Senin, Oktober 16, 2023

{12} Rumah


Sudah satu bulan Arundhati menjalani hidupnya secara normal. Sekolah, main, ngaji, nonton streaming, bantu Ibu, semua berjalan secara acak as needed. Kecuali sekolah dan sholat tentunya. Yang dua ini memang sudah terjadwal.

Siang ini, sepulang sekolah, Arundhati nampak jenuh. Selesai shalat Ashar, Arundhati cuma rebahan di tempat tidurnya. Dengan kedua tangannya sebagai bantal tambahan, Arundhati tampak melamun. Pandangannya menerawang entah ke mana. Sudah satu bulan ini Arundhati mengunci diri dari lapis kedua dimensi mimpinya. Terlalu berat buatnya untuk menanggung dua pengalaman yang berbeda secara bersamaan. Tapi memang seperti yang dikatakan oleh Nyi Ajar Nismara, hasil pelatihan di padepokan dapat dia rasakan juga. Badanya makin kuat, gerakan makin lincah. Bahkan pernah sekali dia coba dengan Nandini, banyak sekali dia keluarkan gerakan yang pada dasarnya mirip Nandini, namun dia dapat membawakannya dengan lebih baik.  Arundhati tersenyum-senyum sendiri. Tiba-tiba dia merasa kangen dengan Sitakara. Bila Nandini, temannya itu, dapat dia temui di dimensi itu, apakah mungkin Sitakara dapat pula dia temui di dimensi kenyataan ini? Dimanakah gerangan tinggalnya Sitakara di dimensi ini? Ah, sepertinya lebih baik membuka lagi keselarasan dengan lapis kedua dimensi mimpinya itu agar dapat bertemu dengan Sitakara dan menanyakan hal itu. Dan, tanpa menunggu lama, dengan tanpa merubah posisinya, Arundhati membuka keselarasan dengan lapis kedua dimensi mimpinya itu.

Awalnya, Arundhati berusaha agar matanya tidak tertutup ketika dia mulai membuka keselarasan dengan lapis kedua dimensi mimpinya itu. Namun, waktu sebulan adalah waktu yang cukup dan lama untuk menjadikan kesadarannya tidak lagi selaras, sehingga membutuhkan penyelasaran ulang. Tubuh Arundhati bergetar hebat. Kedua tangannya yang dia pakai buat bantala dia tarik untuk kemudian memegang kepala sambil memejamkan mata. Arundhati pernah mengalami penyelarasan sewaktu ada di dimensi mimpi. Bahkan ketika itu dia mendapatkan peningkatan kesadarannya. Tanpa rasa sakit.  Namun di dimensinya saat ini, perwujudan fisiknya ini ternyata sangat rentan dalam menerima aliran informasi dari kesadarannya di dimensi lain. Mungkin getaran dan kesakitan Arundhati pada tubuh fisiknya inilah yang terlihat oleh orang tuanya ketika Arundhati yang berada pada dimensi mimpi sedang melakukan penyelarasan, sehingga dia kemudian dibawa ke rumah sakit dan bahkan sampai diperiksa menggunakan EEG.

Arundhati berusaha menahan sakitnya dengan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Dia takut orang tuanya akan datang ke kamarnya dan kemudian mereka akan ketakutan. Itu tidak bagus, karena bisa jadi dia akan dilarikan ke rumah sakit lagi.

Limabelas menit berlalu dalam rasa sakit, akhirnya proses penyelarasan itu selesai. Semua pengalaman di dimensi ini telah terselaraskan dengan lapis kedua dimensi mimpinya, begitu sebaliknya. Hal lain yang dirasakan adalah, selain informasi yang terselaraskan, Arundhati juga merasakan adannya energi yang begitu besar mengisi kesadarannya. Rasa kangennya kepada Sitakara pun sudah tidak lagi dia rasakan. Kesadarannya telah merasakan kehadirannya tiap hari bersama dengan Nandini. Mereka bertiga berlatih ilmu bersama guru Nyi Ajar Nismara dan kadang bersama Ki Ageng Turangga Seta. Bahkan, Arundhati juga merasakan bahwa dia pernah juga dihukum menyepi di dangau di tengah tegalan milik padepokan, karena melanggar disiplin padepokan. Arundhati memang dapat dibilang sebagai jenius, namun langkah seorang jenius  seringkali tidak kompatibel dengan aturan yang mengharuskan belajar setahap demi setahap. Arundhati sering tidak sabaran. Saat sedang dihukum inilah biasanya Sitakara datang menyambangi, menyemangati agar tetap bersemangat. Ansuman juga sering menyambangi dia bila sedang dihukum. Dia sering ngeledek Arundhati, namun sering juga dia menghibur dan bercakap tentang masalah apapun. Termasuk memperbincangkan Sitakara. Dari Ansuman lah dia tahu keberadaan Sitakara di dimensi utama.

Arundhati membuka mata dan melepaskan tangannya dari kepalanya. Arundhati berjalan ke kaca besar yang menjadi pelengkap lemari pakaiannya, berkaca dan rambutnya terlihat acak-acakan. Arundhati menoleh ke arah ranjangnya. Ranjang rustic cantik yang terbuat dari bambu wulung dengan kasur busa tebal tampak awut-awutan. Agaknya spreinya tertarik ke sana ke mari ketika Arundhati menggeliat-geliat kesakitan. Arundhati tersenyum. Dia memang punya kemampuan dalam hal pergerakan, namun tidak dalam hal penataan. Karena, dia tidak mampu membayangkan bagaimana melakukan aktifitas bebenah dengan kemampuan ekstranya. Akhirnya dengan cara konvensional Arundhati bebenah ranjangnya, dan kemudian menyisir rambutnya. Setelah selesai semua, dia raih kerudungnya langsung dia kenakan. Dengan jubah coklat susu dan kerudung putuh kesukannya, Arundhati keluar, ke teras depan rumahnya. Namun, karena ternyata di teras sebelah kiri ada Bapak dengan Ki Manten duduk di kursi tamu, Arundhati menahan langkahnya.

“Dados ngaten, Ki! Sampai saat ini kita belum tahu ada apa dan kenapa Ayun jadi begitu!” terdengar suara Bapak mengatakan sesuatu kepada Ki Manten.

“Kaya kiye jane. Wektu semana Ayun kuwe jane ra ngapa-ngapa, Ayun itu gak kenapa-kenapa, tapi ada dua makhluk laki perempuan yang nyulik Ayun. Tapi syukur, saya udah membalik keadaaan!”

“O… Gitu…. Ki!”

Sebenarnya Arundhati tidak terlalu peduli sama Ki Manten, namun demi mendengar bahwa dia diculik oleh dua makhluk laki sama perempuan berarti Ki Manten ini telah memfitnah Ansuman dan Sitakara. Ki Manten ini sebenarnya adalah penerobos nakal. Dia memanfaatkan frekuensi nakal dari makhluk-makhluk tak nampak untuk melakukan penerobosan. Namun, Ki Manten ini cukup cerdik untuk tetap menjaga dirinya tetap waras. Yakni dengan tidak memaksa diri melakukan penerobosan yang tak mungkin dia lakukan. Untuk mendapatkan informasi dia cuma menggali informasi dari mereka yang berhasil, seperti Arundhati.  Kedai makan tempat Arundhati bersama Sitakara dan Ansuman beristirahat saat mengantar Arundhati menyeberangi jembatan, adalah tempat yang paling sempurna untuk menggali informasi. Arundhati juga ingat di kedai itu dia sempat melihat orang tua itu. Arundhati sangat marah. Arundhati segera mengunci simpul waktu. Dia buat lengkung waktu agar dia dapat leluasa melakukan aksinya di dalam lengkung waktu itu.

Setelah semua lingkungan artifisial nya siap, Arundhati melangkah mendekati Ki Manten. Semua nampak mematung. Waktu berhenti buat mereka, namun tidak buat Arundhati. Sesampainya di samping Bapak, Arundhati memanggil Ki Manten.

“KI Manten!”

Saat Arundhati memanggil Ki Manten, tubuh Ki Manten agak sedikit bergetar dan kemudian terlihat tubuhnya berdiri. Tubuh yang berdiri itu sendiri lebih mirip klon yang meninggalkan tubuh aselinya.

“Ki Manten!”

Sekali lagi Arundhati memanggil Ki Manten. Ki Mantern yang masih bingung dengan situasinya kemudian berhenti dan menatap ke arah Arundhati.

“Ki Manten, saya Arundhati anak Bapak Mad Kusen dan Ibu Saliyah, memanggil kesadaranmu ke dalam dimensi ini!”

Arundhati yang biasanya bersikap manja, saat ini bersikap sangat serius. Intonasinya dalam berkata-kata juga terdengar sangat serius.

Lingkungan di sekitar mereka berdua tiba-tiba menjadi sangat gelap. Arundhati sengaja menciptakan situasi itu agar Ki Manten paham siapa yang tengah dia hadapi.

“Ka… kamu… Ayun?” agak terbata-bata Ki Manten bertanya pada Arundhati memastikan.

“Betul, Ki Manten, saya Arundhati anak Bapak Mad Kusnen dan Ibu Saliyah.  Ki Manten saya tarik ke dalam pengaruh saya untuk memperingatkan, agar Ki Manten menjauhi Bapak saya, dan mulai berhenti menyebarkan kebohongan-kebohongan!”

Ki Manten bukannya menjawab peringatan dari Arundhati, malah kemudian mendongak ke atas kagum, sambil kedua tangannya mendekap dada kedinginan, “ini….ini….ini di mana Ayun?”

Arundhati telah merubah lingkungannya menjadi sebuah lingkungan di atas gunung yang dingin.

“KI Manten saat ini sepenuhnya berada dalam kendali saya. Sebagai penerobos pengecut macam Ki Manten, seharusnya Ki Manten tahu siapa saya dan apapun keputusan Ki Manten akan berakibat fatal bila itu kemudian menyinggung saya!”

Sebenarnya Ki Manten ingin mengabaikan ucapan anak kecil seperti Arundhati. Dia masih ingin mengagumi suasana yang tiba-tiba telah berpindah ke sebuah taman yang Indah, namun dia menyadari ada kata-kata yang mengandung ancaman dalam ucapan Arundhati.

KI Manten menatap tajam seakan tidak terima dengan ucapan Arundhati, namun tiba-tiba suasannya telah berubah. Kali ini dia merasa berada di sebuah gurun yang sangat panas, dan semakin panas ketika dia mengucapkan, “Ha ha ha…. apa yang perlu aku takutkan dari seorang seperti kamu?”. Ki Manten masih berusaha untuk mengatasi Arundhati yang sebenarnya dia sendiri sangat paham bahwa itu tidak mungkin. Namun ego seorang yang dianggap orang pintar di kampungnya membuat dia berusaha untuk mengingkari.

Arundhati marah. Kali ini dia buat suasana lingkungannya berada di lautan lava yang mendidih dan sangat panas. Ki Manten saat ini ada pada posisi menggantung terbalik. Entah kemana kakinya menggantung, namun yang pasti mukanya saat ini sangat dekat dengan genangan lava yang mendidih. Masih dengan intonasi yang teratur, berkata dengan lebih keras, “Saya Arundhati, murid dari Ki Ageng Gagak Seta dan putrinya Nyi Ajar Nismara meminta kepada Sadin Partodinoyo alias Ki Manten, untuk berhenti melakukan kebohongan-kebohongan kepada siapapun khususnya kepada ayah saya!”

Ki Manten mulai menyadari situasi. Kekuatan persepsi Arundhati memang sangat luar biasa. Bukan cuma pandangannya saja yang mengikuti kehendak Arundhati, bahkan Arundhati telah mempengaruhi orientasi dan syaraf-syaraf perasanya, “Ayun…! Maafin Ki Manten. Setelah gak lagi jadi lurah Ki Manten gak tahu lagi bagaimana mendapatkan penghasilan!”

“Ki Manten, sebagai orang tua, kamu sudah cukup banyak tahu tentang dunia ini. Seharusnya kamu menasihati orang-orang dengan pengalaman kamu. Tak perlu kamu hubung-hubungkan dengan dimensi-dimensi lain yang kamu sendiri tidak pernah tuntas menelusurinya. Apalagi bila kamu tambah dengan bumbu-bumbu mistis yang menakutkan!”

Arundhati berusaha menasihati Ki Manten. Suasana saat ini telah berubah lagi. Mereka berdiri di sebuah batu besar di samping sebuah air terjun. Ki Manten tidak berani lagi untuk mengabaikan Arundhati yang sedang pamer kekuatan. Arundhati yang mengenakan jubah dan kerudung putih gading berdiri gendong tangan berhadap-hadapan dengan Ki Manten. Ki Manten cuma bisa menunduk dan sambil gemetar dia menjawab, “baik nona Arundhati, saya akan mengingatnya!”

“Baiklah, sekarang kembalilah!”

Suasana saat ini kembali ke teras depan rumah. Ki Manten kembali ke posisi mematung, Arundhati kembali ke dalam sambil mengembalikan waktu ke simpul yang dia buat tadi.

Setelah semuanya kembali seperti sediakala dimana Bapak baru selesai bicara dengan Ki Manten, Arundhati melangkah ke luar dengan mempertahankan jubah dan kerudung putih gadingnya.

“E… ada Ki Manten!” Arundhati menegur Ki Manten. Mendengar cara menegur Arundhati, Bapak Kaget. Bapak mau menegur Arudhati. Namun, ketika melihat perubahan mimik muka Ki Manten yang justeru nampak ketakutan saat melihat Arundhati lengkap dengan jubah dan kerudung putih gading, Bapak malah jadi bingung.

“A.. e… Nuwun sewu, saya pamit dulu, ya!” Ki Manten berdiri dari duduk nya. Ki Manten melihat ke arah Arundhati, “terima kasih  ya… Ayun!”. Ki Manten buru-buru melangkah keluar, “Assalamu’alaikum!”.  Setengah berlari, Ki Manten mengambil motornya, starter langsung keluar halaman. Bapak yang mengikuti Ki Manten sampai tangga teras cuma bisa bengong melihat kelakuan Ki Manten.

“Kanapa pula orang tua itu? Tiba-tiba kayak orang melihat setan!” kata Bapak berkomentar. Arundati yang berdiri di samping Bapak langsung menyergah, “Bapak…! Emang Ayun kayak setan?”

Bapak tersenyum, sambil merangkul pundak Arundhati, “hala ya nggak to… Itu Ki Manten itu buru-buru lari ketakutan kayak ngeliat setan. Padahal yang dilihat kan anak Bapak yang pwaling cwantwikkk!”

Arundhati tersenyum lebar. Bapak teresnyum dan kemudian bertanya, “Itu tadi emang Ayun kasih apa ke Ki Manten, kok tadi make acara bilang terimakasih segala?” tanya Bapak. Arundhati tersenyum, kemudian dia taruh jari telunjuknya ke depan bibirnya, “entahlah… tapi yang pasti Ki Manten ini memang tukang bohong! Masa bilang Ayun diculik Alien! Allien darimana? Mars kali….”. Jawab Arundhati sekenanya. Bapak tertawa lepas mendengarnya. “Baiklah, kita lupakan saja Ki Manten”.  Arundhati tersenyum.

Bapak kembali ke tempat duduknya sambil mengangkat cangkir kopi di depannya, “eh….. sayang kopi udah dibikin ibumu kalo nggak dihabisin!”.

Arundhati mengikuti Bapak dan duduk di kursi yang tadi diduduki Ki Manten. Dengan berkelakar Bapak menawarkan kopi Ki Manten yang belum sempat di minum, “itu.. kopinya Ki Manten belum diminum, kalau Ayun Mau!”

Arundhati melotot ke arah bapaknya, “ih bapak ih…. masa iya Ayun suruh minum kopi item?”

Melihat Arundhati melotot, Bapak tertawa. Arundhati tersenyum. Setelah selesai tertawa, Arundhati bertanya pada Bapak, “Bapak, katanya dulu bapak pernah sekolah SMA di Kota!?”.  Sambil nyruput kopinya yang masih panas Bapak bilang, “Ya!”

“Terus, bapak kenal gak sama Retna Nawangsih?” Arundhati melanjutkan pertanyaannya. Kali ini Bapak kaget luar biasa. Sambil tengak-tengok kiri kanan, Bapak menaruh jari telunjuknya ke depan mulutnya sambil, “sssttt…. Jangan keras-keras! Ntar mBokmu denger!”

Kontan Arundhati tertawa tergelak-gelak, “Iya… iya… gak akan keras-keras!”. Arundhati senang karena meskipun bapaknya tidak mengatakan bahwa dia tahu, namun respon bapak yang luar biasa telah secara jelas mengatakan bahwa Bapak memang kenal dengan Retna Nawangsih. Bahkan, lebih dari sekedar kenal sepertinya. “Berarti Bapak kenal, yakan?” lanjut Arundhati memastikan. Dan, Bapak mulai bercerita, “Iya… iya… kenal. Retno itu adalah kisah pertama Bapak.  Bapak betul-betul gandrung sama Retno. Namun, mBahmu itu lho…!”

“Jadi bapak kecewa?”

“Kecewa… yo Kecewa…. Tapi setelah ketemu ibumu, rasa kecewa bapak hilang. Dan, apalagi setelah punya kamu!” jelas bapak sambil menjitak kepala Arundhati yang songgowang di atas meja, “Aw…! Ih Bapak ih…!” Arundhati protes karena tiba-tiba kepalanya dijitak Bapak. Bapak tertawa. Arundhati pasang muka cemberut. Bapak malah tambah tertawa. Setelah reda ketawanya, Bapak melanjutkan ceritanya, “setelah kawin sama siapa entah nama suaminya, lupa, Retno memiliki anak yang namanya siapa itu… Si… siapa itu Sita… Sitak…. !”

“Sitakara…..!”

“Iya Sitakara namanya!”

“Sitakara Dhanta!”

“Betul… ya betul.. betul…betul itu Sitakara Dhanta! Sitakara itu rembulan, Dhanta itu gigi yang putih bersih, mungkin maksudnya cantik bersinar seperti rembulan dan kalau tersenyum sangat manis. Hmm… mungkin seperti ibunya. Cantik dan kalau tersenyum manis sekali memperlihatkan deretan gigi putihnya”. Bapak mulai melamun. Arundhati tersenyum, mendengar penjelasan yang tidak perlu itu.

Arundhati termenung sebentar. Ternyata Sitakara bukan orang jauh. Masih tetangga kabupaten dengannya saat ini.  Arundhati dan keluarganya tinggal di sebelah selatan dekat pantai, sementara Kota adalah wilayah lebih ke tengah, meskipun tidak tinggi,  hanya sekitar 300mdpl, namun banyak berbukitan akan terlihat dengan jelas di wilayah ini.

Menurut informasi Ansuman, tempat tinggal Retna Nawangsih dekat dengan kompleks militer bekas Belanda. Ada sawah yang cukup luas di depan rumahnya.

Sambil tengok kiri dan kanan memastikan Ibunya tidak ada, Arundhati bertanya kepada Bapak, “Bapak mau ketemu sama…. Ehem…”

“Ketemu siapa?” tanya Bapak memotong. Sambil berbisik dan mengedipkan matanya Arundhati menjawab pertanyaan bapaknya, “ketemu…. Bu Retna Nawangsih!?”. Bapak tidak langsung menjawab dan malah melihat mata Arundhati yang ketap-ketip gak jelas. Agak lama kemudian Bapak malah tertawa keras. “Lha yo enggak to nDhuk… Bapak kan udah punya kamu, punya ibumu!”

“Ada apa ini, Bapak sama Ayun sepertinya kok gayeng banget!”, tiba-tiba dari arah dalam terdengar suara Ibu yang tengah membawa nampan berisi pisang goreng dan kacang rebus. Setelah ibu menaruh nampan di meja, ibu langsung duduk di sampang bapak. “Ada apa ini, sepertinya gayeng banget. Tadi kedengaran ada Kara-kara… apa gitu, dan kalian sepertinya sangat senang?”

Jantung Bapak deg-degan luar biasa. Ibu memang tahu anak Retna Nawangsih bernama Sitakara.

“Oh… itu, tadi Ayun cerita ada temennya yang katanya bawa susu yang enak, gak tahunya santan kelapa” jelas bapak sambil tetap tertawa. Arundhati memperhatikan Bapak yang sedang berkelit dari dugaan Ibu. Lihai sekali ternyata Bapak ini. Arundhati tertawa kecil sambil bilang, “kalau ibu mau Ayun bisa beliin. Daripada marut kelapa kelamaan, kan?”

“Buat apa? Lagian kan kalau tempatnya jauh ngapain pula” jawab ibu.

“Nggak juga sih. Ini Bu!” tiba-tiba di depan mereka saat ini sudah ada dua kotak santan instan.

Serta-merta Bapak dan Ibu kaget, tiba-tiba ada 2 bungkus santan instan.

“Ini…. Ini….. ini betulan kan, Ayun?” tanya ibu sambil mengangkat salah satu santan yang masih berasa dingin karena disimpan di kulkas. Ayun mengangguk-angguk.

“Halal?” tanya ibu lagi. Pertanyaan ini bikin Ayun marah sebenarnya, namun dia memang tidak mampu marah kepada kedua orangtuanya.

“Ya Halal lah Bu. Ini barusan Ayun beli di Swalayan di Ibukota!”

Bapak dan Ibu makin heran, “bagaimana caranya?”

“Seperti ini, Ibu.. Bapak… Ayun ijin mau ketemu kawan Ayun dulu. Assalamu’alaikum!”

Setelah mengucap salam ke Bapak dan Ibunya Arundhati menghilang. Ya, kali ini Arundhati mencoba lagi kemampuannya yang pernah dia gunakan untuk ngerjain Nandini. Perbedaannya kali ini dia tidak memanipulasi waktu. Arundhati hanya meminjam gelembung dimensi dan menjadkannya mantel agar hukum-hukum fisika tidak berlaku baginya. Dengan mantel dimensi itu, dia melesat ke atas sampai ketinggian 5000mdpl.

Bapak dan Ibu bengong demi lehat Arundhat sudah tidak ada di tempat duduknya.

0 comments: