{12} Rumah
Sudah satu bulan Arundhati menjalani hidupnya secara normal.
Sekolah, main, ngaji, nonton streaming, bantu Ibu, semua berjalan secara acak
as needed. Kecuali sekolah dan sholat tentunya. Yang dua ini memang sudah
terjadwal.
Siang ini, sepulang sekolah, Arundhati nampak jenuh. Selesai
shalat Ashar, Arundhati cuma rebahan di tempat tidurnya. Dengan kedua tangannya
sebagai bantal tambahan, Arundhati tampak melamun. Pandangannya menerawang
entah ke mana. Sudah satu bulan ini Arundhati mengunci diri dari lapis kedua
dimensi mimpinya. Terlalu berat buatnya untuk menanggung dua pengalaman yang
berbeda secara bersamaan. Tapi memang seperti yang dikatakan oleh Nyi Ajar
Nismara, hasil pelatihan di padepokan dapat dia rasakan juga. Badanya makin
kuat, gerakan makin lincah. Bahkan pernah sekali dia coba dengan Nandini,
banyak sekali dia keluarkan gerakan yang pada dasarnya mirip Nandini, namun dia
dapat membawakannya dengan lebih baik. Arundhati
tersenyum-senyum sendiri. Tiba-tiba dia merasa kangen dengan Sitakara. Bila Nandini,
temannya itu, dapat dia temui di dimensi itu, apakah mungkin Sitakara dapat
pula dia temui di dimensi kenyataan ini? Dimanakah gerangan tinggalnya Sitakara
di dimensi ini? Ah, sepertinya lebih baik membuka lagi keselarasan dengan lapis
kedua dimensi mimpinya itu agar dapat bertemu dengan Sitakara dan menanyakan
hal itu. Dan, tanpa menunggu lama, dengan tanpa merubah posisinya, Arundhati
membuka keselarasan dengan lapis kedua dimensi mimpinya itu.
Awalnya, Arundhati berusaha agar matanya tidak tertutup
ketika dia mulai membuka keselarasan dengan lapis kedua dimensi mimpinya itu.
Namun, waktu sebulan adalah waktu yang cukup dan lama untuk menjadikan kesadarannya
tidak lagi selaras, sehingga membutuhkan penyelasaran ulang. Tubuh Arundhati
bergetar hebat. Kedua tangannya yang dia pakai buat bantala dia tarik untuk
kemudian memegang kepala sambil memejamkan mata. Arundhati pernah mengalami
penyelarasan sewaktu ada di dimensi mimpi. Bahkan ketika itu dia mendapatkan
peningkatan kesadarannya. Tanpa rasa sakit. Namun di dimensinya saat ini, perwujudan
fisiknya ini ternyata sangat rentan dalam menerima aliran informasi dari
kesadarannya di dimensi lain. Mungkin getaran dan kesakitan Arundhati pada
tubuh fisiknya inilah yang terlihat oleh orang tuanya ketika Arundhati yang berada
pada dimensi mimpi sedang melakukan penyelarasan, sehingga dia kemudian dibawa
ke rumah sakit dan bahkan sampai diperiksa menggunakan EEG.
Arundhati berusaha menahan sakitnya dengan tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun. Dia takut orang tuanya akan datang ke kamarnya
dan kemudian mereka akan ketakutan. Itu tidak bagus, karena bisa jadi dia akan
dilarikan ke rumah sakit lagi.
Limabelas menit berlalu dalam rasa sakit, akhirnya proses
penyelarasan itu selesai. Semua pengalaman di dimensi ini telah terselaraskan
dengan lapis kedua dimensi mimpinya, begitu sebaliknya. Hal lain yang dirasakan
adalah, selain informasi yang terselaraskan, Arundhati juga merasakan adannya
energi yang begitu besar mengisi kesadarannya. Rasa kangennya kepada Sitakara
pun sudah tidak lagi dia rasakan. Kesadarannya telah merasakan kehadirannya
tiap hari bersama dengan Nandini. Mereka bertiga berlatih ilmu bersama guru Nyi
Ajar Nismara dan kadang bersama Ki Ageng Turangga Seta. Bahkan, Arundhati juga
merasakan bahwa dia pernah juga dihukum menyepi di dangau di tengah tegalan
milik padepokan, karena melanggar disiplin padepokan. Arundhati memang dapat
dibilang sebagai jenius, namun langkah seorang jenius seringkali tidak kompatibel dengan aturan yang
mengharuskan belajar setahap demi setahap. Arundhati sering tidak sabaran. Saat
sedang dihukum inilah biasanya Sitakara datang menyambangi, menyemangati agar
tetap bersemangat. Ansuman juga sering menyambangi dia bila sedang dihukum. Dia
sering ngeledek Arundhati, namun sering juga dia menghibur dan bercakap tentang
masalah apapun. Termasuk memperbincangkan Sitakara. Dari Ansuman lah dia tahu
keberadaan Sitakara di dimensi utama.
Arundhati membuka mata dan melepaskan tangannya dari
kepalanya. Arundhati berjalan ke kaca besar yang menjadi pelengkap lemari
pakaiannya, berkaca dan rambutnya terlihat acak-acakan. Arundhati menoleh ke
arah ranjangnya. Ranjang rustic cantik yang terbuat dari bambu wulung dengan
kasur busa tebal tampak awut-awutan. Agaknya spreinya tertarik ke sana ke mari
ketika Arundhati menggeliat-geliat kesakitan. Arundhati tersenyum. Dia memang
punya kemampuan dalam hal pergerakan, namun tidak dalam hal penataan. Karena,
dia tidak mampu membayangkan bagaimana melakukan aktifitas bebenah dengan
kemampuan ekstranya. Akhirnya dengan cara konvensional Arundhati bebenah ranjangnya,
dan kemudian menyisir rambutnya. Setelah selesai semua, dia raih kerudungnya
langsung dia kenakan. Dengan jubah coklat susu dan kerudung putuh kesukannya,
Arundhati keluar, ke teras depan rumahnya. Namun, karena ternyata di teras
sebelah kiri ada Bapak dengan Ki Manten duduk di kursi tamu, Arundhati menahan
langkahnya.
“Dados ngaten, Ki! Sampai saat ini kita belum tahu ada apa
dan kenapa Ayun jadi begitu!” terdengar suara Bapak mengatakan sesuatu kepada
Ki Manten.
“Kaya kiye jane. Wektu semana Ayun kuwe jane ra ngapa-ngapa,
Ayun itu gak kenapa-kenapa, tapi ada dua makhluk laki perempuan yang nyulik
Ayun. Tapi syukur, saya udah membalik keadaaan!”
“O… Gitu…. Ki!”
Sebenarnya Arundhati tidak terlalu peduli sama Ki Manten,
namun demi mendengar bahwa dia diculik oleh dua makhluk laki sama perempuan
berarti Ki Manten ini telah memfitnah Ansuman dan Sitakara. Ki Manten ini
sebenarnya adalah penerobos nakal. Dia memanfaatkan frekuensi nakal dari makhluk-makhluk
tak nampak untuk melakukan penerobosan. Namun, Ki Manten ini cukup cerdik untuk
tetap menjaga dirinya tetap waras. Yakni dengan tidak memaksa diri melakukan penerobosan
yang tak mungkin dia lakukan. Untuk mendapatkan informasi dia cuma menggali
informasi dari mereka yang berhasil, seperti Arundhati. Kedai makan tempat Arundhati bersama Sitakara
dan Ansuman beristirahat saat mengantar Arundhati menyeberangi jembatan, adalah
tempat yang paling sempurna untuk menggali informasi. Arundhati juga ingat di kedai
itu dia sempat melihat orang tua itu. Arundhati sangat marah. Arundhati segera
mengunci simpul waktu. Dia buat lengkung waktu agar dia dapat leluasa melakukan
aksinya di dalam lengkung waktu itu.
Setelah semua lingkungan artifisial nya siap, Arundhati
melangkah mendekati Ki Manten. Semua nampak mematung. Waktu berhenti buat
mereka, namun tidak buat Arundhati. Sesampainya di samping Bapak, Arundhati
memanggil Ki Manten.
“KI Manten!”
Saat Arundhati memanggil Ki Manten, tubuh Ki Manten agak
sedikit bergetar dan kemudian terlihat tubuhnya berdiri. Tubuh yang berdiri itu
sendiri lebih mirip klon yang meninggalkan tubuh aselinya.
“Ki Manten!”
Sekali lagi Arundhati memanggil Ki Manten. Ki Mantern yang
masih bingung dengan situasinya kemudian berhenti dan menatap ke arah
Arundhati.
“Ki Manten, saya Arundhati anak Bapak Mad Kusen dan Ibu Saliyah,
memanggil kesadaranmu ke dalam dimensi ini!”
Arundhati yang biasanya bersikap manja, saat ini bersikap
sangat serius. Intonasinya dalam berkata-kata juga terdengar sangat serius.
Lingkungan di sekitar mereka berdua tiba-tiba menjadi sangat
gelap. Arundhati sengaja menciptakan situasi itu agar Ki Manten paham siapa
yang tengah dia hadapi.
“Ka… kamu… Ayun?” agak terbata-bata Ki Manten bertanya pada
Arundhati memastikan.
“Betul, Ki Manten, saya Arundhati anak Bapak Mad Kusnen dan
Ibu Saliyah. Ki Manten saya tarik ke dalam
pengaruh saya untuk memperingatkan, agar Ki Manten menjauhi Bapak saya, dan
mulai berhenti menyebarkan kebohongan-kebohongan!”
Ki Manten bukannya menjawab peringatan dari Arundhati, malah
kemudian mendongak ke atas kagum, sambil kedua tangannya mendekap dada
kedinginan, “ini….ini….ini di mana Ayun?”
Arundhati telah merubah lingkungannya menjadi sebuah
lingkungan di atas gunung yang dingin.
“KI Manten saat ini sepenuhnya berada dalam kendali saya. Sebagai
penerobos pengecut macam Ki Manten, seharusnya Ki Manten tahu siapa saya dan
apapun keputusan Ki Manten akan berakibat fatal bila itu kemudian menyinggung
saya!”
Sebenarnya Ki Manten ingin mengabaikan ucapan anak kecil
seperti Arundhati. Dia masih ingin mengagumi suasana yang tiba-tiba telah
berpindah ke sebuah taman yang Indah, namun dia menyadari ada kata-kata yang
mengandung ancaman dalam ucapan Arundhati.
KI Manten menatap tajam seakan tidak terima dengan ucapan
Arundhati, namun tiba-tiba suasannya telah berubah. Kali ini dia merasa berada
di sebuah gurun yang sangat panas, dan semakin panas ketika dia mengucapkan,
“Ha ha ha…. apa yang perlu aku takutkan dari seorang seperti kamu?”. Ki Manten
masih berusaha untuk mengatasi Arundhati yang sebenarnya dia sendiri sangat
paham bahwa itu tidak mungkin. Namun ego seorang yang dianggap orang pintar di
kampungnya membuat dia berusaha untuk mengingkari.
Arundhati marah. Kali ini dia buat suasana lingkungannya
berada di lautan lava yang mendidih dan sangat panas. Ki Manten saat ini ada
pada posisi menggantung terbalik. Entah kemana kakinya menggantung, namun yang
pasti mukanya saat ini sangat dekat dengan genangan lava yang mendidih. Masih
dengan intonasi yang teratur, berkata dengan lebih keras, “Saya Arundhati,
murid dari Ki Ageng Gagak Seta dan putrinya Nyi Ajar Nismara meminta kepada
Sadin Partodinoyo alias Ki Manten, untuk berhenti melakukan
kebohongan-kebohongan kepada siapapun khususnya kepada ayah saya!”
Ki Manten mulai menyadari situasi. Kekuatan persepsi Arundhati
memang sangat luar biasa. Bukan cuma pandangannya saja yang mengikuti kehendak
Arundhati, bahkan Arundhati telah mempengaruhi orientasi dan syaraf-syaraf
perasanya, “Ayun…! Maafin Ki Manten. Setelah gak lagi jadi lurah Ki Manten gak tahu
lagi bagaimana mendapatkan penghasilan!”
“Ki Manten, sebagai orang tua, kamu sudah cukup banyak tahu
tentang dunia ini. Seharusnya kamu menasihati orang-orang dengan pengalaman
kamu. Tak perlu kamu hubung-hubungkan dengan dimensi-dimensi lain yang kamu
sendiri tidak pernah tuntas menelusurinya. Apalagi bila kamu tambah dengan
bumbu-bumbu mistis yang menakutkan!”
Arundhati berusaha menasihati Ki Manten. Suasana saat ini
telah berubah lagi. Mereka berdiri di sebuah batu besar di samping sebuah air
terjun. Ki Manten tidak berani lagi untuk mengabaikan Arundhati yang sedang
pamer kekuatan. Arundhati yang mengenakan jubah dan kerudung putih gading
berdiri gendong tangan berhadap-hadapan dengan Ki Manten. Ki Manten cuma bisa
menunduk dan sambil gemetar dia menjawab, “baik nona Arundhati, saya akan
mengingatnya!”
“Baiklah, sekarang kembalilah!”
Suasana saat ini kembali ke teras depan rumah. Ki Manten
kembali ke posisi mematung, Arundhati kembali ke dalam sambil mengembalikan
waktu ke simpul yang dia buat tadi.
Setelah semuanya kembali seperti sediakala dimana Bapak baru
selesai bicara dengan Ki Manten, Arundhati melangkah ke luar dengan mempertahankan jubah dan kerudung putih
gadingnya.
“E… ada Ki Manten!” Arundhati menegur Ki Manten. Mendengar
cara menegur Arundhati, Bapak Kaget. Bapak mau menegur Arudhati. Namun, ketika
melihat perubahan mimik muka Ki Manten yang justeru nampak ketakutan saat
melihat Arundhati lengkap dengan jubah dan kerudung putih gading, Bapak malah
jadi bingung.
“A.. e… Nuwun sewu, saya pamit dulu, ya!” Ki Manten berdiri
dari duduk nya. Ki Manten melihat ke arah Arundhati, “terima kasih ya… Ayun!”. Ki Manten buru-buru melangkah
keluar, “Assalamu’alaikum!”. Setengah
berlari, Ki Manten mengambil motornya, starter langsung keluar halaman. Bapak yang
mengikuti Ki Manten sampai tangga teras cuma bisa bengong melihat kelakuan Ki
Manten.
“Kanapa pula orang tua itu? Tiba-tiba kayak orang melihat
setan!” kata Bapak berkomentar. Arundati yang berdiri di samping Bapak langsung
menyergah, “Bapak…! Emang Ayun kayak setan?”
Bapak tersenyum, sambil merangkul pundak Arundhati, “hala ya
nggak to… Itu Ki Manten itu buru-buru lari ketakutan kayak ngeliat setan.
Padahal yang dilihat kan anak Bapak yang pwaling cwantwikkk!”
Arundhati tersenyum lebar. Bapak teresnyum dan kemudian
bertanya, “Itu tadi emang Ayun kasih apa ke Ki Manten, kok tadi make acara
bilang terimakasih segala?” tanya Bapak. Arundhati tersenyum, kemudian dia taruh
jari telunjuknya ke depan bibirnya, “entahlah… tapi yang pasti Ki Manten ini
memang tukang bohong! Masa bilang Ayun diculik Alien! Allien darimana? Mars
kali….”. Jawab Arundhati sekenanya. Bapak tertawa
lepas mendengarnya. “Baiklah,
kita lupakan saja Ki Manten”. Arundhati
tersenyum.
Bapak kembali ke tempat duduknya sambil mengangkat cangkir
kopi di depannya, “eh….. sayang kopi udah dibikin ibumu kalo nggak dihabisin!”.
Arundhati mengikuti Bapak dan duduk di kursi yang tadi
diduduki Ki Manten. Dengan berkelakar Bapak menawarkan kopi Ki Manten yang
belum sempat di minum, “itu.. kopinya Ki Manten belum diminum, kalau Ayun Mau!”
Arundhati melotot ke arah bapaknya, “ih bapak ih…. masa iya
Ayun suruh minum kopi item?”
Melihat Arundhati melotot, Bapak tertawa. Arundhati tersenyum.
Setelah selesai tertawa, Arundhati bertanya pada Bapak, “Bapak, katanya dulu
bapak pernah sekolah SMA di Kota!?”.
Sambil nyruput kopinya yang masih panas Bapak bilang, “Ya!”
“Terus, bapak kenal gak sama Retna Nawangsih?” Arundhati melanjutkan
pertanyaannya. Kali ini Bapak kaget luar biasa. Sambil tengak-tengok kiri
kanan, Bapak menaruh jari telunjuknya ke depan mulutnya sambil, “sssttt….
Jangan keras-keras! Ntar mBokmu denger!”
Kontan Arundhati tertawa tergelak-gelak, “Iya… iya… gak akan
keras-keras!”. Arundhati senang karena meskipun bapaknya tidak mengatakan bahwa
dia tahu, namun respon bapak yang luar biasa telah secara jelas mengatakan
bahwa Bapak memang kenal dengan Retna Nawangsih. Bahkan, lebih dari sekedar
kenal sepertinya. “Berarti Bapak kenal, yakan?” lanjut Arundhati memastikan.
Dan, Bapak mulai bercerita, “Iya… iya… kenal. Retno itu adalah kisah pertama
Bapak. Bapak betul-betul gandrung sama Retno.
Namun, mBahmu itu lho…!”
“Jadi bapak kecewa?”
“Kecewa… yo Kecewa…. Tapi setelah ketemu ibumu, rasa kecewa
bapak hilang. Dan, apalagi setelah punya kamu!” jelas bapak sambil menjitak kepala
Arundhati yang songgowang di atas meja, “Aw…! Ih Bapak ih…!” Arundhati protes
karena tiba-tiba kepalanya dijitak Bapak. Bapak tertawa. Arundhati pasang muka
cemberut. Bapak malah tambah tertawa. Setelah reda ketawanya, Bapak melanjutkan
ceritanya, “setelah kawin sama siapa entah nama suaminya, lupa, Retno memiliki
anak yang namanya siapa itu… Si… siapa itu Sita… Sitak…. !”
“Sitakara…..!”
“Iya Sitakara namanya!”
“Sitakara Dhanta!”
“Betul… ya betul.. betul…betul itu Sitakara Dhanta! Sitakara
itu rembulan, Dhanta itu gigi yang putih bersih, mungkin maksudnya cantik
bersinar seperti rembulan dan kalau tersenyum sangat manis. Hmm… mungkin
seperti ibunya. Cantik dan kalau tersenyum manis sekali memperlihatkan deretan gigi
putihnya”. Bapak mulai melamun. Arundhati tersenyum, mendengar penjelasan yang
tidak perlu itu.
Arundhati termenung sebentar. Ternyata Sitakara bukan orang
jauh. Masih tetangga kabupaten dengannya saat ini. Arundhati dan keluarganya tinggal di sebelah
selatan dekat pantai, sementara Kota adalah wilayah lebih ke tengah, meskipun
tidak tinggi, hanya sekitar 300mdpl,
namun banyak berbukitan akan terlihat dengan jelas di wilayah ini.
Menurut informasi Ansuman, tempat tinggal Retna Nawangsih dekat
dengan kompleks militer bekas Belanda. Ada sawah yang cukup luas di depan
rumahnya.
Sambil tengok kiri dan kanan memastikan Ibunya tidak ada,
Arundhati bertanya kepada Bapak, “Bapak mau ketemu sama…. Ehem…”
“Ketemu siapa?” tanya Bapak memotong. Sambil berbisik dan
mengedipkan matanya Arundhati menjawab pertanyaan bapaknya, “ketemu…. Bu Retna
Nawangsih!?”. Bapak tidak langsung menjawab dan malah melihat mata Arundhati yang
ketap-ketip gak jelas. Agak lama kemudian Bapak malah tertawa keras. “Lha yo
enggak to nDhuk… Bapak kan udah punya kamu, punya ibumu!”
“Ada apa ini, Bapak sama Ayun sepertinya kok gayeng banget!”,
tiba-tiba dari arah dalam terdengar suara Ibu yang tengah membawa nampan berisi
pisang goreng dan kacang rebus. Setelah ibu menaruh nampan di meja, ibu
langsung duduk di sampang bapak. “Ada apa ini, sepertinya gayeng banget. Tadi
kedengaran ada Kara-kara… apa gitu, dan kalian sepertinya sangat senang?”
Jantung Bapak deg-degan luar biasa. Ibu memang tahu anak Retna
Nawangsih bernama Sitakara.
“Oh… itu, tadi Ayun cerita ada temennya yang katanya bawa
susu yang enak, gak tahunya santan kelapa” jelas bapak sambil tetap tertawa.
Arundhati memperhatikan Bapak yang sedang berkelit dari dugaan Ibu. Lihai
sekali ternyata Bapak ini. Arundhati tertawa kecil sambil bilang, “kalau ibu
mau Ayun bisa beliin. Daripada marut kelapa kelamaan, kan?”
“Buat apa? Lagian kan kalau tempatnya jauh ngapain pula”
jawab ibu.
“Nggak juga sih. Ini Bu!” tiba-tiba di depan mereka saat ini
sudah ada dua kotak santan instan.
Serta-merta Bapak dan Ibu kaget, tiba-tiba ada 2 bungkus santan
instan.
“Ini…. Ini….. ini betulan kan, Ayun?” tanya ibu sambil
mengangkat salah satu santan yang masih berasa dingin karena disimpan di
kulkas. Ayun mengangguk-angguk.
“Halal?” tanya ibu lagi. Pertanyaan ini bikin Ayun marah
sebenarnya, namun dia memang tidak mampu marah kepada kedua orangtuanya.
“Ya Halal lah Bu. Ini barusan Ayun beli di Swalayan di Ibukota!”
Bapak dan Ibu makin heran, “bagaimana caranya?”
“Seperti ini, Ibu.. Bapak… Ayun ijin mau ketemu kawan Ayun
dulu. Assalamu’alaikum!”
Setelah mengucap salam ke Bapak dan Ibunya Arundhati
menghilang. Ya, kali ini Arundhati mencoba lagi kemampuannya yang pernah dia gunakan
untuk ngerjain Nandini. Perbedaannya kali ini dia tidak memanipulasi waktu.
Arundhati hanya meminjam gelembung dimensi dan menjadkannya mantel agar
hukum-hukum fisika tidak berlaku baginya. Dengan mantel dimensi itu, dia
melesat ke atas sampai ketinggian 5000mdpl.
Bapak dan Ibu bengong demi lehat Arundhat sudah tidak ada di tempat duduknya.
0 comments:
Posting Komentar