Senin, Oktober 23, 2023

{17} Kedatangan


Pagi yang cerah. Kabut masih enggan pergi menyelimuti lantai hutan saat cahaya matahari datang menyapa, menyusup di antara celah-celah dedaunan membentuk rona putih transparan yang menghujam diagonal ke lantai hutan. Sebuah pemandangan yang sangat eksotis karena tanaman semak di lantai hutan yang tengah berbunga warna-warni. Terlebih lagi, tidak jauh dari situ tampak sebuah sendang yang sangat tenang dan bening airnya.  Di ujung sendang, terlihat kaki sebuah pohon raksasa dengan diameter sekitar lima meter. Tajuk pohon raksasa ini, telah melindungi sendang tersebut sehingga tetap sejuk, saat cahaya matahari siang panas menghujam.

Dari kejauhan terdengar sepatu kuda beradu dengan jalan setapak. Semakin lama semakin mendekat dan mulai nampak jelas seorang gadis denga postur tinggi tengah menunggangi kuda putih. Seekor kuda yang besar ditunggangi oleh seorang gadis bertubuh tinggi langsing dengan jubah dan kerudung putih gading. Sebuah keanggunan yang sangat indah, tentunya. Selembar cadar yang menutup sebagian wajahnya tak mampu menutupi wajah cantik yang dia miliki dan bahkan menjadi penentu yang sempurna dari keanggunan itu.

Saat melewati sendang itu, gadis penunggang kuda ini berhenti. Turun dari kuda, gadis itu melihat-lihat sekeliling dan kemudian seperti menyeka sesuati di dahinya. Ah, gadis itu berkeringat ternyata. Dia lepas cadarnya dan dia gantungkan di pelana kudanya. Gadi itu melangkah ke tepi sendang. Tangan kananya dia silangkan di atas kepala seperti membantu tangan kirinya melepas sesuatu. Kemudian, tangan kanannya terlihat mengangkat kain kerudungnya. Dan, ah seperti sebuah kilatan tiba-tiba gadis itu telah berbalik. Wajahnya yang belum tertutup cadar nampak sangat segar dan bersih. Beberapa bercak basah air terlihat di jubah dan terutama kerudungnya. Ah, gadis itu memiliki kemampuan yang mirip Arundhati dan Ki Ageng Turangga Seto sepertinya. Setelah mengenakan cadarnya lagi, gadis itu segera naik ke punggung kuda, dan memacu sekencang-kencangnya, “Ciak!!”.  Dan dengan kecepatan tinggi, kuda itu melaju meninggalkan sendang.

Tak sampai beberapa lama setelah gadis itu pergi, tiba-tiba muncullah ular raksasa dari atas pohon. Sesampainya di tanah, ular itu menjelma menjadi ujud seorang lelaki muda dan sangat tampan. Sanca Bujangga. Ular Sanca sejenis Dhemit Bacira. Makhluk persepsi yang seben
arnya aseli dari dimensi mimpi lapis pertama. Makhluk yang berbahaya karena mampu memanipulasi persepsi dan menembus batas dimensi. Wajah Sanca Bujangga nampak sedih.

“Niken, sudah terhitung beberapa purnama aku menunggumu di sini hanya untuk dapat bertemu denganmu. Penampakan wajahmu, yang cuma sekejap telah mampu menghiburku. Namun, sebenarnya bukan cuma itu yang aku mau. Berbicara dan bertukar kata-kata indah saat bercengkerama denganmu adalah hal yang paling aku inginkan.” Ah, ternyata Sanca Bujangga telah jatuh hati kepada gadis itu.  Niken Lanjar Sekar Kenanga alias Sekar Kenanga. Sanca Bujangga lebih suka memanggilnya dengan nama lengkap Niken Lanjar Sekar Kenonong atau Niken saja.

Sanca Bujangga memutar tubuhnya ke arah sendang. Dia berubah lagi menjadi ular raksasa dan langsung masuk ke dalam sendang. Ular itu meliuk-liuk di dalam sendang timbul dan tenggelam dan kemudian menghilang.

Setelah agak lama berkuda melewati hutan, Sekar Kenanga melewati areal persawahan yang mengapit sebuah bengawan. Sekar Kenanga berkuda sepanjang tepiannya. Tanpa disadarinya gemricik air yang membuat sebuah jalur yang panjang mengikutinya melalui aliran bengawan.

Menjelang siang sebuah Gapura mulai terlihat berdiri di belokan bengawan. Sebelah depan ke kanan di kiri bengawan adalah gerumbul dukuh Kedungwang. Jalan terus melalui jalan dukuh adalah jarak terdekat dengan padepokan, dan ini menjadikan pedukuhan yang tidak besar ini menjadi cukup ramai. Pasar, penginapan, dan warung makan ada di dukuh yang kecil ini.

Ah, warung, Sekar Kenanga yang belum ketemu makanan besar sejak malam tadi, pengin mampir ke warung dan makan. Namun sebagaimana sebagian besar murid Padepokan, Sekar Kenanga enggan untuk melalui jalan dukuh tersebut. Penduduk dukuh sangat mengenal gerak-gerak dan pakaian yang dikenakan oleh murid padepokan.  Penduduk dukuh yang merasa diuntungkan oleh kehadiran para Padepokan dan para muridnya, seringkali memberikan penghormatan yang terlalu berlebihan. Ini yang membuat Sekar Kenanga dan murid-murid padepokan sering merasa sungkan sehingga merekapun enggan untuk melewati jalan dukuh. Namun, kali ini perutnya betul-betul tidak dapat diajak kerjasama. Dan, mumpung masih belum sampai, Sekar Kenanga mulai melambatkan kudanya, “Ciak… haikk!!!” teriaknya sambil menepuk kudanya. Kudanya pun mengerem lajunya dan mulai berjalan lambat. Setelah kudanya berjalan melambat, kemudian nampak sebuah perubahan tiba-tiba pada pakaiannya. Jubah dan kerudung putih gading, tidak lagi dia kenakan. Sebuah kain berwarna abu-abu muda membalut sekujur tubuhnya menggantikan jubah tadi. Kerudungnya pun telah tergantikan dengan kain abu-abu muda panjang melingkar di kepalanya membentuk kerudung menutupi rambut dan lehernya.  Penampilannya saat ini lebih mirip penduduk daripada murid padepokan. Sekar Kenanga melanjutkan perjalanannya dan tanpa ragu dia masuk ke area pedukuhan menapaki jalan dukuh.

Sekar Kenanga dengan santainya berkuda melalui jalan pedukuhan yang ramai. Bukan cuma dia saja yang menggunakan kuda. Beberapa pria dan wanita juga nampak menunggangi kudanya melintasi jalan pedukuhan. Tidak nampak ada murid padepokan yang melintasi jalan itu, namun Sekar Kenanga sempat memergoki beberapa wajah yang tidak asing baginya. Namun, ada semacam kode etik di antara para murid, bahwa kalau bertemu di dukuh ini, maka tidak ada yang saling kenal.

Sesampainya di depan sebuah warung makan, Sekar Kenanga segera menghentikan kudanya, menuntunnya untuk mengikatkan tali kekangnya di depan warung. Setelah selesai menambatkan tali kekang kudanya, Sekar Kenanga segera melangkah memasuki warung, duduk di meja di salah satu sudut yang kosong. Tak lama dia duduk, seorang pelayan datang mendekatinya.

“Selamat siang Tuan, eh…. Nona…! Mau makan apa? Ada ayam goreng sama sayur mentah! Ada….!”, belum lagi menyelesaikan tawarannya yang kedua Sekar Kenanga sudah memotong, “Ayam goreng sama sayur mentah saja. Minumnya, kalau ada, tolong minta kelapa muda!”

“Oh, Baik!” pelayan itu segera berbalik ke dapur untuk menyampaikan pesanan Sekar Kenanga. “Ayam goreng sayur mentah, kelapa muda!”

Agak lama menunggu makanan tiba, Sekar Kenanga memperhatikan orang-orang yang memenuhi seisi warung. Di ujung sebelah depan terdengar seseorang bertanya, “kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya?”. Dan entah siapa yang ditanya, kemudian ada suara sesorang menyahut dengan sebuah pertanyaa, “emang gimana, Kang?”.  Orang yang tadi bertanya tersenyum, karena merasa dia tahu lebih dulu cerita ini. Buktinya kejadian selanjutnya tidak ada yang tahu. “Nah itu…! Selanjutnya Dhemit Bacira ini dihajar habis-habisan oleh murid padepokan yang bernama Ayun yang ditemani oleh Dewi Sitakara”. Terlihat senang sekali orang yang bercerita tadi menjadi orang yang tahu paling awal. Dia tidak tahu, kejadian itu terjadi di dukuh ini, dan pastinya semua orang tahu kejadian itu.

“Wuoi, Kisanak! Kamu tahu cerita yang di Jakarta gak?”

Dari sudut depan seseorang berteriak bertanya, kepada yang sedang bercerita yang agak tergagap sebentar namun kemudian dia menjawab,

“Nah itu….! Itu juga seru tuh, ini ceritanya Dewi Sitakara yang sedang berwisata sama pacarnya Raden Ansuman di Jakarta!”

Orang yang mendengarkan serempak pada ketawa. Apalagi penduduk Kedungwang yang bisa dikata sangat tahu cerita atau kejadian di dalam Alang-alang Segoro Wedi. Sitakara dan Ansuman memang sering ditugaskan berdua. Akan tetapi, ada aturan Alang-alang Segara Wedi yang tidak memperbolehkan perempuan yang lebih tua berhubungan kasih dengan laki-laki yang lebih muda. Meskipun itu cuma lebih muda satu hari.

“Terus, dewi Sekar Kenanga kemana, kenapa tidak terlibat dalam pertempuran itu?” teriak seseorang dari ujung sebelah yang lain, sambil tertawa. Si pencerita kaget, dia tidak kenal dengan nama itu. Dia cuma dengar sepotong cerita dalam pertempuran itu. Namun dia tidak mau kalah. Kemudian dia mengarang cerita, “Dewi Sekar Kenanga saat itu sedang sakit, jadi tidak diperkenankan untuk terlibat dalam pertempuran ini. Lagian, saya rasa kemampuan Dewi Sekar Kenanga juga jauh di bawah Ayun. Saat itu, bahkan Dewi Sitakara pun tidak dapat berbuat banyak!”

Semua orang yang ada di dalam warung makan itu tertawa sejadi-jadinya. Orang itu telah membual dari tadi. Tapi memang sengaja dibiarkan oleh orang-orang di sekitarnya untuk mendapatkan titik-titik lucunya. Sekar Kenanga yang memperhatikan dari tadi, mau tidak mau ikut tertawa. Dan ada satu yang mengganjal. Ayun, siapa dia? Sehebat yang diceritakan oleh pembual itukah? Dia ingat, Sitakara mempunyai kemampuan yang tinggi, namun kemampuannya itu masih berada di bawah dia, dan hanya dia yang mampu mengungguli Sitakara. Dan, satu hal yang juga menjadi pertanyaan Sekar Kenanga, Sitakara pacaran sama Ansuman. Sekar Kenanga tersenyum memikirkan yang satu ini. Kedua saudara sepergurannya itu memang selalu ditugaskan bersama-sama dan memang sangat akrab. Namun, sepertinya mereka sangat jauh dari pacaran.

“Kemudian, kudengar Ayun juga tidak ikut dalam peristiwa di Jakarta, kemana Ayun kira-kira?”  tanya seseorang yang duduk di meja depan Sekar Kenanga.

“Oh, itu…. Itu karena Ayun sedang merawat Dewi Sekar Kenanga!”

Sangat luar biasa orang ini membualnya. Bagi penduduk Kedungwang, orang seperti ini bukan cuma ada satu dua. Rata-rata mereka adalah pendatang yang justeru tidak tahu dan menjadi sok tahu di antara pendatang. Namun, meskipun sudah sering muncul orang seperti ini, mereka tetap mampu membuat penduduk kedungwang tertawa.

Sementara itu, di meja Sekar Kenanga, “Nona, silakan ayamnya sudah dapat dinikmati!”. Seorang pelayan telah meletakan makanan pesanan Sekar Kenanga.  Namun Sekar Kenanga tidak mempedulikannya. Dia sedang penasaran dengan Arundhati.

“Nona! Makanan pesanan sudah dapat dinikmati!” kali ini suara pelayan agak keras. Dia ingin mengingatkan Sekar Kenanga, karena dalam pandangannya, Sekar Kenanga sedang melamun.

Sekar Kenanga kaget. Dia melihat ke arah pelayan. “Maaf, Nona, saya kasihan melihat Nona yang sedang melamun, makanya saya bangunkan. Itu, makanannya, sudah dapat dinikmati. Silakan, mumpung masih panas!”

Sekar Kenanga tersenyum kepada pelayan itu sambil menarik nampan makanannya. “Terimakasih, Pak!”. Pelayan itu tersenyum untuk kemudian membalikkan badannya dan pergi ke arah dapur.

Sekar Kenanga segera menyantap makanannya. Rasa lapar telah membuat Sekar Kenanga melupakan citarasa dari makanan yang tengah ia santap. Semuanya enak. Dalam sekejap, makanan pesanannya telah habis dia santap. Dia berhenti untuk menghindari bersendawa. Gak asik kan, kalau ada perempuan cantik bersendawa setelah makan. Setelah dirasa cukup, dia segera meraih kelapa muda yang telah terbuka. Dia celupkan tangkai daun pepaya yang disediakan oleh pelayan sebagai sedotan. Belum lagi dia menyedot air kelapa mudanya, telinganya mendengar suara keributan di luar. Seisi warung menoleh ke arah luar. Rasa haus yang mendesak, memaksa Sekar Kenanga mengabaikan keributan itu dan segera meminum air kelapa muda itu beberapa tarikan saja. Dia merasa bahwa dia akan terlibat dalam suatu pertarungan, namun dia juga merasa sangat haus, sehingga dia putuskan meminum sekdarnya saja.

Sementara itu dari luar keributan yang terjadi terdengar semakin dahsyat. Sesekali terdengar teriakan orang kesakitan, orang jatuh dan suara pukulan. Tiba-tiba dari arah keributan, terdengar sesorang berteriak-teriak mencari orang yang bernama Ayun.

“Aku Pangka Tamomaya! Mana di sini yang bernama Ayun. Aku Pangka Tamomaya mau menuntut balas kematian Dhemit Bacira adikku! Mana? Mana di sini yang bernama Ayun?!  Sitakara, mana di sini yang bernama Sitakara yang telah membunuh 10 anak buahku”

Pangka Tamomaya adalah makhluk kegelapan, makhluk persepsi yang lahir dari kegelapan dimensi mimpi. Huru-hara adalah habitatnya. Tidak ada tempat yang damai bila ada  kehadirannya. Dhemit Bacira adalah salah satu adik Pangka Tamomaya. Seperti makhluk persepsi lainnya, dia mampu menanamkan persepsi kepada setiap bentuk kesadaran.  Setiap kesadaran yang telah mereka taklukkan akan menjadi inang yang baik bagi persepsi yang mereka tanam. Akibat dari kehadiran Tamomaya di dekat warung itu memang sungguh luar biasa. Terlihat beberapa orang penduduk sedang berkelahi. Beberapa ada yang memukul-mukul dirinya sendiri. Sementara yang lain ada yang melempari rumah dan apapun yang ada di sekelilingnya dengan batu.

Sekar Kenanga segera melompat ke tempat keributan dengan hanya satu kelebatan. Orang-orang yang melihat kejadian itu takjub bukan main. Dari tempat duduknya Sekar Kenanga melompat dan berubah menjadi kelebatan kain dari abu-abu muda menjadi putih gading. Dan dalam sekejap di tengah area keributan, percisnya di depan Pangka Tamomaya telah berdiri seorang gadis tinggi langsing dengan jubah dan kerudung putih gading.

“Aku yang bernama Ayun. Ada apa kamu mencari-cariku?”  Sekar kenanga dengan sikap siap. Di depannya persis berdiri makhluk berwujud orang hutan atau mungkin gorila namun bersisik dan berekor ular.  Makhluk itu tertawa terbahak-bahak.

“Ha ha ha…. perempuan yang bernama Ayun tidak setinggi kamu! Tapi sepertinya kamu berasal dari Alang-alang Segara Wedi, baiklah karena Ayun juga dari padepokanmu. Menghajarmu berarti juga memberikan pelajaran kepada padepokanmu yang sok itu!”. Tamomaya segera memasang kuda-kuda hendak menyerang Sekar Kananga. Sekejap tubuh Tamomaya telah melesat menyerang Sekar Kenanga. Namun, Sekar Kenanga ternyata lebih gesit. Sekar Kenanga hanya perlu sedikit menghindar tepat ketika cakar Tamomaya percis di depan tubuhnya sehingga Tamomaya tidak mampu mengantisipasi gerakan menghindar Sekar Kenanga untuk merubah serangan mengikuti gerakan Sekar Kenanga.

Menyadari serangannya gagal mencapai sasasran, Tamomaya berputar meyabetkan ekornya menghantam tubuh Sekar Kenanga. Namun, sekali lagi, serangan ini dapat dihindari oleh Sekar Kenanga dengan sedikit gerakan miring mirip kayang, sehingga ekor Tamomaya hanya melewati ruang kosong.

Dua kali gagal melakukan seragan, Tamomaya segera menghentikan serangannya. Sepertinya kali ini dia akan mengeluarkan kemampuan andalannya. Tamomaya berdiri diam dengan kedua tangan dia angkat lurus seperti burung yang mengangkat sayapnya. Sekar kenanga melihat gelagat tidak mengenakkan dari gerakan Tamomaya. Instingnya mengatakan bahwa penduduk yang berada dekat area pertarungan ini bakal menjadi korban dari serangan Tamomaya berikutnya. Sekar Kenanga segera melesat sekitar lima rumah ke atas sambil menepukkan kedua tangannya ke atas dan merentangkan tangannya ke samping. Dalam kondisi tangan merentang ke samping, Sekar Kenanga memutar tubuhnya satu putaran dengan anggun dan dari kedua telapak tangannya terburai lapis sinar putih yang kemudian membentuk kubah yang mengurung Sekar Kenanga dan Pangka Tamomaya. Setelah kubah selesai terbentuk, Sekar kenanga kembali mengangkat kedua tangannya ke atas dan sambil turun dia tarik kedua tangannya kedepan dada.

Seketika saat kubah persepsi dari Sekar Kenanga terbentuk sempurna, penduduk yang sedang terlibat dalam kerusuhan menghentikan aktifitas liarnya. Semua bingung dengan apa yang terjadi. Namun, segera mereka menyadari bahwa telah terjadi masalah yang melibatkan mereka. Dan ketika melihat seorang perempuan tengah bertarung dengan seekor makhluk seperti gorila namun berekor kadal, mereka segera menyingkir agak jauh dari lokasi pertempuran. Orang-orang yang berada di warung makan melambaikan tangannya mengajak berlindung di dalam warung. Mereka menyadari, sesuatu telah dilakukan oleh Sekar Kenanga untuk melindungi orang-orang di dalam warung sehingga mereka tidak terimbas efek brutal dari persepsi yang dilepaskan oleh Tamomaya.

Tamomaya yang belum selesai dengan gerakannya terlihat gelisah. Dia sangat mengenali kubah bentukan Sekar Kenanga. Ini adalah kubah persepsi yang mampu menghalau persepsi lawan dan melindungi pihak lain agar tidak terpengaruh oleh persepsi yang dia tebar dan bahkan bentuk serangan yang berasal darinya. Tamomaya yang gelisah kemudian marah luar biasa.  Kemarahannya ia tunjukan dengan gerakan-gerakan acak dan raungan serta auman yang sangat keras.

“Tamomaya!”, Sekar Kenanga menegur Tamomaya dengan suara datar namun dengan desibel yang tinggi.

“Tamomaya!” sekali lagi Sekar Kenanga menegur Tamomaya dengan cara yang sama. Namun, Tamomaya masih berulah dengan kemarahannya.  Dari gerakan Tamomaya, terlihat dia ingin menyerang penduduk di luar kubah.  Akan tetapi, apapun yang dilakukan untuk menyerang penduduk akan terpental saat menghantam dinding kubah buatan Sekar Kenanga. Tamomaya adalah makhluk persepsi, dinding Sekar Kenanga adalah dinding yang dibuat dari kesadaran Sekar Kenanga untuk menghalau segala bentuk persepsi. Dinding ini juga telah dia perkuat dengan kesadarannya untuk menghalau serangan fisik.

“Tamomaya!!!”, kali ini Sekar Kenanga menegur Tamomaya dengan suara yang keras dengan desibel yang semakin meninggi. Tamomaya berhenti berulah sambil memegang telinganya. Tamomaya merasa kesakitan yang sangat di dalam telinganya. Namun, ketika dia liat penduduk, tak ada satupun penduduk yang merasa kesakitan. Mereka malah tertawa-tawa melihat tingkah Tamomaya. Tamomaya mengalihkan pandangannya ke arah Sitakara. Mata Tamomaya nanar menatap ke arah Sekar Kenanga yang tenang berdiri menghadap kepadanya. “Tamomaya, berhentilah berbuat kerusakan. Berhentilah berbuat keonaran! Aku akan mengampuni kamu bila kamu mau berhenti membuat huru-hara dengan persepsi tidak berguna yang kamu sebarkan.  Saudaramu Dhemit Bacira pasti telah berbuat tidak seharusnya sehingga harus berurusan dengan saudara kami.”

Tamomaya bukannya gentar dan mau mengikuti nasehat Sekar Kenanga malah berbuat semakin nekad. “Ha ha ha….. ternyata cuma segitu saja kemampuan orang Alang-alang Segara Wedi? Lihat Panka Tamomaya tidak takut sama sekali dengan gertakan kalian tukang gertak. Alang-alang Segara Wedi, ternyata cuma tukang gertak! Di sini aku akan membalaskan dendam adikku yang telah dihilangkan oleh Ayun, dan anak buahku yang telah dibantai oleh Sitakara dan Ansuman”.  Karena gagal melakukan serangan melalui manipulasi persepsi, Tamomaya berusaha memanipulasi emosi lawanya, sambil membusungkan dan memukul dadanya khas primata.. Namun, sayang lawan yang dia hadapi kali ini adalah Sekar Kenanga, murid utama Alang-alang Segara Wedi.

Mendengar sesumbar Tamomaya, Sekar Kenanga langsung melompat ke atas, dan entah bagaimana caranya tiba-tiba tubuhnya berputar seperti gasing dengan kakinya mengarah ke dada Tamomaya. Sebelum sempat Tamomaya menyadari serangan yang telah menghantam dadanya, dengan memanfaatkan pijakan pada dada Tamomaya, Sekar Kenanga telah melengkungkan tubuhnya kayang meraih kepala Tamomaya sebagai pijakan tangannya untuk bersalto dan mengirimkan tendangan dari arah belakang. Tendangan yang tidak terduga ini membuat tubuh Tamomaya melayang ke udara dan langsung disusul oleh Sekar Kananga untuk menghujamkan tendangan pada perut Tamomaya sehingga tubuh tambun itu jatuh dengan cepat ke tanah. “Bum!” suara yang sangat keras menggambarkan betapa besar tenaga yang menghantar tubuh Tamomaya menghantam tanah.

Perlahan Sekar Kenanga turun dan mendarat di samping tubuh Tamomaya yang terkapar tidak berdaya. Sambil mengeluarkan sebilah cundrik, Sekar Kenanga dengan gaya bicara yang datar namun sangat dalam, mengancam Tamomaya,

“Tamomaya! Aku, Niken Lanjar Sekar Kenanga. Ini akan menjadi nama terakhir yang kamu kenal. Namun, bila kamu mau merubah sikapmu, aku akan melepaskanmu mengenal nama-nama yang lain!”

Mendengar ancaman Sekar Kenanga, Tamomaya bukannya gentar malah semakin menjadi. Dia tidak percaya ada benda milik makhluk yang terdiri dari darah dan daging mampu membunuhnya.  Sambil menahan sakit, Tamomaya malah tertawa dan menantang Sekar Kenanga.

“Ha ha ha ha…. mana ada senjata kalian mampu membunuhku. Coba saja bila memang kalian mampu membunuhku!”

“Baiklah. Tamomaya, makhluk persepsi yang tidak mau memperbaiki dirinya, aku Niken Lanjar Sekar Kananga mengantarmu menjemput kematianmu!”

Sekar Kenanga langsung mengangkat tinggi-tinggi cundriknya dan dengan kecepatan penuh dia hujamkan cundriknya ke dada Tamomaya. Penduduk yang menonton di sekeliling area keributan tercengang melihat kejadian itu. Dalam pandangan mereka, tubuh Sekar Kenanga tiba-tiba berubah menjadi raksasa setinggi dua rumah, dan cundrik yang dia pegang pun berubah ukuran tidak proporsioanal. Cundrik yang sekarang lebih besar dari daun pintu itu menghujam ke dada Tamomaya.

Tamomaya yang meihat situasi itu sempat terlihat sangat ketakutan. Rasa ketakutan inilah sebenarnya yang mampu membunuh makhluk persepsi, dan bersamaan dengan hujaman cundrik tadi, tubuh Tamomaya mendadak seperti terbakar dan menghilang. Sebuah lolongan yang amat keras menjadi lolongan terakhirnya.

“Tamomaya, ini adalah cundrik warisan kakeku yang berasal dari dimensimu. Salam buat Dhemit Bacira dari Ayun!”. Setengah berbisik, Sekar Kenanga mengucapkan itu sebagai ungkapan rasa kesal.   Sambil melangkah ke arah warung, Sekar Kenanga melihat-lihat ke sekeliling.  Banyak orang-orang yang bergelimpangan kesakitan. Sebagian besar dari mereka dia kenali sebagai murid Padepokan Alang-alang Segara Wedi.

Para penduduk saling berbisik. Berbagai ungkapan kekaguman mereka ungkapkan.

“Dewi Sekar Kenanga!” salah seorang penduduk menyebut namanya sambil matanya tak lepas memandangi Sekar Kenanga.

Sementara yang lain mengagumi kehebatan gerakan mematikan yang ditampilkan Sekar Kenanga, “luar biasa lentur namun bertenaga Dewi Sekar Kenanga ini!”.

Ada juga yang melupakan pertarungan yang telah berakhir dan justeru mengagumi kecantikan Sekar Kenanga yang masih dapat mereka lihat, “Cantiknya! Andaikan dia adalah isteriku…!” Kontan saja ini membuat yang lain tertawa, “Cantik memang, tapi emang kamu berani?”

Suasana mendadak begitu gembira. Semuanya senang, sekali lagi seekor pengacau telah dimusnahkan oleh murid Alang-alang Segoro Wedi.

“Murid-murid Nyi Ajar Nismara memang cantik-cantik, tapi kesaktiannya luar biasa!”

“Yang pasti karena merekalah desa kita aman!”

“Betul…!”

Sesampainya di dalam warung, terdengar teriakan, “Mana itu tadi yang bilang Dewi Sekar Kenanga sedang sakit?”.  Teriakan ini disambut ketawa seluruh orang yang ada di dalam warung. Dan, tanpa di duga, dari belakang Sitakara terdengar sahutan, “Saya!”.  Orang di dalam warung tertawa semakin keras dengan tangannya menunjuk ke arah Sekar Kenanga.

Sekar Kenanga menoleh ke belakang. Benar saja, di belakangnya ada si pembual tadi. Sekar Kenanga menatap si pembual dengan wajah dingin. Meskipun cantik, namun aura yang dikeluarkan dari tatapan mata Sekar Kenanga sungguh sangat menakutkan.  Tiba-tiba semua orang di dalam warung terdiam. Hal ini tentu saja membuat si pembual ketakutan. Si pembual berdiri gemetar dan tiba-tiiba celananya basah dari selangkannya ke bawah. Dia ngompol. Sekar Kenangan tersenyum, dan kembali melanjutkan langkahnya. Melihat respons Sekar Kenanga, bukan saja membuat orang-orang di dalam warung lega. Namun juga membuat mereka kembali tertawa, apalagi melihat si pembual mengompol.

Di tengah warung, Sekar Kenanga berdiri sambil melihat satu per satu orang-orang di dalam warung. Setelah mengenali salah satu sebagai pelayan warung makan, dia dekati si pelayan sambil memberikan selembar uang limapuluh ribuan dan sebatang emas sekira 25 gram.

“Ini buat membayar makanan tadi, dan ini kemarin ada yang berbaik hati memberikan saya emas ini. Silakan pergunakan untuk membantu orang-orang yang telah menjadi korban kelakuan Tamomaya.”

Selagi si pelayan bingung, Sekar kenanga segera beranjak ke arah kudanya, melepas tali kekang, melompat naik, dan memacu kudanya melanjutkan perjalanan ke Padepokan Alang-alang Segara Wedi. Sekar Kenanga tahu, sebentar lagi sikap penduduk akan berubah dari kekaguman yang wajar menjadi sebuah sikap pemujaan yang berlebihan. Dia tidak mau itu terjadi.

Penduduk yang melihatnya cuma bisa bengong sambil berdecak kagum. Seorang perempuan bertubuh tinggi langsing, berwajah cantik, jago beladiri, dan baik hati. Sebuah komposisi sempurna ciptaan Yang Maha Kuasa.

Kedungwang adalah wilayah pedukuhan yang sangat kecil, tak sampai beberapa saat kuda yang ditunggangi oleh Sekar Kenanga telah meninggalkan pedukuhan. Kuda yang ditunggangi Sekar Kenanga telah memasuki hutan yang merupakan wilayah privat dari padepokan. Namun, meskipun ini wilayah privat, penduduk yang mau memanfaatkan untuk bercocok tanam masih diperkenankan. Namun, penduduk tidak dipekernankan untuk mengakui dan mendirikan tempat tinggal di situ.

Mendekati gapura padepokan, Sekar Kenanga melihat ada satu orang laki-laki dengan tiga perempuan berdiri di depan gapura.  Dari pandangan dia, laki-laki itu adalah Ansuman, sedangkan yang perempuan adalah Sitakara, Sweta Nandini, dan satu lagi Sekar Kenanga tidak mengenalinya. “Mungkinkan ini yang bernama Ayun?” tanya Sitakara dalam hatinya.

Mendekati gapura, Sekar Kenanga memperlambat langkah kudanya dan berenti sekitar tiga langkah di depan mereka. Sekar Kenanga melompat turun disambut dengan pelukan oleh Sitakara, “Sekar….!”.  Sekar Kenanga dan Sitakara berpelukan dan seperti rata-rata perempuan yang berpisah lama, setelah berpelukan, mereka akan berpegangan tangan sambil saling memuji. Protokol ini dengan patuh diterapkan oleh hampir seluruh perempuan di muka bumi pada dimensi apapun. Bahkan pada perempuan-perempuan gagah murid Alang-alang Segara Wedi.

“Sekar, kamu makin cantik lho!”

“Ah mbakyu Ara bisa aja, mbakyu juga terlihat makin cantik dan makin segar!”

Setelah berpelukan dengan Sitakara, giliran berikutnya adalah Dini. Mereka berdua berpelukan agak lama.  Dalam pandangan Arundhati, baik Sekar maupun Sweta Nandini mengingatkan dia pada karakter-karakter Na’vy pada filem Avatar.  Kedua-duanya sama tinggi. Arundhati tak bisa lepas memandangi kedua perempuan itu dengan pandangan keheranan. Sitakara yang sedari tadi memperhatikan Arundhati cekikan menahan tawa. Bagi Sitakara, kelakuan Arundhati ini mirip kucing oyen peliharaannya kalau sedang melihat sesuatu yang menakjubkan baginya.

Setelah selesai saling memuji antara Sekar dan Dini, giliran sekar menghampiri Arundhati.

“Apakah ini adalah diajeng Ayun?” sapa Sekar menebak. Arundhati kaget, raksasa satu ini kenapa tahu nama panggilannya. Dan ternyata bukan cuma Arundhati saja yang kaget. Sitakara, Dini, maupun Ansuman kaget. Darimana Sekar Kenanga mengetahui nama panggilan Arundhati.

“Sebentar Sekar, kamu tahu nama panggilan Ayun darimana?” tanya Ansuman menyela.

Sekarang giliran Sekar yang kebingungan. Kenapa orang-orang itu seperti bingung dan cenderung curiga. Tapi Sekar adalah seorang yang sangat tenang.

“Begini Kang Suman, karena rasa lapar yang sangat tadi Sekar mampir makan di dukuh Kedungwang. Sambil menunggu makanan pesanan saya datang, tanpa sengaja saya dengar seorang pembual yang bercerita tentang murid Padepokan yang menghajar dhemit Bacira sampai ngacir.  Murid itu bernama, Dewi Sitakara dan Ayun. Dan, belum lagi selesai saya makan, di luar warung makan terjadi keributan, Makhluk persepsi bernama Panka Tamoyama berkoar-koar mencari murid Alang-alang Segara Wedi yang bernama Ayun. Dia akan menuntut balas kematian saudaranya yang bernama Dhemit Bacira dan kematian anak buahnya. Saya keluar dan mengaku bernama Ayun, tapi sepertinya dia tidak percaya. Saya terlalu tinggi untuk mengaku sebagai Ayun.”

“Iya, saya pendek… nyadar saya…!” Arundhati menyela cerita Sekar. Semua yang ada di situ tertawa melihat kelakuan Arundhati.

“Enggak, Ayun. Pendek juga, kamu itu tercantik di antara kami. Buktinya, itu si Suman ngejar-ngejar Ayun terus!” rayu Sitakara agar Arundhati tidak jadi marah. Namun, rayuan yang maksudnya cuma mau berkelakar malah mendapatkan balasan pelototan mata Arundhati.  Pelototan marah yang mampu membuat ketakutan Sekar, namun malah membuat Sitakara tertawa. “Iya, iya ya…. Maaf, Yu Ara Salah!”

“Ya udah, ayo masuk, Sekar bisa cerita sambil jalan”.  Ajak Sweta Nandini kepada semuanya untuk segera memasuki gapura.

Sambil berjalan, Sekar melanjutkan ceritanya sampai ketika dia melenyapkan Panka Tamoyama dengan cundrik persepsi miliknya, dan beberapa murid padepokan yang terluka.

“Nanti dulu, Sekar. Kamu bilang tadi, anak buah Pangka Tamomaya dihabisin sama murid Alang-alang Segara Wedi?”,  Ansuman bertanya untuk mengkonfirmasi satu segmen cerita Sekar Kananga.

“Betul! Itu yang membuatnya semakin marah!” jawab Sekar Kenanga.

Ansuman dan Sitakar saling berpandangan dan tersenyum. Dan tanpa dikomando mereka berdua berucap, “Alhamdulillah!”

Hal ini pastinya membuat Sekar, Ayun, dan Sweta Nandini saling berpandangan juga.  Melihat ketiga temannya bingung, Sitakara dan Ansuman malah tertawa.

“Begini, dua minggu lalu, saat kami rihlah ke Jakarta, kami sempat bertempur bersama pasukan pengamanan di sana yang dipimpin oleh Kakang Arya Kandaga, menghadapi kawanan Tamomaya ini. Namun, sayangnya Tamomaya yang picik ini telah berhasil kabur sebelum kami habisi mengunakan belati milik Kakang Arya Kandaga!” jelas Sitakara menceritakan pengalamannya bertempur melawan kawanan Tamomaya dan pertemuannya dengan Arya Kandaga.

“Oo… gitu, jadi sekarang untuk sementara ini sepertinya kita aman dari makhluk-makhluk persepsi ini ya kan!” komentar Ansuman menegaskan. “Belum, kita belum aman. Itu cuma keroco yang dikerahkan. Saat ini saya sama Sweta Nandini sedang menghadapi satu misteri yang belum kami pecahkan!” tukas Arundhati. Semua memandangi Arundhati kecuali Dini.

“Betul yang dikatakan Ayun. Yu Ara dan Kang Suman sepertinya bisa bergabung!” Sweta Nandini menegaskan bantahan Arundhati. Semua terdiam. Hmmmm…. Perjalanan masih panjang. Dan dalam hati Sitakara berujar, “Pantas saja gurunda Nyi Ajar Nismara tidak membolehkan Ayun ikut rihlah ke Jakarta.”

“O iya Sekar, ada yang lupa. Meskipun dari tadi namanya sudah disebut dan orangnya juga sudah merespon, saya perkenalkan ke kamu Sekar, yang disebut Ayun adalah Arundhati. Tidak satupun di sini yang boleh memanggil Diajeng atau Adik kepada Ayun kecuali saya sama Suman. Ayun atau Arundhati adalah teman Sweta Nandini di dimensi utama.” Singkat Sitakara memperkenalkan Arundhati kepada Sekar Kenanga memecah kebekuan gegara pemberitahuan Arundhati tentang masih adanya kemungkinan ancaman makhluk persepsi.

“Apakah ini adalah Arundhati yang berhasil Mbakyu Sitakara dan Kakang Ansuman temukan berdasar petunjuk dari Gurunda Nyi Ajar Nismara?” Tanya Sekar Kenanga mamastikan.  Sitakara cuma mengangguk sambil tersenyum.  Tanpa dapat diduga, Sekar Kenanga langsung bertekuk lutut di depan Arundhati. Dengan kedua telapak tangan bertumpu pada lutut kanan serta kepala menunduk, Sekar Kenanga memberikan penghormatan.

“Terimalah hormat hamba paduka tuan putri Arundhati Striratna. Hukumlah hamba atas kekurangajaran yang telah hamba lakukan, karena mengaku sebagai Tuan Putri!”

Arundhati menjadi sangat risih. Dia melotot kepada Sitakara dan Ansuman. Dia memang manja dan sering ingin dilayani, namun penghormatan seperti itu adalah sesuatu hal lain. Arundhat tidak suka itu. Arudhati segera membungkuk memegang pundah Sekar Kenanga dan membimbingnya untuk berdiri, “Sudah Sekar, kamu manusia saya juga manusia. Tidak pantas untuk saling memberikan sembah atau gerakan-gerakan yang mirip penyembahan”

Setelah Sekar Kenanga berdiri di depannya, Arundhati langsung memeluknya. Ini adalah manusia kedua setelah Sweta Nandini yang bila berpelukan dia tidak dapat melihat wajahnya.

“Nah sekarang, Ayun yang peluk kamu Sekar. Kamu tadi mau meluk gak jadi!”

Sekar Kenanga salah tingkah. Dia ragu-ragu untuk memberikan pelukan balasan. Sekar yang selalu dingin tampak ragu untuk memeluk Arundhati yang digadang-gadang akan memimpin lapis kedua dimensi mimpi ini.  Namun baik Sitakara, Ansuman, maupun Sweta Nandini malah memberikan kode untuk memeluk balik. Akhirnya dengan sedikit ragu-ragu, Sekar Kenanga memeluk balik Arundhati. Dia agak kagok setelah tahu bahwa yang bernama Ayun adalah Arundhati.

Setelah semua prosesi peluk-pelukan macam teletubies selesai, mereka berlima melanjutkan langkah mereka menuju pendopo padepokan.  Di depan pendopo nampak Ki Ageng Turangga Seto dan Nyi Ajar Nismara berdiri seperti menunggu kedatangan mereka berlima.

Sesampainya di depan pendopo, atau tepatnya di depan kedua guru mereka; Sitakara, Ansuman, Sweta Nandini, Arundhati, dan Sekar Kenanga berhenti dan secara kompak membeerikan hormat dengan menyilangkan tangan kanannya di depan dada, “Salam hormat kepada Gurunda Nyi Ajar Nismara dan Gurunda Ki Ageng Turangga Seto!”

Ki Ageng Turangga Seto maupun Nyi Ajar Nismara sama-sama tersenyum. Kemudian Ki Ageng Turangga Seto menghampiri Sekar Kenanga, sambil mengucapkan selamat datang kepada Sekar Kenanga.

“Selamat datang kembali ke padepokan, Sekar! Bagaimana perjalananmu dari padepokan Gagak Wulung?”

“Alahamdulillah, Guru! Perjalanan Sekar lancar dan tidak ada masalah di perjalanan. Hanya saja, tadi di Dukuh Kedungwang, saya terpaksa harus membunuh seorang makhluk persepsi yang bernama Panka Tamomaya!”

Ki Ageng Turangga Seto nampak marah mendengar cerita Sekar Kenanga. Sekar Kenanga kaget melihat response Ki Ageng Turangga Seto. Segera Sekar Kenanga memohon maaf kepada Ki Ageng Turangga Seto dengan segera berlutut, menunduk dengna kedua telapak tangan bertumpu pada lutut kanan.

“Mohon maaf Ki Ageng, bila murid telah terlalu lancang membunuh Panka Tamomaya. Ini semata-mata murid lakukan untuk menghentikan langkah dia berbuat onar dan mempengaruhi orang-orang untuk berbuat onar!”. Dengan gaya khasnya dalam bertutur Sekar Kenanga, memohon ampun kepada gurunya. Ki Ageng Turangga Seto menyentuh pundak Sekar Kenanga sambil berkata, “berdirilah Sekar! Tidak ada yang salah di sini! Saya marah karena makhluk itu telah berbuat onar lagi”

Sekar Kenanga plong, bahwa gurunya tidak marah. Bahkan ketika dia berdiri dan melihat gurunya, masih tersisa senyumnya. Sambil memandang kepada Sekar Kenanga, Ki Ageng Turangga Seto berkata, “tidak ada yang salah Sekar. Bahkan kamu telah melakukan tindakan yang benar. Akhir-akhir ini makhluk-makhluk persepsi ini memang sangat meresahkan.”

Ki Ageng Turangga Seto terdiam sebentar untuk kemudian memandangi seluruh yang hadir di situ.

“Aku sangat bersyukur dengan bergabungnya Arundhati yang penuh bakat pada satu setengah bulan terakhir ini. Dan aku tambah bersyukur bahwa Sekar Kenanga pun telah pulang ke padepokan!”

Tengah Ki Ageng Seto berbicara, Nyi Ajar Nismara mendekati ki Ageng dan seperti membisikkan sesuatu ke telinganya. Ki Ageng mengangguk.

“Baiklah….!”sungguh luar biasa kemampuan Ki Ageng Turangga Seto. Dalam sekejap, mereka bertujuh telah berada di tengah suatu padang pasir yang sejuk dalam kondisi duduk bersila. Beberapa gerumbul alang-alang nampak ada di sekeliling mereka. Entah apa yang dilakukan oleh Ki Ageng Turangga Seto, Arundhati merasakan apa yang barusan terjadi bukanlah sebuah manipulasi persepsi seperti yang pernah dia lakukan kepada Ki Manten. Ini lebih mirip ketika dia ngerjain Dini.

Melihat perubahan mimik muka Arundhati, Ki Ageng Turangga Seto kemudian menegurnya sambil tersenyum, “Betul Arundhati. Ini bukan manipulasi persepsi! Mungkin hanya kamu yang bisa membedakan ini, Arundhati!”

Arundhati tersenyum tersipu-sipu. Murid-murid yang lain kaget, karena mereka pikir kejadian ini adalah manipulasi persepsi. Sweta Nandini pun sempat kaget, namun dia kemudian ingat Arundhati pernah melakukan ini padanya. Sweta Nandini tersenyum.

Sekar Kenanga sangat kaget mendengar perkataan Ki Ageng Turangga Seto. Betul-betul luar biasa orang yang bernama Arundhati ini. Dia mampu mengenali apa yang dilakukan gurunya. Tiba-tiba dia merasa kecil di hadapan gurunya.

“Sekar, kamu pun sebenarnya bisa melakukan ini.” Ki Ageng Turangga Seto mengarahkan pandangannya ke Sekar Kenanga, dan sambil tersenyum dia laihkan kepada murid-murid yang lain, “itulah makanya, kalian aku kumpulkan semua di sini. Bukan di padepokan.” Tutur Ki Ageng Turangga Seto sambil menggerakan tangan kanannya mempersilakan murid-muridnya untuk duduk bersila. Ki Ageng Turangga Seto duduk bersila dan diikuti oleh murid-muridnya.

Kata-kata terakhir Ki Ageng Turangga Seto betul-betul penuh misteri. Tak terkecuali Arundhati dan Sitakara yang telah mendapatkan dhawuh dari Nyi Ajar Nismara, semuanya bertanya-tanya.

“Anak-anakku, akhir-akhir ini para makhluk persepsi telah berani menjelajah keseluruh dimensi manusia. Terakhir sebelum Panka Tamomaya, Dhemit Bacira telah berani membuat kerusuhan di pedukuhan sekitar padepokan. Aku telah tugaskan Arundhati dan Sitakara untuk menghentikan Dhemit Bacira. Namun sayang dia terlalu licin dan berhasil kabur. Namun, saya dengar dari Sitakara, ternyata Dhemit Bacira telah berani menembus ke dimensi utama dan melakukan huru-hara di sana. Beruntung, Arundhati versi dimensi utama telah berhasil menghentikannya!”

Ki Ageng Turangga Seto berhenti sejenak sambil memandangi murid-muridnya yang terlihat menunggu kelanjutan dari Ki Ageng Turangga Seto.

“Aku mengumpulkan kalian, Sitakara Dhanta, Ansuman Adyucaya, Sweta Nandini, Arundhati Striratna, dan kamu Niken Lanjar Sekar Kananga, adalah untuk menyatukan kalian sebagai satu tim untuk menghadang gerakan para makhluk persepsi ini baik di sini maupun di dimensi utama.”

“Namun Ki Ageng…!” seperti biasa, bukan Arundhati kalau tidak menyela, “kami belum mendapatkan jejak keberadaan Sekar Kenanga di dimensi utama!”

“Untuk itu jugalah, kalian aku kumpulkan di sini. Niken Lanjar Sekar Kenanga adalah putri kinasih kolega saya, Ki Ageng Gagak Pergola pimpinan perguruan Gagak Wulung. Dia belajar kemari karena ingin belajar kepada Nyi Ajar Nismara yang juga guru dari almarhumah ibunya demi menuntut balas kematian ibunya yang terbunuh oleh alap-alap Selogiri. Dari kisahnya, maka kemungkinan besar sebagaimana saya dan Nyi Ajar Nismara, adalah penduduk asli dimensi ini dalam arti, kami tidak punya pasangan di dimensi utama, maka demikian juga dengan Niken Lanjar Sekar Kenanga ini. Namun, dengan kehadiran Arundhati di sini, ada sedikit harapan bahwa dugaan kami salah. Terus terang, kami sangat berharap dugaan kami bahwa Sekar tidak mempunyai pasangan di dimensi utama adalah sebuah kesalahan.”

“Kenapa harus Ayun, Ki Ageng?” sekali lagi, Arundhati menyela Ki Ageng. Ki Ageng tersenyum.

“Arundhati, apa kamu ingat bagaimana kamu kemudian menemukan Dhemit Bacira?” Ki Ageng Turangga Seto bukannya menjawab, malah balik bertanya. Arundhati kemudian mengingat-ingat kejadian penyerangan yang dilakuan oleh segerombolan orang yang terkena manipulasi persepsi oleh Dhemit Bacira. Ketika dia tengah mengamati orang-orang tersebut, dia mampu mengenali kehadiran Dhemit Bacira dari kejauhan.

“Ingat Ki Ageng!” jawab Arundhati tegas. Kemudian Arundhati menceritakan bagaiamana kemuadian dia mampu mengenali Dhemit Bacira.

“Itulah yang aku harapkan dari Kamu Arundhati. Bantuan kamu untuk mendeteksi kehadiran Sekar Kenanga. Kemampuan ini hanya kamu yang punya. Kami, bahkan saya sebagai gurumu pun tidak punya kemampuan itu. Bahkan ketika kami coba meniru kepada diri kami pun gagal.”

“Tapi, dunia ini terlalu luas, Ki Ageng! Apakah mungkin saya sanggup melakukannya?”

“Kamu adalah muridku paling cerdas Arundhati. Kamu selalu punya cara untuk menguasai ilmu yang kami ajarkan. Sepertinya, Guru tidak perlu mengajari kamu caranya! Karena, kami yang tidak mempunyai kemampuan itu, tentunya tidak tahu bagaimana harus melakukannya, namun seperti kejutan-kejutan yang sering kamu perlihatkan kepada kami, kami yakin kamu punya cara untuk melakukan itu.”

“Baiklah Ki Ageng, akan saya coba!”

“Kita harus berhasil mendapatkan versi dimensi utama dari Sekar Kenanga. Kemampuan dia akan sangat membantu tugas-tugas di dimensi utama.”

“Baik Ki Ageng!” jawab Arundhati tegas.  Ki Ageng Turangga Seto senang mendengar jawaban Arundhati.

Setelah memberikan perintah kepada Arundhati, Ki Ageng Turangga Seto melanjutkan dengan memberikan petuah-petuah serta ajar-ajar hasil perenungan serta pengalamannya. Tak lupa Ki Ageng Turangga Seto juga menjelaskan tentang makhluk-makhluk persepsi yang mulai berulah lagi. Arundhati mendengarkan ajar-ajar yang disampakan oleh Ki Ageng Turangga Seto dengan penuh takzim.

“Baiklah, hari ini cukup di sini dulu. Silakan kalian, terutama Sekar Kenanga, bila mau beristirahat. Ansuman, kamu pimpin doa untuk menutup pertemuan kita kali ini!”

Ansuman yang masih fokus dengan ajar-ajar yang disampaikan Ki Ageng Turangga Seto kaget setengah mati ketika ditunjuk untuk memimpin doa. Senang tentu, karena yang meminta adalah Ki Ageng Turangga Seto. Namun grogi juga sudah pasti. Baru kali ini dia, dan tentunya murid yang lain diajar oleh guru utama perguruannya di tempat yang sangat spesial. Gurun yang sejuk dengan beberapa gerumbul alang-alang. Alang-alang segoro wedhi. Tambah lagi, kali ini dia berada di antara perempuan-perempuan cantik, dan terutama Arundhati. Ini yang paling berat dan mengharuskan dia untuk tampil sempurna tentunya. Sitakara tersenyum melihat Ansuman yang tiba-tiba menjadi bingung.

“Baik Guru, saya terima kehormatan ini!” Ansuman berusaha untuk terlihat normal saat membalas perintah gurunya sambil mengangkat kedua tangannya menadah di depan dadanya yang diikuti oleh semua orang. Ansuman mulai berdoa. Cukup panjang doanya. Dan ketika dia menyelesaikan do’anya dengan ditutup ucapan, “Aamiin!” dan dibalas oleh semua yang hadir dengan ucapan yang sama, situasi telah kembali seperti semula. Semua sedang duduk bersila di pendopo, kecuali Ki Ageng Turangga Seto. Semua celingukan mencari keberadaan Ki Ageng Turangga Seto, namun tiba-tiba terdengar suara lembut dari Ki Ageng Turangga Seto, “anak-anaku, silakan kalian beristirahat. Aku bersama Nyi Ajar Nismara akan pergi beberapa hari ke Koraraja menemui Panglima Dirabrata”

Demi mendengar suara gurunya, mereka merasa tenang. Ansuman langsung berdiri dan pamit, “baiklah, karena Guru sudah menitahkan kita untuk beristirahat, saya mau balik ke kamar dulu! Assalamu’alaikum!”. Ansuman segera membalik badan ke arah keluar pendopo. Namun, tiba-tiba Sekar Kenanga berdiri dan mencegah Ansuman melangkah.

“Tunggu, Kang Suman!”

“Ada apa, Sekar?”

Sekar Kenanga tidak langsung menjawab pertanyaan Ansuman. Sekar Kenanga malah tersenyum sambil berkata, “Maaf Kang Suman. Cuma mau mastiin saja. Tadi, waktu mampir di warung makan di Kedungwang, saya dengar katanya Kang Suman mmmm….”. Sekar Kenanga terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan pertanyaannya. Dia malah menunduk sambil bola matanya melirik ke kiri dan ke kanan, hal mana membuat Ansuman menjadi gemas. Gemas bukan karena dengan gaya seperti ini, Sekar Kenanga nampak cantik dan semakin cantik. Ansuman benar-benar gemas karena dia sudah pengin balik ke asrama laki-laki malah dicegah dan yang mencegah malah tidak segera menyelesaikan maksudnya. Sementara itu, baik Sitakara, Sweta Nandini, dan Arundhati tampak menahan tawa. Ini tentunya membuat Ansuman semakin gemas.

“Ada apa Sekar?” Sekali lagi, Ansuman menanyakan hal yang sama.

“Anu… itu… Katanya Kang Suman pacaran sama Mbakyu Sita…!”

Jawaban Sekar Kenanga kontan membuat semuanya tertawa, termasuk Ansuman.

“Sekar, kamu bayangin deh! Masa sih saya pacaran sama mBakyuku sendiri?” Jawab Ansuman lirih dengan mukanya memerah menahan malu, sambil bola matanya bergerak-gerak ke arah Arundhati.

“Sekar, Yu Ara itu gak mungkin mau sama Kang Suman. Dijamin! Dia itu bukan tipe Yu Ara. Jadi, kamu tenang saja. Masih bisa!”  Sela Arundhati agak berteriak sambil menahan tawa.

Dengan mata terbelalak, Ansuman menoleh ke arah Arundhat. Arundhati klecam-klecem tersenyum. Sitakara yang tahu hubungan keduanya tidak lagi bisa menahan tawanya. Dan sambil tertawa Sitakara berkata kepada Sekar Kenanga.

“Sekar, Mbakyumu ini memang sering ditugaskan bareng sama Ansuman. Tapi dijamin, Ansuman itu bukan tipe mbakyumu ini!” tukas Sitakara menjelaskan posisinya.

“Syukurlah!” sahut Sekar Kenanga tenang, namun tidak dengan semua yang hadir di situ kecuali Ansuman.

Sebenarnya semua yang hadir kecuali Arundhati, paham dengan maksud Sekar Kenanga. Sekar Kenangan memang selalu apa adanya. Dan ucapan syukur Sekar Kenanga bisa tidak berarti apa-apa selain ucapan kepolosan Sekar Kenanga sehingga mereka memilih tidak berkomentar. Namun tidak dengan Arundhati tergelitik untuk berkomentar.

“Yap, betul Sekar! Harus disyukuri itu!” timpal Arundhati santai dan disambut dengan tertawa oleh yang lainnya kecuali Ansuman. Sekar Kenanga sendiri tersenyum tersipu-sipu,

“Bukan… bukan itu maksud Sekar!” tukas Sekar Kenanga malu. Semuanya tertawa.

“Baiklah kalau memang bukan itu, Sekar! Sudah tahu sekarang, kan? Saya mau ke kamar dulu!” sahut Ansuman sambil membalikkan badannya dan melangkah.

“Idih, teganya. Langsung ditinggal begitu aja!” sahut Arundhati mengomentari Ansuman. Ansuman berhenti sambil menoleh ke arah Arundhati kemudian melotot sebentar, berbalik lagi untuk melanjutan langkahnya. Semua tertawa, kecuali Ansuman.


0 comments: