{17} Kedatangan
Pagi yang cerah. Kabut masih enggan pergi menyelimuti lantai hutan saat cahaya matahari datang menyapa, menyusup di antara celah-celah dedaunan membentuk rona putih transparan yang menghujam diagonal ke lantai hutan. Sebuah pemandangan yang sangat eksotis karena tanaman semak di lantai hutan yang tengah berbunga warna-warni. Terlebih lagi, tidak jauh dari situ tampak sebuah sendang yang sangat tenang dan bening airnya. Di ujung sendang, terlihat kaki sebuah pohon raksasa dengan diameter sekitar lima meter. Tajuk pohon raksasa ini, telah melindungi sendang tersebut sehingga tetap sejuk, saat cahaya matahari siang panas menghujam.
Dari kejauhan terdengar sepatu kuda beradu dengan jalan
setapak. Semakin lama semakin mendekat dan mulai nampak jelas seorang gadis
denga postur tinggi tengah menunggangi kuda putih. Seekor kuda yang besar ditunggangi
oleh seorang gadis bertubuh tinggi langsing dengan jubah dan kerudung putih
gading. Sebuah keanggunan yang sangat indah, tentunya. Selembar cadar yang
menutup sebagian wajahnya tak mampu menutupi wajah cantik yang dia miliki dan
bahkan menjadi penentu yang sempurna dari keanggunan itu.
Saat melewati sendang itu, gadis penunggang kuda ini
berhenti. Turun dari kuda, gadis itu melihat-lihat sekeliling dan kemudian
seperti menyeka sesuati di dahinya. Ah, gadis itu berkeringat ternyata. Dia
lepas cadarnya dan dia gantungkan di pelana kudanya. Gadi itu melangkah ke tepi
sendang. Tangan kananya dia silangkan di atas kepala seperti membantu tangan
kirinya melepas sesuatu. Kemudian, tangan kanannya terlihat mengangkat kain
kerudungnya. Dan, ah seperti sebuah kilatan tiba-tiba gadis itu telah berbalik.
Wajahnya yang belum tertutup cadar nampak sangat segar dan bersih. Beberapa
bercak basah air terlihat di jubah dan terutama kerudungnya. Ah, gadis itu
memiliki kemampuan yang mirip Arundhati dan Ki Ageng Turangga Seto sepertinya. Setelah
mengenakan cadarnya lagi, gadis itu segera naik ke punggung kuda, dan memacu sekencang-kencangnya,
“Ciak!!”. Dan dengan kecepatan tinggi,
kuda itu melaju meninggalkan sendang.
Tak sampai beberapa lama setelah gadis itu pergi, tiba-tiba
muncullah ular raksasa dari atas pohon. Sesampainya di tanah, ular itu menjelma
menjadi ujud seorang lelaki muda dan sangat tampan. Sanca Bujangga. Ular Sanca
sejenis Dhemit Bacira. Makhluk persepsi yang seben
arnya aseli dari dimensi
mimpi lapis pertama. Makhluk yang berbahaya karena mampu memanipulasi persepsi
dan menembus batas dimensi. Wajah Sanca Bujangga nampak sedih.
“Niken, sudah terhitung beberapa purnama aku menunggumu di
sini hanya untuk dapat bertemu denganmu. Penampakan wajahmu, yang cuma sekejap
telah mampu menghiburku. Namun, sebenarnya bukan cuma itu yang aku mau. Berbicara
dan bertukar kata-kata indah saat bercengkerama denganmu adalah hal yang paling
aku inginkan.” Ah, ternyata Sanca Bujangga telah jatuh hati kepada gadis
itu. Niken Lanjar Sekar Kenanga alias
Sekar Kenanga. Sanca Bujangga lebih suka memanggilnya dengan nama lengkap Niken
Lanjar Sekar Kenonong atau Niken saja.
Sanca Bujangga memutar tubuhnya ke arah sendang. Dia berubah
lagi menjadi ular raksasa dan langsung masuk ke dalam sendang. Ular itu
meliuk-liuk di dalam sendang timbul dan tenggelam dan kemudian menghilang.
Setelah agak lama berkuda melewati hutan, Sekar Kenanga
melewati areal persawahan yang mengapit sebuah bengawan. Sekar Kenanga berkuda
sepanjang tepiannya. Tanpa disadarinya gemricik air yang membuat sebuah jalur
yang panjang mengikutinya melalui aliran bengawan.
Menjelang siang sebuah Gapura mulai terlihat berdiri di
belokan bengawan. Sebelah depan ke kanan di kiri bengawan adalah gerumbul dukuh
Kedungwang. Jalan terus melalui jalan dukuh adalah jarak terdekat dengan
padepokan, dan ini menjadikan pedukuhan yang tidak besar ini menjadi cukup
ramai. Pasar, penginapan, dan warung makan ada di dukuh yang kecil ini.
Ah, warung, Sekar Kenanga yang belum ketemu makanan besar
sejak malam tadi, pengin mampir ke warung dan makan. Namun sebagaimana sebagian
besar murid Padepokan, Sekar Kenanga enggan untuk melalui jalan dukuh tersebut.
Penduduk dukuh sangat mengenal gerak-gerak dan pakaian yang dikenakan oleh
murid padepokan. Penduduk dukuh yang merasa
diuntungkan oleh kehadiran para Padepokan dan para muridnya, seringkali
memberikan penghormatan yang terlalu berlebihan. Ini yang membuat Sekar Kenanga
dan murid-murid padepokan sering merasa sungkan sehingga merekapun enggan untuk
melewati jalan dukuh. Namun, kali ini perutnya betul-betul tidak dapat diajak
kerjasama. Dan, mumpung masih belum sampai, Sekar Kenanga mulai melambatkan
kudanya, “Ciak… haikk!!!” teriaknya sambil menepuk kudanya. Kudanya pun mengerem
lajunya dan mulai berjalan lambat. Setelah kudanya berjalan melambat, kemudian
nampak sebuah perubahan tiba-tiba pada pakaiannya. Jubah dan kerudung putih
gading, tidak lagi dia kenakan. Sebuah kain berwarna abu-abu muda membalut
sekujur tubuhnya menggantikan jubah tadi. Kerudungnya pun telah tergantikan
dengan kain abu-abu muda panjang melingkar di kepalanya membentuk kerudung
menutupi rambut dan lehernya.
Penampilannya saat ini lebih mirip penduduk daripada murid padepokan.
Sekar Kenanga melanjutkan perjalanannya dan tanpa ragu dia masuk ke area
pedukuhan menapaki jalan dukuh.
Sekar Kenanga dengan santainya berkuda melalui jalan
pedukuhan yang ramai. Bukan cuma dia saja yang menggunakan kuda. Beberapa pria
dan wanita juga nampak menunggangi kudanya melintasi jalan pedukuhan. Tidak
nampak ada murid padepokan yang melintasi jalan itu, namun Sekar Kenanga sempat
memergoki beberapa wajah yang tidak asing baginya. Namun, ada semacam kode etik
di antara para murid, bahwa kalau bertemu di dukuh ini, maka tidak ada yang
saling kenal.
Sesampainya di depan sebuah warung makan, Sekar Kenanga
segera menghentikan kudanya, menuntunnya untuk mengikatkan tali kekangnya di
depan warung. Setelah selesai menambatkan tali kekang kudanya, Sekar Kenanga
segera melangkah memasuki warung, duduk di meja di salah satu sudut yang
kosong. Tak lama dia duduk, seorang pelayan datang mendekatinya.
“Selamat siang Tuan, eh…. Nona…! Mau makan apa? Ada ayam
goreng sama sayur mentah! Ada….!”, belum lagi menyelesaikan tawarannya yang
kedua Sekar Kenanga sudah memotong, “Ayam goreng sama sayur mentah saja. Minumnya,
kalau ada, tolong minta kelapa muda!”
“Oh, Baik!” pelayan itu segera berbalik ke dapur untuk
menyampaikan pesanan Sekar Kenanga. “Ayam goreng sayur mentah, kelapa muda!”
Agak lama menunggu makanan tiba, Sekar Kenanga memperhatikan
orang-orang yang memenuhi seisi warung. Di ujung sebelah depan terdengar
seseorang bertanya, “kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya?”. Dan entah
siapa yang ditanya, kemudian ada suara sesorang menyahut dengan sebuah
pertanyaa, “emang gimana, Kang?”. Orang
yang tadi bertanya tersenyum, karena merasa dia tahu lebih dulu cerita ini.
Buktinya kejadian selanjutnya tidak ada yang tahu. “Nah itu…! Selanjutnya
Dhemit Bacira ini dihajar habis-habisan oleh murid padepokan yang bernama Ayun
yang ditemani oleh Dewi Sitakara”. Terlihat senang sekali orang yang bercerita
tadi menjadi orang yang tahu paling awal. Dia tidak tahu, kejadian itu terjadi
di dukuh ini, dan pastinya semua orang tahu kejadian itu.
“Wuoi, Kisanak! Kamu tahu cerita yang di Jakarta gak?”
Dari sudut depan seseorang berteriak bertanya, kepada yang
sedang bercerita yang agak tergagap sebentar namun kemudian dia menjawab,
“Nah itu….! Itu juga seru tuh, ini ceritanya Dewi Sitakara
yang sedang berwisata sama pacarnya Raden Ansuman di Jakarta!”
Orang yang mendengarkan serempak pada ketawa. Apalagi
penduduk Kedungwang yang bisa dikata sangat tahu cerita atau kejadian di dalam
Alang-alang Segoro Wedi. Sitakara dan Ansuman memang sering ditugaskan berdua.
Akan tetapi, ada aturan Alang-alang Segara Wedi yang tidak memperbolehkan perempuan
yang lebih tua berhubungan kasih dengan laki-laki yang lebih muda. Meskipun itu
cuma lebih muda satu hari.
“Terus, dewi Sekar Kenanga kemana, kenapa tidak terlibat
dalam pertempuran itu?” teriak seseorang dari ujung sebelah yang lain, sambil
tertawa. Si pencerita kaget, dia tidak kenal dengan nama itu. Dia cuma dengar
sepotong cerita dalam pertempuran itu. Namun dia tidak mau kalah. Kemudian dia
mengarang cerita, “Dewi Sekar Kenanga saat itu sedang sakit, jadi tidak
diperkenankan untuk terlibat dalam pertempuran ini. Lagian, saya rasa kemampuan
Dewi Sekar Kenanga juga jauh di bawah Ayun. Saat itu, bahkan Dewi Sitakara pun
tidak dapat berbuat banyak!”
Semua orang yang ada di dalam warung makan itu tertawa
sejadi-jadinya. Orang itu telah membual dari tadi. Tapi memang sengaja
dibiarkan oleh orang-orang di sekitarnya untuk mendapatkan titik-titik lucunya.
Sekar Kenanga yang memperhatikan dari tadi, mau tidak mau ikut tertawa. Dan ada
satu yang mengganjal. Ayun, siapa dia? Sehebat yang diceritakan oleh pembual
itukah? Dia ingat, Sitakara mempunyai kemampuan yang tinggi, namun kemampuannya
itu masih berada di bawah dia, dan hanya dia yang mampu mengungguli Sitakara.
Dan, satu hal yang juga menjadi pertanyaan Sekar Kenanga, Sitakara pacaran sama
Ansuman. Sekar Kenanga tersenyum memikirkan yang satu ini. Kedua saudara
sepergurannya itu memang selalu ditugaskan bersama-sama dan memang sangat
akrab. Namun, sepertinya mereka sangat jauh dari pacaran.
“Kemudian, kudengar Ayun juga tidak ikut dalam peristiwa di
Jakarta, kemana Ayun kira-kira?” tanya
seseorang yang duduk di meja depan Sekar Kenanga.
“Oh, itu…. Itu karena Ayun sedang merawat Dewi Sekar Kenanga!”
Sangat luar biasa orang ini membualnya. Bagi penduduk
Kedungwang, orang seperti ini bukan cuma ada satu dua. Rata-rata mereka adalah
pendatang yang justeru tidak tahu dan menjadi sok tahu di antara pendatang.
Namun, meskipun sudah sering muncul orang seperti ini, mereka tetap mampu
membuat penduduk kedungwang tertawa.
Sementara itu, di meja Sekar Kenanga, “Nona, silakan ayamnya
sudah dapat dinikmati!”. Seorang pelayan telah meletakan makanan pesanan Sekar
Kenanga. Namun Sekar Kenanga tidak
mempedulikannya. Dia sedang penasaran dengan Arundhati.
“Nona! Makanan pesanan sudah dapat dinikmati!” kali ini
suara pelayan agak keras. Dia ingin mengingatkan Sekar Kenanga, karena dalam
pandangannya, Sekar Kenanga sedang melamun.
Sekar Kenanga kaget. Dia melihat ke arah pelayan. “Maaf,
Nona, saya kasihan melihat Nona yang sedang melamun, makanya saya bangunkan.
Itu, makanannya, sudah dapat dinikmati. Silakan, mumpung masih panas!”
Sekar Kenanga tersenyum kepada pelayan itu sambil menarik
nampan makanannya. “Terimakasih, Pak!”. Pelayan itu tersenyum untuk kemudian
membalikkan badannya dan pergi ke arah dapur.
Sekar Kenanga segera menyantap makanannya. Rasa lapar telah
membuat Sekar Kenanga melupakan citarasa dari makanan yang tengah ia santap.
Semuanya enak. Dalam sekejap, makanan pesanannya telah habis dia santap. Dia
berhenti untuk menghindari bersendawa. Gak asik kan, kalau ada perempuan cantik
bersendawa setelah makan. Setelah dirasa cukup, dia segera meraih kelapa muda
yang telah terbuka. Dia celupkan tangkai daun pepaya yang disediakan oleh
pelayan sebagai sedotan. Belum lagi dia menyedot air kelapa mudanya, telinganya
mendengar suara keributan di luar. Seisi warung menoleh ke arah luar. Rasa haus
yang mendesak, memaksa Sekar Kenanga mengabaikan keributan itu dan segera meminum
air kelapa muda itu beberapa tarikan saja. Dia merasa bahwa dia akan terlibat
dalam suatu pertarungan, namun dia juga merasa sangat haus, sehingga dia
putuskan meminum sekdarnya saja.
Sementara itu dari luar keributan yang terjadi terdengar
semakin dahsyat. Sesekali terdengar teriakan orang kesakitan, orang jatuh dan
suara pukulan. Tiba-tiba dari arah keributan, terdengar sesorang
berteriak-teriak mencari orang yang bernama Ayun.
“Aku Pangka Tamomaya! Mana di sini yang bernama Ayun. Aku
Pangka Tamomaya mau menuntut balas kematian Dhemit Bacira adikku! Mana? Mana di
sini yang bernama Ayun?! Sitakara, mana
di sini yang bernama Sitakara yang telah membunuh 10 anak buahku”
Pangka Tamomaya adalah makhluk kegelapan, makhluk persepsi
yang lahir dari kegelapan dimensi mimpi. Huru-hara adalah habitatnya. Tidak ada
tempat yang damai bila ada kehadirannya.
Dhemit Bacira adalah salah satu adik Pangka Tamomaya. Seperti makhluk persepsi
lainnya, dia mampu menanamkan persepsi kepada setiap bentuk kesadaran. Setiap kesadaran yang telah mereka taklukkan
akan menjadi inang yang baik bagi persepsi yang mereka tanam. Akibat dari kehadiran
Tamomaya di dekat warung itu memang sungguh luar biasa. Terlihat beberapa orang
penduduk sedang berkelahi. Beberapa ada yang memukul-mukul dirinya sendiri.
Sementara yang lain ada yang melempari rumah dan apapun yang ada di
sekelilingnya dengan batu.
Sekar Kenanga segera melompat ke tempat keributan dengan
hanya satu kelebatan. Orang-orang yang melihat kejadian itu takjub bukan main.
Dari tempat duduknya Sekar Kenanga melompat dan berubah menjadi kelebatan kain
dari abu-abu muda menjadi putih gading. Dan dalam sekejap di tengah area
keributan, percisnya di depan Pangka Tamomaya telah berdiri seorang gadis
tinggi langsing dengan jubah dan kerudung putih gading.
“Aku yang bernama Ayun. Ada apa kamu mencari-cariku?” Sekar kenanga dengan sikap siap. Di depannya
persis berdiri makhluk berwujud orang hutan atau mungkin gorila namun bersisik
dan berekor ular. Makhluk itu tertawa
terbahak-bahak.
“Ha ha ha…. perempuan yang bernama Ayun tidak setinggi kamu!
Tapi sepertinya kamu berasal dari Alang-alang Segara Wedi, baiklah karena Ayun
juga dari padepokanmu. Menghajarmu berarti juga memberikan pelajaran kepada
padepokanmu yang sok itu!”. Tamomaya segera memasang kuda-kuda hendak menyerang
Sekar Kananga. Sekejap tubuh Tamomaya telah melesat menyerang Sekar Kenanga. Namun,
Sekar Kenanga ternyata lebih gesit. Sekar Kenanga hanya perlu sedikit
menghindar tepat ketika cakar Tamomaya percis di depan tubuhnya sehingga Tamomaya
tidak mampu mengantisipasi gerakan menghindar Sekar Kenanga untuk merubah
serangan mengikuti gerakan Sekar Kenanga.
Menyadari serangannya gagal mencapai sasasran, Tamomaya berputar
meyabetkan ekornya menghantam tubuh Sekar Kenanga. Namun, sekali lagi, serangan
ini dapat dihindari oleh Sekar Kenanga dengan sedikit gerakan miring mirip
kayang, sehingga ekor Tamomaya hanya melewati ruang kosong.
Dua kali gagal melakukan seragan, Tamomaya segera
menghentikan serangannya. Sepertinya kali ini dia akan mengeluarkan kemampuan
andalannya. Tamomaya berdiri diam dengan kedua tangan dia angkat lurus seperti
burung yang mengangkat sayapnya. Sekar kenanga melihat gelagat tidak
mengenakkan dari gerakan Tamomaya. Instingnya mengatakan bahwa penduduk yang
berada dekat area pertarungan ini bakal menjadi korban dari serangan Tamomaya
berikutnya. Sekar Kenanga segera melesat sekitar lima rumah ke atas sambil
menepukkan kedua tangannya ke atas dan merentangkan tangannya ke samping. Dalam
kondisi tangan merentang ke samping, Sekar Kenanga memutar tubuhnya satu
putaran dengan anggun dan dari kedua telapak tangannya terburai lapis sinar
putih yang kemudian membentuk kubah yang mengurung Sekar Kenanga dan Pangka
Tamomaya. Setelah kubah selesai terbentuk, Sekar kenanga kembali mengangkat
kedua tangannya ke atas dan sambil turun dia tarik kedua tangannya kedepan
dada.
Seketika saat kubah persepsi dari Sekar Kenanga terbentuk
sempurna, penduduk yang sedang terlibat dalam kerusuhan menghentikan aktifitas
liarnya. Semua bingung dengan apa yang terjadi. Namun, segera mereka menyadari
bahwa telah terjadi masalah yang melibatkan mereka. Dan ketika melihat seorang
perempuan tengah bertarung dengan seekor makhluk seperti gorila namun berekor kadal,
mereka segera menyingkir agak jauh dari lokasi pertempuran. Orang-orang yang
berada di warung makan melambaikan tangannya mengajak berlindung di dalam
warung. Mereka menyadari, sesuatu telah dilakukan oleh Sekar Kenanga untuk
melindungi orang-orang di dalam warung sehingga mereka tidak terimbas efek
brutal dari persepsi yang dilepaskan oleh Tamomaya.
Tamomaya yang belum selesai dengan gerakannya terlihat
gelisah. Dia sangat mengenali kubah bentukan Sekar Kenanga. Ini adalah kubah
persepsi yang mampu menghalau persepsi lawan dan melindungi pihak lain agar
tidak terpengaruh oleh persepsi yang dia tebar dan bahkan bentuk serangan yang
berasal darinya. Tamomaya yang gelisah kemudian marah luar biasa. Kemarahannya ia tunjukan dengan gerakan-gerakan
acak dan raungan serta auman yang sangat keras.
“Tamomaya!”, Sekar Kenanga menegur Tamomaya dengan suara
datar namun dengan desibel yang tinggi.
“Tamomaya!” sekali lagi Sekar Kenanga menegur Tamomaya
dengan cara yang sama. Namun, Tamomaya masih berulah dengan kemarahannya. Dari gerakan Tamomaya, terlihat dia ingin
menyerang penduduk di luar kubah. Akan
tetapi, apapun yang dilakukan untuk menyerang penduduk akan terpental saat menghantam
dinding kubah buatan Sekar Kenanga. Tamomaya adalah makhluk persepsi, dinding
Sekar Kenanga adalah dinding yang dibuat dari kesadaran Sekar Kenanga untuk
menghalau segala bentuk persepsi. Dinding ini juga telah dia perkuat dengan
kesadarannya untuk menghalau serangan fisik.
“Tamomaya!!!”, kali ini Sekar Kenanga menegur Tamomaya
dengan suara yang keras dengan desibel yang semakin meninggi. Tamomaya berhenti
berulah sambil memegang telinganya. Tamomaya merasa kesakitan yang sangat di
dalam telinganya. Namun, ketika dia liat penduduk, tak ada satupun penduduk yang
merasa kesakitan. Mereka malah tertawa-tawa melihat tingkah Tamomaya. Tamomaya
mengalihkan pandangannya ke arah Sitakara. Mata Tamomaya nanar menatap ke arah
Sekar Kenanga yang tenang berdiri menghadap kepadanya. “Tamomaya, berhentilah
berbuat kerusakan. Berhentilah berbuat keonaran! Aku akan mengampuni kamu bila
kamu mau berhenti membuat huru-hara dengan persepsi tidak berguna yang kamu
sebarkan. Saudaramu Dhemit Bacira pasti
telah berbuat tidak seharusnya sehingga harus berurusan dengan saudara kami.”
Tamomaya bukannya gentar dan mau mengikuti nasehat Sekar
Kenanga malah berbuat semakin nekad. “Ha ha ha….. ternyata cuma segitu saja
kemampuan orang Alang-alang Segara Wedi? Lihat Panka Tamomaya tidak takut sama
sekali dengan gertakan kalian tukang gertak. Alang-alang Segara Wedi, ternyata
cuma tukang gertak! Di sini aku akan membalaskan dendam adikku yang telah
dihilangkan oleh Ayun, dan anak buahku yang telah dibantai oleh Sitakara dan
Ansuman”. Karena gagal melakukan
serangan melalui manipulasi persepsi, Tamomaya berusaha memanipulasi emosi
lawanya, sambil membusungkan dan memukul dadanya khas primata.. Namun, sayang
lawan yang dia hadapi kali ini adalah Sekar Kenanga, murid utama Alang-alang
Segara Wedi.
Mendengar sesumbar Tamomaya, Sekar Kenanga langsung melompat
ke atas, dan entah bagaimana caranya tiba-tiba tubuhnya berputar seperti gasing
dengan kakinya mengarah ke dada Tamomaya. Sebelum sempat Tamomaya menyadari serangan
yang telah menghantam dadanya, dengan memanfaatkan pijakan pada dada Tamomaya, Sekar
Kenanga telah melengkungkan tubuhnya kayang meraih kepala Tamomaya sebagai
pijakan tangannya untuk bersalto dan mengirimkan tendangan dari arah belakang.
Tendangan yang tidak terduga ini membuat tubuh Tamomaya melayang ke udara dan
langsung disusul oleh Sekar Kananga untuk menghujamkan tendangan pada perut
Tamomaya sehingga tubuh tambun itu jatuh dengan cepat ke tanah. “Bum!” suara
yang sangat keras menggambarkan betapa besar tenaga yang menghantar tubuh
Tamomaya menghantam tanah.
Perlahan Sekar Kenanga turun dan mendarat di samping tubuh
Tamomaya yang terkapar tidak berdaya. Sambil mengeluarkan sebilah cundrik, Sekar
Kenanga dengan gaya bicara yang datar namun sangat dalam, mengancam Tamomaya,
“Tamomaya! Aku, Niken Lanjar Sekar Kenanga. Ini akan menjadi
nama terakhir yang kamu kenal. Namun, bila kamu mau merubah sikapmu, aku akan
melepaskanmu mengenal nama-nama yang lain!”
Mendengar ancaman Sekar Kenanga, Tamomaya bukannya gentar
malah semakin menjadi. Dia tidak percaya ada benda milik makhluk yang terdiri
dari darah dan daging mampu membunuhnya. Sambil menahan sakit, Tamomaya malah tertawa
dan menantang Sekar Kenanga.
“Ha ha ha ha…. mana ada senjata kalian mampu membunuhku. Coba
saja bila memang kalian mampu membunuhku!”
“Baiklah. Tamomaya, makhluk persepsi yang tidak mau
memperbaiki dirinya, aku Niken Lanjar Sekar Kananga mengantarmu menjemput
kematianmu!”
Sekar Kenanga langsung mengangkat tinggi-tinggi cundriknya
dan dengan kecepatan penuh dia hujamkan cundriknya ke dada Tamomaya. Penduduk
yang menonton di sekeliling area keributan tercengang melihat kejadian itu.
Dalam pandangan mereka, tubuh Sekar Kenanga tiba-tiba berubah menjadi raksasa
setinggi dua rumah, dan cundrik yang dia pegang pun berubah ukuran tidak
proporsioanal. Cundrik yang sekarang lebih besar dari daun pintu itu menghujam
ke dada Tamomaya.
Tamomaya yang meihat situasi itu sempat terlihat sangat
ketakutan. Rasa ketakutan inilah sebenarnya yang mampu membunuh makhluk
persepsi, dan bersamaan dengan hujaman cundrik tadi, tubuh Tamomaya mendadak
seperti terbakar dan menghilang. Sebuah lolongan yang amat keras menjadi
lolongan terakhirnya.
“Tamomaya, ini adalah cundrik warisan kakeku yang berasal
dari dimensimu. Salam buat Dhemit Bacira dari Ayun!”. Setengah berbisik, Sekar
Kenanga mengucapkan itu sebagai ungkapan rasa kesal. Sambil
melangkah ke arah warung, Sekar Kenanga melihat-lihat ke sekeliling. Banyak orang-orang yang bergelimpangan
kesakitan. Sebagian besar dari mereka dia kenali sebagai murid Padepokan Alang-alang
Segara Wedi.
Para penduduk saling berbisik. Berbagai ungkapan kekaguman
mereka ungkapkan.
“Dewi Sekar Kenanga!” salah seorang penduduk menyebut
namanya sambil matanya tak lepas memandangi Sekar Kenanga.
Sementara yang lain mengagumi kehebatan gerakan mematikan
yang ditampilkan Sekar Kenanga, “luar biasa lentur namun bertenaga Dewi Sekar
Kenanga ini!”.
Ada juga yang melupakan pertarungan yang telah berakhir dan justeru
mengagumi kecantikan Sekar Kenanga yang masih dapat mereka lihat, “Cantiknya!
Andaikan dia adalah isteriku…!” Kontan saja ini membuat yang lain tertawa, “Cantik
memang, tapi emang kamu berani?”
Suasana mendadak begitu gembira. Semuanya senang, sekali
lagi seekor pengacau telah dimusnahkan oleh murid Alang-alang Segoro Wedi.
“Murid-murid Nyi Ajar Nismara memang cantik-cantik, tapi kesaktiannya
luar biasa!”
“Yang pasti karena merekalah desa kita aman!”
“Betul…!”
Sesampainya di dalam warung, terdengar teriakan, “Mana itu
tadi yang bilang Dewi Sekar Kenanga sedang sakit?”. Teriakan ini disambut ketawa seluruh orang
yang ada di dalam warung. Dan, tanpa di duga, dari belakang Sitakara terdengar
sahutan, “Saya!”. Orang di dalam warung tertawa
semakin keras dengan tangannya menunjuk ke arah Sekar Kenanga.
Sekar Kenanga menoleh ke belakang. Benar saja, di
belakangnya ada si pembual tadi. Sekar Kenanga menatap si pembual dengan wajah
dingin. Meskipun cantik, namun aura yang dikeluarkan dari tatapan mata Sekar
Kenanga sungguh sangat menakutkan.
Tiba-tiba semua orang di dalam warung terdiam. Hal ini tentu saja
membuat si pembual ketakutan. Si pembual berdiri gemetar dan tiba-tiiba
celananya basah dari selangkannya ke bawah. Dia ngompol. Sekar Kenangan tersenyum,
dan kembali melanjutkan langkahnya. Melihat respons Sekar Kenanga, bukan saja
membuat orang-orang di dalam warung lega. Namun juga membuat mereka kembali
tertawa, apalagi melihat si pembual mengompol.
Di tengah warung, Sekar Kenanga berdiri sambil melihat satu
per satu orang-orang di dalam warung. Setelah mengenali salah satu sebagai pelayan
warung makan, dia dekati si pelayan sambil memberikan selembar uang limapuluh
ribuan dan sebatang emas sekira 25 gram.
“Ini buat membayar makanan tadi, dan ini kemarin ada yang
berbaik hati memberikan saya emas ini. Silakan pergunakan untuk membantu
orang-orang yang telah menjadi korban kelakuan Tamomaya.”
Selagi si pelayan bingung, Sekar kenanga segera beranjak ke
arah kudanya, melepas tali kekang, melompat naik, dan memacu kudanya melanjutkan
perjalanan ke Padepokan Alang-alang Segara Wedi. Sekar Kenanga tahu, sebentar
lagi sikap penduduk akan berubah dari kekaguman yang wajar menjadi sebuah sikap
pemujaan yang berlebihan. Dia tidak mau itu terjadi.
Penduduk yang melihatnya cuma bisa bengong sambil berdecak
kagum. Seorang perempuan bertubuh tinggi langsing, berwajah cantik, jago
beladiri, dan baik hati. Sebuah komposisi sempurna ciptaan Yang Maha Kuasa.
Kedungwang adalah wilayah pedukuhan yang sangat kecil, tak
sampai beberapa saat kuda yang ditunggangi oleh Sekar Kenanga telah
meninggalkan pedukuhan. Kuda yang ditunggangi Sekar Kenanga telah memasuki hutan
yang merupakan wilayah privat dari padepokan. Namun, meskipun ini wilayah
privat, penduduk yang mau memanfaatkan untuk bercocok tanam masih
diperkenankan. Namun, penduduk tidak dipekernankan untuk mengakui dan
mendirikan tempat tinggal di situ.
Mendekati gapura padepokan, Sekar Kenanga melihat ada satu
orang laki-laki dengan tiga perempuan berdiri di depan gapura. Dari pandangan dia, laki-laki itu adalah
Ansuman, sedangkan yang perempuan adalah Sitakara, Sweta Nandini, dan satu lagi
Sekar Kenanga tidak mengenalinya. “Mungkinkan ini yang bernama Ayun?” tanya
Sitakara dalam hatinya.
Mendekati gapura, Sekar Kenanga memperlambat langkah kudanya
dan berenti sekitar tiga langkah di depan mereka. Sekar Kenanga melompat turun
disambut dengan pelukan oleh Sitakara, “Sekar….!”. Sekar Kenanga dan Sitakara berpelukan dan
seperti rata-rata perempuan yang berpisah lama, setelah berpelukan, mereka akan
berpegangan tangan sambil saling memuji. Protokol ini dengan patuh diterapkan
oleh hampir seluruh perempuan di muka bumi pada dimensi apapun. Bahkan pada
perempuan-perempuan gagah murid Alang-alang Segara Wedi.
“Sekar, kamu makin cantik lho!”
“Ah mbakyu Ara bisa aja, mbakyu juga terlihat makin cantik
dan makin segar!”
Setelah berpelukan dengan Sitakara, giliran berikutnya
adalah Dini. Mereka berdua berpelukan agak lama. Dalam pandangan Arundhati, baik Sekar maupun
Sweta Nandini mengingatkan dia pada karakter-karakter Na’vy pada filem Avatar. Kedua-duanya sama tinggi. Arundhati tak bisa lepas
memandangi kedua perempuan itu dengan pandangan keheranan. Sitakara yang sedari
tadi memperhatikan Arundhati cekikan menahan tawa. Bagi Sitakara, kelakuan
Arundhati ini mirip kucing oyen peliharaannya kalau sedang melihat sesuatu yang
menakjubkan baginya.
Setelah selesai saling memuji antara Sekar dan Dini, giliran
sekar menghampiri Arundhati.
“Apakah ini adalah diajeng Ayun?” sapa Sekar menebak.
Arundhati kaget, raksasa satu ini kenapa tahu nama panggilannya. Dan ternyata
bukan cuma Arundhati saja yang kaget. Sitakara, Dini, maupun Ansuman kaget.
Darimana Sekar Kenanga mengetahui nama panggilan Arundhati.
“Sebentar Sekar, kamu tahu nama panggilan Ayun darimana?”
tanya Ansuman menyela.
Sekarang giliran Sekar yang kebingungan. Kenapa orang-orang
itu seperti bingung dan cenderung curiga. Tapi Sekar adalah seorang yang sangat
tenang.
“Begini Kang Suman, karena rasa lapar yang sangat tadi Sekar
mampir makan di dukuh Kedungwang. Sambil menunggu makanan pesanan saya datang,
tanpa sengaja saya dengar seorang pembual yang bercerita tentang murid Padepokan
yang menghajar dhemit Bacira sampai ngacir.
Murid itu bernama, Dewi Sitakara dan Ayun. Dan, belum lagi selesai saya
makan, di luar warung makan terjadi keributan, Makhluk persepsi bernama Panka
Tamoyama berkoar-koar mencari murid Alang-alang Segara Wedi yang bernama Ayun.
Dia akan menuntut balas kematian saudaranya yang bernama Dhemit Bacira dan
kematian anak buahnya. Saya keluar dan mengaku bernama Ayun, tapi sepertinya
dia tidak percaya. Saya terlalu tinggi untuk mengaku sebagai Ayun.”
“Iya, saya pendek… nyadar saya…!” Arundhati menyela cerita Sekar.
Semua yang ada di situ tertawa melihat kelakuan Arundhati.
“Enggak, Ayun. Pendek juga, kamu itu tercantik di antara
kami. Buktinya, itu si Suman ngejar-ngejar Ayun terus!” rayu Sitakara agar
Arundhati tidak jadi marah. Namun, rayuan yang maksudnya cuma mau berkelakar
malah mendapatkan balasan pelototan mata Arundhati. Pelototan marah yang mampu membuat ketakutan
Sekar, namun malah membuat Sitakara tertawa. “Iya, iya ya…. Maaf, Yu Ara Salah!”
“Ya udah, ayo masuk, Sekar bisa cerita sambil jalan”. Ajak Sweta Nandini kepada semuanya untuk
segera memasuki gapura.
Sambil berjalan, Sekar melanjutkan ceritanya sampai ketika
dia melenyapkan Panka Tamoyama dengan cundrik persepsi miliknya, dan beberapa
murid padepokan yang terluka.
“Nanti dulu, Sekar. Kamu bilang tadi, anak buah Pangka
Tamomaya dihabisin sama murid Alang-alang Segara Wedi?”, Ansuman bertanya untuk mengkonfirmasi satu
segmen cerita Sekar Kananga.
“Betul! Itu yang membuatnya semakin marah!” jawab Sekar
Kenanga.
Ansuman dan Sitakar saling berpandangan dan tersenyum. Dan
tanpa dikomando mereka berdua berucap, “Alhamdulillah!”
Hal ini pastinya membuat Sekar, Ayun, dan Sweta Nandini saling
berpandangan juga. Melihat ketiga
temannya bingung, Sitakara dan Ansuman malah tertawa.
“Begini, dua minggu lalu, saat kami rihlah ke Jakarta, kami
sempat bertempur bersama pasukan pengamanan di sana yang dipimpin oleh Kakang
Arya Kandaga, menghadapi kawanan Tamomaya ini. Namun, sayangnya Tamomaya yang
picik ini telah berhasil kabur sebelum kami habisi mengunakan belati milik
Kakang Arya Kandaga!” jelas Sitakara menceritakan pengalamannya bertempur melawan
kawanan Tamomaya dan pertemuannya dengan Arya Kandaga.
“Oo… gitu, jadi sekarang untuk sementara ini sepertinya kita
aman dari makhluk-makhluk persepsi ini ya kan!” komentar Ansuman menegaskan.
“Belum, kita belum aman. Itu cuma keroco yang dikerahkan. Saat ini saya sama
Sweta Nandini sedang menghadapi satu misteri yang belum kami pecahkan!” tukas
Arundhati. Semua memandangi Arundhati kecuali Dini.
“Betul yang dikatakan Ayun. Yu Ara dan Kang Suman sepertinya
bisa bergabung!” Sweta Nandini menegaskan bantahan Arundhati. Semua terdiam.
Hmmmm…. Perjalanan masih panjang. Dan dalam hati Sitakara berujar, “Pantas saja
gurunda Nyi Ajar Nismara tidak membolehkan Ayun ikut rihlah ke Jakarta.”
“O iya Sekar, ada yang lupa. Meskipun dari tadi namanya
sudah disebut dan orangnya juga sudah merespon, saya perkenalkan ke kamu Sekar,
yang disebut Ayun adalah Arundhati. Tidak satupun di sini yang boleh memanggil
Diajeng atau Adik kepada Ayun kecuali saya sama Suman. Ayun atau Arundhati
adalah teman Sweta Nandini di dimensi utama.” Singkat Sitakara memperkenalkan
Arundhati kepada Sekar Kenanga memecah kebekuan gegara pemberitahuan Arundhati
tentang masih adanya kemungkinan ancaman makhluk persepsi.
“Apakah ini adalah Arundhati yang berhasil Mbakyu Sitakara
dan Kakang Ansuman temukan berdasar petunjuk dari Gurunda Nyi Ajar Nismara?”
Tanya Sekar Kenanga mamastikan. Sitakara
cuma mengangguk sambil tersenyum. Tanpa
dapat diduga, Sekar Kenanga langsung bertekuk lutut di depan Arundhati. Dengan
kedua telapak tangan bertumpu pada lutut kanan serta kepala menunduk, Sekar
Kenanga memberikan penghormatan.
“Terimalah hormat hamba paduka tuan putri Arundhati
Striratna. Hukumlah hamba atas kekurangajaran yang telah hamba lakukan, karena
mengaku sebagai Tuan Putri!”
Arundhati menjadi sangat risih. Dia melotot kepada Sitakara
dan Ansuman. Dia memang manja dan sering ingin dilayani, namun penghormatan
seperti itu adalah sesuatu hal lain. Arundhat tidak suka itu. Arudhati segera
membungkuk memegang pundah Sekar Kenanga dan membimbingnya untuk berdiri, “Sudah
Sekar, kamu manusia saya juga manusia. Tidak pantas untuk saling memberikan
sembah atau gerakan-gerakan yang mirip penyembahan”
Setelah Sekar Kenanga berdiri di depannya, Arundhati
langsung memeluknya. Ini adalah manusia kedua setelah Sweta Nandini yang bila
berpelukan dia tidak dapat melihat wajahnya.
“Nah sekarang, Ayun yang peluk kamu Sekar. Kamu tadi mau
meluk gak jadi!”
Sekar Kenanga salah tingkah. Dia ragu-ragu untuk memberikan
pelukan balasan. Sekar yang selalu dingin tampak ragu untuk memeluk Arundhati
yang digadang-gadang akan memimpin lapis kedua dimensi mimpi ini. Namun baik Sitakara, Ansuman, maupun Sweta
Nandini malah memberikan kode untuk memeluk balik. Akhirnya dengan sedikit
ragu-ragu, Sekar Kenanga memeluk balik Arundhati. Dia agak kagok setelah tahu bahwa
yang bernama Ayun adalah Arundhati.
Setelah semua prosesi peluk-pelukan macam teletubies
selesai, mereka berlima melanjutkan langkah mereka menuju pendopo
padepokan. Di depan pendopo nampak Ki
Ageng Turangga Seto dan Nyi Ajar Nismara berdiri seperti menunggu kedatangan
mereka berlima.
Sesampainya di depan pendopo, atau tepatnya di depan kedua
guru mereka; Sitakara, Ansuman, Sweta Nandini, Arundhati, dan Sekar Kenanga
berhenti dan secara kompak membeerikan hormat dengan menyilangkan tangan
kanannya di depan dada, “Salam hormat kepada Gurunda Nyi Ajar Nismara dan
Gurunda Ki Ageng Turangga Seto!”
Ki Ageng Turangga Seto maupun Nyi Ajar Nismara sama-sama
tersenyum. Kemudian Ki Ageng Turangga Seto menghampiri Sekar Kenanga, sambil
mengucapkan selamat datang kepada Sekar Kenanga.
“Selamat datang kembali ke padepokan, Sekar! Bagaimana
perjalananmu dari padepokan Gagak Wulung?”
“Alahamdulillah, Guru! Perjalanan Sekar lancar dan tidak ada
masalah di perjalanan. Hanya saja, tadi di Dukuh Kedungwang, saya terpaksa
harus membunuh seorang makhluk persepsi yang bernama Panka Tamomaya!”
Ki Ageng Turangga Seto nampak marah mendengar cerita Sekar
Kenanga. Sekar Kenanga kaget melihat response Ki Ageng Turangga Seto. Segera
Sekar Kenanga memohon maaf kepada Ki Ageng Turangga Seto dengan segera berlutut,
menunduk dengna kedua telapak tangan bertumpu pada lutut kanan.
“Mohon maaf Ki Ageng, bila murid telah terlalu lancang
membunuh Panka Tamomaya. Ini semata-mata murid lakukan untuk menghentikan
langkah dia berbuat onar dan mempengaruhi orang-orang untuk berbuat onar!”.
Dengan gaya khasnya dalam bertutur Sekar Kenanga, memohon ampun kepada gurunya.
Ki Ageng Turangga Seto menyentuh pundak Sekar Kenanga sambil berkata,
“berdirilah Sekar! Tidak ada yang salah di sini! Saya marah karena makhluk itu
telah berbuat onar lagi”
Sekar Kenanga plong, bahwa gurunya tidak marah. Bahkan
ketika dia berdiri dan melihat gurunya, masih tersisa senyumnya. Sambil
memandang kepada Sekar Kenanga, Ki Ageng Turangga Seto berkata, “tidak ada yang
salah Sekar. Bahkan kamu telah melakukan tindakan yang benar. Akhir-akhir ini
makhluk-makhluk persepsi ini memang sangat meresahkan.”
Ki Ageng Turangga Seto terdiam sebentar untuk kemudian
memandangi seluruh yang hadir di situ.
“Aku sangat bersyukur dengan bergabungnya Arundhati yang
penuh bakat pada satu setengah bulan terakhir ini. Dan aku tambah bersyukur
bahwa Sekar Kenanga pun telah pulang ke padepokan!”
Tengah Ki Ageng Seto berbicara, Nyi Ajar Nismara mendekati
ki Ageng dan seperti membisikkan sesuatu ke telinganya. Ki Ageng mengangguk.
“Baiklah….!”sungguh luar biasa kemampuan Ki Ageng Turangga
Seto. Dalam sekejap, mereka bertujuh telah berada di tengah suatu padang pasir yang
sejuk dalam kondisi duduk bersila. Beberapa gerumbul alang-alang nampak ada di
sekeliling mereka. Entah apa yang dilakukan oleh Ki Ageng Turangga Seto,
Arundhati merasakan apa yang barusan terjadi bukanlah sebuah manipulasi
persepsi seperti yang pernah dia lakukan kepada Ki Manten. Ini lebih mirip
ketika dia ngerjain Dini.
Melihat perubahan mimik muka Arundhati, Ki Ageng Turangga
Seto kemudian menegurnya sambil tersenyum, “Betul Arundhati. Ini bukan
manipulasi persepsi! Mungkin hanya kamu yang bisa membedakan ini, Arundhati!”
Arundhati tersenyum tersipu-sipu. Murid-murid yang lain
kaget, karena mereka pikir kejadian ini adalah manipulasi persepsi. Sweta Nandini
pun sempat kaget, namun dia kemudian ingat Arundhati pernah melakukan ini
padanya. Sweta Nandini tersenyum.
Sekar Kenanga sangat kaget mendengar perkataan Ki Ageng
Turangga Seto. Betul-betul luar biasa orang yang bernama Arundhati ini. Dia
mampu mengenali apa yang dilakukan gurunya. Tiba-tiba dia merasa kecil di
hadapan gurunya.
“Sekar, kamu pun sebenarnya bisa melakukan ini.” Ki Ageng
Turangga Seto mengarahkan pandangannya ke Sekar Kenanga, dan sambil tersenyum
dia laihkan kepada murid-murid yang lain, “itulah makanya, kalian aku kumpulkan
semua di sini. Bukan di padepokan.” Tutur Ki Ageng Turangga Seto sambil menggerakan
tangan kanannya mempersilakan murid-muridnya untuk duduk bersila. Ki Ageng
Turangga Seto duduk bersila dan diikuti oleh murid-muridnya.
Kata-kata terakhir Ki Ageng Turangga Seto betul-betul penuh
misteri. Tak terkecuali Arundhati dan Sitakara yang telah mendapatkan dhawuh
dari Nyi Ajar Nismara, semuanya bertanya-tanya.
“Anak-anakku, akhir-akhir ini para makhluk persepsi telah
berani menjelajah keseluruh dimensi manusia. Terakhir sebelum Panka Tamomaya,
Dhemit Bacira telah berani membuat kerusuhan di pedukuhan sekitar padepokan.
Aku telah tugaskan Arundhati dan Sitakara untuk menghentikan Dhemit Bacira.
Namun sayang dia terlalu licin dan berhasil kabur. Namun, saya dengar dari
Sitakara, ternyata Dhemit Bacira telah berani menembus ke dimensi utama dan
melakukan huru-hara di sana. Beruntung, Arundhati versi dimensi utama telah
berhasil menghentikannya!”
Ki Ageng Turangga Seto berhenti sejenak sambil memandangi murid-muridnya
yang terlihat menunggu kelanjutan dari Ki Ageng Turangga Seto.
“Aku mengumpulkan kalian, Sitakara Dhanta, Ansuman Adyucaya,
Sweta Nandini, Arundhati Striratna, dan kamu Niken Lanjar Sekar Kananga, adalah
untuk menyatukan kalian sebagai satu tim untuk menghadang gerakan para makhluk
persepsi ini baik di sini maupun di dimensi utama.”
“Namun Ki Ageng…!” seperti biasa, bukan Arundhati kalau
tidak menyela, “kami belum mendapatkan jejak keberadaan Sekar Kenanga di
dimensi utama!”
“Untuk itu jugalah, kalian aku kumpulkan di sini. Niken
Lanjar Sekar Kenanga adalah putri kinasih kolega saya, Ki Ageng Gagak Pergola
pimpinan perguruan Gagak Wulung. Dia belajar kemari karena ingin belajar kepada
Nyi Ajar Nismara yang juga guru dari almarhumah ibunya demi menuntut balas
kematian ibunya yang terbunuh oleh alap-alap Selogiri. Dari kisahnya, maka kemungkinan
besar sebagaimana saya dan Nyi Ajar Nismara, adalah penduduk asli dimensi ini
dalam arti, kami tidak punya pasangan di dimensi utama, maka demikian juga
dengan Niken Lanjar Sekar Kenanga ini. Namun, dengan kehadiran Arundhati di
sini, ada sedikit harapan bahwa dugaan kami salah. Terus terang, kami sangat
berharap dugaan kami bahwa Sekar tidak mempunyai pasangan di dimensi utama
adalah sebuah kesalahan.”
“Kenapa harus Ayun, Ki Ageng?” sekali lagi, Arundhati
menyela Ki Ageng. Ki Ageng tersenyum.
“Arundhati, apa kamu ingat bagaimana kamu kemudian menemukan
Dhemit Bacira?” Ki Ageng Turangga Seto bukannya menjawab, malah balik bertanya.
Arundhati kemudian mengingat-ingat kejadian penyerangan yang dilakuan oleh
segerombolan orang yang terkena manipulasi persepsi oleh Dhemit Bacira. Ketika
dia tengah mengamati orang-orang tersebut, dia mampu mengenali kehadiran Dhemit
Bacira dari kejauhan.
“Ingat Ki Ageng!” jawab Arundhati tegas. Kemudian Arundhati
menceritakan bagaiamana kemuadian dia mampu mengenali Dhemit Bacira.
“Itulah yang aku harapkan dari Kamu Arundhati. Bantuan kamu
untuk mendeteksi kehadiran Sekar Kenanga. Kemampuan ini hanya kamu yang punya.
Kami, bahkan saya sebagai gurumu pun tidak punya kemampuan itu. Bahkan ketika
kami coba meniru kepada diri kami pun gagal.”
“Tapi, dunia ini terlalu luas, Ki Ageng! Apakah mungkin saya
sanggup melakukannya?”
“Kamu adalah muridku paling cerdas Arundhati. Kamu selalu
punya cara untuk menguasai ilmu yang kami ajarkan. Sepertinya, Guru tidak perlu
mengajari kamu caranya! Karena, kami yang tidak mempunyai kemampuan itu, tentunya
tidak tahu bagaimana harus melakukannya, namun seperti kejutan-kejutan yang
sering kamu perlihatkan kepada kami, kami yakin kamu punya cara untuk melakukan
itu.”
“Baiklah Ki Ageng, akan saya coba!”
“Kita harus berhasil mendapatkan versi dimensi utama dari
Sekar Kenanga. Kemampuan dia akan sangat membantu tugas-tugas di dimensi
utama.”
“Baik Ki Ageng!” jawab Arundhati tegas. Ki Ageng Turangga Seto senang mendengar
jawaban Arundhati.
Setelah memberikan perintah kepada Arundhati, Ki Ageng
Turangga Seto melanjutkan dengan memberikan petuah-petuah serta ajar-ajar hasil
perenungan serta pengalamannya. Tak lupa Ki Ageng Turangga Seto juga
menjelaskan tentang makhluk-makhluk persepsi yang mulai berulah lagi. Arundhati
mendengarkan ajar-ajar yang disampakan oleh Ki Ageng Turangga Seto dengan penuh
takzim.
“Baiklah, hari ini cukup di sini dulu. Silakan kalian,
terutama Sekar Kenanga, bila mau beristirahat. Ansuman, kamu pimpin doa untuk
menutup pertemuan kita kali ini!”
Ansuman yang masih fokus dengan ajar-ajar yang disampaikan Ki
Ageng Turangga Seto kaget setengah mati ketika ditunjuk untuk memimpin doa. Senang
tentu, karena yang meminta adalah Ki Ageng Turangga Seto. Namun grogi juga
sudah pasti. Baru kali ini dia, dan tentunya murid yang lain diajar oleh guru
utama perguruannya di tempat yang sangat spesial. Gurun yang sejuk dengan
beberapa gerumbul alang-alang. Alang-alang segoro wedhi. Tambah lagi, kali ini
dia berada di antara perempuan-perempuan cantik, dan terutama Arundhati. Ini
yang paling berat dan mengharuskan dia untuk tampil sempurna tentunya. Sitakara
tersenyum melihat Ansuman yang tiba-tiba menjadi bingung.
“Baik Guru, saya terima kehormatan ini!” Ansuman berusaha
untuk terlihat normal saat membalas perintah gurunya sambil mengangkat kedua
tangannya menadah di depan dadanya yang diikuti oleh semua orang. Ansuman mulai
berdoa. Cukup panjang doanya. Dan ketika dia menyelesaikan do’anya dengan
ditutup ucapan, “Aamiin!” dan dibalas oleh semua yang hadir dengan ucapan yang
sama, situasi telah kembali seperti semula. Semua sedang duduk bersila di
pendopo, kecuali Ki Ageng Turangga Seto. Semua celingukan mencari keberadaan Ki
Ageng Turangga Seto, namun tiba-tiba terdengar suara lembut dari Ki Ageng
Turangga Seto, “anak-anaku, silakan kalian beristirahat. Aku bersama Nyi Ajar
Nismara akan pergi beberapa hari ke Koraraja menemui Panglima Dirabrata”
Demi mendengar suara gurunya, mereka merasa tenang. Ansuman langsung
berdiri dan pamit, “baiklah, karena Guru sudah menitahkan kita untuk
beristirahat, saya mau balik ke kamar dulu! Assalamu’alaikum!”. Ansuman segera
membalik badan ke arah keluar pendopo. Namun, tiba-tiba Sekar Kenanga berdiri
dan mencegah Ansuman melangkah.
“Tunggu, Kang Suman!”
“Ada apa, Sekar?”
Sekar Kenanga tidak langsung menjawab pertanyaan Ansuman.
Sekar Kenanga malah tersenyum sambil berkata, “Maaf Kang Suman. Cuma mau
mastiin saja. Tadi, waktu mampir di warung makan di Kedungwang, saya dengar
katanya Kang Suman mmmm….”. Sekar Kenanga terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan
pertanyaannya. Dia malah menunduk sambil bola matanya melirik ke kiri dan ke
kanan, hal mana membuat Ansuman menjadi gemas. Gemas bukan karena dengan gaya
seperti ini, Sekar Kenanga nampak cantik dan semakin cantik. Ansuman
benar-benar gemas karena dia sudah pengin balik ke asrama laki-laki malah
dicegah dan yang mencegah malah tidak segera menyelesaikan maksudnya. Sementara
itu, baik Sitakara, Sweta Nandini, dan Arundhati tampak menahan tawa. Ini
tentunya membuat Ansuman semakin gemas.
“Ada apa Sekar?” Sekali lagi, Ansuman menanyakan hal yang
sama.
“Anu… itu… Katanya Kang Suman pacaran sama Mbakyu Sita…!”
Jawaban Sekar Kenanga kontan membuat semuanya tertawa,
termasuk Ansuman.
“Sekar, kamu bayangin deh! Masa sih saya pacaran sama mBakyuku
sendiri?” Jawab Ansuman lirih dengan mukanya memerah menahan malu, sambil bola
matanya bergerak-gerak ke arah Arundhati.
“Sekar, Yu Ara itu gak mungkin mau sama Kang Suman. Dijamin!
Dia itu bukan tipe Yu Ara. Jadi, kamu tenang saja. Masih bisa!” Sela Arundhati agak berteriak sambil menahan
tawa.
Dengan mata terbelalak, Ansuman menoleh ke arah Arundhat.
Arundhati klecam-klecem tersenyum. Sitakara yang tahu hubungan keduanya tidak
lagi bisa menahan tawanya. Dan sambil tertawa Sitakara berkata kepada Sekar
Kenanga.
“Sekar, Mbakyumu ini memang sering ditugaskan bareng sama
Ansuman. Tapi dijamin, Ansuman itu bukan tipe mbakyumu ini!” tukas Sitakara menjelaskan
posisinya.
“Syukurlah!” sahut Sekar Kenanga tenang, namun tidak dengan semua
yang hadir di situ kecuali Ansuman.
Sebenarnya semua yang hadir kecuali Arundhati, paham dengan
maksud Sekar Kenanga. Sekar Kenangan memang selalu apa adanya. Dan ucapan
syukur Sekar Kenanga bisa tidak berarti apa-apa selain ucapan kepolosan Sekar
Kenanga sehingga mereka memilih tidak berkomentar. Namun tidak dengan Arundhati
tergelitik untuk berkomentar.
“Yap, betul Sekar! Harus disyukuri itu!” timpal Arundhati
santai dan disambut dengan tertawa oleh yang lainnya kecuali Ansuman. Sekar
Kenanga sendiri tersenyum tersipu-sipu,
“Bukan… bukan itu maksud Sekar!” tukas Sekar Kenanga malu.
Semuanya tertawa.
“Baiklah kalau memang bukan itu, Sekar! Sudah tahu sekarang,
kan? Saya mau ke kamar dulu!” sahut Ansuman sambil membalikkan badannya dan
melangkah.
“Idih, teganya. Langsung ditinggal begitu aja!” sahut Arundhati
mengomentari Ansuman. Ansuman berhenti sambil menoleh ke arah Arundhati kemudian
melotot sebentar, berbalik lagi untuk melanjutan langkahnya. Semua tertawa, kecuali
Ansuman.

0 comments:
Posting Komentar