara lapis dimensi ini!” jawab Endang Paramayana.
“Baiklah, Guru. Terimakasih! Dan, sekiranya tidak ada lagi yang harus kita bicarakan, saya Retna Nawangsih, bermaksud undur diri kembali ke dimensi utama, Guru, Yu Deriya Habibah!”
“Baiklah, silakan!” Endang Paramayana tersenyum dan mempersilakan muridnya. Nyi Ajar Nismara tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Retna Nawangsih segera beranjak dari tempatnya berdiri mendekati posisi Sophia. Saat berjalan mendekati posisi Sophia, Endang Paramayana sekali lagi berkata, “Hati-hati saat melintasi lapis dimensi. Jaga kesadaran kalian pada posisi paling tinggi. Ingat, barusan aku berhasil menarikmu ke lapis ini Retna!”
Retna Nawangsih tersenyum sambil berucap, “Terimakasih, Guru! Akan kami ingat!”. Retna Nawangsih memandang ke arah Sophia untuk bersiap. Sophia mengangguk dan kemudian mereka berdua mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum, selamat tinggal Guru!”. Tubuh kedua perempuan berbeda generasi itu kemudian mulai kabur dan menghilang. Endang Paramayana tersenyum dan kemudian menghampiri Nyi Ajar Nismara. Setelah berkata-kata beberapa saat, kemudian keduanya berpisah untuk mengambil posisi masing-masing dan menghilang.
.jpeg)
0 comments:
Posting Komentar