{25} RATTUNDA
Istana Rattunda yang berdiri di tengah-tengah kotaraja ibarat titik pusat tumpuan sebuah roda yang meliputi seluruh wilayah kotaraja. Istana Rattunda meliputi beberapa blok istana yang meliputi istana barat yang merupakan tempat tinggal sang Maharani bersama suaminya. Istana timur, sebenarnya disediakan untuk penerus tahta kemaharanian. Istana timur ini sudah bertahun-tahun tidak berpenghuni karena keputusan Wikasitapaliya yang tidak mau terlibat dalam urusan para penjaga. Di antara kedua istana ini terdapat beberapa istana kecil yang berfungsi sebagai rumah tinggal beberapa kerabat kemaharanian maupun sebagai guest house bagi para utusan yang datang ke kotaraja. Di tengah antara kedua istana timur dan istana barat ini juga letak dari Bale Wedana. Sebuah sanggar yang luas tanpa tempat duduk. Di tempat inilah sang Maharani sering menemui rakyatnya yang ingin berkeluh-kesah dengan ratunya.
Hari ini, Istana Timur yang biasanya sepi nampak ramai dengan aktifitas para abdi yang berlalu-lalang entah mempersiapkan apa. Di pendopo istana nampak panglima Dhirabrata tengah duduk bersama Arya Kandaga. Kebetulan keduanya sedang bertamu ke instana Rattunda. Bersama mereka berdua seorang perempuan setengah baya yang duduk dengan anggunya. Nariswari Warapuspa sang Sinjang Mayura.
“Arya Kandaga, apakah kamu punya pendapat tentang anakku Wikasitapaliya dan cucuku Arundhati Striratna?” Tanpa sungkan-sungkan Nariswari bertanya kepada Arya Kandaga yang notabene adalah tamunya.
“Mohon maaf, saya kurang mengenal Tuan Putri Arundhati. Namun, saya cukup kenal dengan beberapa kawannya. Beberapa kali saya bekerja sama dengan mereka untuk menghalau gerombolan Marumaya” Arya Kandaga Menjawab dengan lancar dan cenderung berhati-hati.
“Tuanku Maharani, saya setuju dengan pendapat Arya Kandaga. Kita harus mempercayai tuan putri Wikasitapaliya. Bahkan saya sering berkoordinasi dengan guru mereka Ki Ageng Turangga Seta. Dan semestinya tuanku pun mengenal beliau.”
Dhirabrata menyambung penjelasan Arya Kandaga dengan mengingatkan kepada Nariswari Warapuspa bahwa mereka juga punya hubungan dengan Ki Ageng Turangga Seta.
“Aku mengerti, Dhirabrata. Bahkan, seluruh peradaban di lapis kedua ini bisa dikatakan punya hutang yang sangat besar kepada lelaki tua itu. Namun, Arundhati cucuku telah terlebih dulu bertemu Retna Nawangsih daripada Ibunya. Meskipun, semua yang diceritakan Retna Nawangsih tidak ada yang bohong, aku tetap gelisah. Mungkin kegelisahanku ini lebih karena hubungan rumit anakku dengan Retna Nawangsih di mana ada campur tanganku di dalamnya!”
Warapuspa tidak membantah apa yang disampaikan kedua tamunya dan mengkoreksi pertanyaannya kepada Arya Kandaga. Yang disambut dengan jelas oleh Dhirabrata, “Tuanku Maharani, sangat adil dan tegas. Hamba tidak berani memberikan pendapat mengenai hal ini!”
“Demikian juga hamba, Tuanku Maharani!” sambung Arya Kandaga karena tidak mau ditanya hal yang sangat sensitif itu.
Nariswara Warapuspa tersenyum mendengar jawaban dari kedua tamunya itu.
Ketika mereka bertiga sedang asyik bercakap-cakap, tiba-tiba dari arah gapura dalam lari seorang pengawal tergopoh-gopoh menuju tempat mereka bertiga sambil berteriak. “Tuanku Maharani, tuanku….!”
Dhirabrata dan Arya Kandaga langsung berdiri dengan sikap siap.
“Ada apa, pangawal?” tanya Nariswari dengan tenang.
“Ampun Tuanku Maharani bisa hamba telah lancang masuk ke dalam. Namun, di luar istana saat ini tengah terjadi keributan antara tuanku putri Waratantri dengan beberapa orang yang mengaku teman-temannya tuanku Putri…. Arun..ddhati!”
Pengawal memberitahukan tentang terjadinya keributan di luar istana antara Waratantri dan beberapa orang. Pengawal nampak ragu ketika menyebutkan Arundhati.
“Arundhati, dia cucuku. Dia putri dari Wikasitapaliya!”
Nariswari yang merasakan keraguan pada diri pengawal saat menyebut nama Arundhati, segera memotong laporan pengawalnya dan menjelaskan bahwa Arundhati adalah cucunya.
“Ampun.. beribu ampun tuanku Maharani. Hamba tidak pernah tahu kehadiran cucu Tuanku Maharani”
Pengawal itu kelihatan sangat ketakutan karena telah meragukan kehadiran Arundhati sebagai cucu dari sang Maharani.
“Sudah, sudah, gak apa! Kamu, kembali saja ke pos kamu. Saya akan menemui mereka!”
Setelah pengawal itu pergi, Nariswari bersama Dhirabrata dan Arya Kandaga segera bergegas keluar dari pendopo berjalan menuju gerbang dalam.
Sementara itu di gerbang luar, Waratantri tampak berkacak pinggang sambil berteriak-teriak marah kepada rombongan Dayana Habibah. Berdiri paling depan dua perempuan dengan perawakan tinggi, Sekar Kenanga dan Dayana Habibah, Sudarmi dalam mode 1001 satu malam.
“Siapa kalian berani-beraninya datang ke mari nanya-nanya ponakanku? Kurang puas kalian bikin ponakanku pingsan?” tanya Waratantri sambil berteriak. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Waratantri, malah pada bisik-bisik. “Tuh, kan benar bukan Ayun dia mah… Ayun itu lebih cantik dan lebih muda. Sopan, gak teriak-terik kayak dia!”, bisik Dayana Habibah kepada Sekar Kenanga. “Mohon maaf, saya kurang mengerti!”, jawab Sekar Kenanga. Muka Dayana seketika berubah menjadi masam. Sekar Kenanga kaget dan agak sedikit takut. Sitakara dan Ansuman tersenyum melihat tingkah Dayana dan Sekar Kenangan. Sweta Nandini tampak malu karena tingkah ibunya.
“E…. kalian…! Ditanya malah pada bisik-bisik. Sopan?!” teriak Waratantri semakin keras karena kesal dicuekin. Waratantri pasang kuda-kuda siap menyerang Dayana Habibah. “Woy bule jelek! Bersiaplah….!”
“E.. e..e..tunggu-tunggu!” tiba-tiba terdengar suara Ansuman berusaha menahan kemarahan Waratantri. “Tahan, jangan pada berantem!”
Waratantri menarik kuda-kudannya, “kamu, Ansuman! Dini, dan kamu Sitakara! Bulek tidak ingin berurusan sama kalian. Minggir!”
Ansuman dan Sitakara saling berpandangan. Mereka heran kenapa perempuan mungil yang ngomel-ngomel dari tadi ternyata mengenal mereka.
“Mohon maaf, apakah saya mengenal non… ee.. maksud saya tuan putri?” Ansuman memberanikan diri menanyakan nama perempuan mungil di hadapan mereka.
“Baiklah, nama saya Tantri. Waratantri Striratna. Jelas?!” jawab Waratantri memperkenalkan diri. Asnuman, Sitakara, dan Sweta Nandini bingung saling berpandangan.
“Bulek…. Tantri?” tanya Sweta Nandini ingin memastikan sambil dahinya berkerut. Waratantri mengangguk. Sweta Nandini membelalak mendengar jawaban Waratantri. “Tapi kan bulek Tantri seharusnya tidak semini ini!” celetuk Sweta Nandini pelan. Namun, celetukan spontan Sweta Nandini ini ternyata terdengar oleh Waratantri.
“Apa yang kamu bilang barusan?!” bentak Waratantri sambil melompat menyerang Sweta Nandini. Sweta Nandini kaget luar biasa mendapatkan serangan yang sangat mendadak itu. Ia segera menghindari ayunan kaki Waratantri dari arah kiri, dengan gerakan kayang ke belakang dan kembali berdiri setelah Waratantri melewatinya, untuk kemudian memutar tubuhnya beberapa kekanan agar mendapatkan mementum, yang dia gunakan melayangkan tendangan yang menyasar punggung Waratantri. Mendapatkan serangan balik yang tidak dia sangka ini benar-benar membuat Waratantri kaget luar biasa. Dia terlalu meremehkan Sweta Nandini. Hampir saja dia tidak dapat menghindari kaki Sweta Nandini yang menyasar punggungnya. Dayana Habibah tersenyum senang, anaknya mampu mengimbangi serangan Waratantri. “Tantri, woy… ati-ati sama anakku! sekali kamu sentuh kulit anakku, jangan salahkan aku, nanti banyak yang bakal menyentuh kamu!” teriak Dayana Habibah meledek Waratantri. Waratantri semakin liar melancarkan serangannya. Sweta Nandi masih terlihat leluasa menghindar dan sesekali membalas sampai suatu ketika sebuah tendangan nyaris mengenai kepalanya. Dayana yang melihat hal ini langsung menggerakkan tangannya seperti menyingkirkan sesuatu ke arah Waratantri. Luar biasa! Tanpa ada angin serangan sedikitpun, kibasarn tangan Dayana telah membuat tubuh Waratantri terpental masuk ke arah istana.
Rombongan Nariswari yang sedang berjalan ke arah gapura, tiba-tiba melihat tubuh Waratantri seperti terlempar melambung melewati gapura. Menyadari bahwa yang melayang adalah tubuh Waratantri, Arya Kandaga segera bersiap menangkapnya. Nariswari yang kaget, berteriak menyebut nama anaknya, “Waratantri!”. Waratantri yang sempat kambuh nakalnya ketika melihat Arya Kandaga seketika menjadi kaget mendengar suara ibunya. Waratantri yang sebelumnya ingin pasrah dalam tangkapan Arya Kandaga, segera menyadari kehadiran ibunya dan mengembangkan tangannya memanfaatkan pundak Arya Kandaga untuk memutar tubuhnya memutari Arya Kandaga dan jatuh berdiri di sebelah ibunya.
“Ada apa, Ibu? Tantri ada di sini!” sapa Waratantri sambil mengedip-kedipkan matanya kepada ibunya. Dalam hati sebenarnya dia sangat kesal. Padahal tadi udah mau dibopong sama Arya Kandaga.
Ibunya kesal, namun karena dia sudah sangat mengerti gaya Waratantri yang aneh, Ibunya cuma tersenyum kecut.
Tak lama setelah Waratantri mendarat, dari arah gerbang terlihat beberapa prajurit yang berjalan mundur berusaha menghambat beberapa orang perempuan dan seorang lelaki. Perempuan dengan pawakan tinggi berjalan paling depan dengan gaya yang sangat cool. Tidak salah, perempuan ini adalah Sekar Kenanga. Menyusul di belakang Sekar Kenanga ada Sweta Nandini dan Sitakara. Di belakang mereka berdua nampak Ansuman dengan Sitakara. Berjalan palilng belakang terlihat Dayana Habibah.
“Woy…, kita ketemu lagi!” teriak Dayana Habibah sambil melompat-lompat dan mengayun-ayunkan tangannya ke atas. “Aku kira kamu mau ngumpet, gak tahunya di sini bareng kanjeng mami!” lanjut Dayana Habibah meledek Waratantri.
Waratantri kembali marah mendengar ledekan Dayana Habibah. Waratantri segera melangkah maju. Dhirabrata yang hendak membantu Waratantri dicegah oleh Nariswari. Dhirabrata mundur.
“Wey, bule jelek… maju sini jangan di belakang terus!” tantang Waratantri sambil melompat ke arah rombongan Sekar Kenanga. Namun, tiba-tiba batu berterbangan dari segala arah dan menyatu membentuk tubuh manusia yang siap tempur menghadapi Waratantri, “yah… udah cape tadi abis jalan jauh dari Alang-alang Segara Wedi, untung banyak batu di istanamu! Sama dia aja yah, mainnya! Saya mau ngobrol dulu sama ibumu”
Bila tadi di luar, Dayana Habibah masih membiarkan Waratantri bermain-main dengan anaknya, namun setelah melihat Nariswari, Dayana Habibah lebih suka membuat Waratantri sibuk sehingga dia tidak perlu terlalu memperhatikannya. Ada hal lain yang lebih menarik baginya. Dayana ingin menampilkan sedikit kemampuan aselinya sambil menitipkan pesan kepada Nariswari bahwa dia tidak akan manin-main nantinya. Waratantri tidak menyadari hal ini, dia tetap ingin melabrak boneka batu Dayana Habibah. Dan, ini sangat menguntungkan Dayana.
“Cukup Tantri, mundur!” teriak Nariswari mencegah Waratantri yang telah membaca gelagat Dayana. Namun tendangan Waratantri sudah terlanjur mengarah ke kepala boneka batu itu. Dan, luar biasa, boneka batu itu mampu menghindar meskipun Dayana Habibah tidak sedang berfokus kepadanya.
“Biarlah tuanku Maharani! Mungkin putrimu memang sedang ingin berolah-raga!” celetuk Dayana Habibah kepada Nariswari, “O iya, Mohon maaf tuanku Maharani. Kami kemari gak bilang-bilang dulu!” Dayana Habibah memberikan penghormatan dengan sikap namaste sambil merendahkan badanya dengan sedikit menukuk lututnya sebentar.
“Ayo, anak-anak beri hormat kepada Maharani Nariswari Warapuspa sang Sinjang Mayura!” Mendengar perintah dari Dayana Habibah, rombongan Sekar Kenanga semuanya memberikan hormat dengan cara yang sama dengan yang dicontohkan oleh Dayana Habibah. Nariswari tersenyum menerima penghormatan mereka. Namun dia juga merasakan serangan yang mulai dilancarkan oleh Dayana. Dia mulai merasakan adanya angin yang hanya menyeka kepalanya yang membuat dia harus sering merapikan kerudungnya.
“Bunda, jangan terima mereka. Mereka itu orang-orang kasar yang mempengaruhi Arundhati. Arundhati pingsan juga gara-gara mereka!” teriak Waratantri mengingatkan. Sebenarnya, Waratantri sering ingin mendekati ibunya dan menjauhkan rombongan Sekar Kenanga. Namun, boneka batu itu selalu berhasil mencegahnya. Ini tentunya menyulut kemarahannya. Namun, dia selalu gagal mengeluarkan cundriknya. Boneka batu itu selalu dapat mencegahnya.
“Tuanku Maharani tidak usah kuatir. Tuanku Putri Waratantri mungkin cuma butuh menggerakkan badan!” sambil tersenyum diam-diam Dayana Habibah meningkatkan intensitas serangannya. Angin yang semula hanya diraksan oleh Nariswari tiba-tiba bertiup agak keras sambil menerbangkan dedaunan kering, bagi sementara orang mungkin adalah fenomena biasa. Namun tidak bagi Nariswari. Dia tahu, itu adalah tenaga dari Dayana Habibah. Dan saat ini Dayana Habibah masih belum memperlihatkan bahwa dia tengah mengerahkan tenaganya. Sebuah kemampuan yang luar biasa. Dalam hati, sebenarnya dia ingin mengimbangi serangan Dayana Habibah kepada Waratantri anaknya. Namun, dia sadar itu akan sangat beresiko. Dayana Habibah yang sedang bermain-main dengan anaknya ini bisa berubah serius dan akan benar-benar menyerang. Panglima Dhirabrata dan Arya Kandaga pun sangat menyadari hal ini. Mereka memilih untuk diam.
“Baiklah, Dayana Habibah, maafkan anakku yang kurang sopan menyambut kalian. Mari kita ke Bale Wedana. Kita ngobrol di sana!” Akhirnya Nariswari meminta maaf atas kelakuan Waratantri.
Dengan sopan Nariswari mengajak rombongan Sekar Kenanga ke Bale Wedana. Dayana Habibah dan Sekar Kenanga mengangguk. Dayana Habibah mengembangkan tangannya mempersilakan Nariswari untuk berjalan duluan. Rombongan Sekar Kenanga mengikuti di belakang. Dalam perjalanan ke Bale Wedana, Sitakara berbisik kepada Dayana Habibah, “bibi, hentikan bonekanya!”
Dayana Habibah kaget mendengar bisikan Sitakara. Semua tenaga yang dia kerahkan tiba-tiba lenyap. Batu-batu yang membentuk boneka tiba-tiba berjatuhan. Dan yang paling kaget namun juga senang adalah Waratantri. Kali ini dia bisa melancarkan serangan kepada Dayana Habibah. Cundriknya pun dapat dia cabut dengan leluasa. Merasa mendapatkan kesempatan, Waratantri segera melompat dengan cundrik terhunus menyerang Dayana Habibah. Namun. Sebuah bayangan berkelebat menyambar tubuhnya dengan kecepatan yang tidak dapat diantisipasi. Bayangan itu menjauhkan Waratantri dari rombongan Sekar Kenanga dan menurunkannya dengan pelan.
“Yunda….?”
Waratantri kaget bukan kepalang. Kakaknya tiba-tiba datang menghentikan aksinya. Rombangan Sekar Kenanga beserta Nariswari pun kaget. Mereka menghentikan langkah melihat ke arah Waratantri.
“Yunda, kenapa yunda mencegah saya membalaskan dendam Ayun?” tanya Waratantri kepada kakaknya.
“Tidak ada dendam yang harus dibalaskan, Tantri! Lihatlah siapa yang datang bersamaku!” tukas Wikasitapaliya. Sebuah bayangan tiba-tiba mendarat di belakang Wikasitapaliya.
“Ayun…?”
Seperti tidak percaya, Waratantri menyapa Ayun yang berdiri di depannya. Ayun pun ternyata mempunyai ekspresi yang sama dengan buleknya.
“Bulek…… Tantri?” sapa Ayun yang merasa kehadiran buleknya itu ada pada sosok gadis mungil seperti dirinya.
“Betul Ayun!”
“Bulek Tantri kenapa jadi mini begini?” lanjut Arundhati menanyakan hal yang sangat sensitif.
“Ayun, kamu pun mini, kurasa! Apalagi kalau dibanding sama bule jelek itu” jawab Waratantri kesal sekenanya sambil merutuk Dayana Habibah.
Arundhati tertawa sambil menutup mulutnya. Bagaimanapun Waratantri adalah adik Ibunya gak boleh ditertawakan.
“Bulek, kalo Ayun kan masih remaja, wajar kalau segini!”
Waratantri melotot ke arah Arundhati, tapi langsung pandangannya mengarah kepada rombongan Sekar Kenanga sambil berkata, “Jadi, kamu sudah siuman. Syukurlah, sekarang katakan siapa yang bikin kamu pingsan sampai membuat ibumu menangis, biar bulek hajar!”
Arundhati tersenyum mendekati sambil bertanya, “memangnya siapa yang pingsan, Bulek Tantri?”
Mendapat pertanyaan ini dari Arundhati, Waratantri bingung. Bersamaan dengan pertanyaan yang diajukan oleh Arundhati, angin bertiup kembali normal. Dayana Habibah sepertinya telah mencabut ancamannya setelah mengetahui posisi Arundhati.
“Makanya, jangan suka marah-marah dulu, Bulekku yang cantik!” lanjut Arundhati sambil menggoda Waratantri yang kemudian cuma bisa berdiri kaku tidak tahu mau berbuat apa.
“Ya sudah, aku percaya sama kamu, Ayun!” balas Waratantri sambil memasang muka kecut. Arundhati tersenyum kepada Waratantri.
Setelah berhasil meredakan amarah Waratantri, Arundhati segera mendekati Sekar Kenanga dan menyapa, “Mbakyu Sekar, ini kamu kan? Alhamdulillah! Maafin Ayun yang menjadi tidak terkendali waktu itu!”
“Betul Ayun, Alhamdulillah, begitu melihat Ayun terpental, saya mendapatkan firasat bahwa situasi akan menjadi berbahaya buat saya sehingga saya segera melepaskan diri dari kantung waktu Ayun! Saya berusaha untuk menyelamatkan Ayun, namun ternyata Ibunda Ayun telah datang tepat waktu dan telah terlebih dulu menolong Ayun!” balas Sekar Kenanga sambil menceritakan situasi saat itu. Arundhati tersenyum sambil pandangannya memutar ke arah orang-orang yang ada di situ. Ketika pandangannya tertumbuk kepada sosok Nariswari, dia meboleh kepada ibunya. Ibunya tersenyum dan segera Arundhati berjalan mendekati Nariswari untuk berlutut dan memberikan hormat, “Mohon terima penghormatan kami, Eyang Nariswari Warapuspa sang Sinjang Mayura!”.
Melihat apa yang dilakukan oleh Arundhati, Sekar kenanga dan lainnya kecuali Dayana Habibah ikut memberikan hormat kepada Nariswari. Memang ada hubungan yang unik antara Dayana Habibah dan Nariswari. Nariswari tidak terlalu mempedulikan sikap Dayana Habibah.
“Baiklah, cucu-cucuku. Berdirilah kalian. Mari kita bicara di Bale Wedana!” Nariswari tersenyum melihat anak-anak muda ini. Setelah mengajak mereka untuk ke Bale Wedana, Nariswari berbalik dan berjalan menuju Bale Wedana. Semua mengikuti Nariswari.
Di Bale Wedana, semua telah duduk dalam satu kalangan. Nariswari duduk diapit Panglima Dhirabrata dan Arya Kandaga, sementara Wikasitapaliya duduk bersama Arundhati dan Sekar Kenanga. Tak menunggu lama setelah semua duduk rapi, terdengar suara Nariswari membuka pertemuan, “Baiklah semua, saya rasa semuanya telah hadir dan duduk di sini. Langsung aja, kepada Wikan Nismara alias Dayana Habibah, mohon maaf atas kelakuan putriku yang terlalu sembrono dalam menyambutmu!”
Wikan Nismara menjawab sambutan Nariswari sambil tersenyum nakal, “Nari! Sesekali sepertinya perlu juga kamu main-main denganku. Di tempatnya Nini Endang Paramayana juga boleh biar lebih asik gak ada yang ganggu!”
Semua orang yang ada di situ terbelalak tak terkecuali Arundhati. Berani sekali orang ini menantang Nariswari. Sitakara, Sekar, Sweta Nandini, dan Ansuman, meskipun mereka telah melihat sendiri kehebatan Dayana Habibah, namun untuk melawan Nariswari sepertinya bukanlah ide yang baik. Pada saat ini, Wikasitapaliya berbisik kepada Arundhati, “Dayana Habibah alias Dayana Habibah adalah adik dari gurumu Ajar Nismara alias Deriya Habibah. Meskipun dia lebih muda, namun kemampuannya justeru jauh melampaui kakaknya. Hal yang paling mengerikan dari orang ini adalah kemampuan telekinesis dengan menitipkan kesadaran pada benda-benda yang dia pengaruhi sehingga benda-benda itu bisa bergerak secara otonom dalam kerangka perintah dia!”
“Hanya itukah, kemampuannya?” tanya Arundhati.
“Tidak ada yang tahu. Tapi, dia harus berhati-hati kepada Retna Nawangsih dan anaknya. Mereka berdua sepertinya mampu mematahkan kemampuannya!”
Mendengar penuturan ibunya, Arundhati tersenyum. Tanpa disadari oleh ibunya, Arundhati telah merapihkan kerudungnya yang masih berantakan semenjak menangkap Waratantri tadi. Sitakara yang sedari tadi memperhatikan Arundhati tersenyum. Dia tahu, Arundhati telah menguasai telekinesis yang dibilang ibunya.
“Baiklah, Sekar Kenanga, ada apakah kalian datang ke Istana Rattunda ini?” tanya Nariswari kepada Sekar Kenanga.
“Sebelumnya, kami mohon maaf atas kelancangan kami mendatangi istana Rattunda yang sangat terhormat ini. Kami datang tidak bermaksud buruk dan mohon maaf atas kesalahpahaman tadi. Kami memberanikan diri datang kemari hanyalah karena Tuanku Putri Arundhati Striratna yang menghilang tiba-tiba pasca pertarungan dengan gerombolan Marumaya. Ketika dalam pandangan kami, Tuanku Putri Arundhati Striratna dibawa oleh ibunda Tuanku Putri Wikasitapaliya, kami mendapatkan kabar dari Ayahanda Bajranala Badasusena bahwa beliau tidak menemukan baik Tuanku Putri Arundhati maupun Tuanku Putri Wikasitapaliya. Karena itulah, kami menduga bahwa Tuanku Putri berdua kembali ke Istana Rattunda. Dari situlah kami memberanikan diri datang ke sini untuk memastikan keberadaan dan keselamatan tuan putri berdua!”
Tidak salah Sekar Kenanga diminta memimpin rombongan oleh Sekar Nawangsih. Dia mampu menjelaskan semuanya sangat runut dengan gaya khas Sekar Kenanga. Nariswari puas mendengar jawaban Sekar Kenanga.
“Terimakasih, Sekar Kenanga. Niken Landjar Sekar Kenanga. Tantri, dengarkan? Kamu tahu kenapa Ibu tidak melakukan perlawanan meskipun diprovokasi oleh Dayana Habibah yang telah kamu provokasi terlebih dulu”
Nariswara senang mendengar penuturan Sekar Kenanga. Namun menjadi keras ketika dia bertanya kepada Waratantri yang duduk di sebelah Sekar Kenanga. Waratantri agak beringsut kebelakang Sekar Kenanga.
“Tantri!” sekali lagi Nariswari memanggil Waratantri. Waratantri kaget dan langsung menjawab, “e iya iya iya….. ibu tidak melawan karena ibu takut!”
Mendengar jawaban Waratantri, sontak yang hadir di situ merasa lucu. Namun, tidak ada satupun yang berani tertawa kecuali Dayana Habibah, “Ha ha ha ha…. Nariswari buar kubantu Tantri menjawab! Tantri, ibu kamu itu bukannya takut berantem sama kami, tapi takut istananya yang indah ini hancur karena melawan saya!”
Kata-kata ngawur Dayana Habibah kontan saja membuat Nariswari mulai mendidih. Namun dia asih berusaha menjaga amarahnya.
“Tuanku Maharani, mohon maafkan bibi guru Dayana Habibah. Beliau memang begitu adanya, dan mohon percayalah kepada kami, bahwa tidak sedikitpun kami mempunyai rencana berbuat onar di sini!” tiba-tiba Sitakara memotong sambil memintakan maaf Dayana Habibah kepada Nariswari. Demi melihat yang berbicara adalah Sitakara, Wikan Niswara tidak ada pilihan selain diam. “Tidak ada gunannya bertarung sama Nariswari kalau ada Sitakara dan apalagi tidak memihak kepadaku!” omel Dayana Habibah dalam hati. Nariswari tersenyum kepada Sitakara dan berkata, “saya percaya kepadamu Sitakara!”
“Eyang, sejak kapan eyang tahu nama teman-temanku?” tiba-tiba Arundhati menyela pembicaraan. Nariswari menoleh ke arah Arundhati, “sebelum aku jawab, aku mau tanya dulu, kenapa kamu panggil aku Eyang? Emang aku ini eyangmu apa?”
Pipi Arundhati langsung merah seketika. Tidak disangka Nariswari menanyakan hal itu.
“Ya… tadi… ibu… yang kasih tahu…. Eh enggak.. enggak… Ayun gak boleh bohong… ibu belum kasih tahu! Ayun cuma nebak. Eyang begitu berwibawa, pasti eyang penguasa di Istana Rattunda. Tapi kalau memang bukan Eyangnya Ayun, emang gak boleh ya kalau Ayun panggil Eyang!?” agak gelagapan Arundhati menjawab pertanyaan Nariswari yang diakhiri dengan pertanyaan yang diajukan dengan nada merajuk. Kontan saja ini membuat Nariswari dan semua yang hadir di situ tertawa terpingkal-pingkal.
“Iya, Ayun, aku memang Eyangmu dan tentunya kamu pun boleh memanggilku eyang sepuasmu!” sambil tersenyum, Nariswari menjawab pertanyaan Arundhati.
“Nah tuh! Terus sekarang, bagaimana Eyang tahu nama-nama teman-teman Ayun?”
“Gampang Ayun, itu yang yang mirip Retna Nawangsih itu pasti Sitakara. Kecantikan Retna Nawangsih ini tumpah seluruhnya kepada kakakmu ini Ayun. Kemudian, Sekar ini bukan cuma mirip dengan Retna Gantari. Kalau Eyang nggak tahu atau nggak ingat bahwa semua versi Retna Gantari telah gugur pastinya Eyang akan menganggap dia sebagai Retna Gantari. Cuma ini, siapa itu anak cantik yang dari tadi diam, Ayun?”
“Eyang gak tahu, atau pura-pura gak tahu?”
Arundhati kembali bertanya ketika Eyangnya menanyakan Sweta Nandini yang notabene putri dari Dayana Habibah. Dia mencium kepura-puraan dalam pertanyaan Nariswari.
“Ya, ya begitu itu Ayun, gaya Eyangmu itu….!” omel Dayana Habibah kesal.
“Udah Ibu, ibu gak usah marah-marah terus dong, Ah! Entar cepet tua lo!” sambil menahan tawa , Sweta Nandini berusaha merayu Ibunya, “Eyangnya Ayun itu cuma bercanda karena ibu dari tadi marah-marah melulu!”
Arundhati tersenyum melihat Sweta Nandini dan ibunya, “Dia Sweta Nandini. Panggilannya Dini. Dan, dia adalah kawan sekolah Ayun Eyang. Masa Eyang gak tahu kalau itu putri dari bibi Dayana Habibah?”
“Ya bagaimana aku bisa menebak, Ayun. Anaknya cantik sekali. Ini agak berbeda sama emaknya!” santai Nariswara menjawab pertanyaan Ayun. Dia tahu Dayana Habibah pasti tidak akan terima, namun dia tahu juga bahwa Dayana Habibah tidak akan berkutik selama masih ada Sitakara.
Dayana Habibah melotot mendengar sindiran Nariswara.
“Sudah-sudah, bibi… eyang, gak baik ah di depan anak kecil seperti kami kalian berantem!”
Sekarang baik Nariswari maupun Dayana Habibah sama-sama melotot kepada Arundhati. Namun, entah kenapa tiba-tiba mereka malah tersenyum. Ada sugesti yang sangat kuat yang terpancar dari kesadaran Arundhati kepada mereka berdua. Sebuah sugesti yang memaksa mereka berdua untuk saling tersenyum.
Dhirabrata dan Wikasitapaliya tersentak kaget. Mereka juga merasakan sugesti yang berhasil memaksa dua tokoh penjaga dengan kemampuan paling tinggi untuk saling tersenyum pada saat emosi mereka sedang meningkat. Hal yang sama juga dirasakan oleh Nariswara dan Dayana Habibah.
“Baiklah.. baiklah Ayun, Eyang akan baikan sama ibunya Dini, Ayun!” jawab Nariswari. Sepertinya kali ini dia tidak main-main dengan jawabannya. Kekuatan yang sangat dahsyat dari Arundhati seperti mengingatkan dirinya untuk tidak berbuat yang aneh-aneh.
Sama juga seperti Nariswari, Dayana Habibah nampak pucat ketika merasakan kekuatan Arundhati, “Iya.. Ayun, Dini, Ibu akan baikan sama Eyangnya Arundhati! Betul begitu, Nari?”
Nariswari hanya mengangguk ketika diminta konfirmasinya oleh Dayana Habibah.
“Nah, gitu dong…! Kalo begini kan asik!” teriak pelan Arundhati ceria karena bisa mendamaikan paksa Dayana Habibah dan Nariswara eyangnya. Dan keceriaan Arundhati yang terjadi secara alami ini kemudian menguat oleh sambutan teman-temannya sehingga suasana yang sempat tegang akhirnya dapat cair.
“Mohon maaf, tuanku putri Arundhati, apakah kiranya tuanku putri berkenan untuk menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi kepada tuanku putri Arundhati di palagan waktu itu?” Dalam keceriaan itu, tiba-tiba Sekar Kenanga menanyakan hal yang sangat ingin mereka ketahui sehingga memaksa mereka untuk mendatangi istana Rattunda. Namun, gaya formal yang digunakan oleh Sekar Kenanga justeru membuat Arundhati tidak suka. Meskipun sebenarnya ini juga adalah gaya yang biasa dilakukan oleh Sekar Kenanga.
“Mbakyu Sekar, sudah aku bilang berkali-kali, panggil aku Ayun. Gak usah bawa-bawa tuanku putri segala. Aku, Arundhati Striratna adalah putri dari Bapak Mad Kusen dan Ibu Saliyah. Meskipun Ibu Wikasitapaliya adalah putri Istana Rattunda ini, namun aku terlahir dari rahim Ibu ketika menggunakan nama Saliyah. Dan, kalian, kalian mengenalku bukan sejak saat ini. Bukan sejak saat kita berada di istana ini. Oleh karena itu, aku katakan sekali lagi, tidak ada yang boleh panggil tuan putri. Panggil aku Ayun saja. Bila masih ada yang memanggilku tuan putri, maka aku tidak lagi mau berteman dengannya. Dan, Eyang, jangan paksa Ayun untuk menjadi tuan putri, Ok?” Dengan sangat lancar Arundhati menjelaskan keberatannya untuk dipanggil sebagai tuan putri. Semua yang mendengarkan penjelasan Arundhati sambil tersenyum dengan penilaian masing-masing. Nariswari tersenyum. Sepertinya dia merasa senang bahwa cucunya tidak gila hormat untuk menjadi seorang tuan putri. Dan dia percaya, dengan kemampuannya saat ini, meskipun tidak disebut sebagai tuan putri, dia tetap mendapatkan posisinya sebagai sosok yang terhormat nantinya.
“Baiklah, Ayun, tolong ceritakan apa sebenarnya yang terjadi padamu pada pertarungan saat itu? Karena itulah yang membuat kami memutuskan untuk memastikanmu ke sini. Namun, bila kamu berkeberatan, kami juga tidak akan memaksa. Yang paling penting adalah bahwa kami telah melihat bahwa tidak terjadi apapun yang melukaimu dan tentunya ibumu!” Kembali Sekar Kenanga menanyakan kejadian pertarungan di Jakarta waktu itu. Arundhati tidak langsung menjawab. Dia terdiam agak lama sampai kemudian dia mulai bercerita.
“Ketika bola energi yang didorong oleh cidrapati dan diperkuat oleh sambaran Tathit nglegena, Ayun melihat begitu banyak para kadal primata dan kunting yang mati hangus terbakar di seluruh penjuru. Entah berapa ratus ribu kematian yang telah Ayun ciptakan saat itu. Ini kemudian membuat Ayun merasa bersalah. Ayun tidak dapat menerima kenyataan bahwa Ayunlah yang menyebabkan kematian masal itu. Perasaan bersalah ini membuat jantung Ayun berdegup sangat keras sehingga mengganggu keseimbangan kesadaran Ayun sehingga akhirnya Ayun terlontar ke kondisi suwung yang bahkan lebih hampa daripada sebelum-sebelumnya. Kesadaran Ayun yang telah menyatu ini pun tidak dapat dipertahankan. Setelah agak lama terombang-ambing di dalam kondisi Suwung, kesadaran Ayun terdampar di sebuah sebuah dangau di tempat yang sangat asing. Ayun merasakan tengah tertidur dengan berbantalkan paha seorang perempuan cantik yang mengaku bernama Endang Paramayana Wardini. Eyang Endang Paramayana Wardini. Ayun sangat senang bisa bertemu dengan Eyang Endang Paramayana Wardini. Kami berbincang cukup lama. Eyang dengan bijak memberikan dukungan kepada Ayun agar tidak menyesali apa yang telah Ayun lakukan. Dalam suatu pertempuran cuma ada kata membunuh atau dibunuh. Karena mereka telah tega memperalat manusia untuk melakukan kekejian dan bahkan saling membunuh. Sudah sewajarnya bila Ayun memusnahkan mereka. Ayun merasa tenang mendapatkan penjelasan dari Eyang. Namun sebenarnya ada hal yang sangat penting yang harus Ayun sampaikan di sini.” Arundhati tidak langsung menyelesaikan ceritanya. Arundhati menghela nafas dalam-dalam. Ada perasaan berat yang menekannya untuk menyampaikan lanjutan ceritanya.
“Ayun, ceritakan saja. Kami akan mendengarkan dengan baik. Bahkan bila itu menyangkut Yu Ara, Yu Ara pasti akan selalu ikhlash bila itu bisa membahagiakan semua!” Sitakara menyela cerita Arundhati dan mendesaknya agar segera menyelesaikan ceritanya. Mendengar Sitakara berbicara, Arundhati merasakan matanya mulai berkaca-kaca. Ada sesuatu yang mengharu-biru perasaannya ketika mendengar suara Sitakara yang sedari datang tadi masih diam.
“Yu Ara!” Arundhati memanggil Sitakara dan menatapnya tajam namun terlihat air mata mulai membanjiri matanya.
“Kenapa kamu menangis, Ayun? Apakah benar ini menyangkut Yu Ara? Ceritakanlah Ayun, Yu Ara siap.” Sitakara kembali mempertegas sikapnya, bahwa dia siap dengan situasi apapun. Namun, Arundhati sangat tahu, bahwa dalam ucapan Sitakara terselip getaran kesedihan yang sangat luar biasa. Arundhati menduga, pasti telah terjadi sesuatu antara bapaknya yang juga bapak dari Sitakara. Arundhati segera berdiri dan mendekati tempat Sitakara duduk. Dia angkat pundak Sitakara untuk berdiri dan kemudian dia peluk erat-erat sambil sesenggukan menangis.
“Yu Ara, tidak usah Yu Ara sampaikan ke Ayun, Ayun tahu pasti sudah terjadi pembicaraan yang jujur antara Ibu Retna Nawangsih, Bapak, dan Yu Ara!” sambil menangis Arundhati berusaha menebak apa yang dialami oleh Sitakara. Sitakara hanya terdiam sambil menahan tangis. Ia sudah tidak ingin menangis lagi. Apalagi ada Ayun yang sedang memeluknya.
“Yu Ara, maafkan Ayun, maafkan Ibu Wikasitapaliya, kehadiran kami telah menciptakan kesedihan buat Yu Ara dan Ibu Retna Nawangsih. Ini juga yang telah disampaikan oleh Eyang Endang Paramayana Wardini. Ayun harus bisa menjaga Yu Ara, Ayun harus nurut sama Yu Ara. Yu Ara adalah kakak Ayun yang telah mengorbankan kegembiraannya agar Ayun dapat menikmati keluarga yang utuh bersama Ibu Saliyah dan Bapak Mad Kusen. Ayun tidak akan dapat membalas kebaikan Yu Ara.” Sambil sesenggukan Ayun mengungkapkan perasaannya. Dia sangat takut bila Sitakara kakak satu-satunya yang sangat dia segani ini akan menjauh darinya gara-gara bapaknya.
Sitakara tidak dapat berkata apa-apa selain memeluk erat Arundhati dengan mata yang berkaca-kaca. Demikian juga dengan Wikasitapaliya. Dia tidak dapat menahan air matanya. Tidak ada lagi rasa egois yang menguasainya seperti saat dia belum tahu yang sesungguhnya. Perasaan yang membuatnya selalu cemburu bila suaminya menyinggung-nyinggung Sitakara dan ibunya. Kini semuanya telah sirna. Apalagi setelah dia menyadari kedekatan anak semata wayangnya dengan kakak satu ayahnya itu. Namun, kali ini dia memilih diam sambil terisak. Dia sengaja memberikan kesempatan kepada anaknya untuk llebih dekat dalam suasana yang sangat emosional ini.
Setelah puas memeluk Sitakara, Arundhati mulai melonggarkan dan melepaskan pelukannya dan mulai melanjutkan ceritanya.
“Mohon maaf Eyang Nariswari dan Ibu Wikasitapaliya, namun memang itulah yang Ayun dapatkan dari pertemuan dengan Eyang Endang Paramayana Wardini. Ayun harus mampu menjaga Yu Ara sebagai kakak Ayun dengan seluruh pengorbanannya karena sebentar lagi kita akan menghadapi bahaya yang lebih besar. Pertarungan terakhir di Jakarta dimensi utama memang telah membunuh banyak kunting dan kadal primata. Namun, menurut Eyang Endang Paramayana Wardini, pemimpin mereka masih belum terbunuh. Dhemit Marumaya saat ini masih berkeliaran di seluruh lapisan dimensi mimpi bahkan dimensi utama. Dan masih menurut Eyang, saat ini sisa-sisa pasukan Marumaya telah bergabung dengan gerombolan Alap-alap Selogiri!” Masih sambil menahan isaknya, Arundhati menyampaikan kabar yang sangat menyentak semua orang, terutama yang terlibat dalam pertarungan di Jakarta. Semua yang hadir di situ kaget begitu mendengar bahwa Dhemit Marumaya masih hidup. Sekar Kenanga terhenyak. Seketika darahnya mendidih saat nama Alap-alap Selogiri disebut oleh Arundhati. Seketika dia ingat misinya berguru kepada Nyi Ajar Nismara adalah untuk membalaskan dendam Ibunya yang meninggal karena dikeroyok oleh gerombolan Alap-alap Selogiri. Sekar Kenanga berdiri dan bertanya lantang kepada Arundhati, “Ayun, Apakah Nyi Ageng Endang Paramayana memberitahu di mana bersembunyinya gerombolan Alap-alap Selogiri?”
“Sekar, kumohon kamu tenang. Aku tahu, kamu punya dendam tersendiri terhadap gerombolan Alap-alap Selogiri. Namun, sepertinya kali ini kamu masih harus bersabar. Disamping itu, kita juga harus ekstra hati-hati bila akan berhadapan dengan gerombolan ini. Kelicikan mereka bisa dibilang sama dengan kelompok Kadal primata anak buah Marumaya. Akan tetapi fakta bahwa mereka pernah mengalahkan Dewi Retna Gantari, ibu dari Sekar Kenanga, harus kita pertimbangkan untuk meningkatkan kehati-hatian kita. Dan, yang harus dipertimbangkan adalah bahwa mereka itu manusia yang mungkin jahat, namun masih dapat berubah menjadi baik.” Arundhati berusaha setenang mungkin ketika menjawab pertanyaan Sekar Kenanga.
“Eyang, Paman, dan Kakang…. Arya Kandaga?” Arundhati agak ragu ketika menyebut nama Arya Kandaga. Memahami keraguan Arundhati, Arya Kandaga mengangguk sambil tersenyum. Arundhati membalasnya dengan senyum sambil melanjutkan pembicaraannya, “Eyang Nariswari, Ibu Wikasitapaliya, Bibi Dayana Habibah, Bulek Tantri, Yu Ara, Sekar, Kakang Ansuman, Dini… meneruskan apa yang Eyang Endang Paramayana katakan, kita harus bersatu padu untuk melawan para perusuh baik Alap-alap Selogiri maupun kelompok Marumaya! Kita juga harus mengajak Ibu Retna Nawangsih beserta Sophia juga Bapak Mad Kusen untuk kembali menjadi Bajranala. Kita harus mengumpulkan semua potensi kekuatan di seluruh lapisan untuk menghalau kekuatan Alap-alap Selogiri maupun Dhemit Marumaya!”
Setelah mengakhiri kata-katanya, Arundhati kembali duduk ke sebelah ibunya. Ibunya segera memeluk pundak Arundhati dengan sangat hangat. Ada desah kebanggaan meneyelinap pada tarikan nafas Wikasitapaliya. Ada senyum yang tersungging menggantikan kecemasannya. Anaknya telah tumbuh dan menampakkan kepemimpinan yang kuat. Sesuatu yang sangat dinantikan oleh para penjaga.
Sementara itu, Nariswari tiba-tiba berdiri sambil berteriak mengangkat kedua tangannya, “wahai para penghuni lapis kedua, lihatlah telah lahir pemimpin baru yang akan menggantikanku…. Dia adalah cucuku Arundhati Striratna. Dialah yang akan memimpin kalian nanti!”
Sungguh luar biasa kekuatan nenek ini. Teriakannya menggema ke segala penjuru. Merambat memenuhi atmosfer lapis kedua. Semua terlihat gembira ketika menangkap suara ini kecuali wilayah lembah Prawala dan ketika di suatu titik terlihat beberapa orang berwajah kasar tengah berbicara dengan beberapa ekor kadal primata.
Setelah selesai mengungkapkan kegembiraannya, Nariswari kembali ke tempatnya namun tidak duduk. Nariswari kembali menatap ke seluruh yang hadir di situ dan kemudian ke arah Arundhati.
“Ayun, cucuku, karena semua telah jelas, ajak teman-temanmu berisitirahat. Istana Nidramanjari sepertinya bisa digunakan untuk mereka menginap. Liya, antarkan anakmu bersama teman-temanya ke istana Nidramanjari.
“Sendiko dhawuh, biyung Nariswari!” jawab Wikasitapaliya menyanggupi perintah ibunya. Mendengar jawaban Wikasitapaliya, Nariswari segera meninggalkan tempat tanpa ditemani oleh Dhirabrata mupun Arya Kandaga.
Setelah ibunya pergi, Wikasitapaliya segera bergegas sambil memberikan perintah kepada Arundhati, “Ajak teman-temanmu mengikuti ibu ke Istana Nidramanjari!”. Arundhati menganggukkan kepala tanda mengerti.
“Ayo, kawan-kawan, ikuti kami…..!” Arundhati mengajak kawan-kawannya untuk mengikutinya. Namun sebelum semua beranjak tiba-tiba terdengar suara Waratantri, “Eit eit eit… tar dulu….!”
“Ada apa bulek Tantri?” tanya Arundhati kepada bibi-nya. Waratanti sambil malu-malu menjawab pertanyaan Arundhati dengan sebuah pertanyaan, “Kenapa gak ada yang tanya ke saya, kenapa saya ada di sini?”
Semua yang masih ada di bale wedana tertawa mendengarkan pertanyaan Waratantri. Sambil tersenyum Arundhati menjawab pertanyaan Waratantri. “Bulek Tantri, silakan bercerita. Tapi, mohon maaf, saya harus ke Nidramanjari nganter teman-teman saya!” Jawab Arundhati dengan gaya sedikit songong. “gak berani melawan titah eyang!” sambung Arundhati sambil berbisik.
Mendengar jawaban keponakannya, Waratantri cuma diam dengan muka cemberut. Wikasitapaliya cuma bisa geleng-geleng melihat kelakuan adiknya. Arundhati dan Waratantri memang tidak terpaut jauh umurnya. Hanya saja, ketika ada di dimensi utama, dia tampil seperti perempuan tigapuluhan.
Sementara itu, di rumah Retna Nawangsih masih terlihat Retna Nawangsih, Sitakara, Ansuman, dan Sophia. Juragan Badrun terlihat bercakap asik dengan Sweta Nandini, sementara Bajranala alias Mad Kusen masih nampak terdiam. Sekar Kenanga dan Dayana Habibah alias Sudarmi tidak terlihat. Eksistensi tunggal mereka tengah melakukan perjalanan antar dimensi menyusul Arundhati dan Wikasitapaliya. Ketika semua terdiam dengan entah apa yang ada di benak masing-masing, tiba-tiba Mad Kusen alias Bajranala memanggil Retna Nawangsih dengan nama panggilan masa lalunya dengan setengah berbisik. Sepertinya Mad Kusen masih penasaran dengan kekerasan hati Retna Nawangsih. Sesuatu yang tak pernah dia temui sebelumnya, saat mereka masih berdua.
“Nana!” panggil Mad Kusen kepada Retna Nawangsih. Retna Nawangsih tidak langsung menjawab.
“Nana!” sekali lagi Mad Kusen memanggil Retna Nawangsih yang masih diam. Mad Kusen tidak mengulangi panggilannya untuk yang ketiga kallinya. Baginya, diamnya Retna Nawangsih sudah cukup memberikan jawaban. Mad Kusen mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan, nampak seperti ada emosi yang dia tahan. Retna Nawangsih yang masih ditemani Sitakara masih terdiam. Akhirnya, Bajranala atlias Mad Kusen dengan pandangan kosong mulai bercerita. Entah sama siapa.
“Lima tahun! Lima tahun aku mencari kalian. Lima tahun aku menjalani hidup dengan penuh tanda tanya. Rasa sedih, khawatir, takut, semua berputar mengaduk-aduk pikiran dan perasaanku tanpa sedikitpun terisi kegembiraan atau ketenangan. Aku selalu mengingatmu yang saat itu tengah hamil anak kita. Aku selalu membayangkan menimangnya ketika dia terlahir sebagai bayi entah perempuan atau laki-laki. Aku tak pernah tahu itu. Aku membayangkannya tumbuh. Bercanda dengannya. Mengangkatnya di pundakku dan berlari mengejar ibunya. Aku selalu membuat khayalan indah tentang kalian berharap bahwa itu adalah kenyataan. Namun, itu semua hanya membuatku semakin sakit. Pencarianku tak pernah memberikan hasil, Nana. Dalam situasiku yang semakin terpuruk, Aliyah atau kalian kenal sebagai Saliyah ibunnya Ayun, datang bersama Ibu. Aku tidak pernah tahu siapa dia. Aku hanya tahu ibu yang memperkenalkan padaku dan kemudian dia mampu memberikan penghiburan padaku. Mengembalikan kehidupanku yang telah lenyap bersama menghilangnya dirimu. Akhirnya aku tidak dapat menolak kehendak ibuku untuk menikahkan Aliyah denganku. Aku menikah dengan syarat aku dan Aliyah boleh meninggalkan urusan para penjaga. Aku takut kehilangan untuk kedua kalinya!”
“Dan ketika kamu menyadari bahwa anakmu, Ayun, sudah terlibat urusan besar para penjaga dan bahkan hilang bersama ibunya, kamu kemudian marah dan menyalahkan kami karena melibatkan Ayun” potong Retna Nawangsih ketus.
Mad Kusen tidak bereaksi mendengarkan apa yang dikatakan oleh Retna Nawangsih. Dia hanya berhenti sebentar untuk mendengarkan Retna Nawangsih dan kemudian kembali melanjutkan bicaranya.
“Aku betul-betul tidak menduga Ayun lebih dulu menemukanmu, dan aku sama sekali tidak pernah berfikir bahwa gadis cantik yang selalu dipanggil Yu Ara oleh Ayun adalah juga anak yang pernah aku khayalkan di lima tahun pertama kehilanganmu. Aku selalu bimbang untuk mempertimbangkan bahwa Sitakara itu adalah anak Retna Nawangsih yang aku cari-cari. Ketika Ayun menyinggung-nyinggung namamu, seringkali aku ingin itu adalah kalian. Tapi, pada saat yang sama aku justeru berusaha mengingkari bahwa itu adalah kalian. Sampai dengan kejadian hari ini ketika gambarmu beserta Ayun dan Aliyah muncul di televisi. Saat itu aku baru menyadari bahwa Sitakara dan Retna Nawangsih yang aku dengar selama ini adalah betul-betul kalian yang aku cari-cari. Namun, aku ragu, kenapa sudah selama ini dan kalian telah menemukanku, kalian tidak segera mengatakan yang sebenarnya padaku.”
“Dan, kamu menuduh bahwa hilangnya Wikasitapaliya dan Arundhati adalah karena perbuatan kami?” potong Retna Nawangsih sekali lagi, bertanya.
“Meskipun itu buruk, harus aku akui betul. Itu yang ada dalam pikiranku ketika aku belum bertemu denganmu, dan anakku Sitakara!” jawab Mad Kusen pelan sekali. Sebuah pengakuan dan penyesalan yang sangat dalam yang diungkapkan dengan penuh tekanan rasa bersalah dan malu kepada perempuan yang sangat dia cintai, “aku benar-benar minta maaf kepadamu Nan… eh.. Retna Nawangsih!”
Mad Kusen alias Bajranala mengakhiri kata-katanya dengan sebuah permintaan maaf kepada Retna Nawangsih.
“Tuan Bajranala, Nana telah mati. Tuan tidak perlu meminta maaf kepada Retna Nawangsih, karena Tuan tidak bersalah kepada Retna Nawangsih. Namun, Sitakara adalah putri Tuan yang lain. Bila Tuan merasa bersalah padanya, permintaan maaf kepadanya akan lebih berarti sebagai pengakuan Tuan sebagai ayahnya!”
Mad Kusen terdiam lama. Dia masih sangat mencintai Retna Nawangsih, namun apa yang dikatakan oleh Retna Nawangsih jelas menyiratkan bahwa sudah tidak ada jalan lagi buatnya kembali kepadanya.
Melihat situasi yang tidak begitu baik, Sitakara memberanikan diri untuk memotong percakapan kedua orang tuanya, “Ibu, tadi Bapak sudah melakukan semuanya. Sitakara dapat menerima semuanya. Sebuah kebahagian bagi Sitakara mempunyai sosok yang dapat Sitakara panggil Bapak, dan sungguh senang bahwa hari ini Bapak telah memanggil Sitakara sebagai anaknya. Meskipun ini terjadi dalam usia yang sudah tidak lagi kanak-kanak, itu tidak mengurangi kegembiraan Sitakara. Kemudian, ada hal yang tak kalah menggembirakan yang harus saya sampaikan. Ayun telah siuman dan dalam keadaan baik-baik saja bersama ibu Wikasita Paliya dan nenek Nariswari. Dan, yang paling penting, tidak ada perselisihan antara teman-teman dan istana Rattunda. Dan, Ayun juga sangat senang mengetahui Bapak Mad Kusen telah mengakui Sitakara. Ibu Wikasitapaliya pun nampak gembira melihat sikap Ayun terhadap Sitakara. Begitu bukan, Dini?” Nampak ada tetesan airmata mengalir dari sudut mata Sitakara saat menceritakan sikap Arundhati.
Sweta Nandini mengangguk sambil tersenyum, “Betul yang dibilang Yu Sita, ibu Retna Nawangsih dan bapak Mad Kusen. Saat ini teman-teman tengah rehat di istana Nidramanjari di kompleks Rattunda. Dan, kebetulan ibu Sudarmi yang saat ini berada di Rattunda juga sedang rehat, maka sepertinya kami juga mau undur diri. Mau istirahat dulu!” Sweta Nandini mengakhiri perkataannya sambil tersenyum dan memberikan kode kepada bapaknya untuk pamit undur diri.
Juragan Badrun pun sebenarnya sangat paham dengan situasi yang terjadi. Sudah sedari tadi dia sudah pengin pamit, namun sepertinya dia selalu kehilangan momentum.
“E, iya betul, sepertinya kami harus kembali ke rumah dulu, ndoro Sen dan ndoro Na! Itu tadi ibunya anak-anak nyusul, takutnya pintu belum dikunci!”
Sambil cengar-cengir kagok, juragan Badrun berpamitan kepada dua orang yang selalu dia panggil ndoro.
“Baiklah Badrun, monggo…!” jawab Retna Nawangsih sambil tersenyum manis. Masih sambil cengar-cengir, juragan Badrun jalan mundur keluar rumah. Tanpa sengaja dia menabrak kursi tamu di ruang tamu. Semua yang melihat tersenyum, kecuali Sweta Nandini. Mukanya mendadak berubah menjadi kecul karena kesal. Malu dengan perbuatan bapaknya. Pengin marah, yang mau dia marahi bapaknya sendiri. Sweta Nandini ngomel-ngomel sendiri karenanya. Sampai di luar rumah, suara Sweta Nandini dan bapaknya masih terdengar. Seru sekali sepertinya pembicaraan mereka.
“Lho nDhuk, kita pulangnya gimana ini?” tanya Juragan Badrun kepada Sweta Nandini Anaknya. Dan, Sweta Nanditi bukannya menjawab malah balik bertanya, “Maksud Bapak?”
“Ya gitu, tadi bapak ke mari kan digondol sama ndoro Sen. Tadi dari rumah, mak jegagig tahu-tahu sudah di sini. Bapak ikut ndoro Sen. Kalo ibumu tadi, tahu sendiri kamu. Ternyata dia juga bisa tiba-tiba ada di mana tiba-tiba ada di mana….!”
“Terus?”
“Kamu bisa ndak nDhuk, seperti ibumu atau ndoro Sen?”
Sweta Nandini kesal mendengar pertanyaan Bapaknya. Dengan ketus Sweta Nandini menjawab pertanyaan Juragan Badrun. “Bapak, kalau Dini mempunyai kemampuan seperti yang bapak bilang, pasti kita sudah ada di rumah!”
Percakapan Bapak dan Anak itu terdengar semakin jauh dan semakin menghilang. Retna Nawangsih yang mengikuti percakapan mereka tersenyum. Setelah suara mereka telah benar-benar menghilang, Retna Nawangsih memalingkan pandangannya kepada Mad Kusen dan bertanya, “Tuan Bajranala, apakah masih ada yang tuan tunggu?”
Sebuah pertanyaan dengan nada mengusir keluar dengan lancarnya dari mulut Retna Nawangsih. Mad Kusen tidak menjawab. Hanya tatapan penuh harap dia hadapkan kepada Retna Nawangsih. Retna Nawangsih tidak bergeming, bahkan dia kemudian berdiri membelakangi Mad Kusen dan melangkah ke ruang dalam.
“Sitakara, temani ayahmu bila beliau memang masih ada yang ditunggu di sini. Ibu akan menemui nenek buyutmu bersama Sophia. Sophia, persiapkan dirimu, dan kamu Ansuman, bila tidak keberatan dapat menemani Sitakara dan Bapaknya!”
Sitakara dan Ansuman saling berpandangan. Tiba-tiba muncul banyak sekali pertanyaan di kepala mereka tentang rencana Retna Nawangsih. Nenek buyut yang dimaksud bukannya adalah nenek dari Mad Kusen alias Bajranala Badasusena. Saat hubungan dengan Bajranala sedang buruk-buruknya, Retna Nawangsih malah mau menemui neneknya Mad Kusen.
“Sitakara, sampaikan kepada Wikasitapaliya dan Nariswari, kita harus segera bersiap-siap menghadapi para kadal primata yang dibantu oleh Alap-alap Selogiri!”
Mendengar nama Alap-alap Selogiri, Mad Kusen tersentak. Dia sangat ingat, bahwa versi dunia mimpi dirinya dan isterinya Wikasitapaliya tewas dikeroyok oleh gerombolan Alap-alap Selogiri di lapis pertama. Untungnya Arundhati yang masih kecil saat itu dapat menyelamatkan diri. Namun, hal ini pulalah yang kemudian menyulitkan Alang-alang Segara Wedi untuk menemukannya. Arundhati yang masih kanak-kanak terombang-ambing dalam segmen mimpi Arundhati kecil di dimensi utama.
“Alap-alap Selogiri!” suara Bajranala menggeram menyebut nama gerombolan bandit itu, dan slap… tiba-tiba Bajranala sudah menghilang dari posisi duduknya. Sitakara, Ansuman, dan Sophia kaget luar biasa. Bajranala tanpa persiapan sama sekali tiba-tiba melakukan teleportasi. Sudah dapat diduga, pasti ke lapis kedua.
“Kalian kaget?” tanya Retna Nawangsih yang dijawab dengan anggukan oleh Sitakara, Ansuman, dan Sophia. “Sitakara, kalau kamu dapat melepaskan kegundahanmu, maka kamu juga dapat menjadi seperti Arundhati. Ada darah Bajranala dan Nenek Endang Paramayana Wardani mengalir dalam tubuhmu.”
Datar Retna Nawangsih ketika mengungkapkan potensi Sitakara karena ada darah Bajranala. Sepertinya Retna Nawangsih masih memendam kekesalan karena kedatangan Bajranala hari ini tidak sesuai dengan yang dia harapkan sebagai perempuan yang sebenarnya masih merindukannya. Meskipun kesal, sebenarnya dia juga masih merasa bangga dengan kemampuan Bajranala.
Berbeda dengan Sitakara yang masih bergelut dengan kekesalan dan emosi yang terbentung puluhan tahun, Sitakara justeru sedang merasa sangat bahagia karena telah mendapatkan pengakuan dari bapaknya. Dan dia sangat tertarik dengan kata-kata ibunya, tentang melepaskan kegundahan dan Arundhati. Ada beberapa kemampuan Arundhati yang dia lihat dapat dilakukannya dimanapun, termasuk di dimensi utama, terutama dalam hal di luar kemampuan beladiri. Sitakara kemudian meiihat ke arah Ansuman sambil tersenyum. Retna Nawangsih menggerenyitkan dahinya melihat Sitakara memandangi Ansuman sambil tersenyum. Ada rasa gak suka Retna Nawangsih bila Sitakara sampai suka sama Ansuman. Ansuman salah tingkah dipandangi sedemikian rupa sama perempuan cantik seperti Sitakara ini. Namun tiba-tiba wajahnya berbinar sambil mengarahkan pandangannya ke arah pintu.
“Woy, Ayun udah kembali? Mana teman-teman?” Ansuman segera beranjak ke pintu seakan ada seseorang yang datang. Retna Nawangsih kaget. Dia melihat ke arah Sitakara yang masih tersenyum melihat ke arah Ansuman. Dengan sedikit berbisik, Retna Nawangsih bertanya kepada Sitakra, “kamu apakan Ansuman?” Sitakara tidak menjawab dan malah masuk ke ruangan tengah sambil meninggalkan senyumannya. “Ibu kalau mau pergi, pergilah sama Sophia! Sitakara aman kok ditinggal sendiri di rumah!” Retna Nawangsih geleng-geleng kepala. Dia baru paham dengan apa yang barusan dilakukan anaknya.
Setelah Sitakara masuk ke ruang tengah, Ansuman tiba-tiba berdiri terpaku di depan pintu. Dia mengucek-ucek matanya dan kemudian menjulurkan kepalanya dan di kucek-kucek lagi dan menjulurkan kepalanya lagi sampai dia tersadar dengan apa yang tengah dia alami. Dengan gaya nglokro, Ansuman ngomel, “gak adiknya, gak kakaknya. Sama!”. Masih dengan gaya nglokro, Ansuman berjalan menuju ke pintu. Sesampainya di luar Ansuman teriak pamit kepada Retna Nawangsih. “Ibu Retna Nawangsih, Ansuman mau pulang dulu. Assalamu’alaikum!” Retna Nawangsih tersenyum dan masuk ke ruang tengah. Sophia segera menuju ke pintu, menutupnya dan langsung masuk ke ruang tengah.


.jpeg)