Senin, Juli 03, 2023
{10} SUWUNG
3:05 PM Wihartoyo
Pemandangan dari puncak gunung ini memang sangat indah. Hamparan hijau di bawah sana nampak seperti permadani. Gumpalan awan yang mengambang di beberapa titik, justeru menambah keindahannya.
Puncak Gunung Suwung ini lebih merupakan dataran tinggi. Tanah rata menghampar cukup luas. Tidak seperti layaknya puncak gunung api yang gersang, puncak Gunung Suwung ini justeru rapat oleh tetumbuhan baik yang berupa tegakan maupun semak. Bahkan, genangan pun ada. Sebuah sendang dengan air terjun yang tercurah dari…. Ah… nanti dulu…. Air itu tercurah dari sebuah batu yang mengambang. Hm….. kenapa kisah ini jadi mirip kisah wuxia yang biasanya perguruannya ada di puncak gunung, dan kadang ada air terjung yang entah darimana. Baiklah, bukan ini berarti kalau begitu. Hapus….
Puncak Gunung Suwung ini betul-betul sepi. Mirip dengan namanya, Suwung. Kosong. Di puncak gunung suwung ini bahkan suara angin pun tidak terdengar. Di puncak yang kosong ini hanya terlihat bebatuan yang mungkin sempat terdorong oleh hentakan magma yang menyusup melalui kawahnya. Di salah satu batu itu nampak berdiri seorang perempuan mungil berjubah putih gading. Kerudung putihnya nampak sesekali terhentak oleh hembusan angin. Meskipun bertubuh mungil, namun karena gaya dia berdiri sambil mengepalkan tangan seratus persen siaga dengan kesadaran penuh, membuatnya nampak gagah. Arundhati. Ya perempuan mungil itu Arundhati. Dia telah sampai ke puncak Gunung Suwung. Lingkungan di puncak yang nampak ganjil bagi Arundhati membuatnya mengambil sikap siaga dengan kesadaran penuh. Beberapa kali diskusi dengan mengambil penyimpulan serta ujicoba, telah mampu mengangkat tingkat kesadaran Arundhati di dunia mimpi ini.
Sorot tajam mata Arundhati memancarkan kekuatan yang sangat kompak. Tubuh mungil berbalut jubah itu pun nampak memancarkan Aura ganas yang sangat kuat. Seluruh penampilannya saat ini betul-betul tidak menggambarkan seorang Arundhati, anak manja yang kadang suka semaunya sendiri. Bahkan bagi Sitakara maupun Ansuman yang beberapa hari terakhir sudah mengakrabi Arundhati. Mereka berdua yang baru muncul, mendarat di dua batu yang berbeda di hadapan Arundhati kiri dan kanan. Sitakara dan Ansuman betul-betul tidak mampu mengenali sosok perempuan mungil di hadapan mereka. Sitakara tertegun, dan tanpa sengaja dia berbisik, “A….. yun…?!”. Arundhati menoleh dan mendapati ada Sitakara di depan kanannya, “Ah…. Yu Ara….! Alhamdulillah!”. Sikap Arundhati langsung berubah menjadi normal dan aura ganas yang menyelimuti tubuhnya berangsur lenyap.
“Ayun, apakah kamu takut di sini?” tanya Sitakara mengingat sikap Arundhati yang baru dilihatnya tadi.
“Nggak, Yu Ara. Cuma… Ayun merasakan adanya keganjilan di lingkungan sini! Makanya Ayun langsung meningkatkan kesadaran Ayun agar tidak terjebak!”
“Bagus Ayun, melihat sikap dan kemampuan kamu barusan, Yu Ara gak akan mengingatkan akan keselarasan lagi!”
Arundhati malah cemberut demi mendengar penuturan Sitakara, “Ayun salah ya, Yu Ara?”
“Nggak Ayun, justeru barusan Yu Ara memuji Ayun!”
“Alhamdulillah!” seru Arundhati yang merasa senang bahwa tindakannya tidak disalahkan yang berarti dugaanya benar.
Sitakara dan Ansuman mendekati Arundhati, kemudian mereka berdua berdiri mengapit Arundhati dengan Sitakara di sebelah kanan Arundhati. Arundhati, nampak sedikit bingung, tengok kiri dan kanan melihat Sitakara dan Ansuman. Namun sebelum dia mengungkapkan apapun tentang kebingungannya, tangan kiri Sitakara sudah menggenggam erat tangan kanan Arundhati. Meskipun Sitakara belum berkata-kata apapun, genggaman Sitakara membuat Arundhati terdiam meskipun banyak sebenarnya yang mau dia tanyakan.
Dengan tatapan lurus ke depan, Sitakara meminta kepada Arundati untuk mengikuti arahannya, “Ayun, maafin Yu Ara, kali ini Yu Ara memanipulasi kesadaran Ayun. Mohon, Ayun mau mempercayai Yu Ara dan mengikuti apa yang Yu Ara salurkan melalui tangan Ayun!”.
Arundhati, yang tadinya melihat ke arah Sitakara kemudian meluruskan pandangannya mengikuti Sitakara. Komunikasi berikutnya tidak terjadi melalui percakapan.
“Ayun, sekarang pejamkan matamu abaikan semua yang kamu rasakan saat ini fokus kepada kesadaran Ayun. Lebur kesadaran itu ke dalam diri Ayun.” Sitakara melanjutkan arahannya kepada Arundhati. Kali ini Arundhati tunduk mengikuti arahan Sitakara. Dia pejamkan matanya, fokus kepada kesadarannya sampai pada suatu titik dia tidak lagi merasakan genggaman tangan Sitakara. Semakin lama semakin tidak merasakan apapun. Bahkan bila sebelumnya dia marasakan tengah berdiri, maka saat ini dia tidak merasakan lagi sebagai berdiri. Bahkan duduk, rebah, tidur, melayang, atau yang lain posisi yang terikat dengan eksistensi fisik tidak dia rasakan. Arundhati telah kehilangan persepsinya tentang representasi fisiknya.
Dalam situasai yang sedang dia alami itu, Arundhati mendengar suara Sitakara menanyakan posisinya, “Ayun, apakah kamu sedang berdiri?”
“Kurang tahu, Yu Ara! Apakah Ayun sekarang berdiri, duduk, jongkok atau apapun, Ayun tidak bisa menyimpulkan.”
“Baiklah, apakah matamu terbuka?”
Arundhati baru menyadari, bahwa awalnya dia memang menutup mata. Namun, ketika semua persepsi dia tentang representasi fisiknya hilang, dia tidak tahu apakah sebenarnya dia telah membuka matanya. Dia tidak mampu merasakan apapun tentang mata. Bahkan tangan, kaki, perut, nafas, apapun tidak lagi dia merasakan. Kesadarannya tidak mampu menjangkau tubuh dan anggota tubuhnya. Pemandangan yang sebelumnya ada tak lagi dapat dia persepsikan. Ini bukan gelap atau terang, namun tentang semua representasi yang ia dapati kini tidak dapat dipahami dipahami keberadaannya. Arundhati tidak mampu mempersepsikan apapun. Bahkan tubuhnya sendiri pun tidak. “Iya, Yu Ara, Ayun sadar namun Ayun tidak tahu apakah mata Ayun terbuka. Yang pasti, Ayun tidak dapat melihat apapun.”
“Baiklah, sekarang niatkan untuk memejamkan mata sebagaimana tadi malam kamu mau tidur!”
Arahan Sitakara kali ini nampak janggal. Gak usah memejamkan mata, pemandangan di sekitar Ayun itu pun Ayun tidak dapat mempersepsikan. Tapi, baiklah Ayun mengikuti saja permintaan Sitakara. “Baik, Yu Ara!”
Kali ini Arundhati merasakan keanehan yang semakin menjadi. Dia tidak lagi mampu merasakan apapun yang dia tadi rasakan. Dan mengenai rasa, bahkan dia tidak dapat lagi merasakan atau tidak merasakan. Gelap yang direpresentasikan sebagai warna hitam yang sempat dia dapati tadi, saat ini telah berubah. Bukan hitam bahkan bukan warna lain. Pandangannya tidak mendapatkan informasi apapun. Gelap? Bukan! Ketika gelap mengembarkan sebuah ketiadaan, maka ketika ketiadaan sendiri adalah sebuah keberadaan, maka yang dihadapi Arundhati adalah lebih jauh lagi dan bukan sebuah eksistensi apapun. Paling mudah menggambarkan adalah bahwa ini mirip sebuah tidur. Apakah tidur tanpa mimpi itu berwarna hitam? Tidak ada yang tahu, bahkan ketika sudah terbangun sekalipun.
“Ayun…! Apakah kamu masih bisa mendengarkan suara Yu Ara?”
“Masih Yu Ara!”
“Baiklah, Ayun. Kamu memang luar biasa. Sangat sedikit orang yang mampu masuk ke kondisi suwung seperti saat ini dalam sekali percobaan. Yu Ara harus mencoba beratus kali dalam waktu lebih dari dua bulan untuk mencapai kondisi suwung. Saat ini Yu Ara juga telah memasuki kondisi suwung. Untuk beberapa saat kita tidak dapat berinteraksi”
“Baik Yu Ara!”
Gunung Suwung, sesuai namanya, adalah tempat favorit untuk mencapai kondisi suwung. Sitakara dan Ansuman berlatih mencapai kondisi suwung juga di gunung ini. Berbeda dengan Arundhati yang dalam sekali jalan sudah mampu mencapai kondisi suwung. Sitakara dan Ansuman harus berlatih berminggu-minggu untuk mencapai kondisi suwung.
Sebenarnya apa yang dilakukan Sitakara dan Arundhati ini mirip dengan laku meditasi. Namun, berbeda dengan laku meditasi yang dilakukan sambil duduk bersila dengan sikap tangan namaste, yang dilakukan oleh Sitakara dan Arundhati justeru sambil berdiri, yang menunjukkan bahwa mereka tidak sedang melakukan relaksasi dengan meditasi, namun sedang melakukan sebuah perjalanan. Ansuman yang berjaga tak jauh dari posisi mereka berdua, justeru duduk santai.
Ansuman memang diminta Sitakara untuk berjaga untuk memastikan keselamatannya yang akan melatih kondisi suwung Arundhati. Awalnya Ansuman berjaga dengan mata berfokus kepada kedua perempuan cantik itu. Namun, lama-lama dia merasa jengah. Kedua perempuan itu terlalu cantik untuk terus-menerus dia pelototin. Sebagai lelaki normal, Ansuman merasa tidak sanggup untuk berjaga dengan cara itu. Akhirnya, Ansuman memutuskan untuk menggunakan kesadarannya berjaga pada radius duapuluh meter dari kedua perempuan yang tengah berlatih tersebut. Dengan cara ini, bahkan cacing kosmos sekalipun akan terdeteksi bila ada yang berani mendekat. Dengan begini Ansuman bisa menggunakan waktunya untuk menikmati matahari sore dari puncak gunung.
Sementara itu di dalam tatar suwung, Arundhati mulai merasakan kehadiran kesadaran-kesadaran lain. Di tatar suwung ini, Arundhati hanya dapat merespons waktu dan kehadiran kesadaran lain. Arundhati tidak dapat merespon jarak dan ukuran-ukuran fisik lainnya. Salah satu yang dia rasakan kehadirannya adalah kesadaran Sitakara.
“Yu Ara, apakah itu kamu?” tanya Arundati untuk memastikan.
“Betul Ayun. Ini Yu Ara!”
“Jika betul itu Yu Ara, tolong bagaimana saya bisa meyakini!”
Sitakara kagum terhadap kehati-hatian Arundhati.
“Iya Ayun, ini Yu Ara bidadari yang pertama kali kamu temui. Nona Arundhati yang menangis tidak mau menyeberangi jembatan, yang pura-pura kesengsem sama Harjito karena berantem sama Ansuman!”. Sitakara sengaja mengambil beberapa titik cerita yang dirasa sangat berkesan bagi Arundhati.
“Sudah-sudah, iya Ayun percaya ini Yu Ara!”
“Syukurlah adhik cantik yang suka bereksperimen gak bilang-bilang….”
“Iya.. iya… sudah! Yu Ara ini.. yang itu gak usah dikasih tahu kenapa?”
“Ha ha ha… baiklah, sudah percaya, kan?”
“Iya, sudah! Sekarang bagaimana Yu Ara?”
Sitakara diam tidak bersuara. Mungkin dia sedang menahan tawa, karena saat ini pastinya Arundhati sedang penasaran.
“Yu Ara……!” panggil Arundhat, namun Sitakara tidak menyahut.
“Yu Ara…..?” Arundhati mengulangi lagi, namun Sitakara masih diam. Sepertinya Sitakara masih belum bersuara.
“Yu Ara……………………..!” kali ini Arundhati suara Arundhati agak keras. Sitakara, akhirnya menyahut, “Nah… ini, ini betul-betul Ayun.. yang tidak sabaran!”
“Iya.. iya.. sudah…! Sekarang bagaimana?”
“Ayun, saat ini Ayun sedang berada dalam kondisi suwung. Ayun hanya dapat merespon waktu yang terus bergerak. Adapun kemampuan Ayun merespon kehadiran bentuk-bentuk kesadaran lain itu adalah sebuah keniscayaan karena hanya ada kesadaran dalam kondisi suwung di gunung ini. Frekuensi purba dari gunung suwung ini membantu kesadaran tetap prima ketika memasuki kondisi suwung ini.” Sitakara menjelaskan kondisi suwung yang tengah dialami oleh Arundhati.
“Baik, Yu Ara. Ayun sudah memahami!”
“Kondisi suwung di sini adalah dimensi lain dari salah satu sisi dunia ini. Dan karena ini adalah mimpimu, maka kondisi suwung ini adalah dimensi lain dari mimpimu”
“Dimengerti, Yu Ara!”
“Sekarang, ingatlah tanganmu. Rasakan ada yang memegang tanganmu. Kemudian, ingatlah matamu. Rasakan matamu terpejam. Kemudian dengan kesadaran tertinggi bukalah matamu!”
“Baik, Yu Ara!”
Arundhati kemudian membuka kedua matanya. Arundhati tertegun sebentar demi menyadari bahwa saat ini dia tengah berada di depan gerbang sebuah padepokan. Di sebelah kirinya, sebelah kanan padepokan, berdiri sebuah langgar yang bersahaja. Bila dilihat dari situasinya, padepokan ini di tengah hutan.
Tangan kanan Arundhati masih dipegangi oleh Sitakara. Arundhati menyorongkan kepalanya ke telinga kiri Sitakara sambil tangan kirinya memagari mulutnya ketika dia berbisik ke Sitakara, “Yu Ara, apa kita kembali ke jaman Majapahit?”
Mendengar pertanyaan Arundhati, Sitakara tertawa terkekeh-kekeh. Namun belum lagi menjawab pertanyaan Arundhati, tiba-tiba dengan berlari datang seorang perempuan muda berjubah dan kerudung putih gading.
“Yu Sita…..!” perempuan muda itu memanggil Sitakara sambil membuka tangannya. Sitakara melepaskan pegangannya ke tangan Arundhati dan membuka tangannya menyambut tangan perempuan muda itu. Mereka berpelukan.
Arundhati terbelalak melihat kejadian ini. Bukan karena Sitakara yang terlalu cantik ini berpelukan dengan perempuan muda itu. Tapi karena Arundhati merasa bahwa dia kenal dengan perempuan muda itu.
Setelah kedua perempuan itu saling berpelukan, Arundhati mendekati perempuan muda yang bertubuh tinggi langsing itu. Arundhati cuma sepundak perempuan muda itu. Arundati tidak pendek, tapi memang perempuan muda itu terlalu tinggi. Arundhati menarik pundak Sitakara membuat jarak antara Sitakara dan perempuan muda itu. Arundhati memutari perempuan muda itu memeriksa penampilan fisik perempuan muda itu. Satu kali putaran, Arundhati berhenti di depan perempuan muda itu dan agak mendongak melihat muka perempuan muda itu.
“Dini?” Arundhati menyebut nama dan perempuan muda itu mengangguk sambil tersenyum.
“Dini?” kembali Arundhati menyebut sebuah nama dan sekali lagi perempuan muda itu mengangguk. Arundhati memandangi lagi perempuan muda itu. Kemudian sambil bergumam Arundhati berkata pelan, “Sweta Nandini anak juragan Badrun….?”
“Betul Ayun…. Si tukang tidur…..!” akhirnya perempuan muda yang ternyata adalah Sweta Nandini teman sekolah Arundhati menutup keraguan Arundhati. Dan, tiba-tiba Arundhati memeluk pinggang Nandini sambil menangis, “Masya Allah, akhirnya aku punya teman yang aku kenal di sini!”
Nandini membalas pelukan Arundhati. Mereka berdua berpelukan. Cukup lama mereka berpelukan. Ketika Arundhati menangis, Nandini malah tersenyum-senyum. Sitakara pun ikut tersenyum.
Setelah puas berpelukan, Arundhati yang merasa bahwa Nandini tidak menangis sedikitpun, bertanya setengah protes kepada Nandini, “kamu kenapa gak nangis sih?”
Ditanyain begitu, Nandini malah tertawa, dan sambil tertawa dia bertanya kepada Sitakara, “Yu Sita, memang Yu Sita gak pernah cerita?”. Sitakara menggeleng. “Pantesan!” seru Nandini.
“Jadi, kalian sudah saling kenal sebelumnya?” bertanya Arundhati kepada kedua orang itu. “Iya!” jawab Sitakara mengiyakan.
“Oh….!”
“Oh apa, emang udah tahu ceritanya?” tanya Nandini kepada Arundhati, dan dijawab dengan kata, “Tidak!” oleh Arundhati.
“Jadi gini….. Yu Sita ini…” Nandini bermaksud menjelaskan, namun sebelum selesai bahkan masih preambule, Arundhati menyela, “Yu Ara!”. Arundhati bermaksud mengkoreksi nama yang disebut oleh Nandini.
“Yu, Sita!” tukas Nandini
“Yu Ara!” teriak Arundhati tidak mau kalah sambil melotot ke arah Nandini.
“Yu Sita! Nama lengkapnya Mbakyu Sitakara Dhanta. Yu Sita dalam menjalankan misi menggondol Ayun ditemani sama Kang Suman, Kang Angsuman, lengkapnya Kakang Angsuman Adyucara!” jelas Nandini yang juga tidak mau kalah.
“Benar Yu Ara?” Arundhati menoleh ke Sitakara, bertanya untuk memastikan.
“Betul Ayun!” Sitakara membenarkan penjelasan Nandini.
“Ah, Ya udah, biar aja… Ayun mah tetap manggilnya Yu Ara aja!” Arundhati tidak mau kalah.
“Ya sudah, terserah kamu!” sergah Nandini, “O, kita masuk dulu ke padepokan. Guru sudah menunggu di ruang pertemuan utama.”
Meskipun ada perdebatan kecil, pertemuan ketiga perempuan itu terasa hangat. Dan, mengikuti ajakan Nandini, mereka bertiga kemudian berjalan memasuki area padepokan.
Dalam perjalanan dari gerbang ke ruang pertemuan yang ternyata cukup jauh itu, tak henti-hentinya mereka bertiga saling bercakap.
“Yu Ara, kenapa buat pindah ke mari saja harus melewati ritual yang cukup panjang dan sepertinya cukup menguras kesadaran kita? Untung yang kena dikerjain Ayun, yang cantik dan….pintar!” akhirnya Arundhati bertanya mengenai proses yang baru dilaluinya kepada Sitakara. Dengan pelan dan hati-hati Sitakara menjawab, “Ayun, ini adalah dimensi lain dari kesadaran. Dimensi ini tidak menempati mimpi maupun alam nyata sebagai dimensi utama. Bila mimpi dan nyata meskipun berbeda dimensi, keduanya masih ada pada satu putaran alam yang sama sehingga eksistensi keduanya bergantung pada persepsi object yang terlibat. Namun, di dimensi ini, tidak ada persepsi yang mampu merubah eksistensinya. Dan, oleh karenanya apapun persepsi yang kamu terima di sini adalah pesan yang sebenarnya, tidak ada yang mampu merubah persepsi sekehendaknya. Dan seperti di dimensi utama, persepsi di sini hanya bersifat hayali. Tidak pernah merupakan realita. Dan karena untuk menuju kemari harus melalui dimensi mimpi, maka dimensi ini adalah lapisan transenden dari dimensi mimpi. Boleh kita sebut sebagai lapis kedua dimensi mimpi. Proses yang kamu lalui itu memang sengaja Yu Ara lakukan secara perlahan karena perpindahan dari dimensi mimpi ke dimensi ini memang harus dilakukan dengan kesadaran yang tetap terjaga. Terutama ketika kita mengalami superposisi saat dimana semua kemungkinan dan ketidakmungkinan terjadi bersamaan, kesadaran harus tetap terjaga.”
Arundhati mendengarkan dengan seksama, dan bukan Arundhati bila tidak berusaha menebak, “hmm berarti kita sedang berada pada dimensi yang sangat mirip dengan dimensi utama” pelan sekali suara Arundhati menyimpulkan penjelasan dari Sitakara. Dan meskipun dia telah mengerti tentang eksistensi dimensi yang baru dia masuki ini, namun ada satu pertanyaan juga, “tapi…. Kenapa kita harus harus di Gunung Suwung?”
“Gunung Suwung adalah portal yang dapat menghubungkan beberapa lapis dimensi kesadaran. Frekuensi purba dari Gunung Suwung itulah sebenanrnya yang memungkinkan Gunung Suwung menjadi portal antar dimensi. Seperti yang tadi Yu Ara bilang, frekuensi purba ini mampu menjaga kesadaran dalam kondisi prima saat kita melakukan perlintasan”
“Apakah kita harus ke Gunung Suwung untuk melakukan perlintasan?”
“Tidak harus ke Gunung Suwung bila kita mampu menjaga stamina dari kesadaran kita saat melakukan perlintasan”
“Ooo…., gitu…!” akhirnya Arundhati mampu memahami seluruh penjelasan Sitakara.
“Ayun, apa kamu gak nanya dulu tadi sama Yu Sita atau Kang Suman?” Tiba-tiba Nandini menanyakan sesuatu yang malah bikin dongkol Arundhati yang dijawab dengan hanya satu kata oleh Arundhati, “bosen!!!”.
Mendengar jawaban Arundhati ini, kontan, baik Sitakara maupun Nandini tertawa tergelak-gelak. Nandini sepertinya sudah cukup lama bergaul baik dengan Ansuman maupun Sitakara. Mereka berdua memang cocok dengan jawaban khas saat ditanya ketika mereka mengajak melakukan sesuatu. Ya, betul.. “nanti juga tahu!”. Dan jawaban seperti ini pulalaha yang membuat Arundhati gak pengin menanyakan apa perbedaan antara lapis kedua dimensi mimpi dengan dimensi utama.
Ketika mereka bertiga sampai di depan pendopo padepokan, seorang perempuan dewasa tinggi langsing dengan busana yang sangat indah menutupi seluruh tubuhnya telah menunggu mereka. Hanya mata yang tersisa untuk dilihat dari penampilan perempuan yang mungkin sedikit lebih tinggai dari Nandini. Tatapan tajam yang menyeruak dari dua bola mata yang dihiasi alis lebat nan indah menyisakan kecantikan fisik dari tubuh yang tertutup. Tidak ada yang tahu berapa umur perempuan itu. Yang pasti, ketika mereka bertiga sampai ke hadapan perempuan yang tetap berdiri dengan keanggunannya, baik Sitakara maupun Nandini segera berdiri tegak dengan tangan kanan silang di dada dan secara kompak mereka memberi hormat, “salam hormat gurunda bunda Nyi Ajar Nismara!”. Kedua perempuan itu kemudian berdiri sambil menunduk.
Melihat apa yang dilakukan oleh Sitakara dan Nandini, Arundhati jadi salah tingkah. Buru-buru dia mengikuti gerakan Sitakara maupun Nandini. Namun sudah terlambat. Arundhati buru-buru menyilangkan tangan kanannya ke dada sambil membungkuk memberi salam, “salam hormat gurunda bunda Nyi Ajar Manis Mesra!”.
Sitakara kaget luar biasa, namun karena saat ini dia sedang berada di hadapan gurunya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Sitakara cuma berani melirik dan berbisik menegur Arundhati, “Ayun…, bukan manis mesra…! Nismara. Ayo buru minta maaf!”
Arundhati kaget mendengar teguran Sitakara, “eh eh eh.. maaf Nyi Ajar, Ayun salah! Maksud Ayun…. Eh… Maksud Ayun, Salam Hormat Gurunda Nyi Ajar Nismara, bukan bukan Nyi Ajar Manis Mesra. Tapi… tapi… Nyi Ajar memang cantik! Maaf… maaf…!” sambil tetap menunduk dan tangan menyilang, Arundhati segera mengucapkan beberapa permintaan maaf. Tapi ini Arundhati yang meminta maaf. Jadi harap maklum dengan pilihan katanya. Hanya saja Sitakara merasa takut karena yang sedang mereka hadapi adalah guru besar di padepokan ini. Sitakara segera mengambil sikap menghormat lagi, “mohon gurunda berkenan untuk memaafkan sikap Arundhati Dia masih belum terbiasa!”
Perempuan dewasa yang dipanggil gurunda ini hanya tersenyum dan bahkan sepertinya menahan tawa terlihat dari tangan kirinya yang dia angkat menutupi mulutnya yang sudah tertutup cadar. Kemudian sambil memutar tubuhnya perempuan itu menjawab permintaan Sitakara sembari mengajak mereka untuk masuk ke dalam, “baiklah Sitakara, ndhak apa-apa. Guru sangat mengerti. Kalian semua, mari masuk!”
Mereka berempat berjalan menaiki tangga pendopo, berjalan di tengah pendopo yang sangat luas dan kebetulan sedang kosong, untuk kemudian masuk ke dalam ruangan dibelakang pendopo yang kalah luasnya. Di ujung ruangan terdapat sebuah singgasana, sementara ke arah Singgasana berderet kursi di kiri kanan salang berhadapan. Nyi Ajar Nismara terus berjalan menuju kursi besar di ujung ruangan. Sementara itu pada jarak tertentu dari kursi tersebut, tanpa aba-aba Nandini dan Sitakara menghentikan langkahnya. Arundhati terlewat satu langkah, namun segera menyadari. Dia mundur satu langkah, mensejajarkan dengan Nandini dan Sitakara.
Setelah duduk, Nyi Ajar Nismara menggerakan tangannya mempersilakan kedua muridnya dan Arundhati untuk duduk. Nandini mengambil kursi sebelah kiri, sementara Sitakara ambil kursi sebelah kanan. Meskipun Nandini adalah teman sekolahnya, namun Sitakara adalah orang yang telah banyak membantunya. Arundhati memilih duduk di sisi yang sama dengan Sitakara.
Sambil duduk dan kedua tangan tertangkup di atas pangkuannya, dengan tenang Nyi Ajar Nismara memandangi ketiga orang yang ada di hadapannya. Ketika pandangannya sampai kepada Arundhati, dia tersenyum dan kemudian mulai bicara, “apa khabar Ayun?”
“Baik bulik.. eh upss… guru, maaf guru!” Arundhati salah ucap dan segera melakukan koreksi. Sitakara melotot ke arah Arundhati. Yang dipelototi cuman nyengir.
Nyi Ajar Nismara hanya tertawa kecil, “bagaimana perjalananmu?”
“Sebentar dulu, kalau di sekolah kan banyak juga guru. Tapi tidak ada satupun yang dipanggil guru. Semua dipanggil menggunakan namanya. Misal, Pak Bustomi guru fisika. Beliau tidak pernah dipanggil Guru, atau Guru Bustomi, tapi dipanggilnya Pak Tomi…” belum lagi selesai Arundhati bicara, cubitan Sitakara mendarat di punggung tangan Arundhati. Arundhati menarik tangannya sambil protes, “Ih… Yu Ara, ngapain sih cubit-cubit!”. Sitakara melotot. Arundhati gak mau kalah. Nyi Ajar Nismara tersenyum sambil menanyakan kelanjutannya kepada Arundhati,
“Jadi, gimana lanjutannya, Ayun?”
Sitakara masih memelototi Arundhati sambil berbisik agar jangan dilanjutkan. Namun demi mendengar suara Nyi Ajar Nismara yang lembut dan sangat bersahabat, Arundhati malah memeletkan lidahnya ke Sitakara, “Wekk…..!”. Sitakara kesal dan sambil tetap bersungut-sungut dia kembali membalikkan badannya ke arah Nyi Ajar Nismara. Arundhati kembali melanjutkan bicaranya, “baik Guru, saya lanjutkan. Jadi karena sudah jelas pekerjaan mereka sebagai guru, maka kami tidak lagi menyebut guru dalam menyebutkan mereka. Jadi seperti tadi itu, Pak Bustomi guru Fisika. Kami tidak menyebutnya sebagai Guru Fisika, tapi cukup Pak Tomi sebagai penghargaan kepada beliau dengan menyebut properti yang paling membanggakan buat beliau. Nama beliau.” Arundhati berhenti sebentar menarik nafas.
“Terus?” Nyi Ajar Nismara seperti mengejar penjelasan dari Arundhati. Kembali Arundhati menarik nafas, “Ayun usul….. bagaimana bila kita memanggil guru sebagai Bu Anis?” Dengan mata berbinar, Arundhati menayampaikan langsung usulnya kepada Nyi Ajar Nismara. Tanpa di duga-duga, Nyi Ajar Nismara malah membolehkan usul Arundhati sambil menatap ke arah Nandini. Nandini nampak salah tingkah dengan raut muka malu-malu. “Teman kamu Dini, juga memanggilku dengan sebutan Bu Anis. Kupikir, tidak jelek juga untuk menggunakan sebutan ini.” Nandini masih salah tingkah dan tersipu malu, Arundhati berteriak, “yesss!”, sementara Sitakara nampak lega karena gurunya tidak marah.
Tiba-tiba, Arundhati mengangkat tangannya dan bertanya, “O, ya Bu! Saya mau tanya boleh?”. Nyi Ajar Nismara menjawab sambil tersenyum, “ya… boleh… silakan Ayun kalau ada yang mau ditanyakan.”
“Bu Anis, kenapa saya dibawa ke mari sama Yu Ara?”
“Hmmm… nanti juga kamu akan tahu!”
Arundhati tepok jidat sambil mengomel dalam hati, “Owalah Yung…., gak murid gak guru, sama saja kalau ditanyain!”
Semua yang ada di ruangan tertawa. Bahkan Nyi Ajar Nismara tampak tertawa lepas meskipun suaranya masih terdengar ditahan.
“Ayun, Sweta Nandini temanmu itu juga tidak langsung sampai di tempat ini. Namun, dalam waktu yang sangat cepat dia mampu menerobos ke mari. Dia memang mempunyai energi kesadaran bawaan untuk melakukan penyelarasan. Dengan stamina kesadarannya yang sangat luar biasa dia mampu menyelaraskan kesadarannya dengan cepat, sehingga tidak menunggu lama Ansuman langsung membawa dia ke sini.” Nyi Ajar Nismara berhenti sebentar untuk memberikan waktu kepada Arundhati mencerna ceritanya. Arundhati nampak serius mengikuti cerita Nyi Ajar Nismara.
“Sementara kamu Ayun, kamu adalah orang yang telah lama kami cari. Mengenai alasan kenapa kami mencarimu, seiring berjalannya waktu nanti kamu akan tahu. Sitakara dan Ansuman memang kami tugaskan untuk mencarimu dalam setiap kepingan lapis pertama.”
“Luar biasa Yu Ara dan Kang Suman. Mencari di antara banyak kepingan pada lapis pertama kan sama kayak mencari jarum dalam tumpukan jerami!” puji Arundhati dalam hati.
“Sangat sulit Ayun, tapi kami telah banyak mengenalmu sehingga dengan mempelajari sinyal dari kesadaranmu dapat kami dapat mengidentifikasi keberadaanmu. Namun, karena itu adalah di lapis pertama, munculnya sinyal kesadaranmu sangatlah tidak stabil. Hanya ketika keterhubunganmu terbuka saat kamu menyeberangi jembatan pertama kami, kami dapat mengunci kesadaranmu. Hal ini dibantu juga dengan kemampuan-kemampuan kamu yang kamu tunjukkan secara acak sejak awal mereka bertemu, semakin menegaskan bahwa kamulah orang yang kami cari.”
Hmm, yang ini Arundhati pernah dengar dari Sitakara dan Ansuman. Arundhati tidak berkomentar mendengarkan penuturan Nyi Ajar Nismara.
“Ayun, lapis kedua ini memiliki kemiripan dengan dimensi utama. Perbedaannya hanya pada posisi transenden bawaan dari lapis pertama. Semua object di sini adalah object fisik sebagaimana makhluk akan terdiri dari darah dan daging. Salah satu hal yang membuat kami harus mencari kamu Ayun, kamu adalah orang yang mampunyai kemampuan melewati batas-batas transendental yang mengungkung orang lain. Bila kami di sini dalam ukuran dimensi utama sudah melewati batas transendental, maka kamu akan melampaui kami baik dalam ukuran dimensi utama maupun dalam ukuran semua lapis dimensi ini” Nyi Ajar Nismara menjelaskan memberikan penekanan pada kata orang lain. Penekanan ini diterima oleh Arundhati sehingga dia penasaran dan bertanya, “kenapa orang lain tidak mampu melakukannya di sini?”
“Karena hanya kamu yang kami kenal akan mampu untuk menjadi pemimpin kami di sini menggantikan pendahulu kamu yang telah hilang!”
Jelas, tegas, dan bikin gundah. “Jadi untuk memenuhi harapan kalian, saya diculik ke sini dan harus tinggal di sini?”
Nyi Ajar Nismara tersenyum menjawab pertanyaan itu, “Iya Ayun, tapi jangan kuatir kamu punya teman di sini. Mbakyumu Ara, kakangmu Suman, dan kawan sekolahmu, Dini!”
“Bukan, bukan itu yang Ayun mau. Ayun cuma mau tinggal sama Bapak dan Ibu Ayun!” Arundhati nampak sedih. Dia suka bila memang harus tinggal di sini, tapi untuk menetap di sini itu berarti harus berpisah dengan ibu dan bapak.
“Jangan kuatir Ayun, dengan tingkat kesadaran kamu saat ini, kamu bisa hidup secara parallel di sini, maupun di dimensi utama tanpa harus ditidurkan salah satu! Di sini nanti kamu akan berlatih berbagai ilmu untuk memperkuat kesadaranmu. Dan kamu di dimensimu akan mendapatkan manfaat latihan latihan ini.”. Nyi Ajar Nismara memberikan penjelasan untuk menenangkan Arundhati. Wajah Arundhati menjadi bungah sumringah mendengar penjelasan Nyi Ajar Nismara.
Tengah mereka saling bercakap-cakap, tiba-tiba datang seorang lelaki memasuki ruangan dan berhenti agak jauh dari posisi mereka. Setelah melakukan gerakan hormat lelaki itu menyampaikan maksudnya “Salam hormat kami kepada Nona Nyi Ajar Nismara, Ramanda Ki Ageng Turangga Seta meminta untuk datang menemui beliau!”
“Baik, sampaikan kepada Bopo Kyai, saya akan segera datang menemui beliau.”, balas Nyi Ajar Nismara.
“Baik Nona!”, lelaki itu kemudian mundur dan memutar badanya ke luar.
Nyi Ajar Nismara kemudian kembali bercakap dengan ketiga perempuan itu. Setelah beberapa saat mereka bercakap kemudian Nyi Ajar Nismara meminta mereka untuk berisitirahat.
“Sebentar lagi adzan maghrib akan terdengar. Kalian segera bersiap-siap. Nandini, nanti tunjukkan kamar untuk temanmu Ayun. Sitakara, setelah bebersih, segera temui saya di tempat Bopo Kyai!”
“Baik Guru!” Sitakara menjawab dan berbarengan dengan itu Nandini dan Arundhati menjawab, “Baik Bu Anis!”
Nyi Ajar Nismara tersenyum dan meninggalkan mereka. Sitakara melotot ke arah Arundhati dan Nandini dan dibalas dengan nyengir kuda oleh Nandini maupun Arundhati. Ini adalah lapis kedua dari dimensi mimpi.
Sementara itu, di puncak Gunung Suwung, Angsuman tinggal sendirian. Setelah kehadiran kesadaran Sitakara maupun Arundhati menghilang bersamaan dengan menghilangnya tubuh mereka, Angsuman pun berdiri tegak dan tak lama kemudian tubuhnya mulai kabur dan menghilang.
{9} GUNUNG
2:52 PM Wihartoyo
Ansuman masih teriak-teriak pelan agar tidak dicubit Arundhati, sambil menarik-narik lengannya terlihat mukanya kadang melihat ke lengannya kadang mendongak ke atas seakan ada seseorang yang berdiri di depannya. Arundhati tersenyum-senyum melihat Ansuman. Sesekali Arundhati melirik ke arah Sitakara yang nampaknya asik menikmati keisengannya sampai akhirnya Arundhati menegurnya, “sudah sudah sudah Yu Ara. Kasihan Ansuman, kaya orang nganu aja…!” Arundhati menegur Sitakara sambil tersenyum geli tentunya. Ya gimana tidak, saat itu Ansuman memang kayak orang nganu. Namun, mendadak Ansuman diam. Dia tidak lagi teriak-teriak. Ansuman bingung, Arundhati yang mungkin, dalam persepsinya tadi mau mencubit tiba-tiba terlihat duduk di kursinya tanpa meninggalkan sedikitpun ekspresinya waktu mau mencubit dia. Namun, nampaknya Ansuman segera menyadari ini kelakuan siapa, “o… ada yang dapet mainan baru ternyata!” Ansuman mengalihkan pandangannya ke arah Sitakara. Sitakara tahu siapa yang dimaksud Ansuman namun dia pura-pura tidak tahu. Sitakara malah berdiri, sambil menunjuk ke arah belakang Ansuman dan berteriak, “Ayun, itu burungnya cantik banget tuh!” Ansuman tidak bereaksi, “halah.. trik kuno, gak laku!” Akan tetapi, ketika Arundhati bangun dan melihat ke arah yang ditunjuk Sitakara, Ansuman pun akhirnya memutar tubuhnya ke belakang. Tanpa dia sadari, tangan kanan Sitakara sudah meraih tangan kiri Arundhati untuk segera mengajaknya pergi. Mereka berlari ke arah kamar mereka. Ansuman yang telah melihat ke belakang sepenuhnya tidak melihat apapun yang ditunjuk oleh Siitakara tadi, “mana… burungnya gak ada!” namun sayang tidak ada sahutan sama sekali. Agak lama mata Ansuman mencari-cari burung yang dibilang sama Sitakara sambil mengerakan kepalanya sampai kemudian berhenti karena menyadari apa yang sedang dia alami. “Hh…h! Kena lagi!” keluhnya. Ansuman bangun dari duduknya dan berjalan sambil komat-kamit.
Arundati yang tengah berjalan bersama Sitakara ke kamar sambil tertawa-tawa tiba-tiba menghentikan langkahnya. Sitakara juga berhenti. Tiba-tiba dia mendengar suara Ansuman yang sangat keras sekali, “Buru ke kamarnya, saya tunggu di depan!” Arundhati membalikkan badannya kemudian teriak pelan, “dasar norak, gitu aja make teriak-teriak!”
Sitakara yang ikut berhenti, namun dia malah tersenyum melihat Arundhati yang nampaknya sedang kesal. “Ayun, dia gak teriak-teriak. Dia cuma nargetin Ayun. Yu Ara gak Denger!”Arundhati, membalikan badannya lagi ke arah semula sambil tersenyum, “hi hi hi…., coba Yu Ara lihat apa yang sedang terjadi sama kang Suman!”
Demi mendengar jawaban Arundhati, tanpa menunggu lama Sitakara segera membalik badannya dan melihat ke arah mereka sarapan tadi. Tak jauh dari situ, terlihat Ansuman sedang membungkuk-bungkuk sambil memegang kupingnya. Sitakara membalikkan badannya kembali, dan sambil menarik tangan Arundhati, dia berbisik, “jangan keras-keras, mekipun itu bukan suara sebenarnya, namun kalau terlalu keras itu bisa mengguncang kesadaran Ansuman!” Arundhati tidak langsung menjawab. Dia tarik kedua sudut bibirnya sehingga wajah tirusnya menjadi sedikit cabi, sambil matanya membesar. Ada senyum yang dia tahan ketika kemudian dia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Yu, Ara!” panggil Arundhati ketika mereka telah berada di dalam kamar beberes. “Ya, Ayun!” sahut Sitakara. “Yu Ara tahu gak, tadi Kang Suman kenapa dia pegang-pegang kuping?”
“Kamu teriakin keras-keras!?”
“Bukan, Yu Ara!”
Sitakara yang tengah melipat-lipat bajunya berhente sesaat. Ada rasa lega karena Arundhati tidak meneriakinya. Kemudian dia melanjutkan melipat-lipat, “jadi tadi bukan kamu teriakin keras-keras? Terus kamu apain?”
Arundhati klecam-klecem tersenyum, “tadi Ayun make jurus yang umumnya cuma perempuan doang yang bisa menggunakan!”
Kali ini Sitakara jadi penasaran. Arundhati memang selalu membuat kejutan. Salah satunya ketika dia memindahkan dirinya ke restauran tadi. Kejutan apalagi yang dia tunjukkan kali ini. Sesaat setelah Sitakara telah selesai melipat-lipat baju, Sitakara duduk di pinggir ranjang dan bertanya pada Arundhati, “jurus apa itu Ayun?”
“Jurus serangan sejuta kata-kata…….!” Jawab Arundhati sambil berdiri dengan tangan kanan dia angkat miring ke atas dan tangan kiri dia silangkan mengukti arah tangan kanannya.
Sitakara tertawa terkekeh-kekeh saat mendengar jawaban Arundhati, “kamu omelin, maksudnya?”
“La ya iya… Yu Ara. Apalagi?”
Mendengar jawaban Arundhati, Sitakara tertawa. Arundhati tertawa. Hmm…. Ya mereka berdua tertawa. Hmmm…. Dua perempuan cantik sedang tertawa, sepertinya tidak perlu digambarkan di sini.
Setelah selesai tertawa, Sitakara bertanya kepada Arundhati, “Ayun, memang tadi Ansuman bilang apa, sampai kamu omelin gitu?”
“Bukan omongannya sih Yu, yang bikin Ayun kesel!”
“Eh iya, caranya mungkin ya yang bikin Ayun kesel?”
“Iya sih, Yu Ara. Kan kita masih belum jauh. Ngapain make pamer kemampuan begitu?” Arundhati mengungkapkan kekesalannya.
“Ha ha ha… dia gak pamer kemampuan Ayun! Dia cuma pengin kenal lebih deket sama kamu!” jelas Sitakara sambil mengedipkan matanya sebelah ke arah Arundhati. Namun yang dikedipin tidak melihat, malah teriak,
“O iya… tadi Kang Suman bilangnya, buru ditunggu di depan! Ayo Yu segera kita ke depan!”
“O, gitu….! Ayo kalau begitu!” seru Sitakara sambil mengambil travel bagnya.
“Ayun gini aja, ya!”
Arundhati bergaya bak foto model kehilangan tukan foto. Kaki kirinya agak ke depan, kedua tangan ksamping dengan telapak membuka sejajar pundak, kepala miring kiri, “tara…..!”
Arundhati tampak tidak membawa apapun.
“Ya udah, udah ayo kita kedepan. Ansuman udah pesen taksi on line!” tergesa-gera Sitakara menarik Arundhati. Arundhati tidak menyadari kalau Sitakara juga sudah tidak menyangking travel bag lagi.
Sesampainya di lobby penginapan, Ansuman terlihat tengah berdiri dekat pintu, dan secara reflek tangan kirinya dia angkat menyilang di depan mukanya seperti tengah melihat jam, padahal dia tidak mengenakan jam tangan sama sekali. Arundhati kesal melihat gaya sok cool dari Ansuman, “Iya.. iya kami agak telat!” sambil pasang muka cemberut. Arundhati, Sitakara, dan Ansuman berdiri berjajar di depan pintu penginapan dengan Arundhati berdiri membelakangi Sitakara dan Ansuman. Sitakara melirik Arundhati kemudian menengok ke arah Ansuman. Sitakara tersenyum, Ansuman nyengir kuda. Tak lama kemudian taksi yang mereka pesan datang. Sebuah mobil entah merek apa yang pasti disainnya agak unik mirip mobil tua. Pintu depan mobil itu terbuka. Seseorang telah membukakan pintu dari dalam, dan dari dalam mobil dengan tangan kiri menahan di jok, seorang lelaki bertampang latin dengan bewok hitam tercukur rapi menyorongkan mukanya, “Mas Ansuman?”. Lelaki itu bertanya memastikan bahwa salah seorang tentunya laki-laki yang berdiri itu bernama Ansuman. Dengan sigap Ansuman menjawab, “Iya saya!”. Lelaki itu kemudian mempersilakan mereka masuk.
Arundhati segera membuka pintu belakang. Namun dia malah memegang tangan Ansuman yang ternyata juga mau membuka pintu belakang. Tangan Ansuman terhenti, Arundhati segera menarik tangannya sambll mundur berdiri tegak dan melotot ke arah Ansuman. Sitakara tertawa terpingkal-pingkal sambil menutup mulutnya. “Kang Ansuman, sampeyan itu di depan duduknya! Bukan di belakang!” Ansuman kembali mengambil muka kudanya dan nyengir tanpa dosa. Sambil menahan ketawanya, Sitakara menegur Ansuman, “Ansuman, kamu mau duduk di belakang sama Ayun? Oklah kalau begitu. Yu Ara duduk di depan ya!”
Mendengar teguran Sitakara, baik Ansuman maupun Arundhati sama-sama memalingkan mukanya ke Sitakara. Ansuman tambah lebar senyumnya, sementara Arundhati malah semakin melotot, “Ogiah…! Yu Ara aja yang di belakang sama Kang Suman. Biar Ayun di depan sama Abang taksinya.” Arundhati menolak usulan Sitakara. Arundhati tidak mau duduk di jok belakang bareng Ansuman. Bagi Arundhati, kalau memang Ansuman mau duduk di belakang, mending dia duduk di depan bareng Abang Taksi yang pasti lebih ganteng dari Ansuman. Dan, sepertinya Sitakara tahu apa yang dipikirkan Arundhati, “ha ha ha ha…. Ya udah kalo begitu. Ansuman, kamu di depan nemenin si Abang taksi. Biar Yu Ara aja yang di belakang sama Arundhati!”
“Nah, gitu… baru bener!” teriak Arundhati. Namun belum ada perubahan raut muka yang signifikan. Agak sedikit kecewa sih, tapi sepertinya itu lebih baik daripada harus duduk sama Ansuman. Yah… Arundhati, pas awal ketemu padahal sempat salah tingkah berhadapan sama Ansuman. Ansuman melepaskan pegangannya sambil menarik handle pintu, “silakan nona Arundhati….!”. Ansuman mempersilakan Arundhati masuk ke dalam mobil. “Terimakasih Kang Ansuman yang baik hati dan tidak sombong!” balas Arundhati sambil membungkuk.
“Yu Ara! Yu Ara masuk dulu!” Arundhati tidak jadi masuk ke dalam mobil. Sambil mundur memberikan ruang, diia mempersilakan Sitakara masuk ke dalam mobil. Sitakara segera masuk ke dalam mobil diikuti kemudian oleh Arundhati dan menutup pintu mobil. Ansuman sudah terlebih dulu masuk ke dalam mobil di jok depan. Setelah semua duduk di dalam mobil, si Abang taksi bertanya ke Ansuman, “Mas Suman, tujuan sudah sesuai dengan aplikasi?”. Sambil memasang sabuk pengaman, Ansuman menjawab, “Iya, kita ke gunung Suwung ya Mas….” Ansuman mengambil gadget-nya dan membuka aplikasi, “ Harjito!”. Ansuman menyebut nama si Abang taksi sesuai yang tertulis di aplikasi. Si Abang taksi tersenyum sambil berkata, “baik, kita lewat desa Dlesep ya kemudian ara-ara Karangtadah, baru ke Wanagung di kaki Gunung Suwung. Saya hanya sampai di situ ya, Mas Ansuman!”. Ansuman hanya mengangguk sambil mengelus-elus layar gadgetnya yang kemudian dia matikan dan dia simpan ke balik baju luriknya sambil menjawab si Abang taksi, “Iya, gak apa. Sampeyan mestinya lebih tahu jalan yang paling singkat!”. Si Abang taksi tersenyum, kemudian mereka terlibat pembicaraan santai sambil diselingi tawa.
Selama perjalanan, pengisi kedua baris jok terlibat ke dalam obrolan mereka masing-masing. Ketika Ansuman dan si Abang taksi terlibat dalam satu pembicaraan yang gayeng, Arundhati dan Sitakara jug terlibat dalam suatu pembicaraan yang gayeng pula.
“Yu Ara, dari tadi sebenarnya Ayun mau nanya!” sambil miring merapatkan pundaknya ke pundak Sitakara, Arundhati berbisik dengan muka dia palinkan ke Arundhati.
“Tanya apa?” Sitakara bertanya sambil bergeser mencoba menjauhi Arundhati dengan pandangannya lurus ke depan. Sembil semakin mendekatkan kepalanya ke Sitakara, Arundhati berbisik, “kenapa kita gak make teleportasi? Malah naik taksi ginian”
Sitakara berhenti bergeser, menoleh ke arah Arundhati sambil menjawab pertanyaan Arundhati dengan berbisik juga, “ingat keselarasan…!”
Arundhati menarik kepalanya, duduk tegak sambil bertanya pelan tanpa ekspresi, “keselarasan? Bukankah keselarasan tidak selalu berarti bahwa setiap ketidakmampuan di dunia Ayun tidak harus direplikas di sini?”
“Betul, namun ketidakbiasaan yang terlalu sering berulang akan menurunkan ambang kesadaran kepada titik terendah dan ini terlalu berisiko buat Ayun”, lanjut Sitakara mengingatkan. Arundhati cemberut.
Si Abang taksi yang sedang sibuk bertukar suara (ngobrol) dengan Ansuman tiba-tiba menjulurkan kepalanya ke depan dilanjut tengok kanan dan tengok kiri, “Tuan dan nona nona semua, sebentar lagi kita akan memasuki hutan Wanagung. Hutan ini sangat datar dan jalan yang akan kita lewati juga sangat lurus. Tapi, tenang! Ini bukan jalan tol jadi free of charge!”
Ansuman dan Sitakara tersenyum, sementara Arundhati masih pasang muka cemberut.
Ketika mobil memasuki jalan yang sangat lurus itu, pada beberapa puluh meter awal seisi mobil selain Arundhati kaget. Mobil yang mereka tumpangi mendadak sudah berada di ujung jalan. Sitakara dan Ansuman, dua-duanya, memalingkan mukanya ke Arundhati. Mereka berdua melotot. Arundhati pasang tampang tak bersalah sambil berkata, “oh… sampai ya? Yu Ara? Kang Suman? Dan… dan bang siapa namanya?” sambil mencoleh pundak si Abang Taksi. Si Abang Taksi menyahut sambil tersenyum tipis, “Harjito..”. Arundhati membalas senyum Harjito yang terlihat dari spion dalam mobil dengan senyuman lebar sambil meneruskan bicaranya, “e iya… Bang Jito. Tapi mestinya kalo Jito bukan Bang dong! Kang aja, boleh? Kang Jito?” Harjito mengangguk. Seperti anak kecil yang baru dapet permen, senyum Arundhati semakin semringah dengan kedua tangannya membuat gerakan tepuk tangan di depan dada, “asiikkk…!”
“Ayun!” Sitakara dan Ansuman menegur Arundhati. Arundhati cuma cengar-cengir. Dengan memasang tampang seratus persen inosen, Arundhati memalingkan mukannya ke arah Sitakara dan berkata terpatah-patah, “Su..dah sam..pai, kan Yu Ara?”
Dalam hati, sebenarnya Sitakara tahu kenapa Arundhati bersikap seperti itu. Arundhati tahu kesalahannya, dan ingin menutupi dengan gaya manjanya. Demikian juga Ansuman. Ansuman juga tahu kenapa Arundhati bersikap seperti itu. Namun, bila kemudian Sitakara tersenyum, Ansuman justeru malah terlihat kesal dengan kelakuan Arundhati. Sitakara tersenyum karena kelakuan Arundhati barusan itu lucu, sementara bagi Ansuman kelakuan Arundhati justeru bikin hatinya panas. Terutama ketika Arundhati mencandai si Abang Taksi. Ada rasa cemburu yang tiba-tiba menyusup ke dadanya dan memukul-mukul jantungnya. Sitakara membenahi duduknya, kembali menghadap ke depan. Pun dengan Ansuman, dia duduk menghadap ke depan. Kali ini semua diam, kecuali Arundhati yang sibuk menggerak-gerakkan jari tangannya yang saling bertautan di atas pahanya, sementara sesekali dia sorongkan kepalanya secara acak seakan tengah melihat-lihat situasi.
Memasuki keramaian, si Abang Taksi mulai mengurangi kecepatannya. Keramaian di sini sebenarnya adalah keramaian layaknya kota. Namun, situasinya sangat berbeda dari kota tempat Arundhati menginap semalam. Tidak ada bangunan yang sepenuhnya menggunakan bahan permanen. Bagi Arundhati pemandangan kota ini mirip dengan kota sebelum dia dibujuk untuk menyeberangi jembatan. Situasi yang sebelas duabelas bahkan sampai kepada orang-orang yang ada di sana.
“Mas Ansuman, saya tidak tahu apakah kita telah sampai. Namun saya hanya bisa mengantar sampai sini.” Sambil menghentikan mobil percis di bawah pohon beringin yang sangat rindang, si Abang taksi memberitahu bahwa dia tidak dapat lagi melanjutkan perjalanan mengantar mereka, “di depan sana hanya ada satu jalan menuju alun-alun kota. Namun sayang, penguasa kota ini telah menetapkan aturan bahwa segala jenis kendaraan tidak diperkenankan melalui jalan itu!”
Ansuman mengangguk-anggukan kepalanya. Sepertinya dia mengerti apa yang disampaikan sama si Abang taksi. Kemudian, Ansuman berkata kepada Arundhati dan Sitakara, “Kalau begitu, kita turun di sini, Ayun, Ara!”
Arundhati dan Sitakara turun dari mobil, disusul Ansuman. Sambil membuka pintu untuk turun, Ansuman mengucapkan terima kasih kepada si Abang taksi, “terima kasih ya, Mas!”. Si Abang taksi membalas ucapan terimakasih itu dengan tak lupa meminta bintng lima pada aplikasi, “sama-sama, Mas. Jangan lupa bintang limanya, ya!”. Ansuman mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.
Setelah mobil yang mengantar mereka pergi, Ansuman segera mengajak mereka bertiga segera beranjak dari tempat itu. “Ayo, hari udah panas ini. Kalo gak salah di dekat alun-alun ada tempat makan yang enak!”. Tanpa banyak bicara, Sitakara dan Arundhati segera mengikuti ajakan Ansuman. Dan kemudian, mereka bertiga berjalan tanpa banyak bercakap-cakap. Arundhati sibuk mengamati rumah-rumah yang ada di kiri kanan jalan. Sitakara berjalan sambil menunduk. Entah apa yang dia pikirkan. Ansuman berjalan di depan kedua perempuan itu sambil gendong tangan, tepat di depan Sitakara. Ansuman tahu Sitakara berjalan sambil menunduk. Muncul keisengan Ansuman. Ansuman menghentikan langkahnya. Namun, tidak seperti yang diharapkan Ansuman, Sitakara bergeser ke kanan menghindari Ansuman, sambil melempar senyum kemenangan ke arah Ansuman. Menang karena dia mampu menghindar dari keusilan Ansuman. Ansuman garuk-garuk kepala. Arundhati yang kebetulan melihat aksi Ansuman berhenti sebentar dan menahan tawa. Tidak lama kemudian, Arundhati berlari kecil mendekati Sitakara yang tetap berjalan meninggalkan mereka berdua.
Sementara itu, di kejauhan pada arah jalan, nampak sebuah gunung yang terlihat berdiri anggun ditemani awan-awan putih mengelilingi. Langit biru menjadi latar yang indah mempertegas kehadirannya. Matahari tak lagi terik. Dia sudah beranjak dari singgasana tertingginya. Ansuman yang sendirian di belakang Arundhati dan Sitakara sejenak berdiri terpaku memandangi gunung itu. Gunung yang begitu anggun itu baginya tampak menggetarkan. Ansuman pernah berada di gunung itu. Gunung Suwung. Setelah beberapa saat tenggelam dalam memorinya tentang Gunung Suwung, Ansuman kemudian menundukkan kepalanya. “Guru, saya datang bersama orang yang kau ceritakan!” guman Ansuman dalam hati sambil menegakkan kepalanya. Alangkah terkejutnya Ansuman saat dia melihat ke arah Arundhati dan Sitakara. Kedua perempuan itu telah jauh meninggalkannya dan kini telah mendekati alun-alun. Ansuman berteriak kepada Sitakara dan Arundhati, “wuooooy…. Tunggu!”. Ansuman berlari secepat kilat. Ansuman berhenti tepat di depan Arundhati, dan berkata dengan gaya serius “Ayun…! Tunggu sebentar!”
Ayun tertegun sebentar. Ansuman adalah orang pertama yang dia temui di dunia mimpi ini. Pandangan pertama Arundhati, sosok Ansuman memang sosok yang serius. Namun, sedari semalam sebenarnya dia sangat menikmati sosok Ansuman yang konyol. Dan, tampang seriusnya barusan nampak bikin kaget. Sebenarnya kekagetan Arundhati ini terbaca juga oleh Ansuman. Namun, kali ini Ansuman nampaknya enggan bertingkah konyol. Melihat keseriusan Ansuman, Sitakara pun ikut berhenti.
“Ayun, coba kamu tengok Gunung yang itu!” sambil tangannya menunjuk ke arah gunung, Ansuman meminta Arundhati untuk melihat gunung itu. Arundhati pun mengarahkan pandangannya mengikuti gerakan tangan Ansuman.
“Ada apa dengan gunung itu, Kang?”
“Gunung itu adalah tujuan kita pergi kali ini. Itulah Gunung Suwung. Di puncak gunung terdapat frekuensi purba yang dapat kita gunakan untuk menuntun Ayun menembus lapis kedua dimensi ini. Sebuah lapisan yang sebarusnya sudah menjadi dimensi tersendiri, namun karena tidak dapat terlepas dengan dimensi mimpi….”
Karena sudah pernah mendengarkan penjelasan dari Sitakara, Arundhati jadi bosan mendengarkan penjelasan Asnsuman. Dan ketika Ansuman mengatakan, “…. Karena tugas kami adalah membawa kamu ke padepokan yang berada pada lapis kedua, makanya kami mengajak……” Belum Ansuman menyelesaikan ceritanya, Arundhati sudah melesat ke atas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ansuman dan Sitakara mendongakkan kepalanya. Arundhati sudah tidak terlihat lagi. Sambil tetap mendongakkan kepalanya, Ansuman meneruskan penjelasan, “kamu!”
Sitakara menyahut kata penutup cerita Ansuman itu dengan muka berbinar, “Iya, memang sepertinya memang dia!”. Ansuman tersenyum melirik ke arah Sitakara sambil menganggukan kepala. Sitakara membalas dengan menganggukan kepala. Kemudian keduanya pun melesat dan menghilang.


