Kamis, Mei 30, 2024

{25} RATTUNDA


Istana Rattunda adalah tempat tinggal pemimpin informal para penjaga yang hidup di lapis kedua. Semua para penjaga dari negara manapun di lapis kedua, tunduk kepada Istana Ratunda.  Oleh karena banyak penjaga juga menduduki posisi stragegis di beberapa negara, banyak negara di lapis kedua ini yang menyatakan tunduk kepada Istana Rattunda. Meskipun banyak negara yang menyatakan tunduk kepada istana Rattunda, namun banyak juga yang memilih untuk merdeka. Namun, meskipun istana Rattunda tidak mengambil sikap ekspansif, dengan berbagai alasan banyak juga yang tidak suka dengan keberadaan istana Rattunda. Namun, tetap saja, karena pengaruh para penjaga, tidak satupun dari mereka yang berani membuat masalah dengan Rattunda. Istana Rattunda ini dipimpin oleh seorang Maharani yang berna Nariswari Warapuspa sang Sinjang Mayura alias Sinjang Merah. Dan sesuai namanya, apapun pakaian yang dikenakan oleh sang Maharani, kain panjang berwarna merah hati yang dilipat sepaha selalu dia pakai melilit di pinggangnya.

Istana Rattunda yang berdiri di tengah-tengah kotaraja ibarat titik pusat tumpuan sebuah roda yang meliputi seluruh wilayah kotaraja. Istana Rattunda meliputi beberapa blok istana yang meliputi istana barat yang merupakan tempat tinggal sang Maharani bersama suaminya. Istana timur, sebenarnya disediakan untuk penerus tahta kemaharanian.  Istana timur ini sudah bertahun-tahun tidak berpenghuni karena keputusan Wikasitapaliya yang tidak mau terlibat dalam urusan para penjaga. Di antara kedua istana ini terdapat beberapa istana kecil yang berfungsi sebagai rumah tinggal beberapa kerabat kemaharanian maupun sebagai guest house bagi para utusan yang datang ke kotaraja. Di tengah antara kedua istana timur dan istana barat ini juga letak dari Bale Wedana. Sebuah sanggar yang luas tanpa tempat duduk. Di tempat inilah sang Maharani sering menemui rakyatnya yang ingin berkeluh-kesah dengan ratunya.

Hari ini, Istana Timur yang biasanya sepi nampak ramai dengan aktifitas para abdi yang berlalu-lalang entah mempersiapkan apa. Di pendopo istana nampak panglima Dhirabrata tengah duduk bersama Arya Kandaga. Kebetulan keduanya sedang bertamu ke instana Rattunda. Bersama mereka berdua seorang perempuan setengah baya yang duduk dengan anggunya. Nariswari Warapuspa sang Sinjang Mayura.

“Arya Kandaga, apakah kamu punya pendapat tentang anakku Wikasitapaliya dan cucuku Arundhati Striratna?” Tanpa sungkan-sungkan Nariswari bertanya kepada Arya Kandaga yang notabene adalah tamunya.

“Mohon maaf, saya kurang mengenal Tuan Putri Arundhati. Namun, saya cukup kenal dengan beberapa kawannya. Beberapa kali saya bekerja sama dengan mereka untuk menghalau gerombolan Marumaya” Arya Kandaga Menjawab dengan lancar dan cenderung berhati-hati.

“Tuanku Maharani, saya setuju dengan pendapat Arya Kandaga. Kita harus mempercayai tuan putri Wikasitapaliya. Bahkan saya sering berkoordinasi dengan guru mereka Ki Ageng Turangga Seta. Dan semestinya tuanku pun mengenal beliau.”

Dhirabrata menyambung penjelasan Arya Kandaga dengan mengingatkan kepada Nariswari Warapuspa bahwa mereka juga punya hubungan dengan Ki Ageng Turangga Seta.

“Aku mengerti, Dhirabrata. Bahkan, seluruh peradaban di lapis kedua ini bisa dikatakan punya hutang yang sangat besar kepada lelaki tua itu. Namun, Arundhati cucuku telah terlebih dulu bertemu Retna Nawangsih daripada Ibunya. Meskipun, semua yang diceritakan Retna Nawangsih tidak ada yang bohong, aku tetap gelisah. Mungkin kegelisahanku ini lebih karena hubungan rumit anakku dengan Retna Nawangsih di mana ada campur tanganku di dalamnya!”

Warapuspa tidak membantah apa yang disampaikan kedua tamunya dan mengkoreksi pertanyaannya kepada Arya Kandaga. Yang disambut dengan jelas oleh Dhirabrata, “Tuanku Maharani, sangat adil dan tegas. Hamba tidak berani memberikan pendapat mengenai hal ini!” 

“Demikian juga hamba, Tuanku Maharani!” sambung Arya Kandaga karena tidak mau ditanya hal yang sangat sensitif itu.

Nariswara Warapuspa tersenyum mendengar jawaban dari kedua tamunya itu. 

Ketika mereka bertiga sedang asyik bercakap-cakap, tiba-tiba dari arah gapura dalam lari seorang pengawal tergopoh-gopoh menuju tempat mereka bertiga sambil berteriak. “Tuanku Maharani, tuanku….!”

Dhirabrata dan Arya Kandaga langsung berdiri dengan sikap siap.

“Ada apa, pangawal?” tanya Nariswari dengan tenang.

“Ampun Tuanku Maharani bisa hamba telah lancang masuk ke dalam. Namun, di luar istana saat ini tengah terjadi keributan antara tuanku putri Waratantri dengan beberapa orang yang mengaku teman-temannya tuanku Putri…. Arun..ddhati!”

Pengawal memberitahukan tentang terjadinya keributan di luar istana antara Waratantri dan beberapa orang. Pengawal nampak ragu ketika menyebutkan Arundhati.

“Arundhati, dia cucuku. Dia putri dari Wikasitapaliya!”

Nariswari yang merasakan keraguan pada diri pengawal saat menyebut nama Arundhati, segera memotong laporan pengawalnya dan menjelaskan bahwa Arundhati adalah cucunya.

“Ampun.. beribu ampun tuanku Maharani. Hamba tidak pernah tahu kehadiran cucu Tuanku Maharani”

Pengawal itu kelihatan sangat ketakutan karena telah meragukan kehadiran Arundhati sebagai cucu dari sang Maharani.

“Sudah, sudah, gak apa! Kamu, kembali saja ke pos kamu. Saya akan menemui mereka!”

Setelah pengawal itu pergi, Nariswari bersama Dhirabrata dan Arya Kandaga segera bergegas keluar dari pendopo berjalan menuju gerbang dalam. 

Sementara itu di gerbang luar,  Waratantri tampak berkacak pinggang sambil berteriak-teriak marah kepada rombongan Dayana Habibah. Berdiri paling depan dua perempuan dengan perawakan tinggi, Sekar Kenanga dan Dayana Habibah, Sudarmi dalam mode 1001 satu malam.

“Siapa kalian berani-beraninya datang ke mari nanya-nanya ponakanku? Kurang puas kalian bikin ponakanku pingsan?” tanya Waratantri sambil berteriak. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Waratantri, malah pada bisik-bisik. “Tuh, kan benar bukan Ayun dia mah… Ayun itu lebih cantik dan lebih muda. Sopan, gak teriak-terik kayak dia!”, bisik Dayana Habibah kepada Sekar Kenanga. “Mohon maaf, saya kurang mengerti!”, jawab Sekar Kenanga. Muka Dayana seketika berubah menjadi masam. Sekar Kenanga kaget dan agak sedikit takut. Sitakara dan Ansuman tersenyum melihat tingkah Dayana dan Sekar Kenangan.  Sweta Nandini tampak malu karena tingkah ibunya.

“E…. kalian…! Ditanya malah pada bisik-bisik.  Sopan?!” teriak Waratantri semakin keras karena kesal dicuekin.  Waratantri pasang kuda-kuda siap menyerang Dayana Habibah. “Woy bule jelek! Bersiaplah….!”

“E.. e..e..tunggu-tunggu!” tiba-tiba terdengar suara Ansuman berusaha menahan kemarahan Waratantri. “Tahan, jangan pada berantem!”

Waratantri menarik kuda-kudannya, “kamu, Ansuman! Dini, dan kamu Sitakara! Bulek tidak ingin berurusan sama kalian. Minggir!”

Ansuman dan Sitakara saling berpandangan. Mereka heran kenapa perempuan mungil yang ngomel-ngomel dari tadi ternyata mengenal mereka.

“Mohon maaf, apakah saya mengenal non… ee.. maksud saya tuan putri?” Ansuman memberanikan diri menanyakan nama perempuan mungil di hadapan mereka.

“Baiklah, nama saya Tantri. Waratantri Striratna. Jelas?!” jawab Waratantri memperkenalkan diri. Asnuman, Sitakara, dan Sweta Nandini bingung saling berpandangan.

“Bulek…. Tantri?” tanya Sweta Nandini ingin memastikan sambil dahinya berkerut. Waratantri mengangguk.   Sweta Nandini membelalak mendengar jawaban Waratantri. “Tapi kan bulek Tantri seharusnya tidak semini ini!”  celetuk Sweta Nandini pelan. Namun, celetukan spontan Sweta Nandini ini ternyata terdengar oleh Waratantri.

“Apa yang kamu bilang barusan?!” bentak Waratantri sambil melompat menyerang Sweta Nandini. Sweta Nandini kaget luar biasa mendapatkan serangan yang sangat mendadak itu. Ia segera menghindari ayunan kaki Waratantri dari arah kiri, dengan gerakan kayang ke belakang dan kembali berdiri setelah Waratantri melewatinya, untuk kemudian memutar tubuhnya beberapa kekanan agar mendapatkan mementum, yang dia gunakan melayangkan tendangan yang menyasar punggung Waratantri. Mendapatkan serangan balik yang tidak dia sangka ini benar-benar membuat Waratantri kaget luar biasa. Dia terlalu meremehkan Sweta Nandini.  Hampir saja dia tidak dapat menghindari kaki Sweta Nandini yang menyasar punggungnya. Dayana Habibah tersenyum senang, anaknya mampu mengimbangi serangan Waratantri. “Tantri, woy… ati-ati sama anakku!  sekali kamu sentuh kulit anakku, jangan salahkan aku, nanti banyak yang bakal menyentuh kamu!” teriak Dayana Habibah meledek Waratantri. Waratantri semakin liar melancarkan serangannya. Sweta Nandi masih terlihat leluasa menghindar dan sesekali membalas sampai suatu ketika sebuah tendangan nyaris mengenai kepalanya. Dayana yang melihat hal ini langsung menggerakkan tangannya seperti menyingkirkan sesuatu ke arah Waratantri. Luar biasa! Tanpa ada angin serangan sedikitpun, kibasarn tangan Dayana telah membuat tubuh Waratantri terpental masuk ke arah istana.

Rombongan Nariswari yang sedang berjalan ke arah gapura, tiba-tiba melihat tubuh Waratantri seperti terlempar melambung melewati gapura.  Menyadari bahwa yang melayang adalah tubuh Waratantri, Arya Kandaga segera bersiap menangkapnya. Nariswari yang kaget, berteriak menyebut nama anaknya, “Waratantri!”.  Waratantri yang sempat kambuh nakalnya ketika melihat Arya Kandaga seketika menjadi kaget mendengar suara ibunya. Waratantri yang sebelumnya ingin pasrah dalam tangkapan Arya Kandaga, segera menyadari kehadiran ibunya dan mengembangkan tangannya memanfaatkan pundak Arya Kandaga untuk memutar tubuhnya memutari Arya Kandaga dan jatuh berdiri di sebelah ibunya.

“Ada apa, Ibu? Tantri ada di sini!” sapa Waratantri sambil mengedip-kedipkan matanya kepada ibunya. Dalam hati sebenarnya dia sangat kesal. Padahal tadi udah mau dibopong sama Arya Kandaga.

Ibunya kesal, namun karena dia sudah sangat mengerti gaya Waratantri yang aneh, Ibunya cuma tersenyum kecut.

Tak lama setelah Waratantri mendarat, dari arah gerbang terlihat beberapa prajurit yang berjalan mundur berusaha menghambat beberapa orang perempuan dan seorang lelaki. Perempuan dengan pawakan tinggi berjalan paling depan dengan gaya yang sangat cool. Tidak salah, perempuan ini adalah Sekar Kenanga. Menyusul di belakang Sekar Kenanga ada Sweta Nandini dan Sitakara. Di belakang mereka berdua nampak Ansuman dengan Sitakara. Berjalan palilng belakang terlihat Dayana Habibah.

“Woy…, kita ketemu lagi!” teriak Dayana Habibah sambil melompat-lompat dan mengayun-ayunkan tangannya ke atas.  “Aku kira kamu mau ngumpet, gak tahunya di sini bareng kanjeng mami!” lanjut Dayana Habibah meledek Waratantri.

Waratantri kembali marah mendengar ledekan Dayana Habibah. Waratantri segera melangkah maju. Dhirabrata yang hendak membantu Waratantri dicegah oleh Nariswari. Dhirabrata mundur.

“Wey, bule jelek… maju sini jangan di belakang terus!” tantang Waratantri sambil melompat ke arah rombongan Sekar Kenanga. Namun, tiba-tiba batu berterbangan dari segala arah dan menyatu membentuk tubuh manusia yang siap tempur menghadapi Waratantri, “yah… udah cape tadi abis jalan jauh dari Alang-alang Segara Wedi, untung banyak batu di istanamu! Sama dia aja yah, mainnya! Saya mau ngobrol dulu sama ibumu” 

Bila tadi di luar, Dayana Habibah masih membiarkan Waratantri bermain-main dengan anaknya, namun setelah melihat Nariswari, Dayana Habibah lebih suka membuat Waratantri sibuk sehingga dia tidak perlu terlalu memperhatikannya. Ada hal lain yang lebih menarik baginya. Dayana ingin menampilkan sedikit kemampuan aselinya sambil menitipkan pesan kepada Nariswari bahwa dia tidak akan manin-main nantinya. Waratantri tidak menyadari hal ini, dia tetap ingin melabrak boneka batu Dayana Habibah. Dan, ini sangat menguntungkan Dayana.

“Cukup Tantri, mundur!” teriak Nariswari mencegah Waratantri yang telah membaca gelagat Dayana. Namun tendangan Waratantri sudah terlanjur mengarah ke kepala boneka batu itu. Dan, luar biasa, boneka batu itu mampu menghindar meskipun Dayana Habibah tidak sedang berfokus kepadanya.

“Biarlah tuanku Maharani! Mungkin putrimu memang sedang ingin berolah-raga!” celetuk Dayana Habibah kepada Nariswari, “O iya, Mohon maaf tuanku Maharani. Kami kemari gak bilang-bilang dulu!”  Dayana Habibah memberikan penghormatan dengan sikap namaste sambil merendahkan badanya dengan sedikit menukuk lututnya sebentar.

“Ayo, anak-anak beri hormat kepada Maharani Nariswari Warapuspa sang Sinjang Mayura!” Mendengar perintah dari Dayana Habibah, rombongan Sekar Kenanga semuanya memberikan hormat dengan cara yang sama dengan yang dicontohkan oleh Dayana Habibah.  Nariswari tersenyum menerima penghormatan mereka. Namun dia juga merasakan serangan yang mulai dilancarkan oleh Dayana. Dia mulai merasakan adanya angin yang hanya menyeka kepalanya yang membuat dia harus sering merapikan kerudungnya. 

“Bunda, jangan terima mereka. Mereka itu orang-orang kasar yang mempengaruhi Arundhati. Arundhati pingsan juga gara-gara mereka!” teriak Waratantri mengingatkan. Sebenarnya, Waratantri sering ingin mendekati ibunya dan menjauhkan rombongan Sekar Kenanga. Namun, boneka batu itu selalu berhasil mencegahnya.  Ini tentunya menyulut kemarahannya. Namun, dia selalu gagal mengeluarkan cundriknya. Boneka batu itu selalu dapat mencegahnya.

“Tuanku Maharani tidak usah kuatir. Tuanku Putri Waratantri mungkin cuma butuh menggerakkan badan!” sambil tersenyum diam-diam Dayana Habibah meningkatkan intensitas serangannya. Angin yang semula hanya diraksan oleh Nariswari tiba-tiba bertiup agak keras sambil menerbangkan dedaunan kering, bagi sementara orang mungkin adalah fenomena biasa. Namun tidak bagi Nariswari.  Dia tahu, itu adalah tenaga dari Dayana Habibah. Dan saat ini Dayana Habibah masih belum memperlihatkan bahwa dia tengah mengerahkan tenaganya. Sebuah kemampuan yang luar biasa.  Dalam hati, sebenarnya dia ingin mengimbangi serangan Dayana Habibah kepada Waratantri anaknya. Namun, dia sadar itu akan sangat beresiko.  Dayana Habibah yang sedang bermain-main dengan anaknya ini bisa berubah serius dan akan benar-benar menyerang.  Panglima Dhirabrata dan Arya Kandaga pun sangat menyadari hal ini. Mereka memilih untuk diam.

“Baiklah, Dayana Habibah, maafkan anakku yang kurang sopan menyambut kalian. Mari kita ke Bale Wedana. Kita ngobrol di sana!” Akhirnya Nariswari meminta maaf atas kelakuan Waratantri.

Dengan sopan Nariswari mengajak rombongan Sekar Kenanga ke Bale Wedana. Dayana Habibah dan Sekar Kenanga mengangguk.  Dayana Habibah mengembangkan tangannya mempersilakan Nariswari untuk berjalan duluan. Rombongan Sekar Kenanga mengikuti di belakang.  Dalam perjalanan ke Bale Wedana, Sitakara berbisik kepada Dayana Habibah, “bibi, hentikan bonekanya!”

Dayana Habibah kaget mendengar bisikan Sitakara.  Semua tenaga yang dia kerahkan tiba-tiba lenyap. Batu-batu yang membentuk boneka tiba-tiba berjatuhan.  Dan yang paling kaget namun juga senang adalah Waratantri. Kali ini dia bisa melancarkan serangan kepada Dayana Habibah. Cundriknya pun dapat dia cabut dengan leluasa. Merasa mendapatkan kesempatan, Waratantri segera melompat dengan cundrik terhunus menyerang Dayana Habibah. Namun. Sebuah bayangan berkelebat menyambar tubuhnya dengan kecepatan yang tidak dapat diantisipasi.  Bayangan itu menjauhkan Waratantri dari rombongan Sekar Kenanga dan menurunkannya dengan pelan.

“Yunda….?”

Waratantri kaget bukan kepalang. Kakaknya tiba-tiba datang menghentikan aksinya. Rombangan Sekar Kenanga beserta Nariswari pun kaget. Mereka menghentikan langkah melihat ke arah Waratantri.

“Yunda, kenapa yunda mencegah saya membalaskan dendam Ayun?” tanya Waratantri kepada kakaknya.

“Tidak ada dendam yang harus dibalaskan, Tantri! Lihatlah siapa yang datang bersamaku!” tukas Wikasitapaliya. Sebuah bayangan tiba-tiba mendarat di belakang Wikasitapaliya.

“Ayun…?”

Seperti tidak percaya, Waratantri menyapa Ayun yang berdiri di depannya. Ayun pun ternyata mempunyai ekspresi yang sama dengan buleknya.

“Bulek…… Tantri?” sapa Ayun yang merasa kehadiran buleknya itu ada pada sosok gadis mungil seperti dirinya.

“Betul Ayun!”

“Bulek Tantri kenapa jadi mini begini?” lanjut Arundhati menanyakan hal yang sangat sensitif.

“Ayun, kamu pun mini, kurasa! Apalagi kalau dibanding sama bule jelek itu” jawab Waratantri kesal sekenanya sambil merutuk Dayana Habibah.

Arundhati tertawa sambil menutup mulutnya.  Bagaimanapun Waratantri adalah adik Ibunya gak boleh ditertawakan.

“Bulek, kalo Ayun kan masih remaja, wajar kalau segini!”

Waratantri melotot ke arah Arundhati, tapi langsung pandangannya mengarah kepada rombongan Sekar Kenanga sambil berkata, “Jadi, kamu sudah siuman. Syukurlah, sekarang katakan siapa yang bikin kamu pingsan sampai membuat ibumu menangis, biar bulek hajar!”

Arundhati tersenyum mendekati  sambil bertanya, “memangnya siapa yang pingsan, Bulek Tantri?”

Mendapat pertanyaan ini dari Arundhati, Waratantri bingung. Bersamaan dengan pertanyaan yang diajukan oleh Arundhati, angin bertiup kembali normal. Dayana Habibah sepertinya telah mencabut ancamannya setelah mengetahui posisi Arundhati.

“Makanya, jangan suka marah-marah dulu, Bulekku yang cantik!” lanjut Arundhati sambil menggoda Waratantri yang kemudian cuma bisa berdiri kaku tidak tahu mau berbuat apa.

“Ya sudah, aku percaya sama kamu, Ayun!” balas Waratantri sambil memasang muka kecut.  Arundhati tersenyum kepada Waratantri.

Setelah berhasil meredakan amarah Waratantri, Arundhati segera mendekati Sekar Kenanga dan menyapa, “Mbakyu Sekar, ini kamu kan? Alhamdulillah! Maafin Ayun yang menjadi tidak terkendali waktu itu!”

“Betul Ayun, Alhamdulillah, begitu melihat Ayun terpental, saya mendapatkan firasat bahwa situasi akan menjadi berbahaya buat saya sehingga saya segera melepaskan diri dari kantung waktu Ayun! Saya berusaha untuk menyelamatkan Ayun, namun  ternyata Ibunda Ayun telah datang tepat waktu dan telah terlebih dulu menolong Ayun!” balas Sekar Kenanga sambil menceritakan situasi saat itu.  Arundhati tersenyum sambil pandangannya memutar ke arah orang-orang yang ada di situ. Ketika pandangannya tertumbuk kepada sosok Nariswari, dia meboleh kepada ibunya. Ibunya tersenyum dan segera Arundhati berjalan mendekati Nariswari untuk berlutut dan memberikan hormat, “Mohon terima penghormatan kami, Eyang Nariswari Warapuspa sang Sinjang Mayura!”.

Melihat apa yang dilakukan oleh Arundhati, Sekar kenanga dan lainnya kecuali Dayana Habibah ikut memberikan hormat kepada Nariswari. Memang ada hubungan yang unik antara Dayana Habibah dan Nariswari. Nariswari tidak terlalu mempedulikan sikap Dayana Habibah.

“Baiklah, cucu-cucuku. Berdirilah kalian. Mari kita bicara di Bale Wedana!” Nariswari tersenyum melihat anak-anak muda ini. Setelah mengajak mereka untuk ke Bale Wedana, Nariswari berbalik dan berjalan menuju Bale Wedana. Semua mengikuti Nariswari.

Di Bale Wedana, semua telah duduk dalam satu kalangan. Nariswari duduk diapit Panglima Dhirabrata dan Arya Kandaga, sementara Wikasitapaliya duduk bersama Arundhati dan Sekar Kenanga. Tak menunggu lama setelah semua duduk rapi, terdengar suara Nariswari membuka pertemuan, “Baiklah semua, saya rasa semuanya telah hadir dan duduk di sini.  Langsung aja, kepada Wikan Nismara alias Dayana Habibah, mohon maaf atas kelakuan putriku yang terlalu sembrono dalam menyambutmu!”

Wikan Nismara menjawab sambutan Nariswari sambil tersenyum nakal, “Nari! Sesekali sepertinya perlu juga kamu main-main denganku. Di tempatnya Nini Endang Paramayana juga boleh biar lebih asik gak ada yang ganggu!”

Semua orang yang ada di situ terbelalak tak terkecuali Arundhati. Berani sekali orang ini menantang Nariswari. Sitakara, Sekar, Sweta Nandini, dan Ansuman, meskipun mereka telah melihat sendiri kehebatan Dayana Habibah, namun untuk melawan Nariswari sepertinya bukanlah ide yang baik. Pada saat ini, Wikasitapaliya berbisik kepada Arundhati, “Dayana Habibah  alias Dayana Habibah adalah adik dari gurumu Ajar Nismara alias Deriya Habibah. Meskipun dia lebih muda, namun kemampuannya justeru jauh melampaui kakaknya. Hal yang paling mengerikan dari orang ini adalah kemampuan telekinesis dengan menitipkan kesadaran pada benda-benda yang dia pengaruhi sehingga benda-benda itu bisa bergerak secara otonom dalam kerangka perintah dia!”

“Hanya itukah, kemampuannya?” tanya Arundhati.

“Tidak ada yang tahu. Tapi, dia harus berhati-hati kepada Retna Nawangsih dan anaknya. Mereka berdua sepertinya mampu mematahkan kemampuannya!”

Mendengar penuturan ibunya, Arundhati tersenyum. Tanpa disadari oleh ibunya, Arundhati telah merapihkan kerudungnya yang masih berantakan semenjak menangkap Waratantri tadi.  Sitakara yang sedari tadi memperhatikan Arundhati tersenyum. Dia tahu, Arundhati telah menguasai telekinesis yang dibilang ibunya.

“Baiklah, Sekar Kenanga, ada apakah kalian datang ke Istana Rattunda ini?” tanya Nariswari kepada Sekar Kenanga.

“Sebelumnya, kami mohon maaf atas kelancangan kami mendatangi istana Rattunda yang sangat terhormat ini. Kami datang tidak bermaksud buruk dan mohon maaf atas kesalahpahaman tadi. Kami memberanikan diri datang kemari hanyalah karena Tuanku Putri Arundhati Striratna yang menghilang tiba-tiba pasca pertarungan dengan gerombolan Marumaya.  Ketika dalam pandangan kami, Tuanku Putri Arundhati Striratna dibawa oleh ibunda Tuanku Putri Wikasitapaliya, kami mendapatkan kabar dari Ayahanda Bajranala Badasusena bahwa beliau tidak menemukan baik Tuanku Putri Arundhati maupun Tuanku Putri Wikasitapaliya.  Karena itulah, kami menduga bahwa Tuanku Putri berdua kembali ke Istana Rattunda. Dari situlah kami memberanikan diri datang ke sini untuk memastikan keberadaan dan keselamatan tuan putri berdua!”

Tidak salah Sekar Kenanga diminta memimpin rombongan oleh Sekar Nawangsih. Dia mampu menjelaskan semuanya sangat runut dengan gaya khas Sekar Kenanga.  Nariswari puas mendengar jawaban Sekar Kenanga.

“Terimakasih, Sekar Kenanga. Niken Landjar Sekar Kenanga. Tantri, dengarkan? Kamu tahu kenapa Ibu tidak melakukan perlawanan meskipun diprovokasi oleh Dayana Habibah yang telah kamu provokasi terlebih dulu”

Nariswara senang mendengar penuturan Sekar Kenanga. Namun menjadi keras ketika dia bertanya kepada Waratantri yang duduk di sebelah Sekar Kenanga.  Waratantri agak beringsut kebelakang Sekar Kenanga.

“Tantri!” sekali lagi Nariswari memanggil Waratantri. Waratantri kaget dan langsung menjawab, “e iya iya iya….. ibu tidak melawan karena ibu takut!”

Mendengar jawaban Waratantri, sontak yang hadir di situ merasa lucu. Namun, tidak ada satupun yang berani tertawa kecuali Dayana Habibah, “Ha ha ha ha…. Nariswari buar kubantu Tantri menjawab! Tantri, ibu kamu itu bukannya takut berantem sama kami, tapi takut istananya yang indah ini hancur karena melawan saya!”

Kata-kata ngawur Dayana Habibah kontan saja membuat Nariswari mulai mendidih. Namun dia asih berusaha menjaga amarahnya.

“Tuanku Maharani, mohon maafkan bibi guru Dayana Habibah. Beliau memang begitu adanya, dan mohon percayalah kepada kami, bahwa tidak sedikitpun kami mempunyai rencana berbuat onar di sini!” tiba-tiba Sitakara memotong sambil memintakan maaf Dayana Habibah kepada Nariswari.  Demi melihat yang berbicara adalah Sitakara, Wikan Niswara tidak ada pilihan selain diam. “Tidak ada gunannya bertarung sama Nariswari kalau ada Sitakara dan apalagi tidak memihak kepadaku!” omel Dayana Habibah dalam hati. Nariswari tersenyum kepada Sitakara dan berkata, “saya percaya kepadamu Sitakara!”

“Eyang, sejak kapan eyang tahu nama teman-temanku?” tiba-tiba Arundhati menyela pembicaraan. Nariswari menoleh ke arah Arundhati, “sebelum aku jawab, aku mau tanya dulu, kenapa kamu panggil aku Eyang? Emang  aku ini eyangmu apa?”

Pipi Arundhati langsung merah seketika. Tidak disangka Nariswari menanyakan hal itu. 

“Ya… tadi… ibu… yang kasih tahu…. Eh enggak.. enggak… Ayun gak boleh bohong… ibu belum kasih tahu! Ayun cuma nebak. Eyang begitu berwibawa, pasti eyang penguasa di Istana Rattunda. Tapi kalau memang bukan Eyangnya Ayun, emang gak boleh ya kalau Ayun panggil Eyang!?” agak gelagapan Arundhati menjawab pertanyaan Nariswari yang diakhiri dengan pertanyaan yang diajukan dengan nada merajuk.  Kontan saja ini membuat Nariswari dan semua yang hadir di situ tertawa terpingkal-pingkal.

“Iya, Ayun, aku memang Eyangmu dan tentunya kamu pun boleh memanggilku eyang sepuasmu!” sambil tersenyum, Nariswari menjawab pertanyaan Arundhati.

“Nah tuh! Terus sekarang, bagaimana Eyang tahu nama-nama teman-teman Ayun?”

“Gampang Ayun, itu yang yang mirip Retna Nawangsih itu pasti Sitakara. Kecantikan Retna Nawangsih ini tumpah seluruhnya kepada kakakmu ini Ayun.  Kemudian,  Sekar ini bukan cuma mirip dengan Retna Gantari. Kalau Eyang nggak tahu atau nggak ingat bahwa semua versi Retna Gantari telah gugur pastinya Eyang akan menganggap dia sebagai Retna Gantari. Cuma ini, siapa itu anak cantik yang dari tadi diam, Ayun?”

“Eyang gak tahu, atau pura-pura gak tahu?”

Arundhati kembali bertanya ketika Eyangnya menanyakan Sweta Nandini yang notabene putri dari Dayana Habibah.  Dia mencium kepura-puraan dalam pertanyaan Nariswari.

“Ya, ya begitu itu Ayun, gaya Eyangmu itu….!” omel Dayana Habibah kesal.

“Udah Ibu, ibu gak usah marah-marah terus dong, Ah! Entar cepet tua lo!” sambil menahan tawa , Sweta Nandini berusaha merayu Ibunya,  “Eyangnya Ayun itu cuma bercanda karena ibu dari tadi marah-marah melulu!”

Arundhati tersenyum melihat Sweta Nandini dan ibunya, “Dia Sweta Nandini. Panggilannya Dini. Dan, dia adalah kawan sekolah Ayun Eyang. Masa Eyang gak tahu kalau itu putri dari bibi Dayana Habibah?”

“Ya bagaimana aku bisa menebak, Ayun. Anaknya cantik sekali. Ini agak berbeda sama emaknya!” santai Nariswara menjawab pertanyaan Ayun. Dia tahu Dayana Habibah pasti tidak akan terima, namun dia tahu juga bahwa Dayana Habibah tidak akan berkutik selama masih ada Sitakara.

Dayana Habibah melotot mendengar sindiran Nariswara.

“Sudah-sudah, bibi… eyang, gak baik ah di depan anak kecil seperti kami kalian berantem!”

Sekarang baik Nariswari maupun Dayana Habibah sama-sama melotot kepada Arundhati. Namun, entah kenapa tiba-tiba mereka malah tersenyum. Ada sugesti yang sangat kuat yang terpancar dari kesadaran Arundhati kepada mereka berdua. Sebuah sugesti yang memaksa mereka berdua untuk saling tersenyum.

Dhirabrata dan Wikasitapaliya tersentak kaget. Mereka juga merasakan sugesti yang berhasil memaksa dua tokoh penjaga dengan kemampuan paling tinggi untuk saling tersenyum pada saat emosi mereka sedang meningkat. Hal yang sama juga dirasakan oleh Nariswara dan Dayana Habibah.

“Baiklah.. baiklah Ayun, Eyang akan baikan sama ibunya Dini, Ayun!” jawab Nariswari. Sepertinya kali ini dia tidak main-main dengan jawabannya. Kekuatan yang sangat dahsyat dari Arundhati seperti mengingatkan dirinya untuk tidak berbuat yang aneh-aneh.

Sama juga seperti Nariswari, Dayana Habibah nampak pucat ketika merasakan kekuatan Arundhati, “Iya.. Ayun, Dini, Ibu akan baikan sama Eyangnya Arundhati! Betul begitu, Nari?” 

Nariswari hanya mengangguk ketika diminta konfirmasinya oleh Dayana Habibah.

“Nah, gitu dong…! Kalo begini kan asik!” teriak pelan Arundhati ceria karena bisa mendamaikan paksa Dayana Habibah dan Nariswara eyangnya.  Dan keceriaan Arundhati yang terjadi secara alami ini kemudian menguat oleh sambutan teman-temannya sehingga suasana yang sempat tegang akhirnya dapat cair.

“Mohon maaf, tuanku putri Arundhati, apakah kiranya tuanku putri berkenan untuk menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi kepada tuanku putri Arundhati di palagan waktu itu?” Dalam keceriaan itu, tiba-tiba Sekar Kenanga menanyakan hal yang sangat ingin mereka ketahui sehingga memaksa mereka untuk mendatangi istana Rattunda. Namun, gaya formal yang digunakan oleh Sekar Kenanga justeru membuat Arundhati tidak suka. Meskipun sebenarnya ini juga adalah gaya yang biasa dilakukan oleh Sekar Kenanga.  

“Mbakyu Sekar, sudah aku bilang berkali-kali, panggil aku Ayun. Gak usah bawa-bawa tuanku putri segala. Aku, Arundhati Striratna adalah putri dari Bapak Mad Kusen dan Ibu Saliyah. Meskipun Ibu Wikasitapaliya adalah putri Istana Rattunda ini, namun aku terlahir dari rahim Ibu ketika menggunakan nama Saliyah. Dan, kalian, kalian mengenalku bukan sejak saat ini. Bukan sejak saat kita berada di istana ini. Oleh karena itu, aku katakan sekali lagi, tidak ada yang boleh panggil tuan putri. Panggil aku Ayun saja. Bila masih ada yang memanggilku tuan putri, maka aku tidak lagi mau berteman dengannya. Dan, Eyang, jangan paksa Ayun untuk menjadi tuan putri, Ok?” Dengan sangat lancar Arundhati menjelaskan keberatannya untuk dipanggil sebagai tuan putri. Semua yang mendengarkan penjelasan Arundhati sambil tersenyum dengan penilaian masing-masing. Nariswari tersenyum. Sepertinya dia merasa senang bahwa cucunya tidak gila hormat untuk menjadi seorang tuan putri. Dan dia percaya, dengan kemampuannya saat ini, meskipun tidak disebut sebagai tuan putri, dia tetap mendapatkan posisinya sebagai sosok yang terhormat nantinya.

“Baiklah, Ayun, tolong ceritakan apa sebenarnya yang terjadi padamu pada pertarungan saat itu? Karena itulah yang membuat kami memutuskan untuk memastikanmu ke sini. Namun, bila kamu berkeberatan, kami juga tidak akan memaksa. Yang paling penting adalah bahwa kami telah melihat bahwa tidak terjadi apapun yang melukaimu dan tentunya ibumu!” Kembali Sekar Kenanga menanyakan kejadian pertarungan di Jakarta waktu itu.  Arundhati tidak langsung menjawab. Dia terdiam agak lama sampai kemudian dia mulai bercerita.

“Ketika bola energi yang didorong oleh cidrapati dan diperkuat oleh sambaran Tathit nglegena, Ayun melihat begitu banyak para kadal primata dan kunting yang mati hangus terbakar di seluruh penjuru. Entah berapa ratus ribu kematian yang telah Ayun ciptakan saat itu. Ini kemudian membuat Ayun merasa bersalah. Ayun tidak dapat menerima kenyataan bahwa Ayunlah yang menyebabkan kematian masal itu.  Perasaan bersalah ini membuat jantung Ayun berdegup sangat keras sehingga mengganggu keseimbangan kesadaran Ayun sehingga akhirnya Ayun terlontar ke kondisi suwung yang bahkan lebih hampa daripada sebelum-sebelumnya. Kesadaran Ayun yang telah menyatu ini pun tidak dapat dipertahankan. Setelah agak lama terombang-ambing di dalam kondisi Suwung, kesadaran Ayun terdampar di sebuah sebuah dangau di tempat yang sangat asing. Ayun merasakan tengah tertidur dengan berbantalkan paha seorang perempuan cantik yang mengaku bernama Endang Paramayana Wardini. Eyang Endang Paramayana Wardini. Ayun sangat senang bisa bertemu dengan Eyang Endang Paramayana Wardini. Kami berbincang cukup lama. Eyang dengan bijak memberikan dukungan kepada Ayun agar tidak menyesali apa yang telah Ayun lakukan. Dalam suatu pertempuran cuma ada kata membunuh atau dibunuh.  Karena mereka telah tega memperalat manusia untuk melakukan kekejian dan bahkan saling membunuh. Sudah sewajarnya bila Ayun memusnahkan mereka. Ayun merasa tenang mendapatkan penjelasan dari Eyang. Namun sebenarnya ada hal yang sangat penting yang harus Ayun sampaikan di sini.”  Arundhati tidak langsung menyelesaikan ceritanya. Arundhati menghela nafas dalam-dalam. Ada perasaan berat yang menekannya untuk menyampaikan lanjutan ceritanya.

“Ayun, ceritakan saja. Kami akan mendengarkan dengan baik. Bahkan bila itu menyangkut Yu Ara, Yu Ara pasti akan selalu ikhlash bila itu bisa membahagiakan semua!” Sitakara menyela cerita Arundhati dan mendesaknya agar segera menyelesaikan ceritanya.  Mendengar Sitakara berbicara, Arundhati merasakan matanya mulai berkaca-kaca. Ada sesuatu yang mengharu-biru perasaannya ketika mendengar suara Sitakara yang sedari datang tadi masih diam.

“Yu Ara!” Arundhati memanggil Sitakara dan menatapnya tajam namun terlihat air mata mulai membanjiri matanya.

“Kenapa kamu menangis, Ayun? Apakah benar ini menyangkut Yu Ara? Ceritakanlah Ayun, Yu Ara siap.”  Sitakara kembali mempertegas sikapnya, bahwa dia siap dengan situasi apapun. Namun, Arundhati sangat tahu, bahwa dalam ucapan Sitakara terselip getaran kesedihan yang sangat luar biasa. Arundhati menduga, pasti telah terjadi sesuatu antara bapaknya yang juga bapak dari Sitakara. Arundhati segera berdiri dan mendekati tempat Sitakara duduk. Dia angkat pundak Sitakara untuk berdiri dan kemudian dia peluk erat-erat sambil sesenggukan menangis.

“Yu Ara, tidak usah Yu Ara sampaikan ke Ayun, Ayun tahu pasti sudah terjadi pembicaraan yang jujur antara Ibu Retna Nawangsih, Bapak, dan Yu Ara!” sambil menangis Arundhati berusaha menebak apa yang dialami oleh Sitakara. Sitakara hanya terdiam sambil menahan tangis. Ia sudah tidak ingin menangis lagi.  Apalagi ada Ayun yang sedang memeluknya. 

“Yu Ara, maafkan Ayun, maafkan Ibu Wikasitapaliya, kehadiran kami telah menciptakan kesedihan buat Yu Ara dan Ibu Retna Nawangsih. Ini juga yang telah disampaikan oleh Eyang Endang Paramayana Wardini. Ayun harus bisa menjaga Yu Ara, Ayun harus nurut sama Yu Ara. Yu Ara adalah kakak Ayun yang telah mengorbankan kegembiraannya agar Ayun dapat menikmati keluarga yang utuh bersama Ibu Saliyah dan Bapak Mad Kusen. Ayun tidak akan dapat membalas kebaikan Yu Ara.”  Sambil sesenggukan Ayun mengungkapkan perasaannya. Dia sangat takut bila Sitakara kakak satu-satunya yang sangat dia segani ini akan menjauh darinya gara-gara bapaknya.

Sitakara tidak dapat berkata apa-apa selain memeluk erat Arundhati dengan mata yang berkaca-kaca. Demikian juga dengan Wikasitapaliya. Dia tidak dapat menahan air matanya. Tidak ada lagi rasa egois yang menguasainya seperti saat dia belum tahu yang sesungguhnya. Perasaan yang membuatnya selalu cemburu bila suaminya menyinggung-nyinggung Sitakara dan ibunya. Kini semuanya telah sirna. Apalagi setelah dia menyadari kedekatan anak semata wayangnya dengan kakak satu ayahnya itu. Namun, kali ini dia memilih diam sambil terisak. Dia sengaja memberikan kesempatan kepada anaknya untuk llebih dekat dalam suasana yang sangat emosional ini.

Setelah puas memeluk Sitakara, Arundhati mulai melonggarkan dan melepaskan pelukannya dan mulai melanjutkan ceritanya.

“Mohon maaf Eyang Nariswari dan Ibu Wikasitapaliya, namun memang itulah yang Ayun dapatkan dari pertemuan dengan Eyang Endang Paramayana Wardini. Ayun harus mampu menjaga Yu Ara sebagai kakak Ayun dengan seluruh pengorbanannya karena sebentar lagi kita akan menghadapi bahaya yang lebih besar. Pertarungan terakhir di Jakarta dimensi utama memang telah membunuh banyak kunting dan kadal primata. Namun, menurut Eyang Endang Paramayana Wardini, pemimpin mereka masih belum terbunuh. Dhemit Marumaya saat ini masih berkeliaran di seluruh lapisan dimensi mimpi bahkan dimensi utama. Dan masih menurut Eyang, saat ini sisa-sisa pasukan Marumaya telah bergabung dengan gerombolan Alap-alap Selogiri!” Masih sambil menahan isaknya, Arundhati menyampaikan kabar yang sangat menyentak semua orang, terutama yang terlibat dalam pertarungan di Jakarta.  Semua yang hadir di situ kaget begitu mendengar bahwa Dhemit Marumaya masih hidup. Sekar Kenanga terhenyak. Seketika darahnya mendidih saat nama Alap-alap Selogiri disebut oleh Arundhati. Seketika dia ingat misinya berguru kepada Nyi Ajar Nismara adalah untuk membalaskan dendam Ibunya yang meninggal karena dikeroyok oleh gerombolan Alap-alap Selogiri. Sekar Kenanga berdiri dan bertanya lantang kepada Arundhati, “Ayun,  Apakah Nyi Ageng Endang Paramayana memberitahu di mana bersembunyinya gerombolan Alap-alap Selogiri?”

“Sekar, kumohon kamu tenang. Aku tahu, kamu punya dendam tersendiri terhadap gerombolan Alap-alap Selogiri. Namun, sepertinya kali ini kamu masih harus bersabar. Disamping itu, kita juga harus ekstra hati-hati bila akan berhadapan dengan gerombolan ini.  Kelicikan mereka bisa dibilang sama dengan kelompok Kadal primata anak buah Marumaya. Akan tetapi fakta bahwa mereka pernah mengalahkan Dewi Retna Gantari, ibu dari Sekar Kenanga, harus kita pertimbangkan untuk meningkatkan kehati-hatian kita. Dan, yang harus dipertimbangkan adalah bahwa mereka itu  manusia yang mungkin jahat, namun masih dapat berubah menjadi baik.” Arundhati berusaha setenang mungkin ketika menjawab pertanyaan Sekar Kenanga.  

“Eyang, Paman, dan Kakang…. Arya Kandaga?” Arundhati agak ragu ketika menyebut nama Arya Kandaga. Memahami keraguan Arundhati, Arya Kandaga mengangguk sambil tersenyum. Arundhati membalasnya dengan senyum sambil melanjutkan pembicaraannya, “Eyang Nariswari, Ibu Wikasitapaliya, Bibi Dayana Habibah, Bulek Tantri,  Yu Ara, Sekar, Kakang Ansuman, Dini…  meneruskan apa yang Eyang Endang Paramayana katakan, kita harus bersatu padu untuk melawan para perusuh baik Alap-alap Selogiri maupun kelompok Marumaya! Kita juga harus mengajak Ibu Retna Nawangsih beserta Sophia juga Bapak Mad Kusen untuk kembali menjadi Bajranala. Kita harus mengumpulkan semua potensi kekuatan di seluruh lapisan untuk menghalau kekuatan Alap-alap Selogiri maupun Dhemit Marumaya!”

Setelah mengakhiri kata-katanya, Arundhati kembali duduk ke sebelah ibunya. Ibunya segera memeluk pundak Arundhati dengan sangat hangat. Ada desah kebanggaan meneyelinap pada tarikan nafas Wikasitapaliya. Ada senyum yang tersungging menggantikan kecemasannya. Anaknya telah tumbuh dan menampakkan kepemimpinan yang kuat. Sesuatu yang sangat dinantikan oleh para penjaga.

Sementara itu, Nariswari tiba-tiba berdiri sambil berteriak mengangkat kedua tangannya, “wahai para penghuni lapis kedua, lihatlah telah lahir pemimpin baru yang akan menggantikanku…. Dia adalah cucuku Arundhati Striratna. Dialah yang akan memimpin kalian nanti!”

Sungguh luar biasa kekuatan nenek ini. Teriakannya menggema ke segala penjuru. Merambat memenuhi atmosfer lapis kedua. Semua terlihat gembira ketika menangkap suara ini kecuali wilayah lembah Prawala dan ketika di suatu titik terlihat beberapa orang berwajah kasar tengah berbicara dengan beberapa ekor kadal primata.

Setelah selesai mengungkapkan kegembiraannya, Nariswari kembali ke tempatnya namun tidak duduk. Nariswari kembali menatap ke seluruh yang hadir di situ dan kemudian ke arah Arundhati.

“Ayun, cucuku, karena semua telah jelas, ajak teman-temanmu berisitirahat. Istana Nidramanjari  sepertinya bisa digunakan untuk mereka menginap. Liya, antarkan anakmu bersama teman-temanya ke istana Nidramanjari.

“Sendiko dhawuh,  biyung Nariswari!” jawab Wikasitapaliya menyanggupi perintah ibunya. Mendengar jawaban Wikasitapaliya, Nariswari segera meninggalkan tempat tanpa ditemani oleh Dhirabrata mupun Arya Kandaga.

Setelah ibunya pergi, Wikasitapaliya segera bergegas sambil memberikan perintah kepada Arundhati, “Ajak teman-temanmu mengikuti ibu ke Istana Nidramanjari!”. Arundhati menganggukkan kepala tanda mengerti.

“Ayo, kawan-kawan, ikuti kami…..!” Arundhati mengajak kawan-kawannya untuk mengikutinya. Namun sebelum semua beranjak tiba-tiba terdengar suara Waratantri, “Eit eit eit… tar dulu….!”

“Ada apa bulek Tantri?” tanya Arundhati kepada bibi-nya. Waratanti sambil malu-malu menjawab pertanyaan Arundhati dengan sebuah pertanyaan, “Kenapa gak ada yang tanya ke saya, kenapa saya ada di sini?”

Semua yang masih ada di bale wedana tertawa mendengarkan pertanyaan Waratantri. Sambil tersenyum Arundhati menjawab pertanyaan Waratantri. “Bulek Tantri, silakan bercerita. Tapi, mohon maaf, saya harus ke Nidramanjari nganter teman-teman saya!” Jawab Arundhati dengan gaya sedikit songong. “gak berani melawan titah eyang!” sambung Arundhati sambil berbisik.

Mendengar jawaban keponakannya, Waratantri cuma diam dengan muka cemberut. Wikasitapaliya cuma bisa geleng-geleng melihat kelakuan adiknya. Arundhati dan Waratantri memang tidak terpaut jauh umurnya. Hanya saja, ketika ada di dimensi utama, dia tampil seperti perempuan tigapuluhan.

Sementara itu, di rumah Retna Nawangsih masih terlihat Retna Nawangsih, Sitakara, Ansuman, dan Sophia. Juragan Badrun terlihat bercakap asik dengan Sweta Nandini, sementara Bajranala alias Mad Kusen masih nampak terdiam. Sekar Kenanga dan Dayana Habibah alias Sudarmi tidak terlihat. Eksistensi tunggal mereka tengah melakukan perjalanan antar dimensi menyusul Arundhati dan Wikasitapaliya. Ketika semua terdiam dengan  entah apa yang ada di benak masing-masing, tiba-tiba Mad Kusen alias Bajranala memanggil Retna Nawangsih dengan nama panggilan masa lalunya dengan setengah berbisik. Sepertinya Mad Kusen masih penasaran dengan kekerasan hati Retna Nawangsih. Sesuatu yang tak pernah dia temui sebelumnya, saat mereka masih berdua.

“Nana!” panggil Mad Kusen kepada Retna Nawangsih. Retna Nawangsih tidak langsung menjawab.

“Nana!” sekali lagi Mad Kusen memanggil Retna Nawangsih yang masih diam.  Mad Kusen tidak mengulangi panggilannya untuk yang ketiga kallinya. Baginya, diamnya Retna Nawangsih sudah cukup memberikan jawaban. Mad Kusen mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan, nampak seperti ada emosi yang dia tahan. Retna Nawangsih yang masih ditemani Sitakara masih terdiam. Akhirnya, Bajranala atlias Mad Kusen dengan pandangan kosong mulai bercerita. Entah sama siapa.

“Lima tahun! Lima tahun aku mencari kalian. Lima tahun aku menjalani hidup dengan penuh tanda tanya. Rasa sedih, khawatir, takut, semua berputar mengaduk-aduk pikiran dan perasaanku tanpa sedikitpun terisi kegembiraan atau ketenangan. Aku selalu mengingatmu yang saat itu tengah hamil anak kita. Aku selalu membayangkan menimangnya ketika dia terlahir sebagai bayi entah perempuan atau laki-laki. Aku tak pernah tahu itu. Aku membayangkannya tumbuh. Bercanda dengannya. Mengangkatnya di pundakku dan berlari mengejar ibunya. Aku selalu membuat khayalan indah tentang kalian berharap bahwa itu adalah kenyataan. Namun, itu semua hanya membuatku semakin sakit. Pencarianku tak pernah memberikan hasil, Nana. Dalam situasiku yang semakin terpuruk, Aliyah atau kalian kenal sebagai Saliyah ibunnya Ayun, datang bersama Ibu. Aku tidak pernah tahu siapa dia. Aku hanya tahu ibu yang memperkenalkan padaku dan kemudian dia mampu memberikan penghiburan padaku. Mengembalikan kehidupanku yang telah lenyap bersama menghilangnya dirimu. Akhirnya aku tidak dapat menolak kehendak ibuku untuk menikahkan Aliyah denganku. Aku menikah dengan syarat aku dan Aliyah boleh meninggalkan urusan para penjaga. Aku takut kehilangan untuk kedua kalinya!”

“Dan ketika kamu menyadari bahwa anakmu, Ayun, sudah terlibat urusan besar para penjaga dan bahkan hilang bersama ibunya, kamu kemudian marah dan menyalahkan kami karena melibatkan Ayun” potong Retna Nawangsih ketus.

Mad Kusen tidak  bereaksi mendengarkan apa yang dikatakan oleh Retna Nawangsih. Dia hanya berhenti sebentar untuk mendengarkan Retna Nawangsih dan kemudian kembali melanjutkan bicaranya.

“Aku betul-betul tidak menduga Ayun lebih dulu menemukanmu, dan aku sama sekali tidak pernah berfikir bahwa gadis cantik yang selalu dipanggil Yu Ara oleh Ayun adalah juga anak yang pernah aku khayalkan di lima tahun pertama kehilanganmu. Aku selalu bimbang untuk mempertimbangkan bahwa Sitakara itu adalah anak Retna Nawangsih yang aku cari-cari. Ketika Ayun menyinggung-nyinggung namamu, seringkali aku ingin itu adalah kalian. Tapi, pada saat yang sama aku justeru berusaha mengingkari bahwa itu adalah  kalian. Sampai dengan kejadian hari ini ketika gambarmu beserta Ayun dan Aliyah muncul di televisi. Saat itu aku baru menyadari bahwa Sitakara dan Retna Nawangsih yang aku dengar selama ini adalah betul-betul kalian yang aku cari-cari. Namun, aku ragu, kenapa sudah selama ini dan kalian telah menemukanku, kalian tidak segera mengatakan yang sebenarnya padaku.”

“Dan, kamu menuduh bahwa hilangnya Wikasitapaliya dan Arundhati adalah karena perbuatan kami?” potong Retna Nawangsih sekali lagi, bertanya.

“Meskipun itu buruk, harus aku akui betul. Itu yang ada dalam pikiranku ketika aku belum bertemu denganmu, dan anakku Sitakara!” jawab Mad Kusen pelan sekali. Sebuah pengakuan dan penyesalan yang sangat dalam yang diungkapkan dengan penuh tekanan rasa bersalah dan malu kepada perempuan yang sangat dia cintai, “aku benar-benar minta maaf kepadamu Nan… eh.. Retna Nawangsih!”

Mad Kusen alias Bajranala mengakhiri kata-katanya dengan sebuah permintaan maaf kepada Retna Nawangsih.

“Tuan Bajranala, Nana telah mati. Tuan tidak perlu meminta maaf kepada Retna Nawangsih, karena Tuan tidak bersalah kepada Retna Nawangsih. Namun, Sitakara adalah putri Tuan yang lain.  Bila Tuan merasa bersalah padanya, permintaan maaf kepadanya akan lebih berarti sebagai pengakuan Tuan sebagai ayahnya!”

Mad Kusen terdiam lama. Dia masih sangat mencintai Retna Nawangsih, namun apa yang dikatakan oleh Retna Nawangsih jelas menyiratkan bahwa sudah tidak ada jalan lagi buatnya kembali kepadanya.

Melihat situasi yang tidak begitu baik, Sitakara memberanikan diri untuk memotong percakapan kedua orang tuanya, “Ibu, tadi Bapak sudah melakukan semuanya. Sitakara dapat menerima semuanya. Sebuah kebahagian bagi Sitakara mempunyai sosok yang dapat Sitakara panggil Bapak, dan sungguh senang bahwa hari ini Bapak telah memanggil Sitakara sebagai anaknya. Meskipun ini terjadi dalam usia yang sudah tidak lagi kanak-kanak, itu tidak mengurangi kegembiraan Sitakara. Kemudian, ada hal yang tak kalah menggembirakan yang harus saya sampaikan. Ayun telah siuman dan dalam keadaan baik-baik saja bersama ibu Wikasita Paliya dan nenek Nariswari. Dan, yang paling penting, tidak ada perselisihan antara teman-teman dan istana Rattunda. Dan, Ayun juga sangat senang mengetahui Bapak Mad Kusen telah mengakui Sitakara. Ibu Wikasitapaliya pun nampak gembira melihat sikap Ayun terhadap Sitakara. Begitu bukan, Dini?” Nampak ada tetesan airmata mengalir dari sudut mata Sitakara saat menceritakan sikap Arundhati.

Sweta Nandini mengangguk sambil tersenyum, “Betul yang dibilang Yu Sita, ibu Retna Nawangsih dan bapak Mad Kusen. Saat ini teman-teman tengah rehat di istana Nidramanjari di kompleks Rattunda. Dan, kebetulan ibu Sudarmi yang saat ini berada di Rattunda juga sedang rehat, maka sepertinya kami juga mau undur diri. Mau istirahat dulu!” Sweta Nandini mengakhiri perkataannya sambil tersenyum dan memberikan kode kepada bapaknya untuk pamit undur diri.

Juragan Badrun pun sebenarnya sangat paham dengan situasi yang terjadi. Sudah sedari tadi dia sudah pengin pamit, namun sepertinya dia selalu kehilangan momentum.

“E, iya betul, sepertinya kami harus kembali ke rumah dulu, ndoro Sen dan ndoro Na! Itu tadi ibunya anak-anak nyusul, takutnya pintu belum dikunci!”

Sambil cengar-cengir kagok, juragan Badrun berpamitan kepada dua orang yang selalu dia panggil ndoro.

“Baiklah Badrun, monggo…!” jawab Retna Nawangsih sambil tersenyum manis. Masih sambil cengar-cengir, juragan Badrun jalan mundur keluar rumah. Tanpa sengaja dia menabrak kursi tamu di ruang tamu. Semua yang melihat tersenyum, kecuali Sweta Nandini. Mukanya mendadak berubah menjadi kecul karena kesal. Malu dengan perbuatan bapaknya.  Pengin marah, yang mau dia marahi bapaknya sendiri. Sweta Nandini ngomel-ngomel sendiri karenanya.  Sampai di luar rumah, suara Sweta Nandini dan bapaknya masih terdengar. Seru sekali sepertinya pembicaraan mereka.

“Lho nDhuk, kita pulangnya gimana ini?” tanya Juragan Badrun kepada Sweta Nandini Anaknya.  Dan, Sweta Nanditi bukannya menjawab malah balik bertanya, “Maksud Bapak?” 

“Ya gitu, tadi bapak ke mari kan digondol sama ndoro Sen. Tadi dari rumah, mak jegagig tahu-tahu sudah di sini. Bapak ikut ndoro Sen. Kalo ibumu tadi, tahu sendiri kamu.  Ternyata dia juga bisa tiba-tiba ada di mana tiba-tiba ada di mana….!”

“Terus?”

“Kamu bisa ndak nDhuk, seperti ibumu atau ndoro Sen?”

Sweta Nandini kesal mendengar pertanyaan Bapaknya. Dengan ketus Sweta Nandini menjawab pertanyaan Juragan Badrun. “Bapak, kalau Dini mempunyai kemampuan seperti yang bapak bilang, pasti kita sudah ada di rumah!”

Percakapan Bapak dan Anak itu terdengar semakin jauh dan semakin menghilang. Retna Nawangsih yang mengikuti percakapan mereka tersenyum. Setelah suara mereka telah benar-benar menghilang, Retna Nawangsih memalingkan pandangannya kepada Mad Kusen dan bertanya, “Tuan Bajranala, apakah masih ada yang tuan tunggu?”

Sebuah pertanyaan dengan nada mengusir keluar dengan lancarnya dari mulut Retna Nawangsih. Mad Kusen tidak menjawab.  Hanya tatapan penuh harap dia hadapkan kepada Retna Nawangsih. Retna Nawangsih tidak bergeming, bahkan dia kemudian berdiri membelakangi Mad Kusen dan melangkah ke ruang dalam.

“Sitakara, temani ayahmu bila beliau memang masih ada yang ditunggu di sini. Ibu akan menemui nenek buyutmu bersama Sophia. Sophia, persiapkan dirimu, dan kamu Ansuman, bila tidak keberatan dapat menemani Sitakara dan Bapaknya!”

Sitakara dan Ansuman saling berpandangan. Tiba-tiba muncul banyak sekali pertanyaan di kepala mereka tentang rencana Retna Nawangsih. Nenek buyut  yang dimaksud bukannya adalah nenek dari Mad Kusen alias Bajranala Badasusena. Saat hubungan dengan Bajranala sedang buruk-buruknya, Retna Nawangsih malah mau menemui neneknya Mad Kusen.

“Sitakara, sampaikan kepada Wikasitapaliya dan Nariswari, kita harus segera bersiap-siap menghadapi para kadal primata yang dibantu oleh Alap-alap Selogiri!”

Mendengar nama Alap-alap Selogiri, Mad Kusen tersentak. Dia sangat ingat, bahwa versi dunia mimpi dirinya dan isterinya Wikasitapaliya tewas dikeroyok oleh gerombolan Alap-alap Selogiri di lapis pertama. Untungnya Arundhati yang masih kecil saat itu dapat menyelamatkan diri. Namun, hal ini pulalah yang kemudian menyulitkan Alang-alang Segara Wedi untuk menemukannya. Arundhati yang masih kanak-kanak terombang-ambing dalam segmen mimpi Arundhati kecil di dimensi utama.

“Alap-alap Selogiri!” suara Bajranala menggeram menyebut nama gerombolan bandit itu, dan slap… tiba-tiba Bajranala sudah menghilang dari posisi duduknya. Sitakara, Ansuman, dan Sophia kaget luar biasa. Bajranala tanpa persiapan sama sekali tiba-tiba melakukan teleportasi.  Sudah dapat diduga, pasti ke lapis kedua.

“Kalian kaget?” tanya Retna Nawangsih yang dijawab dengan anggukan oleh Sitakara, Ansuman, dan Sophia.  “Sitakara, kalau kamu dapat melepaskan kegundahanmu, maka kamu juga dapat menjadi seperti Arundhati. Ada darah Bajranala dan Nenek Endang Paramayana Wardani mengalir dalam tubuhmu.”

Datar Retna Nawangsih ketika mengungkapkan potensi Sitakara karena ada darah Bajranala. Sepertinya Retna Nawangsih masih memendam kekesalan karena kedatangan Bajranala hari ini tidak sesuai dengan yang dia harapkan sebagai perempuan yang sebenarnya masih merindukannya. Meskipun kesal, sebenarnya dia juga masih merasa bangga dengan kemampuan Bajranala.

Berbeda dengan Sitakara yang masih bergelut dengan kekesalan dan emosi yang terbentung puluhan tahun, Sitakara justeru sedang merasa sangat bahagia karena telah mendapatkan pengakuan dari  bapaknya. Dan dia sangat tertarik dengan kata-kata ibunya, tentang melepaskan kegundahan dan Arundhati. Ada beberapa kemampuan Arundhati yang dia lihat dapat dilakukannya dimanapun, termasuk di dimensi utama, terutama dalam hal di luar kemampuan beladiri. Sitakara kemudian meiihat ke arah Ansuman sambil tersenyum. Retna Nawangsih menggerenyitkan dahinya melihat Sitakara memandangi Ansuman sambil tersenyum.  Ada rasa gak suka Retna Nawangsih bila Sitakara sampai suka sama Ansuman. Ansuman salah tingkah dipandangi sedemikian rupa sama perempuan cantik seperti Sitakara ini. Namun tiba-tiba wajahnya berbinar sambil mengarahkan pandangannya ke arah pintu.

“Woy, Ayun udah kembali? Mana teman-teman?” Ansuman segera beranjak ke pintu seakan ada seseorang yang datang.  Retna Nawangsih kaget. Dia melihat ke arah Sitakara yang masih tersenyum melihat ke arah Ansuman. Dengan sedikit berbisik, Retna Nawangsih bertanya kepada Sitakra, “kamu apakan Ansuman?” Sitakara tidak menjawab dan malah masuk ke ruangan tengah sambil meninggalkan senyumannya. “Ibu kalau mau pergi, pergilah sama Sophia! Sitakara aman kok ditinggal sendiri di rumah!” Retna Nawangsih geleng-geleng kepala. Dia baru paham dengan apa yang barusan dilakukan anaknya. 

Setelah Sitakara masuk ke ruang tengah, Ansuman tiba-tiba berdiri terpaku di depan pintu. Dia mengucek-ucek matanya dan kemudian menjulurkan kepalanya dan di kucek-kucek lagi dan menjulurkan kepalanya lagi sampai dia tersadar dengan apa yang tengah dia alami. Dengan gaya nglokro, Ansuman ngomel, “gak adiknya, gak kakaknya. Sama!”.  Masih dengan gaya nglokro, Ansuman berjalan menuju ke pintu. Sesampainya di luar Ansuman teriak pamit kepada Retna Nawangsih. “Ibu Retna Nawangsih, Ansuman mau pulang dulu. Assalamu’alaikum!” Retna Nawangsih tersenyum dan masuk ke ruang tengah.  Sophia segera menuju ke pintu, menutupnya dan langsung masuk ke ruang tengah.


{23} CIDRAPATI


Siang ini matahari mungkin agak kesal karena sinarnya dihalangi oleh mendung yang sangat tebal sehingga suasana yang teduh ini justeru terasa gerah. Matahari telah menitipkan panasnya pada kelembaban yang berjaya tanpa tiupan angin. 

Sementara itu di kelas 12 IPA, nampak Bu Nastiti sedang menjelaskan tentang cahaya kepada murid-muridnya.

“Jadi oleh karena sifat cahaya yang dapat dipantulkan itulah kita dapat mengenali benda-benda yang ada di sekeliling kita. Cahaya yang melewati lensa mata kemudian akan dikenali sebagai bentuk dan warna. Andai cahaya tidak dapat dipantulkan, mungkin kita tidak akan mampu mengenali benda-benda yang ada di sekeliling kita!”

Sampai di sini, tiba-tiba Arundhati mengacungkan tangannya. Melihat muridnya mengacungkan tangannya, Bu Nastiti segera mempersilakan muridnya untuk bertanya, “Ya Arundhati!”

“Apakah hanya cahaya saja yang digunakan sebagai medium pengenalan benda? Mengingat bahwa cahaya adalah geombang, maka mungkinkah ada gelombang lain yang kita pergunakan untuk mengenali suatu benda?” tanya Arundhati agak panjang. Ibu Nastiti tersenyum.

“Pertanyaan bagus Arundhati! Tapi sebelum ibu menjawab, mungkin ada yang ingin memberikan jawaban buat Arundhati?”

Ibu Nastiti tidak langsung menjawab, namun terlebih dulu melemparkan kepada murid yang lain. Akan tetapi, tak ada satupun murid yang mau menjawab. Ibu Nastiti tersenyum sambil kemudian menjawab pertanyaan Arundhati.

“Ada, Arundhati! Contohnya kelelawar. Kelelawar mempunyai sistem sonar untuk menangkap pantulan suara ultra sonik yang dia keluarkan dalam mengenali lingkungannya”

“Baik Bu Nas, itu kelelawar dengan gelombang ultrasonik. Bagaimana dengan gelombang dengan frekuwensi yang sangat rendah seperti pada gelombang Alpha pada otak kita?” sela Arundhati. Bu Nastiti tersenyum senang karena di antara anak-anak yang pasif ini ada seorang Arundhati yang meghidupkan kelas dengan pertanyaan-pertanyaannya.

“Bukan cuma gelombang Alpha, Ayun! Otak kita meresponse beberapa pola gelombang rendah yakni gelombang Delta kurang dari 4Hz, gelombang Theta 4-7Hz, gelombang Alpha 8-13Hz, dan gelombang Beta 13-30Hz. Beberapa penelitian mengatakan bahwa gelombang-gelombang tersebut dapat menunjang kinerja otak kita. Jadi berbeda dengan gelombang suara dan gelombang cahaya dimana umumnya makhluk hidup mampu memberikan response instant dalam melakukan rekognisi, maka beberapa gelombang rendah tersebut akan mentrigger reponse stimulus terkait kinerja otak kita. Nanti kalau kamu kuliah kedokteran dan melanjutkan spesialisasi, mungkin kamu akan mendapatkan pengetahuan lebih.” Singkat bu Nastiti menjawab pertanyaan Arundhati. Bu Nastiti ini sepertinya sengaja membatasi jawabannya karena tidak mau pelakaran Fisika yang dia ampu ini melebar kemana-mana. Dia tahu arah pertanyaan Arundhati sebagai remaja yang selalu ingin tahu ditambah dengan banyaknya informasi yang lalu-lalang di gadgetnya. Arundhati tersenyum mendengar jawaban gurunya. Dia tahu gurunya tidak mau menuntaskan jawabannya bukan karena tidak tahu. Dan, sepertinya Arundhati senang bila gurunya tidak mau tahu.

“Bagaimana anak-anak, ada pertanyaan lagi?” Tanya Bu  Nastiti setelah menjawab pertanyaan Arundhati.  Kelas hening beberapa saat. Tidak ada yang mengacungkan tangan sampai dengan bunyi bel panjang tiga kali terdengar.

“Hmm… baiklah bila tidak ada pertanyaan, silakan kalian baca halaman 72 sampai dengan 75 buku teks Fisika. Silakan bikin pertanyaan buat minggu depan. Bel sudah berbunyi, ini sudah jam terakhir, sampai jumpa minggu depan!”

Setelah mengucapkan kalimatnya, Bu Nastiti berjalan ke meja guru membereskan perangkatnya dan segera beranjak ke luar kelas. Tidak menunggu lama setelah Bu Nastiti keluar, para penghuni kelas pun berhamburan keluar. Ada yang lari, ada yang jalan santai, bahkan ada yang masih duduk. Arundhati masih duduk di bangkunya sambil memainkan gadgetnya. Tidak ada yang berminat mengganggu Arundhati hari ini. Namun Arundhati tidak peduli. Dia tetap asik dengan gadgetnya. Tiba-tiba jempolnya berhenti dan wajahnya berubah tegang. Dia segera meraih tasnya, memasukkan semua bukunya dan menghilang. 

Saat membaca media online di gadgetnya tadi, dia mendapatkan info telah terjadi huru-hara di Jakarta. Ada demo besar-besaran terjadi di sana. Dua masa demo dengan jumlah yang sangat besar sedang bergerak menuju ke gedung parlemen. Petugas keamanan terlihat kewalahan menghalau kedua masa demo agar jangan sampai bertemu. Hal yang paling ditakutkan oleh petugas keamanan adalah bahwa kedua masa demo ini membawa isu yang sama namun dengan narasi yang bersebarangan. Ini tentunya dapat memantik terjadinya bentrokan sipil yang sangat dahsyat.

Arundhati terlihat melayang dengan masih mamanggul tas sekolah lengkap dengan seragam sekolahnya. Rok panjang abu-abu dengan bau panjang putih lengkap dengan kerudung putih. Tiba-tiba dia melesat makin tinggi menembus awan dan berdiri melayang di atas hamparan awan putih yang sangat luas. Dari posisinya saat ini, Jakarta ada pada arah barat laut. Arundhati dapat merasakan denyutan gelombang yang tidak biasanya dari arah itu. Arundhati terdiam agak lama. Sepertinya dia tengah mempertimbangkan sesuatu. Dan, tiba-tiba dia telah mengenakan jubah dan kerudung putih gading dan menghilang dari pandangan mata.

Sementara itu, di Jakarta, kedua masa demo sudah semakin mendekati area gedung parlemen. Kejadian yang sangat tidak diduga ini membuat aparat keamanan bekerja ekstra keras untuk membendung kedua masa demo agar jangan sampai bertemu. Di mana-mana terdengar raungan sirine dan letusan peluru karet. Asap mengepul di mana-mana. Ini bukan asap bakar-bakaran ban seperti pada demo-demo yang pernah terjadi. Beberapa gedung yang dilewati masa pedemo dari kedua sisi  nampak terbakar. Sangat aneh memang, ketika isu yang diusung adalah isu terkait kebijakan rezim, namun baik masa pro maupun kontra rezim kedua-duanya melakukan pengrusakan terhadap setiap benda yang mereka temui termasuk gedung-gedung yang berada di tepi jalan. Suasana Jakarta bahkan di ring satu saat ini berasa sangat mencekam. Asap mengepul di mana-mana. Suara letupan senapan peluru hampa tedengar berganti-gantian. Betul-betul mencekam.

Dihadapan para pendemo, aparat keamanan dari kepolisian yang dibantu oleh miiter membentuk barikade untuk menahan laju pergerakan masa pendemo. Mereka terlihat kewalahan. Beberapa di antara aparat keamanan nampak seperti kehilangan kesabaran. Dan beberapa yang lain justeru ikut melakukan perusakan. Mereka mulai melakukan tindakan-tindakan yang tidak semestinya dilakukan. Beberapa orang yang terlepas dari barisan masa pendemo dikejar oleh beberapa polisi dan mendapatkan tindakan represif yang berlebihan. Beberapa yang lain mulai mengarahkan tembakan peluru karetnya ke arah masa pendemo dari jarak yang berpotensi mematikan. Beberapa orang dari masa pendemo mulai terlihat tumbang. Namun, ini tidak juga menyurutkan gerakan masa pendemo. Mereka tetap merangsek ke depan bahkan semakin garang. Pimpinan demo semakin lantang menyuarakan protes dan dukungannya.

“Kita ini bukan kawanan kerbau yang dicocok hidung. Kita adalah manusia yang punya hak berbicara. Kita harus terus melawan! Kita harus terus melawan! Kita harus terus melawan! Kita harus melawan kesewenang-wenangan. Hai parlemen, mana kerja kalian? Kami memilih kalian bukan untuk menikmati empuknya kursi parlemen dan nikmatnya berbagai tunjangan serta privilege politik yang mendatangkan cuan”

Sementara di sisi pendemo pro pemerintah terdengan dari mobil komando orasi yang tidak kalah seru, “lihatlah saudara-saudara, mereka adalah orang yang tidak tahu malu. Mereka telah menikmati apa yang telah dilakukakn oleh pemerintah, namun sekarang apa yang mereka lakukan? Mereka menjelek-jelekan pemerintah. Menjelek-jelekan parlemen yang telah bekerja siang malam untuk mereka!”

Hal yang paling unik di sini adalah bahwa kedua masa pendemo itu terlihat sama banyak, disamping bahwa kedua masa pendemo itu juga melakukan pengrusakan di sepanjang jalan yang mereka lalui.  Dari suara-suara yang didengungkan melalui mobil komando, seharusnya masa pendemo pro-rezim ini tidak melakukan pengrusakan. Tapi ini lain. Mereka juga melakukan pengrusakan, dan lebih aneh lagi suara dari dalam mobil komando terdengar seperti suara rekaman yang diulang-ulang dengan intonasi yang meskipun menggelora, namun tidak menutupi kejanggalan bahwa itu cuma sebuah rekaman yang diulang-ulang.

Arundhati telah berdiri di rooftop salah satu gedung pencakar langit tertinggi di sekitaran senayan. Dia pasang telinga untuk mendengarkan setiap bisiikan di antara para pendemo kontra pemerintah terdengar teriakan dan bisikan yang secara keseluruhan terdengar normal dalam kerumumunan demo. Namun di antara para pendemo pro pemerintah, dia justeru merasakan sesuatu yang aneh. Tidak ada teriakan selain dari mobil komando. Hanya derdengar desisan saling bergantian di antara para pendemo. Tiba-tiba Arundhati tersentak dan melompat mundur saat dia rasakan adanya gelombang sugesti yang sangat kuat yang melingkupi kerumunan pendemo pro pemerintah. Dan kehadiran kesadaran yang dia rasakan saat pertama kali dia menyadari situasi ini tadi, sekarang tidak dia rasakan sama sekali.

“Ayun….! Awas di balakangmu!”

Seseorang tiba-tiba berteriak mengingatkan Arundhati. Arundhati merespon dengan melompat ke samping kanan, dan sebuah lecutan angin yang sangat keras dari kibasan pedang sempat dia rasakan. “Hmm…. Sophia!”  Arundhati melompat mundur sekali lagi dan dia lihat sekarang Sophia terlihat seperti tengah bertarung melawan sesuatu. Bersama Sophia terlihat juga Retna Nawangsih di sisi lainnya. Mereka berdua seperti tengah menghajar sesuatu yang berada di antara mereka.

“Kamu bingung, Ayun?”

Arundhati tidak langsung menjawab pertanyaan Sitakara yang tiba-tiba muncul dan berdiri di sampingnya. Arundhati justeru melihat ke bawah di mana saat ini kedua kubu telah berhadap-hadapan. Ada keanehan lain  Ada keanehan lain yang tertangkap matanya. Setiap orang dari masa kontra pemerintah mendekati masa pro pemerintah, maka dia kan nampat seperti tercekik. Kedua tangan mereka terangkat ke depan dada seperti tengah memegangi sesuatu sampai beberapa saat untuk kemudian lemas. Setelah serangan itu, kemudan meeka terlihat lemas dan berbalik badan. Entah mendapat kekuatan darimana, mereka tiba-tiba berbalik menjadi pendukung pemerintah, atau sebaliknya.

“Tidak salah lagi, ini pasti kelakuan kelompok Marumaya!” guman Arundhati pelan.

“Betul, Ayun! Dan sepertinya mereka telah mengembangkan mode bersembunyi agar tidak terlihat olehmu. Kami pun sebelumnya tidak dapat melihat mereka, namun dapat merasakan kehadiran mereka”

Arundhati tersenyum sambil tetap melihat ke bawah ke arah para pendemo, “tapi mereka lupa untuk menyembunyikan suara desisan mereka!”.  

Arundhati segera memejamkan matanya.  Seetelah itu, sambil tersenyum Arundhati menjentikkan jarinya. Sebuah gelombang yang sangat halus memancar dari ujung jarinya dan merambat ke segala arah. Gelombang energi yang sangat lembut ini dengan ganas mengelupas selubung perlindungan para Kunting dan Kadal primata.  Setelah selubung perlindungan mereka terbuka, terlihat bahwa ternyata para Kunting dan Kadal primata ini berada di kedua sisi pendemo. Beberapa dari mereka terlihat samar ada dalam tubuh semua para pendemo. Beberapa yang lain tertawa-tawa sambil memainkan tubuh para pendemo atau memainkan senjata mereka yang ternyata juga telah berevolusi menjadi senjata yang memberikan efek di dimensi utama ini juga.

Sementara itu, Arundhati juga melihat pertarungan antara Sophia dan Retna Nawangsih melawan beberapa Kadal primata yang mempunyai ukuran tiga kali ukuran manusia. Sophia terlihat tengah menahan pukulan kasar tangan kadal primata yang buncit dan ekornya tanggal dengan pedangnya. Sophia tertawa-tawa sambil mengejek, “Apa kau kadal bunting eh.. buntung, eh, tapi mungkin kamu bunting juga ya?”

Mendengar ejekan Sophia, kadal primata itu menjadi semakin marah. Dia ayunkan tangan kirinya hendak mencakar tubuh Sophia. Namun, gerakan tangan kiri ini telah mengurangi tekanan tangan kanan si kadal. Sophia tidak menyia-nyiakan keadaan ini untuk melepaskan diri, mundur sehingga tangan kanan si Kadal lepas jatuh dan bertemu dengan cakar tangan kirinya sendiri. Seketika si Kadal primata ini berteriak sangat keras karena kesakitan.

“Wuek… rasain….! Sakit gak tuh….?” teriak Sophia mengejek si kadal. Namun, regenerasi anggota tubuh kadal primata ini ternyata berlaku buat seluruh anggota tubuh, termasuk tangan. Proses itu terjadi dengan begitu cepat. Setelah tadi berteriak kesakitan, kadal primata itu sekarang tertawa terbahak-bahak. Sophia kesal dibuatnya. Tiba-tiba Sophia membuka mulutnya lebar-lebar seperti sedang melengking. Entah apa yang dia lakukan, namun terlihat semua kunting dan kadal primata itu menutup telinganya. Ketika semua kunting dan kadal primata sibuk dengan telinga masing-masing, Sophia dengan tiba-tiba mengibaskan pedangnya membuat sapuan pada posisi sejajar perut para kadal primata itu. Hasilnya, seluruh kadal primata pada jangkauan kibasan pedangnya terpostong pada bagian perut dengan mengucurkan darah seperti air mancur. Sementara para Kunting kehilangan kepala mereka. Melihat usahanya berhasil, Sophia segera memasukkan pedangnya ke sarungnya dan membuat gerakan dengan kedua tangannya. Angin bergulung mengikuti gerakan kedua tangannya, mengumpulkan potongan anggota badan para kunting dan kadal primata menjadi satu bola yang sangat besar dan dia lemparkan jauh dan slap… hilang. 

“Dah, sonoh, kejar ke rumah kaian tuh!” teriak Sophia sambil tertawa puas dan menepuk-tepukkan telapak tangannya. Sisa-sisa tubuh para kunting dan kadal primata itu berlarian kesana kemari saling bertubrukan,

Arundhati tersenyum melihat kelakuan Sophia. Setelah sejenak melihat ke arah pendemo, Arundhati membalikkan badannya.

“Yu Ara, apakah Yu Ara melihat Sekar Kenanga atau Dini?”

“Dini bersama kakangmu Ansuman sepertinya tengah berusaha menghalau pendemo kontra pemerintah di bawah sana, dan kalau Sekar Kenanga, Yu Ara gak liat dia Ayun!”

Mendengar jawaban Sitakara, Arundhati tersenyum karena pada saat yang sama dia mendengarkan bisikan dari Sekar Kenanga, “Ayun, saya sedang mengamati kalian dari posisi saya saat ini, dengan penggabungan kemampuan kita, kita dapat menyelesaikan masalah ini!”

Arundhati tersenyum sambil memberitahu Sitakara tentang keberadaan Sekar Kenanga untuk menepis kebingungan Sitakara.

“Baiklah Yu Ara, Sekar Kenanga barusan kasih tahu, katanya dia sudah siap pada posisi yang paling strategis untuk melakukan serangan balik”

Sitakara tersenyum mendengar penjelasan Arundhati, “baiklah kalau begitu Yu Ara turun dulu, kasian Sweta Nandini!”

Arundhati menganggukkan kepalanya, dan Sitakara segera melesat turun ke area dimana masa demo sudah saling berhadapan. Merasa bahwa seluruh murid utama Alang-alang Segara Wedi telah turun tangan berusaha mengendalikan situasi, Arundhati segera melesat tegak lurus ke atas.  Sampai pada ketinggian tertentu,  Arundhati berhenti, melihat sekeliling sampai pada titik tertentu dia memanggil nama Sekar Kenanga, “Mbakyu Sekar Kenanga!”

“Saya di sini Ayun!”

Entah darimana datangnya, tiba-tiba tiga meter di hadapannya muncul Sekar Kenangan tengah bersila menghadapnya dengan mata terpejam dan kedua telapak tangannya memegang kedua lututnya. Arundhati segera ndeprok mengambil posisi bersila persis seperti yang dilakukan Sekar Kenanga.

“Baiklah, Mbakyu Sekar, mari kita lakukan. Biarkanlah diri kita yang berada di lapis kedua mengatur semua strategi. Kita di sini hanya menjalankan apa yang mereka kehendaki!”

“Benar, Ayun!”

Mereka berdua duduk bersila dengan kedua telapak tangang memegeng lutut mereka. Kemudian, entah darimana muncul bola energi yang melindungi mereka.  Beberapa makhluk persepsi pada bentuk kunting yang sedari tadi hendak melakukan penyerangan, gagal dengan adanya tirai tak terlihat yang telah dipersiapkan oleh Arundhati. Dengan adanya bola energi yang menambah perlindungan ini, bukannya membuat mereka takut malah semakin penasaran untuk melakukan penyerangan. Namun, bola energi ini justeru jauh lebih kuat dari tirai pelindung sebelumnya. Mereka terpental semakin jauh ketika berusaha melakukan penyerangan. 

Seperti yang dikatakan oleh Arundhati, di padepokan Alang-alang Segara Wedi saat ini baik Arundhati maupun Sekar Kenanga tengah duduk bersila saling berhadapan. Di belakang Arundhati terlihat Sitakara dan Ansuman serta Ki Ageng Turangga Seta. Sementara di belakang Sekar Kenanga terlihat Nyi Ajar Nismara beserta Sweta Nandini.

“Yu Ara, Kakang Ansuman, Dini, segera kalian menjauh dari tempat kalian sekarang. Yu Ara, bunga teleng yang Yu Ara bawa sepertinya bisa diamankan dulu. Jangan sampai rusak, nanti kita gunakan saat diperlukan!” Arundhati memberikan perintah agar teman-temannya segera menjauh dari area demo. Disamping itu, Arundhati juga menyelipkan pesan untuk membawa Retna Nawangsih menjauh dari area demo. Belum saatnya Retna Nawangsih untuk terlibat.

“Kerusuhan saat ini hanya saya sama Sekar Kenanga yang dapat menyelesaikan.  Simpan tenaga kalian, karena pada saatnya nanti kami akan sangat membutuhkan tenaga kalian!”

“Baik Ayun!” sahut Sitakara menjawab seruan 

“Terimakasih Yu Ara, kali ini baik saya yang ada di lapis kedua ini, maupun saya yang ada di dimensi utama akan banyak mengeluar banyak tenaga karena kami, saya serta Sekar Kenanga akan mencoba menyibak selubung kamuflase seperti yang mereka gunakan di lembah Prawala!” lanjut Arundhati menjelaskan situasi yang terjadi saat ini.

“Gurunda Ki Ageng dan Nyi Ajar, saya pernah bertarung dengan Upala Carma yang menguasai tubuh Sekar Kenanga selama bertahun-tahun. Namun, kali ini yang kami hadapi bukan Cuma satu. Ada ratusan ribu Upala Carma dan ratusan ribu kadal primata lainnya. Mohon bantuannya untuk sementara menjaga tubuh kami karena kami harus segera menyatu”

Ki Ageng Turangga Seta maupun Nyi Ajar Nismara tersenyum mengangguk. Kemudian baik Arundhati maupun Sekar Kenanga secara perlahan membisikan satu kata, “suwung!” sebagai isyarat untuk keduanya memasuki kondisi suwung. 

Sementara itu, situasi di Senayan menjadi sangat senyap. Para pendemo di bawah baik pro maupun kontra sama-sama menghentikan gerakan mereka. Mereka thingak-thinguk mencari sesuatu yang mungkin ada.  Sepertinya semua masa pendmo di kedua sisi merasakan seuatu kehadiran yang mengancam mereka. Suasana benar-benar hening. Suara tembakan peluru hampa yang sebelumnya terdengar bersahut-sahutan pun tiba-tiba berhenti. Tidak beda dengan para pendemo, para aparat pun terlihat menghentikan aktifitasnya. Mereka celingukan seperti mencari sesuatu.

Sitkara, Retna Nawangsih, Sophia, Ansuman, Sweta Nandini, para murid Alang-alang Segoro Wedi telah menghentikan pertempurang dan mundur. Para murid Alang-alang Segara Wedi itu pun memberikan isyarat kepada Retna Nawangsih dan Sophia untuk segera mundur. Mereka merasakan energi kesadaran Arundhati yang sangat kuat. Dalam pandangan mereka, musuh mereka juga mundur dan membuat jarak dengan mereka. Ada raut kecemasan yang memancar pada wajah-wajah monyet para kadal primata itu. Semakin lama, bersamaan dengan menguatnya energi kesadaran Arundhati, tabir yang membuat mereka tersembunyi yang telah terkoyak oleh jentikan Arundhati tadi semakin terbuka. Dan, dengan terbukanya tabir yang menyelubungi para penyerang tadi, terlihat kondisi caos yang sebenarnya. Saat ini bukan hanya terlihat para pendemo dan beberapa kunting dan kadal primata yang sebelumnya telah tersingkap, namun ada ratusan ribu kunting dan kadal primata yang tengah berbuat onar. 

Bersamaan dengan tercerabutnya tabir penghalang, nampak beberapa ekor kadal primata yang berbadan besar dan tegak seperti yang dihadapi oleh Shopia dan Retna Nawangsih tadi, tengah berada di antara para masa pendemo. Mereka nampak clingukan dan kebingungan ketika menyadari bahwa kehadiran mereka sudah tidak terselubung tabir penghalang lagi. Hal yang aneh adalah tak satupun dari masa pendemo yang keheranan dengan munculnya sosok-sosok aneh yang hadir di antara mereka. Mereka bukan tidak mellihat, terlihat dari sikap mereka yang seirama dengan sikap dari para kadal primata.  Beberap interaksi di antara mereka bahkan semakin memperlihatkan bahwa mereka saling menyadari kehadiran mereka secara visual.

Sementara itu, di dalam bola energi yang melindungi Arundhati dan Sitakara, saat ini ada dua Arundhati dan dua Sekar Kenanga bersila membentuk empat sudut saling berhadapan dengan dirinya masing-masing. Secara bersamaan mereka berbisik, “resun awakisun sayojya, satmaka, ekatwa, adwaya – engkau diriku, bersatu, menyatu, menjadi kesatuan hanya satu-satunya!” 

Setelah mengucapkan kata-kata itu, baik Arundhati maupun Sekar Kenanga keduanya saling merapat kepada versi masing-masing. Menyatu.

Bola energi yang melindungi Arundhati dan Sekar Kenanga terlihat semakin cerah. Saking cerahnya, baik Arundhati maupun Sekar Kenanga yang berada di dalamnya sudah tidak dapat dilihat lagi.

Bola energi itu semakin besar dan semakin besar. Para kunting dan kadal primata semakin banyak yang menjadi korban. Mereka hangus ketika berusaha melakukan penerobosn untuk menecegah proses penyatuan antar dimensi baik Arundhati maupun Sekar Kenanga.

Bola energi yang semakin besar ternyata disadari sebagai ancaman sepenuhnya oleh para perusuh kawanan Marumaya. Hampir semua titik yang mengalami kerusuhan di Jakarta tiba-tiba berhenti.  Mereka tidak lagi melakukan kerusuhan. Mereka semua melihat ke arah bola energi yang mengambang di langit senayan. Bukan ketakutan yang mereka rasakan. Sebuah kemarahan yang sangat dahsyat tiba-tiba mempengaruhi para perusuh. Dan seperti dikomando, para perusuh baik para kunting, kadal primata maupun manusia yang telah diambil-alih kesadarannya, berlari ke arah senayan sambil tetap melakukan pengrusakan di sepanjang perjalanan. Mereka tak segan untuk membakar bis yang penuh oleh penumpang.

Para murid Alang-alang Segara Wedi beserta Retna Nawangsih dan Sophia sudah menyingkir ke arah timur dan selatan. Mereka berharap-harap cemas karena telah menyerahkan penyelesaian kerusuhan ini kepada Arundhati dan Sekar Kenanga.

“Yu Sita, apakah tindakan kita sudah benar dengan meninggalkan Arundhati dan Sekar Kenanga bertarung sendirian menghadapi para kunting dan kadal primata?” tanya Sweta Nandini. Mendengar pertanyaan ini, sebenarnya Sitakara ingin mengatakan bahwa diapun ragu bila harus menilai situasi ini. Namun dia sadar, bahwa karaguannya muncul dari kecemasannya meninggalkan Arundhati, adi satu bapaknya.

“Ara, kamu tidak perlu meragukan kemampuan adikmu Arundhati. Dalam darahnya mengalir darah Wikasitapalya dan Bajranala ayahmu. Di bawah gemblengan Ajar Nismara, ini bukan sesuatu hal yang dapat diremehkan. Bahkan, barisan Ugra Sundari tak akan mampu mengalahkannya. Apalagi cuma Marumaya!”

Retna Nawangsih yang membaca keraguan di mata Sweta Nandini dan Sitakara berusaha meyakinkan bahwa tidak akan terjadi sesuatu baik terhadap Arundhati maupun Sekar Kenanga.

“Tapi saya ragu, apa benar mereka mampun mengatasi kemampuan Ugra Sundari…!” pelan namun tajam Sophia Indrikanya mengomentari pendapat Retna Nawangsih. Dia gak terima bahwa Arundhati maupun Sekar Kenanga lebih hebat dari Ugra Sundari.

Retna Nawangsih yang mendengar ucapan Sophia tersenyum.  Dia berjalan mendekati Sophia. Dia rangkul pundak Sophia sambil berkata, “bukan cuma Ugra Sundari. Bahkan guru merekapun tidak akan mampu mengungguli mereka saat ini yang telah menggabungkan kedua versi eksistensi mereka!”

Sophia cuma bisa melongo dibuatnya. Sehebat itukah mereka?

Sementara itu di dalam bola energi, baik Arundhati maupun Sekar Kenanga sudah berdiri saling berhadapan.

“Mbakyu Sekar, aku akan mengeluarkan cidrapati untuk memisahkan para dhemit itu dari tubuh para pendemo itu, sementara kamu persiapkan Tathit nglegena!”

“Baik Ayun!”

Sekar Kenanga melesat sangat tinggi menyusup diantara awan. Tiba-tiba petir bekelebatan di antara awan menuju titik Sekar Kenanga.

Bersamaan dengan melesatnya Sekar Kenanga, bola energi yang sangat cerah itu tiba-tiba jatuh meninggalkan Arundhati yang masih melayang dengan cincin sinar berwarna putih di pinggangnya.  Cincin itu berreplikasi dengan sangat cepat membentuk banyak sekali cincin dengan titik pusat tubuh mungil Arundhati yang masih melayang. Setelah diameter cincin terluar mencapai ukuran diameter bola energi, tiba-tiba Arunhdai melesat ke atas dengan tangan kiri memegang cincin terdalam di pinggangnya serta tangan kanan terlihat seperti mempersiapkan sesuatu. Setelah mencapai tinggi tertentu, Arundhati melepaskan cincinnya, sehingga dengan gaya pegasnya, cincin-cincin itu melesat sangat cepat untuk kemudian manghajar bola energi yang masih belum mencapai tanah.  Dorongan cincin-cincin itu mempercepat bola energi itu mencapai tanah dan terhempas. Dan, blar…. Bola energi pecah menyebarkan angin ke segala penjuru ditambah dengan ledakan cincin-cincin Arundhati yang memperkuat hembusan angin energi tersebut.

Angin energi yang menyebar ke seluruh penjuru itu menabrak seluruh masa pendemo di semua titik di jakarta. Setiap kali seorang masa pendemo terkena angn energi tersebut, dari tubuhnya keluar sosok lain yang berujud kadal maupun kunting. Dan, setiap kali angin energi menabrak pendemo yang melepaskan sosok lain, lingkungan sekitarnya juga berubah menjadi sebuah gurun gersang dengan beberapa gerumbul alang-alang. Alang-alang Segara Wedi.  Arundhati telah menciptakan kantung waktu dan memindahkan para kunting dan kadal primata itu ke dalamnya. Arundhati masih terlihat melayang pada ketinggian dan petir di awan semakin menjadi.

Para kunting dan kadal primata nampak kebingungan. Dengan kemarahan yang menggumpal, mereka berjalan ke arah Arundhati yang masih melayang. Bahkan, para kunting dan kadal primata yang datang dari kejauhan banyak yang memaksakan diri untuk berlari mendekati Arundhati. Tanpa mereka sadari, mereka mendekati sesuatu yang membahayakan mereka tentunya. 

“Marumaya!” tiba-tiba Arundhati memanggil Marumaya. Dari gerak bibirnya tidak terlihat sedang berteriak, namun suara yang ditimbulkan justeru sangat keras. Para kunting dan kadal primata di bawah menutup telinga mereka.

“Marumaya!” Arundhati mengulangi panggilannya kepada Marumaya. Namun, masih belum juga mendapat response dari Marumaya. Kadal primata yang selalu tampil menjadi raksasa ketika dia merasa jumawa, tapi akan berwujud menjadi kadal primata pada umumnya ketika merasa terancam. Dalam kondisi ini, tidak satupun yang mampu mengenalinya.

“Ternyata kamu memang pengecut! Kamu hanya berani mengerahkan rakyatmu untuk mati sementara kamu bersembunyi dalam ketakutanmu!”

Arundhati menebarkan pandangannya ke seluruh area dan kerumunan kadal primata yang ada di bawahnya. Suasana sangat hening kecuali petir yang masih bersahutan di atas sana.

“Baiklah, karena kamu tidak mau muncul dan aku yakin kamu ada di antara kadal-kadal ini, maka dengan sangat terpaksa aku harus menghabisi semua kadal-kadal ini!”

Kembali, Arundhati memberikan ancamannya kepada Marumaya, namun masih belum digubris.

“Baiklah, Sekar persiapkan Tathit Nglegena!” 

Masih dengan gaya berbisik Arundhati memperingatkan Sekar Kenanga untuk mempersiapkan Tathit nglegena. Bisikan dengan desibel yang lebih tinggi dari sebelumnya memaksa para kunting dan kadal primata untuk semakin kuat menutup telinga mereka.  

“Baik Ayun!”

“Cidrapati!” Arundati mengucapkan kata cidrapati dengan pelan dan seperti ada tekanan rasa sedih yang menyelimuti hatinya. Meskipun begitu, saat ini kedua telapak tangannya telah terselimuti dengan sinar putih yang sangat terang.  Dengan perlahan namun pasti dia angkat kedua tangannya dan dia hempaskan ke bawah di mana para kunting dan kadal primata berkumpul. Sinar putih yang sangat terang itu lepas dari tangannya, melebar dengan sangat cepat menutupi seluruh area seperti sebuah jala yang memerangkap segerombolan ikan di bawahnya. Bersamaan dengan itu kilatan petir yang sebelumnya hanya terjadi di atas sana, saat ini justeru mengejar selubung sinar putih yang sedang jatuh. Hujanan petir yang menyambar ke seluruh titik jala cidrapati ini ibarat memberikan minyak kepada api. Akibatnya semakin fatal bagi kerumunan kadal primata dan kunting di bawah sana.  Tidak ada satupun yang mampu menyelamatkan diri. Semuanya mati terbakar.

Sadis. Bahkan bagi Arundhati, ini sangat sadis. Setelah semua kunting dan kadal primata hangus terbakar, Arundhati menangis sesenggukan dengan menutup mukanya dengan kedua tangannya. Ini adalah pertarungan pertamanya yang dilakukan dengan cara penghancuran masal. Dan yang membuat dia tertekan adalah bahwa dia melihat para korbannya ketika masih bidup.  Memang betul bahwa sebaik-baiknya para kadal primata dan kunting itu adalah para penjahat yang menjadikan pembunuhan sebagai hobi, dan mereka adalah pihak yang selalu bikin rusuh di manapun.  Namun, tetap, Arundhati adalah seorang gadis remaja yang bahkan akan merasa bersalah ketika menginjak seekor semut tanpa sengaja. Ketika Arundhati semakin tenggelam dalam kesedihannya, saat itu juga, kantung waktu yang dia ciptakan lenyap. Arundhati terpental keluar dari kantung waktu yang dia ciptakan. Ini membuat kondisi para kunting dan kadal primata di dalamnya semakin tidak menentu. Kantung waktu yang tertinggal tanpa tuan ini berubah menjadi pusaran yang dahsyat menghancurkan apapun yang ada di dalamnya. Sekar Kenanga yang menyadari hal itu segera menarik diri dari keterikatannya dengan kantung waktu Arundhati.  Setelah berhasil melepaskan diri, Sekar Kenanga melihat Arundhati yang tengah meluncur jatu segera menyusul ke arah jatuhnya Arundhati.

Sementara itu, ketika terjadi benturan bola energi yang didorong oleh cincin kesadaran milik Arundhati semua orang yang telah kerasukan para kunting dan kadal primata terlihat seperti terhempas kebelakang sambil melepaskan sosok-sosok yang merasukinya. Para kunting dan kadal primata itu seperti kembali mau merasuki mangsanya kembali, namun mereka selalu gagal dan malah kemudian mereka yang menghilang.  Peristiwa ini merambat ke seluruh penjuru dan kejadiannya selalu sama pada setiap orang terutama masa pendemo yang telah terasuki, sampai hempasan mereda dan gelombangnya mencapai titik terjauh, para murid Alang-alang Segara Wedi itu juteru mendapati kejutan jatuhnya Arundhati dari posisinya terakhir.  Retna Nawangsih segera melesat dengan kecepatan sangat tinggi ke arah jatuhnya Arundhati. Sementara dari arah atas juga terlihat sesosok perempuan yang melesat menyusul jatuhnya Arundhati. Namun, tidak kalah mengagetkannya, dari arah timur terlihat juga sosok perempuan yang meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi. Lebih tinggi dari Retna Nawangsih.

Retna Nawangsih sangat mengenali sosok yang tengah melesat dari arah timur itu.

“Wikasitapaliya?”

Retna Nawangsih kaget luar biasa. Dia segera berbelok ke arah barat menjauh dari titik Arundhati. Dia sangat yakin bahwa sosok perempuan yang dia kenal sebagai Wikasitapaliya itu akan mampu menjemput tubuh Arundhati.

Sosok Sekar Kenanga yang tengah berusaha menyusul kecepatan jatuhnya Arundhati juga mearasakan kehadiran sosok dengan aura kesadaran yang luar biasa tinggi namun bukan Retna Nawangsih. Hal ini memaksa Sekar Kenanga untuk mempercepat lesatannya ke bawah, Namun apalah daya dia telah kehabisan banyak tenaga sehingga dia hanya mampu mengandalkan tarikan gravitasi dan sedikit tekanan tambahan sisa tenaganya. Sosok perempuan Wikasitapaliya lebih dulu menyambar tubuh Arundhati dan segera membawanya pergi ke arah utara.  Sekar Kenanga segera mengejar sosok perempuan itu. Namun sayang dia bukanlah tandingan Wikasitapaliya. Perempuan itu melesat tak terkejar olehnya. Sekar Kenanga ingin terus mengejar namun dia benar-benar telah kehilangan jejak. Bahkan kehadiran kesadaran dari perempuan itu pun tak lagi dapat dia deteksi.

Sekar Kenanga kesal, namun dia ingat bahwa Retna Nawangsih pun sempat hendak menjemput jatuhnya Arundhati, namun tiba-tiba dia menghilang. Sekar Kenanga yakin bahwa ada yang hal baik yang diketahui oleh Retna Nawangsih yang dia tidak tahu. Sekar Kenanga langsung berbalik ke arah teman-temannya berkumpul.

Di tempat para murid Alang-alang Segara Wedi berkumpul tengah terjadi keributan kecil.

“Yu Sita, jangan Yu! Percumah… gak usah dikejar. Bibi Retna Nawangsih pasti mengetahui sesuatu sehingga beliau memilih untuk menyingkir. Lebih baik kita tunggu Sekar Kenanga saja. Siapa tahu dia mengetahui sesuatu….!”

Sweta Nandini memegang dan bahkan menarik-narik tangan Sitakara. Sitakara nampak sangat tegang. Ada amarah tersirat dari wajahnya. Ansuman mendukung ucapan Sweta Nandini, “Yu Ara… betul Yu Ara! Tidak usah menyusul. Kita tunggu Sekar Kenanga di sini saja. Mungkin dia ada informasi lain yang dia punya!”

Sitakara memang sangat menyayangi Arundhati. Apalagi setelah tahu bahwa Arundhati adalah adiknya satu bapak.  Sweta Nandini bukanlah lawannya. Bisa saja sekali kibasan tangan, dia mementalkan Sweta Nandini. Namun, apa yang dikatakan Sweta Nandini ada benarnya juga. Ibunya, justeru menjauh ketika menyadari kedatangan seseorang dari arah timur.  Sitakara diam. Tidak lagi memberontak. Dia mundur dan duduk di sebuah batu sambil membungkuk dengan kedua tangannya bertumpu pada lutut serta kedua telapak tangannya menutupi mukannya. Nampak sekali kegelisahannya.  Tiba-tiba dari arah belakang mereka muncul Retna Nawangsih yang langsung duduk di sebelah Sitakara. Dia pegang kepala anaknya dan mulai mengelus-elus. Sitakara masih belum menyadari kehadiran Ibunya. Teman-temannya tersenyum melihat kejadian itu.

“Ndhuk, Sitakara, anakku!”

Retna Nawangsih mulai menyapa. Sudah pasti ini sangat membuat kaget Sitakara. Seketika Sitakara mengangkat kepalanya, dan ketika dia dapati ibunya sudah duduk di sebelahnya, dia langsung memeluk ibunya sambil menangis sesenggukan. Retna Nawangsih membalas pelukan anaknya sambil tetap mengelus-elus kepalanya yang menyandar di dadanya.

“Bagaimana dengan Ayun, Ibu? Sitakara sungguh sangat senang ketika tahu Ayun adalah adik Sitakara. Meskipun ibu masih melarang Sitakara dan Ayun untuk mengabarkan keberadaan kita ke Bapak!” lemah Sitakara bertanya kepada ibunya. Kegelisahan. Kemarahan, dan kecemasan bercampur aduk dalam ruang batinnya. Kesadarannya yang telah terlatih sedemikian rupa ternyata tidak mampu membendung luapan emosi kemanusiannya.

“Sitakara, anakku. Kamu tidak usah mengkhawatirkan adikmu. Justeru kamu harus bersyukur, bahwa saat ini adikmu telah berada di tangan yang tepat. Ibunya!” tutur Retna Nawangsih menjelaskan kepada anaknya.

Sitakara terhenyak kaget mendengar penuturan ibunya. Dia mengangkat kepalanya dari dada Ibunya, memandangi ibunya dengan tatapan tidak percaya. Demikian juga Ansuman, Sweta Nandini, dan Shopia; semuanya saling berpandangan mendengar jawaban Retna Nawangsih.

“Syukurlah bila itu Ibu Saliyah alias Yang Mulia Dewi Wikasitapaliya Wanodya! Sekar gagal mengejar orang itu. Namun, Sekar masih mampu merasakan kesadaran Ibu Saliyah yang memancar dari orang itu. kekuatannya memang luar biasa!”

Sekar Kenanga yang baru mendarat di tengah-tengah mereka langsung memberikan komentar, tetap dengan gayanya yang super dingin.  Sitakara mengalihkan pandangannya kepada Sekar. Dia hanya menganggukkan kepalanya sedikit. Sitakara kembali menatap ibunya. Agak lama Sitakara memandangi ibunya yang hanya tersenyum. Dan ketika Retna Nawangsih mengangguk, muka Sitakara berubah menjadi sangat cerah dan gembira. Ansuman dan Sweta Nandini pun ikut sumringah. Semuanya nampak sumringah kecuali Sophia yang kebingungan. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa Ibu Saliyah atau ibunya Ayun ini juga ternyata adalah salah satu dari para penjaga. Bahkan, Sekar Kenanga menyebutnya Yang Mulia.  Sophia mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah apa yang dia mengerti saat itu. Terlebih lagi, entah apa pula yang dia pikirkan saat itu.

Ketika semua merasa senang karena ternyata yang membawa Arundhati adalah Dewi Wikasitapaliya yang berarti ada kemungkinan kembalinya Dewi Wikasitapaliya dan Bajranala memperkuat para penjaga, Retna Nawangsih justeru memberikan peringatan.

 “Namun, ada yang harus kalian cermati dalam keterlibatan Dewi Wikasitapaliya kali ini. Di antara para penjaga, dia adalah keturunan darah biru. Sophia, Gurunda Endang Paramayana Wardini adalah nenek dari Bajranala alias Mad Kusen,  atau yang artinya juga adalah buyutnya Arundhati. Dan Ibu Saliyah alias Dewi Wikasitapaliya adalah anak tunggal dari Yang Mulia Maharani Nariswari Warapuspa sang Sinjang Mayura penguasa lapis kedua dimensi mimpi sekaligus orang yang paling disegani di antara para penjaga. Rajamu masih berada di bawah kontrol dia, Ansuman!” sambil memberikan peringatan Retna Nawangsih memberikan satu informasi yang mungkin belum diketahui oleh Sophia. Sophia yang tengah duduk sambil menyandarkan dagunya di atas telapak tangannya yang tertangkup pada gagang pedangnya, nampak melongo.  Semua tersenyum melihat tingkah Sophia. Retna Nawangsih tersenyum sambil melanjutkan peringatannya, “Ibu tidak betul-betul mengenal Dewi Wikasitapaliya. Namun sebagai keturunan darah biru sepertinya dia juga mempunyai sifat keras kepala. Bila ini yang terjadi, maka ibu khawatir bahwa kejadian hari ini dimana Arundhati pingsan setelah menghabisi para kunting dan kadal primata justeru akan membuat Dewi Wikasitapaliya memusuhi kita!”

Suasana kembali hening. Semuanya berusaha mencerna peringatan yang diberikan oleh Retna Nawangsih. Semua yang disampaikan oleh Retna Nawangsih nampak masuk akal. Namun semua tahu, fakta bawa saat ini Dewi Wikasitapaliya adalah istri dari suami yang belum pernah menceraikan Retna Nawangsih. Kecuali Sitakara yang telah seumur hidup bersama ibunya, semuanya tidak dapat menerima seratus persen peringatan dari Retna Nawangsih.

“Saat ini ibu rasa, Dewi Wikasitapaliya telah menyadari bahwa ibu masih hidup. Akan semakin banyak kemungkinan lain yang akan kita hadapi. Cuma kemungkinan tentang sikap Dewi Wikasitapaliya ini yang paling harus kita waspadai. Ibu akan sangat bersyukur bila kekhawatiran saya tidak terjadi. Namun, bila itu memang terjadi maka kita sudah memperkirakan!”

Semua mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penuturan Retna Nawangsih.

“Sepertinya pembicaraan kita masih panjang. Mbakyu Sekar, tolong teleportasikan kita ke rumahku dengan kantung waktumu!”

Sambil tersenyum sangat manis memperlihatkan gigi putihnya yang berderet rapi, Sitakara memohon kepada Sekar Kenanga untuk memindahkan mereka ke rumahnya.  Mendengar panggilan mBakyu Sekar, seketika pipi Sekar Kenanga memerah dengan hidung mbangirnya kembang-kempis. Perempuan semampai itu nampak malu dipanggil mBakyu oleh orang yang lebih tua. “Baik.. baiklah Yy.. yu Ara!” Sekar Kenanga menjawab sambil terbata-bata. Tanpa terlihat melakukan gerakan apapun, tiba-tiba seluruh orang di situ menghilang tanpa meninggalkan bekas sedikitpun.  Bahkan tapak kaki sekalipun terlah menghilang dari situ. Kemampuan Sekar Kenanga yang telah meningkat jauh ini menjadi berlipat-lipat dalam mode penyatuan ini


{22} Persembunyian



 Lembah Prawala memang sangat indah. Hamparan hutan hijau yang dibelah oleh sungai dangkal jernih dengan lantai bebatuan menciptakan goresan eksotis meliuk-liuk diantara rerimbunan pohon. Deretan bukit kapur menyeruak pongah seolah menjadi paku bagi hamparan hijau. Baiklah mari kita berjalan-jalan di atas perbukitan kapur ini. Lupakan sejenak apa yang barusan terjadi di dekat pemukiman.

Perbukitan kapur di lembah Prawala ini bukanlah perbukitan yang gersang.  Justeru di perut perbukitan ini tersimpang air yang cukup melimpah sehingga punggung perbukitan ini pun masih mampu untuk menumbuhkan beberapa tumbuhan.

Di salah satu tepi bukit yang agak menjulang, nampak sesosok perempuan dengan jubah dan kerudung putih kebiruan tengah memandangi hamparan di hadapannya. Retna Nawangsih ternyata mengikuti para kadal primata yang kabur dari pertarungan. Hamparan hutan di hadapannya, terlihat sangat sepi. Hanya beberapa burung yang melintas atau hinggap di pucuk-pucuk canopy hutan. Namun, seperti seluruh wilayah di lembah Prawala, kejadian yang sebenarnya tersembunyi dari setiap apa yang dapat dilihat.

Para kadal primata sebagai kelompok pemegang kuasa memperlakukan wilayah-wilayah di seluruh lembah Prawala dengan berbeda-beda sesuai dengan strategi pertahanan yang mereka tetapkan. Ada tempat-tempat yang mereka tetapkan sebagai tempat mengumpulkan informasi dari luar Prawala. Tempat tempat seperti ini akan mereka selubungi dengan sugesti yang memberikan persepsi keindahan bagi para pengunjungnya. Dan ini tentunya menarik bagi sesiapapun untuk bertandang dan kemudian akan bercerita sebagaimana mereka terapkan di Prawaladanda.

Hamparan di depan Retna Nawangsih adalah tempat dengan berbeda perlakuan. Tempat ini seperti sengaja dibuat untuk mencegah orang-orang masuk. Hutan yang indah dan rimbun ini justeru memancarkan aura yang sangat tidak bersahabat. Setiap orang yang mendekati hutan ini akan mendapatkan perasaan yang sangat mengancam mengakibatkan ketakutan yang amat sangat. Melihat bunga bermekaran menghiasi semak, orang justeru akan ketakutan tergigit ular berbisa yang mereka pikir akan datang dengan tiba-tiba dan menyerang. Berada di bawah pohon yang besar dan rindang, mereka akan merasa ketakutan bila tiba-tiba pohon rubuh dan mengenai mereka. Melihat sungai dangkal dengan air bening, mereka akan ketakutan bila air bah kemudian datang tiba-tiba. Makhluk-makhluk persepsi ini sengaja menyebarkan sugesti tidak wajar terhadap setiap object keindahan di tempat ini. Para kadal primata itu menyebut wilayah ini sebagai Prawalasapa.

Setelah lama berdiri diam mengamati hamparan di hadapannya, tiba-tiba tubuh Retna Nawangsih sedikit bergerak dan secara tiba-tiba pula seluruh tubuhnya seperti ditutup lapiasan energi, dan slap…., Retna Nawangsih tiba-tiba melesat dan masuk ke salah satu titik di hamparan hutan itu, mendarat tepat di salah satu tempat yang berupa air terjun yang sangat deras di tepi sebuah danau yang dalam. Ini adalah tempat dengan persepsi ketakutan yang sangat tinggi. Orang akan beranggapan bahwa dirinya akan terguyur derasnya air terjun dan tenggelam dalam danau yang dalam.

Retna Nawangsih mengamati kondisi sekitar dari pinggir danau. Pandangannya tajam ke arah air terjun di arah seberangnya. Dia tersenyum karena dia merasakan ada sebuah ceruk di balik tirai air dari air terjun kira kira dua meter dari permukaan danau. Saat dia tengah asik memperhatikan air terjun itu, entah darimana munculnya, tiba-tiba di belakang belakang Retna Nawangsih muncul dua ekor kadal primata. Salah satu dari mereka menempelkan senjata tangan yang mirip pestol tepat di tengkuk Retna Nawangsih, sementara lainnya yang membawa senjata yeng lebih besar, cuma berdiri sambil membopong senjatanya.

“Siapa kamu, dan kenapa kamu kemari?” tanya kadal primata yang menempelkan senjatanya ke tengkuk Retna Nawangsih. Retna Nawangsih nampak tenang dan malah terseyum. Namun, tiba-tiba dengan kecepatan yang sangat tinggi, Retna Nawangih memutar tubuhnya sambil tangan kananya menarik pergelangan tangan penodong dan memberikan tekanan. Tangan kirinya dengan sigap merebut senjata dari penodong yang pegangannya longgar karena tenakan tangan kanannya. Setelah mendapatkan senjata, tangan kirinya langsung menembak satu pengawal lainnya. Tubuh Retna Nawangsih berputar sekali lagi menjauh dari penodong sambil mendorong penodong ke arah danau. Dan sebuah tembakan akhirnya menghabisi kadal primata penodongnya.

Tempat ini memang tidak mendapatkan pengamanan maksimal, karena para kadal primata itu selalu menyangka tidak akan ada orang yang berani ke area itu. Hari ini mereka kecolongan. Retna Nawangsih telah memasuki area itu. Bahkan dua ekor pengawal yang menjaga area itu telah dimusnahkan oleh Retna Nawangsih.  Padahal, setiap titik yang mendapatkan pengawalan itu berarti terhubung pusat kendali kekuasaan mereka.

Setelah menyelesaikan kedua pengawal tadi, Retna Nawangsih membuang senjata milik kadal primata. Kembali dia mengamati situasi sekeliling. Dia tahu, bahwa meskipun area ini cuma dikawal oleh dua ekor kadal primata, namun senjata mereka adalah alarm yang saling terhubung. Letupan yang terjadi pada salah satu senjata, akan mentriger alarm dari senjata sejenis lainnya sehingga semua pemegang senjata itu akan mendapatkan peringatan untuk siaga. Bukan saja alarm yang tertriger, senjata lainnya akan langsung mendeteksi koordinat letupan. Melalui koordinat tersebut, dengan mudah yang lain akan menemukan lokasi kejadian.  Situasi ini tentunya tidak diharapkan oleh Retna Nawangsih.  Sebentar lagi, tempat ini akan dipenuhi kadal primata. Ini pasti akan cukup merepotkan dan sangat membuang waktu karena dia masih harus menguntit Dhemit Marumaya. Satu-satunya tempat yang paling aman dan menguntungkan adalah di balik tirai air terjun.  Dari tempat ini, Retna Nawangsih dapat mengamati situasi sambil melakukan serangan bila diperlukan. Retna Nawangsih segera melesat menembus air terjun.

Retna Nawangsih masuk ke dalam cerukan menjauh dari tirai air. Bila sebelumnya dia berencara untuk memperhatikan lingkungan itu dari sebalik tirai air, saat ini dia lebih memilih untuk melakukan scanning wilayah di sekitar. Retna Nawangsih duduk di atas sebuah batu yang agak besar dan kemudian melakukan bersilo dengan kedua tangan memegang lutut. Retna Nawangsih duduk dengan tegak. Setelah mengambil nafas beberapa kali, Retna Nawangsih menutup matanya. Setelah beberapa saat, matanya kembali terbuka dan mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangannya terbuka ke atas. Bersamaan dengan gerakan tangan Retna Nawangsih, air di danau juga terangkat membentuk gundukan air. Dan, ketika tangan kananya dia gerakkan lebih cepat, dari puncak gundukan terlihat seperti bayangan manusia melompat ke arah bagian lain dari area Prawalasapa. Para kadal primata itu mengira itu adalah orang yang mereka cara dan mereka berlarian mengejar bayang-bayang manusia itu. Tanpa mereka sadari gundukan air yang melontarkan bayang-bayang manusia itu tiba-tiba berubah bentuk menyerupai ular dan mengejar mereka serta mengikat dan memutar mereka dalam pusaran air yang mengambang di udara. Setelah beberapa berputar-putar, pusaran yang semakin kencang itu tiba-tiba berhenti.  Para kadal primata itu mengikuti mementum mereka terlempar berhamburan, sementara yang memutar mereka oleh sebuah tenaga justeru dijatuhkan begitu saja menyirami hutan.

Air di danau berkurang sangat banyak. Retna Nawangsih keluar dari sebalik air terjun melompat masuk ke dalam danau yang air nya tingga seperempat.  Dia melompat mendekati sebuah gua di kedalaman bekas danau disi kiri air terjun. Retna Nawangsih berjalan memasuki gua. Lantai gua agak menanjak, dan di ujung gua terdapat lubang sebesar gua yang mengarah ke atas vertikal. Dalam kondisi terisi air, mestinya orang berenang untu sampai ke atas. Tak menunggu waktu lama, Retna Nawangsih segera melesat atas dan keluar di sebuah gua yang sangat luas.  Sebenarnya ini lebih mirip sebuah aula bila melihat ornamen yang terpasang pada dinding gua. Namun, tidak ada satupun kadal primata di sini terlihat di aula ini. Sepertinya mereka kabur ketika ada angin tarikan karena air danau yang dia angkat tadi.  Di salah satu sisi aula terlihat ada lorong dengan yang sangat lurus sepanjang sekitar 200 meter dengan beberapa pintu di kedua sisinya. Retna Nawangsih segera berlari memasuki lorong tersebut. Hal yang aneh memang bila tidak diketemukan satupun kadal primata yang yang berkeliaran di area ini. Namun, dari beberapa pintu di lorong dia mendeteksi kehadiran makhluk-makluk perusuh ini. Retna Nawangsih sedang tidak berminat untuk bertarung. Meskipun saat ini dia sedang berada di lingkungan para kadal primata, namaun sesungguhnya dia sedang kehilangan jejak Dhemit Marumaya, dan dia ingin segera menemukan kembali jejak itu.

Di ujung lorong, ternyata lorong terpecah menjadi dua seperti hurif T.   Retna Nawangsih tidak mau ambil pusing dalam memilih harus berbelok kemana karena dia tidak punya pengetahuan sama sekali tentang lorong ini sebelumnya.  Belok ke kir maupun ke kanan sama saja. Retna Kenanga berbelok sesuai yang dia suka saja.  Kali ini dia memilih belok ke kanan. Begitu terus saat dia harus bertemu persimpangan.

Retna Nawangsih terus berlari mengikuti lorong yang lebih mirip labirin tak ada habisnya itu. Terus berlari sampai merasa lelah bahkan merasa terjebak. Retna Nawangsih memperlambat larinya untuk kemudian hanya berjalan.  Saat sedang berjalan, sayup dia mendengar keramaian dari balik dinding sebelah kirinya. Ini artinya pintu keluar seharusnya berada di sebelah kiri atau untuk persimpangan dia harus lurus saja atau belok ke kiri.  Dan, benar saja, akhirnya setealh beberapa kali dia ambil lurus atau belok kiri, dia melihat ada cahaya terang dari ujung lorong, tepat saat dia mendengar hentakan puluhan kaki yang berlari agak jauh di belakangnya. Retna Nawangsih langsung melesat ke arah cahaya, dan mengurangi kecepatan untuk kemudian berjalan santai keluar dari pintu labirin.

Retna Nawangih saat ini tengah berada sebuah tribune membentuk U dari sebuah plaza yang sangat luas yang hampir setengahnya terisi oleh kadal primata. Di depan mereka semua, di sebuah podium yang sangat tinggi berdiri seekor kadal primata yang sedang berorasi.

“Saudara-saudaraku semua kaum Karkalasa! Biarlah mereka menyebut kita kadal, biarlah mereka menyebut kita monyet, tapi kita tetaplah kaum Karkalasa yang perkasa.  Kaum Karkalasa yang ditakdirkan untuk menguasai semua dimensi karena hanya kaum Karkalasa yang mampu berpindah lapisan dimensi seperti melangkahkan kaki. Oleh karena itu, kita harus mampu menguasai seluruh lapis dimensi yang kita kenal, terutama dimensi utama. Para Penjaga yang tersisa sekarang berkumpul di sana. Kita harus mampu menaklukkan semuanya. Jangan kuatirkan perjuangan ini tanpa Pangka Tamomaya dan Bacira yang telah gugur mendahului kita. Ketahuilah, saat ini mereka sedang bersama kita untuk mewujudkan cita-cita kita! Namun, aku juga ingatkan pada kalian, jangan lagi mengambil tindakan sendiri-sendiri!”

Mendengar orasi dari Marumaya, para kadal primata yang hadir berlompatan sambil berteriak-teriak khas Sinpanse. Kemudian, tanpa dikomando semua berbalik badan mengarahkan ekornya kepada Marumaya.  Mereka semua membanting-bantingkan ekornya berkali-kali. Tak mau kalah, Marumaya pun berbalik badan dan membanting-bantintingkan ekornya tiga kali. Setelah itu, Marumaya kembali menghadap ke arah para kadal primata.

“Saudaraku!” Marumaya melanjutkan orasinya. Para kadal primata kembali berbalik badan menghadap ke arah Marumaya semua.

“Saudaraku, kekalahan kita pada tahun 1998 dan 2008 adalah pelajaran-pelajaran yang telah kita cermati dengan sangat baik. Aku, Marumaya, pemimpin kalian, saat ini telah mendapatkan kekuatan terbaik. Di samping itu, para insinyur Karkalasa saat ini telah berhasil mengembangkan mesin yang mampu mengacaukan gelombang kesadaran sehingga kita tidak perlu lagi takut menghadapi para penjaga pada setiap dimensi!”

Semua kadal primata yang hadir bertepuk tangan. Dan, sekali lagi mereka berbalik badan untuk memukul-mukulkan ekornya ke tanah.  Aksi ini di balas dengan gerakan yang sama oleh Marumaya.

Saking asiknya menonton kerumunan di plaza, Retna Nawangsih lupa bahwa dia masih ada di dekat pintu keluar labirin. Retna Nawangsih mulai menyadarinya saat suarau gedebuk kaki yang mengejarnya terdengar semakin keras semakin mendekati pintu keluar. Dengan kemampuannya yang telah terukur saat di Prawaladanda tadi, seharusnya dia mampu menghabisi mereka semua saat ini. Namun, dalam hati sebenarnya dia ragu juga. Meskipun 1998 dia belum berlatih di Ugra Sundari, namun tetap saja apa yang ditampilkan oleh Marumaya tadi di Prawaladanda masih jauh lebih rendah dibanding saat dia menghadapinnya di 1998. Sebebarnya da keraguan bahwa yang dia hadapi tadi adalah Marumaya karena dia sendiri belum melihat jelas mukanya. Apalagi bisa menyebut senjata yang mampu mengacau kesadaran penjaga. Dia memang belum melihatnya dengan pasti, namun menghadapinya sendirinya tentunya akan sangat tidak baik. Karena banyak hal yang dia tidak tahu, akhirnya Retna Nawangsih memilih untuk kabur.  Retna Nawangsih melesat jauh ke atas dan menghilang.  Kadal primata yang mengejar Retna Nawangsih bingung saat sampai di luar. Tidak ada Retna Nawangsih,  malah harus melihat rapat umum yang bahkan mereka sendiri seharusnya dapat mengikuti.  Kemudian dengan lemas mereka memasuki kembali pintu labirin. Sementara para kadal primata dan oratornya sekalipun, tidak sadar dengan apa yang terjadi di atas tribun.

Sementara itu, Retna Nawangsih telah berada di batas lapis dimensi. Melayang tanpa merasakan apapun dimana hanya ada kesadarannya saja. Di sini dia merasakan kehadiran guru sekaligus neneknya. Kehadiran yang semakin dekat dan menariknya ke arah yang tidak seharusnya. Saat eksistensinya kembali penuh dan dia dapat membuka matanya, dilihatnya ada seorang perempuan seumuran dirinya berdiri di depanna, Endang Paramayana Wardini. Perempuan itu tersenyum dan menyapanya dengan hangat, “selamat datang cucuku!”

Mendapat sapaan yang hangat itu, Retna Nawangsih langsung menekuk lututnya dan menghaturkan hormat, “salam dari cucumu yang tak pernah sempat menjengukmu eyang Endang Paramayana Wardini!” Endang Paramayana tersenyum dan membalas salam dari cucunya itu, “bangunlah cucuku, aku sangat paham dengan urusanmu di sana!”. Retna Nawangsih bangun sambil tetap menundukkan kepalanya.

Di samping Endang Paramayana, berdiri seorang gadis cantik dengan berwajah bulat, Sophia Indrakanya yang clingukan melihat kedua perempuan itu. Kalau dilihat dari umur, sepertinya masih sama seumuran. Tapi, kenapa perempuan yang sempat bertempur bersamanya melawan Marumaya dan pasukannya tadi terlihat sangat menghormati dan bahkan menyebutnya sebagai eyang.

“Sophia, ini adalah Retna Nawangsih Bawana Nisala Putri. Dia adalah cucuku di dimensi utama. Tapi dia di sini masih seumuran denganku. Kamu nggak usah kaget!” Endang Paramayana Wardini menjelaskan kepada Sophia. Sophia cuma bisa bilang dalam hati sambll mengangguk dan tersenyum, “Oo… bisa begitu ya? jangan-jangan ada juga cucuku di dimensi lain!”

“Cucuku, aku terpaksa menarikmu dalam perjalanan kembali ke dimensimu. Keadaan sudah semakin genting. Aku telah mengutus muridku Sophia ke lapis pertama untuk mengamati gerak-gerik Karkalasa. Dari pengamatannya, saat ini mereka memang telah mengalami banyak kemajuan dalam pengembangan teknologi tempur untuk melawan kemampuan kita.” Endang Paramayana memulai pembicaraan dengan Retna Nawansih.

“Betul Eyang, bahkan Marumaya sendiri juga telah meningkatkan kemampuanya. Tadi saat saya dengan murid Eyang yang cantik itu bertempur melawan Marumaya pun hampir dikalahkan. Untung, murid Eyang ini sungguh luar biasa sehingga kami berdua dapat membuatnya melarikan diri!” sahut Retna Nawangsih sambil tersenyum ke arah Sophia. Namun, mendapatkan senyum Retna Nawangasih, Sophia justeru nampak pucat ketakutan. Endang Paramayana justeru tersenyum melihat perubahan pada Sophia. 

“Tidak apa-apa Sophia, dia ini adalah seniormu. Kamu boleh menampilkan dirimu kepadanya!” tegur Endang Paramayana.

“Iya, Guru!” jawab Sophia sambil senyum tersipu-sipu. Ini tentunya membuat Retna Nawangsih dan Endang Paramayana Wardini tertawa.

“Sophia adalah generasi terbaik dari perguruan kita. Andai Guru Wikasitapaliya masih berada di tengah kita, pasti beliau akan sangat bangga melihatnya!” tutur Endang Paramayana. Kali ini ada nada bangga dan nada sedih sekaligus terlintas dalam ungkapan Endang Paramayana.  Suasana menjadi sangat hening. Retna Nawangsih tidak berani berbicara. Dia sangat memahami kemasygulan neneknya terhadap keputusan Wikasitapaliya untuk benar-benar mengikuti keinginan Bajranala menghindari urusan penjaga, sementara avatarnya menghilang dalam suatu kerusuhan di lapis kedua. Wikasitapaliya menghilang saat berusaha menghalangi gelombang energi yang berisi sugesti menyasar Jakarta di lapis kedua.

“Gurunda Endang Paramayana Wardini tidak usah khawatir. Saat ini saya bersama Dinda Retna Nawangsih tengah membentuk tim yang sangat kuat dan berjalan seiring baik di lapis kedua maupun di dimensi utama!”

Tiba-tiba terdengar suara perempuan yang sangat lembut memecah keheningan dan kebekuan itu. Entah darimana datangnya di samping Retna Nawangsih saat ini telah berdiri Nyi Ajar Nismara. Perempuan cantik dengan dandanan mirip kisah 1001 malam lengkap dengan cadarnya itu kemudian berlutut memberikan penghormatan kepada Endang Paramayana Wardini.

“Deriya Habibah  , bangunlah!”

Endang Paramayana memegang bahu Nyi Ajar Nismara yang ternyata mempunyai nama Deriya Habibah  , dan membimbingnya untuk berdiri lagi. Wajah Endang Paramayana nampak sumringah melihat kehadiran Nyi Ajar Nismara atau Deriya Habibah  . Tambah lagi dengan berita yang disampaikan oleh Nyi Ajar Nismara.

“Betulkah itu?” tanya Endang Paramayana.

Nyi Ajar Nismara alias Deriya Habibah  tidak langsung menjawab. Dia melirik ke arah Retna Nawangsih. Endang Paramayana yang melihat lirikan mata Nyi Ajar Nismara menoleh ke arah Retna Nawangsih dengan tatapan penuh tanya.

Melihat tatapan mata gurunya, Retna Nawangsih kemudian menggantikan Nyi Ajar Nismara untuk menjawab pertanyaan gurunya.

“Betul, Guru! Setelah kami mengetahui bahwa Gurunda Wikasitapaliya di dimensi utama mempunyai seorang putri, saya bersama Yunda Deriya Habibah mempersiapkan putri saya, Sitakara, dan seorang murid lelaki Alang-alang Segara Wedi untuk mencari putri Gurunda yang berada di lapis pertama. Alhamdulillah, mereka dapat menemukan Arundhati Striratna, adik satu bapaknya!” Meskipun berucap Alhamdulillah, namun nada bicara Retna Nawangsih justeru menampakkan sebuah kesedihan ketika menyebut status Sitakara dan Arundhati. Endang Paramayana sangat memahami hal ini. Dia melirik kepada Nyi Ajar Nismara yang membalasnya dengan senyum dan melanjutkan penjelasan Retna Nawangsih.

“Sebagai anak yang lahir dari Gurunda Wikasitapaliya, Arundhati adalah wadah yang tepat untuk menerima seluruh ajar dari perguruan yang kami dirikan bersama Kakang Gagak Seto. Karena kecerdasannya, saya memutuskan untuk meneruskan seluruh apa yang saya kuasa kepada Arundhati secara khusus. Tidak lebih dari sepuluh hari dia telah mendekati kesempurnaan adikodrati dalam arti bahwa dia akan mendapatkan kemampuan yang melebihi kita. Namun, ada hal lain yang lebih luar biasa. Penyelarasan Arundhati ini terjadi seratus persen dalam arti bahkan, Arundhati dimensi utama ini mendapatkan keuntungan dari hasil latihan kembarannya di lapis kedua tanpa harus berlatih lagi. Demikian juga sebaliknya, kemampuan Arundhati di dimensi utama juga terserap oleh Arundhati pada lapis kedua. Memang ini adalah hal yang juga terjadi pada ananda Sitakara dan kawan-kawannya, namun pada Arundhati prosesnya jauh lebih cepat”

Endang Paramayana terlihat sangat sumringah mendengar penjelasan Nyi Ajar Nismara alias Deriya Habibah  .

“Luar biasa! Mendengar cerita kalian, sepertinya aku tidak lagi perlu untuk merasa cemas!” kata Endang Paramayana Wardini menyela.

“Di samping mereka berdua, kami juga mempunya Niken Landjar Sekar Kenanga, putri kinasih Ki Ageng Gagak Pergola dan almarhumah Yunda Retna Gantari kakak Dinda Retna Nawangsih! Sekar Kenangan adalah murid paling tangguh di perguruan kami, dan sebenarnya Sekar Kenanga ini pada beberapa hal mempunya dasar kemampuan yang sama dengan Arundhati, namun daya serap Arundhati ini sulit untuk dibandingkan dengannya sehingga meskipun Arundhati baru masuk beberapa bulan, telah mampu melampaui kemampuan Sekar Kenanga.” lanjut Nyi Ajar Nismara memungkasi cerita kepada Endang Paramayana. Mendengar penuturan kedua muridnya, Endang Paramayana tidak lagi sanggup untuk tidak memperlihatkan ekspresi kegembiraanya.

“Luar biasa, kerja yang sangat luar biasa. Kalau begitu bawa mereka siapa itu…. Arundhati, Sitakara, terus siapa lagi itu… Niken.. Niken……” Endang Paramayana nampak mengerutkan jidatnya kerena lupa dengan nama lengkap Sekar Kenanga.  Retna Nawangsih yang melihat kebingungan Gurunya segera melanjutkan nama lengkap Sekar Kenanga, “Niken Lanjar Sekar Kenanga, Guru!”

“E iya…. Iya.. Niken Lanjar Sekar Kenangan….!”

“Kenanga Guru, bukan Kenangan!”

“Iya… iya… Kenanga!”

Retna Nawangsih dan Nyi Ajar Nismara alias Deriya Habibah   tertawa. Sophia nampak menahan tawa. Dia tidak mau ikut tertawa bareng para seniornya. Takut kualat. Retna Nawangsih yang melihat tingkah Sophia semakin terpingkal-pingkal tertawanya.

“Sophia, gak usah sungkan kalau mau ikut tertawa!” tergur Retna Nawangsih. Sophia cuma  bisa nyengir kuda, karena dia masih takut kualat.

“O iya, Deriya Habibah, Retna, ini muridku yang paling mungil dengan kemampuan yang telah melebihi bahkan para senior kalian di perguruan. Dan mungkin bila mendengar cerita kalian, mungkin dia setara dengan Sekar Kenanga. Namanya Sophia Indrakanya!”

Dengan bangga Endang Paramayana memperkenalkan Sophia kepada Nyi Ajar Nismara dan Retna Nawangsih.

“Betul, Yunda Deriya Habibah, Sophia ini memang sangat hebat.  Tadi kami, Saya sama Sophia sempat bekerja sama menghajar Marumaya dan pasukannya!” tutur Retna Nawangsih memperkuat pendapat guru mereka.  Pipi yang menempel di sebidang wajah cantik milik Sophia itu kembali memerah. Kali ini si pemilik wajah cantik ini, memberanikan diri untuk bertanya kepada gurunya.

“Guru, apakah boleh saya memperlihatkan jati diri saya kepada mereka?”

“Mereka siapa yang kamu maksud, Sophia?” tanya Retna Nawangsih. Endang Paramayana dan Nyi Ajar Nismara mengangguk dan kompak bertanya kepada Sophia, “Iya, mereka siapa Sophia?”

“Ih… Guru….! Maksud Sophia, bolehkah saya memperlihatkan jati diri saya kepada Arundhati, Yu Sitakara, dan Yu Sekar Kenanga?” jawab Sophia menjelaskan pertanyaannya. Dan sekalilagi, tanpa dikomando mereka bertiga menjawab, “Boleh… cah ayu!”

“Memang kenapa Sophia, bukankah nanti kalian juga akan berlatih bersama?” Nyi Ajar Nismara menanyakan sesuatu yang sangat tidak diharapkan oleh Sophia. Kembali lagi, Sophia jadi salah tingkah dibuatnya. Retna Nawangsih tersenyum.

“Bukan begitu maksud saya Bibi Deriya Habibah! Tapi…..” Sophia tidak segera menyelesaikan kata-katanya.

“Tapi apa, sayang?” Tanya Nyi Ajar Nismara. Meskipun status dia adalah kakak seperguruan, namun karena umur yang terpaut jauh ada rasa sayang seorang ibu kepada anaknya yang tiba-tiba menyeruak dari hati Nyi Ajar Nismara.

“Guru….!” panggil Sophia kepada gurunya.

“Iya Sophia,  ada apa?” sahut Endang Paramayana lembut.

“Anu… Guru…! Tapi Guru jangan marah ya?!” pinta Sophia agak manja.

“Iya, gak akan marah!” jawab Endang Paramayana lembut.

“Jadi gini Guru, tadi setelah Bibi Retna Nawangsih pergi, datang Kakang Arya Kandaga. Saya kira kalau sama kakang Arya Kandaga, itu tidak masalah. Kakang Arya Kandaga tidak pernah saya kenal di dimensi utama. Bahkan di lapis pertama pun saya beru mengenalnya. Namun, ternyata bersama Kakang Arya Kandaga datang pula Ayun atau kalian kenal dengan nama Arundhati, Sweta Nandini, Yu Sitakara, Yu Sekar, dan Kang Ansuman. Karena ada Ayun dan Sweta Nandini, saya lupa bahwa saya harus bersembunyi. Saya malah menyambut kedua teman sekolah saya ini dengan suka cita!” jelas Sophia menunduk sambil meremas-remas jubah gamisnya. Endang Paramayana tersenyum sambil mengusap kepala Sophia dan berkata, “Tidak apa-apa Cah Ayu.  Tapi sebagai hukuman, dalam latihan berikutnya, kamu harus ditemani mereka!”

Sophia kaget namun juga gembira. Wajahnya nampak sumringah, karena dia bakal berlatih bersama dengan Arundhati. Namun tiba-tiba dia teringat Sweta Nandini. Dia berpikir keras bagaimana caranya agar Sweta Nandini yang merupakan kawan akrab Arundhati dapat diikutkan dalam latihan mereka di lapis kesembilan.

“Baik Guru, tapi bolehkah kalau hukuman murid ditambah?”

Retna Nawangsih, Nyi Ajar Nismara, dan Endang Paramayana bingung.

“Ditambah bagaimana Sophia?” tanya Endang Paramayana.

“Bolehkah bila Sweta Nandini diikutsertakan dalam pelatihan di Ugra Sundari?”

Semua yang mendengarkan permintaan Sophia tertawa terpingkal-pingkal. Setelah puas tertawa, Endang Paramayana menjawab permintaan Sophia.

“Boleh boleh boleh! Boleh saja. Cuma karena kita adalah perguruan khusus perempuan, kamu tidak boleh meminta Ansuman atau Arya Kandaga untuk ikut berlatih di sini. Dan satu lagi, meskipun nanti mereka akan berlatih sini, mereka bukanlah murid Ugra Sundari. Mereka tidak boleh tahu tempat kita saat ini!

Kali ini, wajah Sophia nampak bahagia sempurna, “Asiiikkkkk, terimakasih, Guru!” teriak Sophia sambil memeluk gurunya dan kemudian berkata, “terimakasih Guru!” yang dibalas dengan bisikan, “ingat jangan pernah memberitahukan lokasi tempat ini kepada mereka!”. Sophia mengangguk-angguk sambil tetap mengucapkan “terimakasih Guru!”

Setelah puas memeluk gurunya, Sophia segera mundur dan melepaskan tangannya. Setelah agak jauh dari gurunya, Sophia membungkuk memberikan hormat kepada gurunya dan kedua seniornya.

“Terimakasih guru dan para bibi semua, namun sepertinya hari ini sudah terlalu lama Sophia meninggalkan rumah Sophia di dimensi utama. Sophia pamit undur diri!”

Mendengar kata pamit Sophia, Endang Paramayana baru ingat untuk memberitahukan kepada kedua murid seniornya.

“Tunggu dulu Sophia. Ada yang ingin aku sampaikan kepada kalian bertiga. Retna dan Deriya Habibah, ada yang seharusnya kalian ketahui. Bila kehadiran Deriya Habibah bersifat tunggal hanya ada di dimensi mimpi ini, kemudian kehadiran Retna Nawangsih bersifat ganda baik di dimensi utama maupun dimensi mimpi, maka kehadiran Sophia ini bersifat tunggal hanya ada di dimensi utama. Ada satu hal yang sama di antara kalian. Sebagai penjaga, kalian semua bebas memasuki semua dimensi baik sebagai kesadaran yang mewujud, maupun membawa badan wadag kalian. Namun ada yang unik pada Sophia, kehadiran dia di dimensi mimpi hanya merupakan kesadaran yang mewujud. Di sini dia tidak dapat dibunuh oleh siapapun. Jadi, dugaan saya, terutama kamu Retna, untuk menghindari risiko terbunuh saat melintas dimensi, jangan bawa badan wadag kalian keluar dari dimensi asal kalian!”

“Terimakasih, Guru!” sambut Retna Nawangsih dan Nyi Ajar Nismara secara bersamaan.

“Namun Guru, saya dan putri saya di lapis kedua saat ini belum mampu mendeteksi keberadaan saya versi dimensi mimpi, Guru!” lanjut Retna Nawangsih  mengungkapkan kegelisahannya.

“Jangan khawatir Retna, Aku secara pribadi juga tidak tinggal diam. Semenjak terakhir kamu meninggalkan lapis kesembilan belasan tahun yang lalu, setiap ada kesempatan aku selalu berusaha untuk mendeteksi kehadiranmu di antara lapis dimensi ini!” jawab Endang Paramayana.

“Baiklah, Guru. Terimakasih! Dan, sekiranya tidak ada lagi yang harus kita bicarakan, saya Retna Nawangsih, bermaksud undur diri kembali ke dimensi utama, Guru, Yu Deriya Habibah!”

“Baiklah, silakan!” Endang Paramayana tersenyum dan mempersilakan muridnya. Nyi Ajar Nismara tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Retna Nawangsih segera beranjak dari tempatnya berdiri mendekati posisi Sophia. Saat berjalan mendekati posisi Sophia, Endang Paramayana sekali lagi berkata, “Hati-hati saat melintasi lapis dimensi. Jaga kesadaran kalian pada posisi paling tinggi. Ingat, barusan aku berhasil menarikmu ke lapis ini Retna!”

Retna Nawangsih tersenyum sambil berucap, “Terimakasih, Guru! Akan kami ingat!”.  Retna Nawangsih memandang ke arah Sophia untuk bersiap. Sophia mengangguk dan kemudian mereka berdua mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum, selamat tinggal Guru!”.   Tubuh kedua perempuan berbeda generasi itu kemudian mulai kabur dan menghilang.  Endang Paramayana tersenyum dan kemudian menghampiri Nyi Ajar Nismara. Setelah berkata-kata beberapa saat, kemudian keduanya berpisah untuk mengambil posisi masing-masing dan menghilang.