Jumat, Juni 09, 2023

{8} KESELARASAN



Di penginapan Merpati pagi ini, suasana masih sangat hening. Para tamu belum ada yang terbangun. Sitakara yang tertidur di ranjang di sebelah Arundhati masih nampak terlelap. Sementara Arundhati yang tidurnya bisa dibilang seperti orang mati nampak mulai bergerak-gerak meregangkan kedua tangannya. Hmmm dia terbangun.

Arundhati duduk di tepi ranjang sambil menundukkan kepalanya. Dia merasa sangat sedih, dia telah melewatkan sholat isya malam ini. Setelah mengucap doa bangun tidur, Arundhati segera menuju ke kamar mandi. Dia cuci muka dan ambil wudhu. Ketika keluar kamar mandi, dia lihat Sitakara telah terbangun dan sedang duduk di pinggir ranjang.

“Yu Ara sudah bangun?”

“Sudah Ayun!”

“Yu Ara! Yu Ara tahu gak arah kiblat di sini?”

Sitakara yang masih terlihat mengantuk hanya menunjuk ke suatu arah sambil tetap menunduk.

Sambil mengucapkan terimakasih kepada Sitakara, Arundhati menganggukan kepala karena tidak mau mengganggu Sitakara yang masih belum seratus persen. Satu hal yang dicatat di benak Arundhati, ternyata Sitakara tahu posisi kiblat di penginapan ini. Artinya, Sitakara juga sudah terbiasa menggunakan arah itu. Ini satu hal yang membuatnya tenang. Arundhati tersenyum.

Arundhati melangkah mencari lantai yang cukup luas sambil tengok kanan dan kiri mencari sesuatu buat alas dia Sholat. Sampai dekat meja di sudut ruangan sejajar dengan ranjang Sitakara, Arundhati memutuskan untuk melaksanakan shalat di situ. Tapi, satu hal yang masih dia inginkan. Sajadah. Atau apapun yang bisa dia gunakan untuk alas shalat. Arundhati menghayal, andai Sajadah yang ada di rumahnya dia bawa. Ketika asyik menghayal, tanpa dia sadari saat ini dia telah berdiri di atas sajaddah yang dia hayalkan. Ketika dia mengucap niat shalat sambil menunduk dia baru nyadar dia sedang berdiri di atas karpet yang dia hayalkan. Reflek Arundhati melompat mundur sambil menyebut, “Masya Allah!”

Mendengar teriakan Arundhati, Sitakara pun kaget. Rasa kantuk yang masih tersisa tiba-tiba menghilang seketika. Pandangannya dia alihkan ke arah Arundhati.

“Ada apa Ayun?”

“Ini…..? Ini…? Ini….!?” Arundhati berteriak ini ini sambil menunjuk ke arah sajaddah yang ada di depannya. Sitakara segera paham apa yang dimaksud ini ini oleh Arundhati.

“Ini bukan dunia kamu Nona Arundhati!” Sitakara mengingatkan Arundhati tentang posisinya sekaligus dengan menyebutkan panggilannya saat pertama kali mereka bertemu dengan suatu penekanan.

Demi mendengar Sitakara menyebutnya dengan panggilan Nona Arundhati, Arundhati langsung memasang tampang kesal. Sitakara tertawa renyah,

“Ha ha ha… sudah sudah sudah! Pasti Ayun tadi memikirkan dengan sangat sajaddah yang sekarang ada di depan Ayun, kan?”

“Iya, karena gak ada sajaddah, Ayun langsung ingat sajaddah yang ada di rumah!”

“Nah itu, sudah shalat saja. Itu sajadah Ayun!”

Arundhati kembali berdiri di atas sejadah sambil mengangkat tangan kanannya menyilang dan mengacungkan jempolnya.

“Sipp, Yu Ara! Terimakasih!”

Arundhati merapikan posisinya, dan mulai melaksanakan shalatnya.

Sitakara yang sudah hilang rasa kantuknya kemudian berdiri, melangkah, menaiki ranjang Arundhati, merangkak dan turun di sisi sebelah lain ranjang Arundhati. Sitakara segera masuk kamar mandi, dan tak lama kemudian terdengar suara shower mengucur. Sitakara mandi. Dan, Arundhati Shalat.

Setelah beberapa belas menit berlalu, Sitakara keluar dari kamar mandi. Perempuan yang biasanya berbaju beskap hitam dan bercelana komprang saat ini tampak mengenakan jubah lembut warna hijau muda. Kerudung memang masih belum dia kenakan. Rambut hitamnya tergerai rapi. Jatuh sempurna di pundaknya. Sitakara mengayunkan tangannya ke atas seperti hendak mengambil sesuatu, dan ketika dia menarik tanganya terlihat sebuah kerudung parenanom telah dia pegang. Tak sampai lama, Sitakara segera mengenakan kerudung itu.

Sitakara melihat Arundati masih belum selesai melaksanakan Sholat. Dalam perhitungannya, seharusnya sementara dia mandi tadi, Arundhati sudah selesai melaksanakan sholat. Sitakara menunggu Arundhati selesai melaksanakan shalatnya. Setelah selesai melaksanakan shalatnya, Sitakara menanyai Arundhati

“Ayun, Shalat Isya juga tadi?”

“He he he… iya, Yu Ara!” Arundhati malu karena ketahuan semalem gak sholat Isya.

“Ya sudah sini, saya mau Shalat shubuh dulu… sudah kelamaan nih!”

“He he he iya… iya  iya Yu Ara. Sebentar!” Arundhati mundur masih sambil menunduk. Ketika dia mengangkat kepalanya dan melihat tampilan Sitakara, Arundhati kaget luar biasa.

“Masya Allah! Yu… Ara….! Can…tik seka…li!!!”

Arundhati memuji kecantikan Sitakara dengan gaya kaget, Mata melotot, kedua tangan terkatup di depan dada. Kartun sekali!

“Udah, udah udah minggir dulu! saya mau sholat dulu!”

Sitakara berdiri di sajaddah milik Arundhati dan segera melaksanakan shalat Shubuh.

Suasana hening ketika Sitakara melaksanakan shalatnya. Tapi… hmmmm sepertinya tidak bagi Arundhati. Dia tiduran di ranjang Sitakara. Posisinya terbalik, kakinya pada posisi mendekati bantal ditekuk ke atas. Dengan kedua tangan memangku dagu, mata Arundhati fokus tertuju ke arah Sitakara. Wajahnya terlihat cerah sambil dengan mulut tersenyum-senyum. Sepertinya Arundhati sangat mengagumi kecantikan Sitakara. Ah, maaf, kisah ini memang penuh dengan gambaran perempuan cantik.

Sitakara yang tengah shalat sebenarnya agak terganggu dengan kelakuan Arundhati. Namun dia tetap meneruskan shalatnya. Jika di awal-awal dia masih membuka matanya, lama-lama Sitakara menutup matanya rapat-rapat. Dia tidak mau melihat tingkah Arundhati. Arundhati tersenyum semakin lebar demi melihat perubahan pada mata Sitakara.

Selesai melaksanakan shalatnya, Sitakara duduk sebentar memanjatkan do’a. Entah do’a apa yang dia panjatkan, bahkan Arundhati pun tidak bisa mendengarnya. Setelah semua aktifitasnya selesai, Sitakara segera melipat sejadah dan meletakkannya di atas meja dekat tempat shalatnya. Sitakara mendekati Arundhati dan duduk di pinggir ranjang Arundhati.

“Ayun, kamu kenapa sih dari tadi ngeliatin saya terus?” tanya Sitakara kepada Arundhati karena kelakuan Arundhati tadi

“Yu Ara..!”

“Hmmh…!”

“Yu Ara itu dari semenjak saya ketemu Yu Ara saya perhatiin gak pernah make jubah? Selalu make beskap. Sudah gitu gak pernah ganti pula bajunya!”

Sitakara tertawa renyah

“Ah, kamu Ayun! Nanyanya kok ya berat banget gitu? Memangnya kenapa kalau saya make beskap?”

“Yah… Kan Yu Ara itu lebih tua dari saya. Saya saja make jubah, Yu Ara malah make pakaian kayak begitu” Sitakara mendengarkan celoteh Arundhati dengan hati-hati, “padahal nih ya… Yu Ara itu kalau make jubah itu cantik banget. Kaya bidadari yang gak pernah ditemuin orang!”

Sitakara tersenyum lagi, “la tuh kan gak pernah ditemuin orang! Gimana bisa bilang kayak bidadari kalo bidadarinya saja gak pernah dilihat?”

“Pokoknya Yu Ara itu cantik banget, dan buat saya…. Yu Ara ini adalah penampakan paling cantik yang pernah saya lihat!”

Sekali lagi Sitakara tersenyum, “terus, kalau nanti ada yang lebih cantik dari saya, apakah dia itu bidadari dan saya bukan?”

Pertanyaan Sitakara kali ini agak bisa membuat Arundhati berhenti bicara. Kemudian dia bangun dari posisinya, dan duduk di pinggir ranjang.

Seperti anak kecil yang sangat manja, Arundhati menerawang sambil telunjuknya dia pukul-pukulkan ke pipinya, “mmmm… kalau ada yang lebih cantik dari Yu Ara berarti…. berarti….”

“Berarti apa Ayun?”

“Berarti bidadarinya lebih dari satu. Yu Ara adalah bidadari yang pertama saya temui!”

Jawaban Arundhati yang seperti itu kontan membuat pipi Sitakara memerah. Tapi seperti sebelumnya, jangan tanya, seperti apa memerahnya pipi orang berkulit putih. Pokoknya percaya saja pipinya memerah dan itu membuat pemilik pipinya nampak semakin cantik saja.

Sitakara tertawa renyah. Ah… lagi-lagi tertawa renyah! Sitakara menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menunduk dengan kedua tangannya menahan ke pinggir ranjang, “Ayun… Ayun…! Ada-ada aja kamu!”

“Tapi, saya ini benar lho Yu Ara!”

“Iya, iya..! Kamu benar!”

“Nah… Ayun selalu benar!”

Kembali Sitakara tersenyum melihat tingkah Ayun.

“Ayun, Yu Ara mau nanya..” Kali ini, wajah Sitakara terlihat serius. Nada pertanyaannya juga nampaknya serius. Namun Arundhati tidak memperhatikan perubahan sikap Sitakara. Masih dengan gaya manjanya, dia sorongkan wajahnya sangat dekat ke muka Sitakara, sambil memiringkan ke kanan dan kiri kepalanya, Arundhati balik bertanya, “Iya Yu! Boleh, mau nanya apa?”

Berhadapan sangat dekat dengan Arundhati saja sudah bikin kaget, apa lagi begitu meliat goyangan kepala Arundhati. “Ini anak memang luar biasa….. manjanya!” keluh Sitakara dalam hati sambil menarik kepalanya ke belakang menjauh dari muka Arundhati, sambil menegur, “Ayun….!”

Arundhati menarik kepalanya sambil tersenyum senyum, “Iya kakak cantik, mBakyu Sitakara?”

“Kamu ini ih…. lama-lama menakutkan deh!”

“Menakutkan kenapa?” kali ini ganti Arundhati yang berubah roman mukanya. Dia tidak suka dibilang menakutkan.

Sitakara mulai was-was. Dia sebenarnya tahu kemampuan Arundhati. “aku memang gini Yu Ara! Ayun tahu maksud yu Ara. Tapi Ayun kasih tahu aja nih, Ayun masih bisa dheg-dhegan kalo kelamaan sama kang Suman. Lha kalau Yu Ara Ayun bilang cantik, ya memang cantik. Tapi, itu gak bikn Ayun dheg-dhegan tahu! Ayun masih normal kakak cantik mBakyu Sitakara!”

Ketika mengucapkan kalimat terakhir, raut muka Arundhati kembali ceria. Arundhati nyengir memperlihatkan giginya yang rapi. Sitakara lega bahwa Arundhati tidak marah.

“Memang, Yu Ara mau nanya apa tadi?”

Meskipun tidak terlihat serius, raut muka Arundhati tidak lagi memperlihatkan kemanjaannya. Sepertinya, Arundhati pun sudah capek bermain-main. Sitakara memandangi Arundhati dan Arundhati tidak merespon sama sekali.

“Ayun, apakah dalam tidurmu tadi Ayun bermimpi, atau merasakan sesuai pengalaman lain?”

Mendengar pertanyaan ini, Arundhati menundukkan kepalanya. Arundhati baru menyadari bahwa dia tidak ingat apapun dalam tidurnya. Dia tidur sangat pulas. Memang sempat ada beberapa kesadaran saat dia tertidur tadi, tapi semua hilang saat dia terbangun. Arundhati terdiam cukup lama, sampai kemudian, “Yu Ara, Ayun tidak ingat apapun apakah itu berupa mimpi apalagi kesadaran pada pengalaman lain” Arundhati secara jelas menceritakan apa yang dia alami. “apakah…. Ayun bisa kembali ke dunia Ayun, Yu Ara?”

Sitakara tersenyum sambil menjawab, “Tidak Ayun, kamu belum mati! Ini bukan tentang dunia kamu dan dunia ini. Ini tentang bagaimana kesadaran Ayun tetap terjaga dalam kondisi apapun.”

“Lalu, kenapa tadi Yu Ara menanyakan tentang mimpi?” tanya Ayun tak puas dengan jawaban Sitakara.

Mendengar pertanyaan Arundhati, Sitakara tidak langsung menjawab. Dia justeru melihat ke arah jendela di dekat meja di sudut ruangan. Terlihat warna lembayung tinggal tersisa sedikit di ujung langit. Warna biru mulai menggantikan, ditemani warna putih dan hitam awan yang bertebaran di sana. Sambil memperhatikan situasi di luar, Sitakara mulai menjawab pertanyaan Arundhati, “Mimpi itu adalah presepsi relatif. Apa yang Ayun alami di dunia ini maka akan Ayun persepsikan sebagai mimpi ketika Ayun bangun di dunia Ayun. Begitu juga ketika Ayun bangun tadi. Apa yang terjadi di dunia Ayun, akan Ayun persepsikan sebagai mimpi. Sangat sedikit orang yang mempunyai kesadaran penuh di dua sisi sekaligus sehingga mampu mengingat kedua kehidupannya. Rata-rata hanya stabil salah satu sisi saja. Kesadaran yang tidak stabil itu gampangnya dapat dilihat pada orang gila di salah satu sisi. Dan meskipun stabil di keduanya, seringkali memory dari kedua sisi itu tidak selaras. Oleh karena itulah, seringkali orang tidak mampu menceriterakan apa yang terjadi dalam mimpinya. Bahkan kadang merasa bahwa dirinya tidak bermimpi, meskipun sebenarnya setiap orang selalu bermimpi setiap kali dia tertidur.”

Arundhati tertegun mendengarkan penjelasan dari Sitakara. Tapi ada hal yang sangat mengganggunya karena dalam uraian Sitakara jelas disebutkan bahwa seseorang yang kesadarannya tidak stabil di salah satu sisi, maka dia akan tampil sebagai orang gila. Orang gila? Ini jelas pelecehan, masa orang secantik dia harus menjadi orang gila? Ya ya ya… Arundhati tidak terima dengan penjelasan itu.

“Yu Ara!” Arundhati memanggil Sitakara yang masih asik memperhatikan ke luar jendela.

“Yu Ara…!” Suara Arundati semakin keras memanggil Sitakara. Tapi Sitakara tetap asik memandang ke luar jendela yang saat ini telah didominasi oleh warna biru. Ya, hari sudah semakin siang. Matahari mulai menampakkan eksistensinya menggantikan gelap yang telah menyingkirkannya. Dia tahu Arundhati mau menanyakan apa. Tanpa terlihat Arundhati, Sitakara menahan ketawanya.

“Ishh… Yu Ara! Dengar gak sih?” Arundhati semakin habis kesabarannya. Sitakara mengalihkan pandanganya ke arah Arundhati. Dia tersenyum karena telah berhasil membuat Arundhati penasaran. “Ada apa adik cantik…?”

Arundhati memasang muka cemberut. Sitakara tertawa, “he he he he….. ada apa adik cantik? Jangan cemberut gitu dong! Yu Ara jadi takut!”

Arundhati tidak peduli, dia terus merajuk.

“Ya udah, Yu Ara minta maaf deh. Ada apa, ada apa?”

“Abisnya, Yu Ara egois! Kayaknya Yu Ara kalo udah asik lupa deh sama semuanya!”

“Iya iya, Yu Ara minta maaf! Ada apa?”

“Yu Ara!”

“Ya?!”

“Apa Ayun pernah jadi orang gila di sisi sini?”

Sitakara tertawa. Arundhati melotot, “kenapa ketawa Yu Ara? Jadi Ayun pernah jadi orang gila di sini?”

“Oh… itu yang Ayun tanyakan?”

“Lha ya iya, masa orang secantik Ayun pernah jadi orang gila?”

“Iya Ayun! Adhik Cantik masa gila!” Sitakara menjawab pertanyaan Arundhati dengan mengambang. Arundhati melotot. Tapi tidak mengeluarkan satu patah kata pun.

“Ayun ingat, pakaian Ayun ketika pertama kali Ayun menyadari kehadiran Ayun di sini?”

Arundhati kemudian merenung mengingat-ingat. Ya, dia ingat. Waktu itu pakaian dia adalah pakaian compang-camping dengan banyak tambalan. Tapi, masa sih gila? Padahal Arundhati ingat betul, bahwa meskipun compang-camping dan penuh tambalan tapi tidak seperti kostum partai pengemis di kisah kungfu China. Kemudian dengan sangat pelan, Arundhati bertanya, “jadi benar Ayun gila, Yu Ara?”

“Ayun tidak gila. Tidak ada yang Gila. Tadi Yu Ara cuma bercanda!”

 Arundhati melotot. Sitakara tersenyum dan melanjutkan penjelasannya, “Ayun hidup biasa saja. Kesadaran Ayun sama-sama stabil, cuma tidak terhubung. Saat ini kesadaran Ayun sebagian besar sudah terhubung dalam satu keselarasan, dengan akumulasi pengalaman dari sisi lain mendominasi akumulasi pengalaman di sisi ini sehingga pengalaman terdahulu Ayun di sisi ini akan dipersepsikan oleh Ayun sebagai dejavu. Sisi lain adalah sisi yang Ayun akan anggap sebagai dunia nyata”

Arundhati senang bahwa dia bukan orang gila. “Baiklah kalau memang adanya diri Ayun di sini memang seperti itu. Tapi kenapa Ayun gak pernah mendapatkan bayangan seperti yang Yu Ara jelaskan tadi. Maksudnya, bahkan dalam mimpi-mimpi Ayun, Ayun tidak pernah mendapati kondisi seperti yang Yu Ara jelaskan tadi?”

Sitakara tersenyum senang mendengar pertanyaan Arundhati. Hal yang akan dia jelaskan berikutnya memang sebenarnya adalah jawaban bagi pertanyaan Arundhati.

“Itu karena memory Ayun waktu itu tidak sepenuhnya selaras. Seringkali memory kamu ini terhubung dengan keyakinan dan pemikiran-pemikiran Ayun sendiri sehingga apa yang Ayun dapat dalam mimpi-mimpi Ayun justeru bukanlah tentang kehidupan yang sebenarnya di dunia mimpi ini.”

“Keyakinan dan pemikiran Ayun yang mana Yu Ara?”

“Ya… keyakinan dan pemikiran Ayun!”

“Maksudku, Ayun yang hidup di sisi sana atau yang di sini?”

“Apakah Ayun merasa bahwa Ayun ada dua Ayun di kedua sisi itu?”

“Ya… ya.. ya…. Ya mungkin aja sih”

“Berarti?”

Arundhati terdiam dan berfikir. Lama Arundhati tenggelam dalam pemikirannya. Semua penjelasan dari Sitakara teramat sulit dia cerna.

Sitakara berdiri dan beranjak dari pinggir ranjang menuju ke meja kecil di dekat jendela. Dia berdiri di sebelah meja itu memandang ke luar jendela. Sitakara memandang ke luar jendela dengan kedua tangannya dia lipat ke belakang. Gendong tangan. Tiba-tiba kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Ada gordyn yang masih terlipat dan terikat rapi. Sitakara tersenyum sendiri. “Hmmm…. Berarti semalam gordyn tidak dibentangkan.

Sementara itu, Arundhati masih duduk di pinggir ranjang Sitakara. Agak lama kemudian dia berdiri. Tangan kiri dia sedekapkan ke kanan memangku siku tangan kanannya yang memegang dagunya. Dia berjalan ke arah Sitakara. Sampai di ujung ranjang dia balik lagi. Terus begitu seperti setrikaan sambil sesekali tangan kananya bergerak-gerak.

Sitakara yang meskipun sedang melihat keluar tetap memperhatikan setiap aktifitas Arundhati tanpa memalingkan wajahnya. Lama-lama akhirnya Sitakara membalikkan badannya sambil tetap gendong tangan. Sitakara hendak membantu Arundhati untuk menyimpulkan, “jadi gi…….”

“Sebentar sebentar Yu Ara, jangan dijawab dulu!” belum sampai Sitakara mengucapkan kata-katanya dengan sempurna, Arundhati sudah menahannya, sambil tangan kirinya dia ulurkan ke arah Sitakara dengan telapak tangan mengarah ke atas. Kode gerakan stop.

“Ayun tahu! Ayun tahu Yu Ara!”

Arundhati menarik tangan kirinya kembali dia sedekapkan memegang siku tangan kanannya. Arundhati berjalan ke arah Sitakara. Setelah percis berada di depan Sitakara, Arundhati melepaskan pegangan tangan kanannya dari dagunya. Kemudian dengan lipatan jari membentuk pestol, dia gerak-gerakkan tangannya ke muka Sitakara maju mundur dengan siku tetap bertumpu pada pegangan tangan kirinya, tanpa mengucapkan apapun. Matanya menatap tajam ke arah Sitakara. Sitakara yang kaget, menarik kepalanya ke belakang takut jari telunjuk Arundhati mengenai matanya.

Setelah menggerakkan tangannya tiga kali ke muka Sitakara, Arundhati memutar badannya membelakangi Sitakara. Arundhati berjalan ke arah pintu dengan menggendong tangan sambil berkata, “Secara kesadaran Ayun yang di sini dan Ayun yang ada di sana adalah obyek yang identik dan mempunyai kesadaran yang sama. Dan ini artinya tidak ada Ayun di sini atau Ayun di sana. Cuma ada Ayun. Namun, memory di sini dan di sana di dunia Ayun itu sungguh berbeda. Ketika memory di sini dan di sana di dunia Ayun terhubung, mereka saling mengalirkan data sehingga apa yang Ayun ingat di dunia Ayun akan terbawa sebagai pengalaman Ayun di sini. Nah, saat ini memory Ayun tidak terhubung dengan memory di dunia Ayun”

Percis satu meter dari pintu, Arundhati berhenti menyampaikan kesimpulannya. Kemudian sambil melompat, Arundhati memutar badanya ke arah Sitakara. Dengan tangannya yang masih dia lipat ke belakang, Arundhati membungkukkan badan dan memiringkan kepala sambil menatap ke arah Sitakara, “Betul kan, Yu Ara?”

Arundhati menjep sambil mengedip-kedipkan matanya

Sitakara tersenyum, “betul, tapi kurang tepat!”

“Yah salah ya….?”

Sitakara mengangguk. Arundhati berdiri  dan melepaskan lipatan tangan. Kedua tanganya dia bebaskan di kedua sisi tubuhnya. Mukanya cemberut dan bibir manyun, “Salahnya di mana dong, Yu Ara?”

“Betul Ayun di sini dan di sana adalah Ayun yang sama. Namun kalau dibilang memorynya berbeda, ya mana bisa? Memang ada dua memory di kepala Ayun?”

“Bukan… Yu Ara! Bukan begitu…. Ini kalau kata Mas Fadil kakaknya Sophia yang kerja di perusahaan IT, itu semacam replikasi. Saat ini memory Ayun ini seharusnya hot standby, menjadi semacam cluster yang saling bersinkronisasi. Karena, Ayun yang ada di dimensi ini maupun Ayun yang ada di dimensi nyata adalah Ayun yang identik. Namun karena belum saling terhubung sempurna akhirnya informasi antara keduanya tidak singkron. Dan, saat ini karena ada singkronisasi searah, ke arah sini, maka memory Ayun yang ada di dimensi utama mengalami dorman.”

Mendengar bantahan Arundhati, kening Sitakara berkerut dan kemudian berkata, “Betul, Ayun! Hampir seperti itu”

Arundhati nyengir memukul dada, “Siapa dulu, Ayun!”

Sitakara nyengir melihat Arundhati memukul dada. Sitakara kemudian melanjutkan penjelasannya.

“Jadi gini Ayun. Biar nggak kemana-mana, Yu Ara akan menyebut Ayun sebagai kesadaran yang identik. Dan kesadaran seperti ini tidak peduli dia ada dimana, selama dia ada maka dia bisa berinteraksi. Namun, kesadaran ini harus terhubung dengan memory yang akan menampung semua informasi yang terkumpul saat melakukan penyelarasan. Kenapa perlu keselarasan? Karena masing-masing Ayun adalah object yang otonom. Ketidakseimbangan ketika penyelarasan akan menyebabkan kekacauan komunikasi antara kesadaran dan memory. Ini yang menyebabkan seringkali memory gagal diakses oleh sebuah kesadaran. Bentuk yang paling ringan adalah bahwa kesadaran hanya akan mendapatkan informasi dari memory dalam bentuk serpihan-sepihan yang bahkan mungkin tidak akan dapat dipahami sebagai informasi. Bentuk ini banyak terjadi kepada kesadaran yang tidak identik.  Paling fatal, Ayun sudah mengalami ketika tidak ada satupun memory yang dapat Ayun gunakan dalam berinteraksi, bahkan dengan Ibu dan Bapak Ayun.  Dan bentuk paling fatal ini pun sebenarnya hanya terjadi pada kesadaran identik seperti kita ini, Ayun.”

Arundhati mendengarkan dengan seksama penjelasan Sitakara. Namun tetap saja ada yang mengganjal, “tapi Yu Ara, kalau itu memang cuma kesadaran, kenapa Ayun sama Yu Ara bisa mempunyai badan seperti ini. Bahkan, Yu Ara bisa tampil luar biasa cantik?”

Sambil tersenyum Sitakara malah balik bertanya, “andai Ayun dan Yu Ara tidak menggunakan badan seperti ini, apakah mungkin Ayun bisa berkomunikasi dengan lancar? Komunikasi dan interaksi adalah hal paling penting dalam menjaga dan mengembangkan kesadaran. Bila Ayun hanya berdiam diri tanpa berinteraksi dan berkomunikasi maka bentuk ini tidak diperlukan dan eksistensi Ayun akan hilang. Ayun menjadi bukan sesuatu, apalagi sesuatu yang diperhitungkan.”

Arundhati tercenung sebentar dan kemudian bertanya, “berarti, badan kita saat ini adalah wujud kesadaran kita agar kita bisa saling berkomunikasi?” Sitakara mengangguk. Arundhati mengangguk-angguk. Dalam hati Arundhati dia berpikir, “kesadaran membuat suatu bentuk….!”.

“Tapi, Ayun, situasi seperti ini hanya berlaku di sini. Dan kita tidak boleh terlalu lama terjebak pada persepsi relatif yang berlaku di sini.” Lanjut Sitakara.

“Maksudnya, Yu Ara? Kita berpindah ke dimensi nyata?”

“Tidak, Ayun. Itu akan menyebabkan kamu jadi tidak lagi punya mimpi.”

“Jadi, ke mana kita?”

“Kita akan menuju ke lapis kedua dari dimensi ini. Di sana, bentuk bukan lagi persepsi dari kesadaran kita.”

“Di mana itu, Yu Ara?”

“Di mana pun, namun tidak semua orang mampu menembus ke sana, dan siapapun datang ke sana untuk pengalaman pertamanya, mereka harus melewati portal khusus yang banyak menyediakan frekuensi purba. Ansuman sedang mencari, tempat terdekat yang mungkin dapat kita gunakan.” Pungkas  Sitakara menjelaskan. Arundhati diam, berusaha mencerna semua penjelasan Sitakara.

Untuk sesaat suasana di dalam kamar itu berubah jadi hening sampai terdengar ketukan pintu dan seseorang memanggil nama mereka berdua disebut, “Ayun, Ara, sudah pada bangun belum kalian?”

Baik Arundhati maupun Sitakara sangat mengenal suara itu. Ansuman, siapa lagi kalau bukan dia. Mereka berdua, apalagi Arundhati, kesal. Masa jam gini hari masih ada yang berfikir bahwa dia belum bangun. Arundhati teriak membalas, “belum!” dan diperkuat oleh Sitakara, “iya … belum!”. Kemudian suara di balik pintu itu terdengar lagi, “ya sudah kalo belum bangun, bangun dulu. Saya tunggu di restaurant!”

“Restaurant?” Arundhati bertanya sambil berbisik. Sitakara mengangguk mengiyakan.

“Makan?” Arundhati kembali bertanya sambil berbisik. Sitakara kembali mengangguk.

“Ya ya ayuk kalo begitu Yu Ara! Ayun juga sudah lapar!” dengan bersemangan Arundhati berdiri dan menarik tangan Sitakara dan mengajaknya ke restaurant. Sitakara mengikuti tarikan tangan Arundhati, namun dia menahannya pada beberapa langkah sebelum pintu. “Tunggu Ayun, ada yang belum Yu Ara sampaikan ke Ayun!” Arundhati berhenti, melepaskan tarikan tangannya dan berbalik menghadap ke Sitakara. “Apa lagi, Yu Ara?”

“Ayun, Yu Ara cuma ingin memastikan, apakah Arundhati sudah betul-betul memahami apa yang Yu Ara sampaikan tadi?”

Tanpa banyak berfikir Arundhati langsung menjawab, “sudah kakakku cantik Mbakyu Sitakara! Ayun sudah sangat mengerti apa yang kita bicarakan tadi!”

“Ini yang jawab Ayun atau … perut Ayun?” Sitakara kembali bertanya untuk menegaskan.

“Yu Ara cantik…., masa Ayun harus pindahkan Yu Ara ke restaurant saat ini juga?”

Teleportasi? Sitakara terperangah. Bentuk mereka yang hanya merupakan representasi kesadaran yang berarti sebuah manipulasi informasi, akan sangat mudah mendapatkan manipulasi yang lain. Dia tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Sebuah jawaban yang tidak bertele-tele namun dengan pasti menggambarkan bahwa Arundhati memang sudah mengerti. Dari jawabannya terlihat Arundhati memang harus menjaga keselarasan antara dimensi nyata dan dimensi mimpi Arundhati dapat mempertahankan keseimbagnan memorynya. Keselarasan adalah kunci untuk menjamin bahwa apapun dapat diperbuat di dimensi yang hanya terbangun oleh kumpulan persepsi, termasuk teleportasi seperti yang dibilang Arundhati memindahkan Sitakara saat ini juga. Namun, itu akan mempengaruhi keseimbangan memorynya, sehingga dia tidak akan mampu mengakses informasi yang dia miliki ketika dia berada di dimensi nyata. Lebih parah adalah apabila kesadarannya kacau, dia tidak akan mampu mengakses balik memory mimpinya karena terputusnya keselarasan akibat proses penyelarasan yang tidak stabil. Dan, Arundhati telah menyadari hal itu, sehingga dia tidak melakukannya. Sebuah pencapaian yang luar biasa yang didapat hanya dari oborolan santai. Sitakara cuma bisa bilang, “Kamu kok pinter, to Yun?!”

Sambil tertawa Arundhati menyahuti pujian Sitakara, “lha iyes no Yu Ara….!” yang disambut tertawa lepas Sitakara. Namun, tanpa dinyana Arundati merangkul pundak Sitakara, dengan tiba-tiba mereka berdua sudah berada di retaurant. Sitakara kaget bukan kepalang. Dengan suara dipelankan Sitakara menegur Arundhati “A..yun? Kamu, berani sekali? Bukannya kamu juga sudah tahu resikonya?” Dan, bukan Arundhati kalo bukan malah tersenyum-senyum. “Kamu harus jelaskan nanti, kenapa kamu berani mempraktekkan teleportasi!” Sitakara menegaskan bahwa dia tidak setuju dengan langkah yang diambil Arundhati. “Dan, ini….ini? Lepasin tangan kamu Ayun!” Kali ini suara Sitakara terdengar agak marah. Dia baru menyadari bahwa tangan Arundhati masih melingkar di punggungnya.

Arundhati melepaskan tangannya dan sedikit mundur menjauh dari Sitkara. Arundhati meraih kursi yang ada di dekatnya untuk kemudian duduk.

“Yu Ara, silakan duduk!” Arundhati mempersilakan Sitakara duduk. Sitakara memandangi sekelilingnya. Dia hampir tidak percaya bahwa dia sekarang berdiri di samping meja tempat Ansuman menunggu mereka.  Lebih mengagetkan lagi di sampingnya sudah ada kursi yang siap diduduki. Sitakara duduk, dan ternyata dia duduk berseberangan dengan Ansuman. Sebuah teleportasi dengan akurasi tanpa cacat. Arundhati bukan hanya berhasil melakukan tracing terhadap posisi Ansuman, namun Arundhati mampu mengunci posisi kemunculan dengan tepat meskipun dia tidak punya informasi awal dari titik kemunculannya.

Kali ini Sitakara benar-benar penasaran, “Ayun, bagaimana Ayun melakukannya?”

“Melakukan apa, Yu Ara cantik?” Arundhati balik bertanya pura-pura tidak tahu apa yang ditanyakan oleh Sitakara, sambil menarik kursi duduk di sisi meja di antara mereka berdua.

“Ya, yang barusan ini, bagaimana Ayun melakukannya?”

“Yang barusan yang mana, barusan ini kan Ayun tidak melakukan apa-apa selain berdiri, dan... duduk?”

Sepertinya semakin akrab dengan Sitakara, Arundhati semakin berani dan… manja tentunya. Sitakara diam. Tapi, maaf diamnya kali ini kurang diketahui kenapa. Namun, kemudian  “Ya sudah Yu Ara mau nanya sama Tuanku Putri Arundhati Nan Cantik Sekali….. Bagaimana tadi Tuanku Putri Arundhati Nan Cantik Sekali bisa melakukan telaportasi dengan posisi kemunculan yang akurat padahal Tuanku Putri Nan Cantik Sekali belum pernah dikasih tahu sama Ansuman dimana dia duduk” sambil tersenyum-senyum dan memiringkan kepalanya ke arah Arundhati, Sitakara bertanya dengan menyebut Arundhati dengan sebutan Tuan Putri Arundhati Nan Cantik Sekali. Ya, mana ada juga gelar Tuan Putri Arundhati Nan Cantik Sekali. Ada-ada saja Sitakara kali ini.

Arundhati cemberut dengan menarik kedua tangannya sedekap. “Iya iya...! Ayun kasih tahu!”

Sitakara dan Ansuman saling berpandangan dan kemudian sambil tersenyum, keduanya menoleh ke arah Arundhati.

“Ayun kasih tahu, buat ayun di sini sangat berbeda dengan dunia Ayun. Di sini gak ada ruang. Yang ada hanyalah persepsi kita tentang ruang. Tadi Ayun cuma ingin membuktikan dugaan Ayun saja. Dan ternyata setelah Ayun coba dengan meningkatkan kesadaran Ayun. Ayun berhasil, dan ayun dapat menelusuri keberadaan Kang Suman secara akurat.”

Sampai di sini, Arundhati berhenti. Tangannya masih bersedekap, mukanya masih cemberut.

“Terusss...?” sambil mengedipkan matanya ke arah Ansuman, Sitakara meminta Arundhati meneruskan kisahnya. “Gimana ceritanya tiba-tiba Ayun berani memindahkan Yu Ara kemari? Padahal kan Ayun tahu resikonya, yakan?”

“Ayun tahu Yu Ara. Tapi buat Ayun, selaras bukan semuanya harus sama. Implementasinya bisa berbeda. Ayun adalah obyek otonom di masing-masing dimensi. Ketika berada di dimensi Ayun, kita harus memperhatikan keterbatasan yang berlaku dunia Ayun, maka di sini Ayun juga harus memperhatikan keterbatasan yang berlaku di sini. Dan, Ayun rasa memanipulasi persepsi yang mempengaruhi kesadaran tidak termasuk keterbatasan di sini. Karena seperti yang Yu Ara Bilang, semua yang ada di sini adalah persepsi relatif.”

“Jadi, Tadi Ayun memanipulasi Yu Ara?”

“Iya! Salah Ya? Yu Ara marah ya? Maapin Ayun ya Yu Ara, Ayun gak bilang-bilang dulu!”

Sikatara tersenyum sambil bilang, “Enggak Cah Ayu…. Yu Ara nggak marah. Mana berani Yu Ara marah sama Ayun?!”

Mendengar jawaban Sitakara, seketika wajah Arundhati berubah menjadi cerah kembali, “betul, Yu Ara gak marah?” Sitakara mengangguk. Arundhati berdiri dengan badan ke arah Sitakara

“Udah…. Duduk aja gak usah peluk-peluk. Capek Yu Ara dipelukin terus sama Ayun. Emangnya Yu Ara bantal apa?”

Sebenarnya Arundhati memang mau memeluk Sitakara. Tapi mendengar ucapan Sitakara, Arundhati mengurungkan niatnya itu. Namun ia tetap berdiri dan melangkah, “Wek… lagian siapa juga yang mau peluk Yu Ara. Wong Ayun mau ambil Roti sama Telur!”

“E iya, Yu Ara juga belum ambil sarapan. Arundhati, tunggu!”

Sementara itu, di depan Ansuman telah tergeletak beberapa piring kecil bekas mengambil makanan, sementara Ansuman terlihat santai menyandarkan tubuhnya sambil menikmati kentang goreng.

Arundhati dan Sitakara kembali ke meja dengan membawa masing-masing satu tangkep roti bakar dan telur setengah matang. Keduanya duduk dan kemudian menyantap sarapan mereka. Sementara, Ansuman leyeh-leyeh ke sandaran kursi, kekenyangan.

“Habis ini, siap-siap kita pergi ke gunung Suwung!” Ansuman mengingatkan sambil tetap leyeh-leyeh.

Arundhati yang sudah selesai sarapannya, setelah mengusap mulutnya dengan kertas tissue yang dia ambil entah darimana, bertanya, “lha emang kita mau pergi lagi?” Ansuman, tetap sambil leyeh-leyeh, menjawab, “Iya! Betul!”.

“Emang mau ngapain kita kesana?” tanya Arundhati lagi dan langsung dijawab Ansuman, “Nanti kamu juga tahu!”

“Nah… tuh… kan! Kambuh lagi! Sebel!”

Ansuman yang masih leyeh-leyeh tiba-tiba menarik-narik tangan kirinya sembil teriak-teriak sambil ketawa senang, “Eit eit eit….! Ayun….! Jangan cubit, Jangan cubit!”

“Lah… cubit? Siapa juga yang nyubit!” Arundhati melongo melihat tingkah Ansuman, namun di sisi lain Sitakara malah senyum-senyum. Ansuman membenahi posisi duduknya, namun dia belum menyadari kejadiannya dan terus ngoceh, “Ayun… sudah sudah sudah…. Jangan cubit!”.  Arundhati mulai curiga. Dia menoleh ke arah Sitakara. Sitakara tersenyum sambil menaruh telunjuknya ke bibirnya yang dimonyongin,”ssstt….!”.  Arundhati juga tersenyum.

{7} KESADARAN



Sore, pukul 15 di depan kamar Melati 1 rumah sakit di kota, nampak bergerombol beberapa anak remaja berseragam abu-abu putih. Sebagian nampak murung, dan sebagian yang lain malah terlihat bercanda dengan kawannya. Di dalam kamar, nampak Ibu dan Bapak nampak murung duduk di sofa kamar, ditemani dua remaja perempuan berbaju putih abu-abu, teman sekolah Arundhati, yang nampak tak kalah murung. Di tengah ruangan nampak seorang dokter dengan beberapa perawat tengah memeriksa Arundhati yang tergeletak seperti tidur. Dua selang infus masuk melalui tangan kanan dan kirinya. Satu selang infus mensuplai cairan fisiologis sedang satu selang lainnya mensuplai cairan gizi yang konon dapat menggantikan makanan.

Setelah selesai memeriksa Arundhati, Bapak segera menghampiri dokter. Dia ingin segera tahu, hasil pemeriksaan dokter.

“Bagaimana, Dok?”

“Saya kurang yakin. Dari hasil pemeriksaan lab hari ini tidak ada satupun parameter yang menunjukkan adanya penyakit. Dan barusan, tekanan darah, suhu, serta saturasi oksigen juga normal. Hanya saja, dari pemeriksaan EEG (Electroensefalogram, pemeriksaan gelombang otak) kemarin memang tercatat ada aktifitas kelistrikan otak yang sangat tidak biasa, namun kami belum bisa menyimpulkan penyebab hilangnya memory Anak Arundhati. Kami akan terus berusaha untuk mendapatkan jawaban atas kasus ini. Saya tidak berani berspekulasi terhadap kemungkinan adanya gangguan pada sistem limbik, namun bila dalam 3 hari ini tidak ada kemajuan ada baiknya kita rujuk ke rumah sakit otak”

Dokter Pramono, seperti yang tertulis pada name tag, menerangkan dengan sangat detil. Bapak dan Ibu Arundhati yang kesehariannya mereka habiskan di sawah dan kebun cuma bisa mengiyakan. Hanya satu pertanyaan kedua orang tua itu; apapun penyakit anaknya, adalah apakah anaknya masih bisa sembuh. Pertanyaan ini dilontarkan oleh Ibu ke Dokter Pramono.   

“Apakah anak saya bisa sembuh, Dok?”

“Dengan informasi yang kita punyai sekarang, saya belum bisa memberikan jawaban apapun. Kami tidak berani memberikan harapan lebih kepada bapak dan Ibu, namun kami juga tidak ingin Bapak dan Ibu terus cemas. Mari kita berdo’a bersama-sama memohon kepada Allah SWT agar kita segera dapat memahami apa sebenarnya yang tengah diderita oleh Anak Arundhati sehingga kita dapat memberikan perlakuan yang tepat untuk kesembuhannya!”. Arundhati masih masuk kelompok anak-anak. Karena masih 16 tahun lebih saja.

“Baik Dok, terimakasih!”

Karena sudah tidak mungkin lagi mendapatkan jawaban yang lebih, Bapak pun mengucapkan terimakasih sebagai pertanda tidak ada lagi pertanyaan yang akan dia ajukan. Dokter Pramono segera pamit kepada Ibu dan Bapak.

“Baik Pak, Bu, kalau tidak ada pertanyaan lagi saya akan melanjutkan visite ke ruangan lain. Mari Sus…!”

Dokter Pramono beranjak keluar mengajak dua perawat yang menemaninya. Sambil berjalan keluar, salah seorang perawat menyebutkan ruangan berikutnya yang harus dikunjungi dokter Pramono.

“Selanjutnya paviliun Garuda 4, Dok!”

Ruangan Melati 1 kembali hening. Ibu dan Bapak kembali kepada kemurungan dan kecemasannya. Mereka berdua kembali duduk di sofa. Kedua teman Arundhati, Sophia dan Marwah, berdiri di sisi berseberangan tempat tidur Arundhati. Dengan wajah murung mereka mengamati temannya yang nampat tertidur. Wajah yang senatiasa nampak berbinar karena keceriaannya, saat ini terlihat pucat.

Kedua remaja teman Arundhati tenggelam dalam pikirannya masing-masing, dengan tatapan mereka sama-sama tertuju kepada wajah Arundhati. Namun, tiba-tiba Sophia nampak mengucek-ucek matanya.

“Marwah…..!” dengan berbisik, Sophia memanggil Marwah. Marwah pun ternyata tengah mengucek-ucek matanya, dan setenga berbisik pula dia penggil temannya, “Sophia…..!”
Setelah saling pandang, keduanya membungkukan badannya ke arah muka Arundhati. Mereka berdua berusaha memastikan pandangannya dengan melihat muka Arundhati semakin dekat. Dalam pandangan mereka berdua, Arundhati yang sebelumnya pucat berangsur mulai normal. Ketika muka mereka berdua semakin dekat dengan muka Arundhati, dalam pandangan mereka terlihat kelopak mata Arundhati mulai bergerak-gerak. Dan, ketika wajah mereka hanya terpaut satu telapak tangan, mata Arundhati terbuka sempurna. Arundhati bingung, kenapa ketika bangun ada wajah temannya. Sangat dekat dengan mukanya. Nyengir lagi….

“Sophia…. Marwah…..! Apaan sih ini…?”

Sophia dan Marwah, bukannya minggir malah semakin mendekat dan memeluk Arundhati sambil menangis dan meneriakkan namanya.

“Ayun……!”

Ibu dan Bapak kaget mendengar teriakan Sophia dan Marwah yang dilanjutkan dengan tangisan mereka berdua. Jantung Ibu maupun Bapak sama-sama berdegub sangat kencang. Melihat tangisan  kedua teman anaknya, yang terlintas di benak kedua orang tua itu adalah bahwa Arundhati sudah selesai. Sambil mendekati tempat tidur anaknya, mereka mendengar suara yang sangat mereka kenal

“Ishh… Sophia! Marwah! Apa-apaan sih kalian berdua ini. Meluk-meluk saya, nangis pula…?”

Ibu dan Bapak berhenti sebentar saling berpandangan dan mengucapkan satu nama yang sama. Nama anaknya.  “Ayun..?”

Ibu dan Bapak segera mendekati tempat tidur Arundhati dan memegang bahu kedua kawan anaknya. Bapak memegang bahu Sophia sementara Ibu memegang bahu Marwah. Kedua teman Arundhati segera melepaskan pelukannya sambil masih tetap menangis. Keduanya mempersilahkan kedua orang tua Arundhati untuk semakin dekat dengan Arundhati.

Sambil membungkuk mendekat ke wajah anaknya di tempat tidur, Bapak menyebut naman anaknya, “Ayun….!”

Dan, demi mendengar namanya disebut bapaknya, Arundhat menyahut dengan memanggilnya , “Bapak…..!”

Mendengar anaknya telah mampu mengenali bapaknya, Ibu pun ikut membungkuk semakin dekat ke wajah anaknya dan memanggil nama anak kesayangannya itu, “Ayun…!” yang disambut oleh Arundhati sambil menoleh ke arah Ibunya, “Ibu…!”

Kedua orangtua itu senang luar biasa. Betapa tidak, meskipun anak semata wayang mereka tidak kemana-mana, namun sudah tiga minggu komunikasi mereka terhambat. Bahkan tujuh hari terakhir, mereka tidak dapat berinteraksi sama sekali.

Dekapan kedua orangtua yang sedang berbahagia itu seharusnya memang membahagiakan juga bagi Arundhati. Namun, karena kelamaan dan posisi dia yang justeru menjadi tertindih membuat Arundhati mulai merasa tidak nyaman, “Ih…. Bapak, Ibu…. Kalian kenapa sih pada ikut-ikutan si Sophia sama Marwah?”

Ibu dan Bapak segera melepaskan pelukan mereka. Dengan senyum yang tetap mengembang, mereka berdua mengelus-elus kepala anaknya.

Arundhati mengangkat kedua tangannya. Dia bingung kenapa ada dua selang infus di kedua tangannya.

“Bapak, Ibu…. Ini….?”

“Iya, ndhuk….. Itu selang infus. Sudah satu minggu ini kamu tidur.  Dua selang infus ini, buat membantu tubuh kamu!”

Kepala Arundhati menoleh ke kiri dan ke kanan memandangi kedua tangannya. Jarum infus yang menusuk punggung tangannya benar-benar membuat dia tidak nyaman. Belum lagi untaian selang yang menjulur dari botol infus ke kedua tangannya. Dia tidak suka ada selang infus menempel ke tangannya.

Ketika Arundhati tengah sibuk dengan kedua tangannya, tiba-tiba ruangan menjadi gelap. 15 teman Arundhati yang ada di luar kamar tiba-tiba masuk semuanya

“Ayun…! Ayun…! Kamu hidup kembali?”

“Wah… Ayun… kamu sudah bangun…?!”

“Ayun…. Syukurlah….!”

Semua merubung tempat tidur Arundhati. Semua ingin tahu keadaan Arundhati. Semua  Semua ingin bertanya dengan banyak pertanyaan. Tapi Arundhati justeru sibuk dengan kedua tangannya. Tiba-tiba terlintas keinginan yang sangat kuat dari dalam diri Arundhati untuk melepas kedua selang infus itu. Bersamaan dengan itu, dari arah pintu terdengar suara laki-laki

“Ada apa ini ribut-ribut!?”

Semua menoleh ke arah suara itu.

“Eh… ini, Mas Tono. Anak-anak… mereka sepertinya sangat senang Arundhati sudah bangun!”

Mas Tono adalah perawat di kamar melati. Karena sudah lebih tiga hari di rumah sakit, baik Ibu dan Bapak sudah cukup akrab dengannya.

“Eh, Ibu, Bapak…!”

“Anak-anak… ayo keluar dulu…. Ini rumah sakit bukan rumah Ayun!” dengan lembut Ibu mengingatkan teman-teman Arundhati dan meminta mereka untuk keluar dulu.

“Inggih bu!”

Semua anak-anak sudah keluar kecuali Sphia dan Marwah. Aisyah yang terakhir mau keluar menyadari hal ini. Dia berhenti.

“Sophia sama Marwah lagi!”

Sophia dan Marwah nyengir. Mereka paham apa yang dimaksud Aisyah. Akhirnya mereka terpaksa harus ke luar.

“Ya sudah saya keluar!”

Di luar ruangan, teman-teman Arundhati duduk berjajar di bangku panjang di koridor. Yang tidak kebagian duduk, berdiri di masing-masing sisi. Semua saling bercerita tentang object yang sama. Tentang Arundhati.

Anak laki-laki yang berdiri paling ujung karena tidak kebagian duduk, melangkah ke depan teman-temannya sambil tangan kanan memegang dagu sementara tangan kiri terlipat memegang siku tangan kanannya. Dengan gaya yang serius dia memecahkan pembicaraan,

“Kita harus tunggu di sini sampai kita dapat informasi tentang Ayun. Ini ke tiga kali kita rame-rame ke sini, dan siang ini dia tersadar dan bangun dari tidur atau pingsannya”

“Yap setuju, aku juga penasaran, apa yang sebenarnya terjadi pada ayangku ini!” sahut seorang anak laki-laki yang duduk di tengah dengan nada yang tidak kalah serius. Sontak teman-temannya menyambut dengan tawa yang agak tertahan. Anak laki-laki yang berdiri di depan cekikan menahan tawa dan kembali ke posisinya semula. Sepertinya mereka sadar, bahwa saat ini mereka sedang ada di rumah sakit.

Sementara itu, di dalam kamar, Mas Tono tampak sedang memeriksa kondisi Arundhati yang sudah duduk di tempat tidurnya. Mas Tono bingung, melihat Arundhati yang nampak sangat segar, tidak kelihatan sedikitpun tanda-tanda sakit. Mas Tono kaget ketika memeriksa tangan kiri Arundhati.  Selang infus sudah tidak lagi menempel di tangan Arundhati. Tidak hanya itu, bekas infusan pun tidak nampak di tangan Arundhati. Tangan Arundhati nampak bersih, bahkan di area bekas jarum infus pun tidak nampak ada bekas tusukan sama sekali. Pun bekas plester yang dipakai untuk menjaga agar jarum infus tetap stabil. Tangan kiri Arundhati nampak biasa-biasa saja, tidak meninggalkan trauma akibat tusukan jarum infus selama tiga hari terakhir.

Tidak yakin dengan kondisi tangan kiri Arundhati, Mas Tono berpindah ke tangan kanan Arundhati. Namun hal yang sama dia dapati juga di tangan kanan Arundhati. Bersih, tanpa ada bekas apapun.

Mas Tono bingung. Dia berhenti sebentar, kemudian bertanya kepada Arundhati, “ini…, siapa yang melepas?”

Ibu dan Bapak kaget mendengar pertanyaan Mas Tono

“Apanya yang lepas?”

“Pak Bapak, ini…. apakah ada yang melepaskan kedua selang infus dari tangan Dhik Arundhati ini?”

“Enggak… Gak ada yang ngelepasin, Mas Tono! Memang ada apa?”

“Ini… ini… ah…! Ini selang infusnya sudah lepas. Rapi pula lepasnya. Bahkan tangan Dhik Arundhati ini tidak ada bekas infusannya sedikitpun!”

“Ah masa….!”

Ibu dibuat penasaran oleh penyataan Mas Tono tadi. Ibu mendekat dan mulai memeriksa tangan kanan dan tangan kiri Arundhati. Setelah memeriksa kedua tangan Arundhati dan mendapati hal yang sama seperti yang diungkapkan oleh Mas Tono, pandangan Ibu Beralih ke gantungan infus yang ternyata sudah bersih juga dari botol infus.

“Lho infusannya mana?”

Mas Tono berhenti memegang-megang tangan Arundhati. Dia baru ingat tentang botol infusnya. Saat dia mendongakkan kepalanya, dia melihat dua botol Infus dan gulungan selangnya tergeletak rapi di atas kabinet kecil di samping tempat tidur Arundhati. “Ah… apalagi ini….?”

Mas Tono berjalan memutar menuju ke kabinet kecil yang ada di samping kiri tempat tidur Arundhati. Dia angkat kedua botol infus itu. Botol infus yang isinya tinggal setengah dan seperempat itu memang betul botol infus yang sebelumnya digunakan oleh Arundhati.

Mas Tono membawa kedua botol infus tersebut ke Ibu dan Bapak.

“Pak, Bu, terakhir tadi siapa yang nemenin Dhik Arundhati?”

Arundhati hanya tersenyum-senyum sendiri melihat kebingungan Mas Tono.

“Gak usah panggil Sophia sama Marwah. Itu saya sendiri yang melepas!”

Arundhati mencegah Mas Tono dan kedua orang tuanya memanggil Sophia dan Marwah yang memang tidak melakukan apapun untuk urusan lepasnya selang infus.

“Ah, gak mungkin! Mana bisa?”

Mas Tono berusaha membantah pengakuan Arundhati. Dalam pikirannya, mana bisa orang yang baru sadar dari koma selama dua minggu melakukan aktifitas layaknya orang sehat.

“Lha, kalau gak mungkin masa saya harus bilang kalau selang itu lepas sendiri. Terus kemudian botol nya terbang ke atas lemari kecil itu?”

Ketiga orang di hadapan Arundhati cuma bisa melongo. Arundhati tersenyum kecil.

“Ibu.., Bapak… Ayun mau pulang!”

Ibu dan Bapak Bingung. Mas Tono langsung bereaksi

“Nggak! Nggak boleh!”

Arundhati, Ibu, dan Bapak memandang ke arah Mas Tono. Mas Tono jadi salah tingkah….

“Ah… bukan…bukan, ini gak seperti yang kalian kira!”

“Lha memang yang kami kira apaan?”

Sambil tertawa renyah Arundhati malah bertanya maksud dari perkataan Mas Tono.

“Aduuh….” Kembali lagi Mas Tono salah tingkah. Kali ini karena tawa renyah Arundhati. Kesehatan Arundhati yang sudah sepenuhnya pulih telah membawa kembali aura kecantikannya. Tawa renyahnya tadi membuat jantung Mas Tono betul-betul berguncang.

“Ini… ini…. Aduh… Maksud saya… maksud saya….”

Mas Tono terlihat bingung.

“Baiklah saya lapor dulu ke dokter Pram. Mungkin beliau belum keluar dari rumah sakit ini. biar beliau saja yang memutuskan. Saya permisi dulu!”

Akhrnya Mas Tono memutuskan untuk melaporkan situanya kepada dokter Pramono.

“Nah, betul itu! Biar dokter saya yang memutuskan!” ceteltuk Arundhati sambil mengangkat tangan kanannya mengacungkan jempol dan tersenyum. Sangat manis.

Setelah Mas Tono keluar dari ruangan, Arundhati memanggil kedua orang tuanya dan menanyakan penyebab dirinya bisa sampai dirawat di Rumah Sakit.

"Bapak, Ibu... Kenapa Ayun bisa sampai ke rumah sakit?"

Kedua orang tua Arundhati saling berpandangan. Kemudian, keduannya berjalan mendekati Arundhati.

“Ayun apa kamu gak ingat sesuatu apapun?” dengan lembut Ibu bertanya kepada anak semata wayangnya itu.

“Ayun gak tahu Ibu. Ayun hanya ingat, waktu itu hari sabtu, saya bersama teman-teman sekelompok tugas pulang naik angkutan, mobilnya kang Dowi…”

Raut muka Bapak tiba-tiba berubah mendengar nama Dowi disebut. Dia memang gak suka sama Baedowi, anak tetangganya yang sudah menikahi Siti kemenakan Bapak. Sekilas memang orang ini tidak bermasalah, namun Bapak menilai Dowi sering kecentilan kalau ketemu anaknya.

“Setelah turun di ledheng, Ayun jalan. Nah pas lewat baladesa Ayun lihat ada kerumunan….” Kemudian Arundhati menceritakan semua yang dialaminya kepada orang tuanya. Arundhati tidak menceritakan pertemuannya dengan Ansuman dan Sitakara, karena saat ini Arundhati memang tidak memiliki ingatan tentang pertemuannya dengan kedua orang tersebut.

Kedua orang tua Arundhati mendengarkan dengan hati-hati semua yang dialami oleh Arundhati. Kedua orang tuanya tidak mendengar Arundhati bercerita tentang beberapa hari setelah dia pulang sebelum dibawa ke rumah sakit.

“Ayun…!”

“Iya Bu..”

Dengan lembut Ibu memanggil anaknya. ingin memastikan ingatan Arundhati tentang beberapa hari sebelum dia dibawa ke rumah sakit.

“Ndhuk, apa kamu bener-bener nggak ingat apa yang terjadi sebelum kamu dibawa ke-mari?”

Mendengar pertanyaan ibunya, Arundhati sejenak terdiam. Dia berusaha mengingat-ingat apapu yang bisa dia ingat pada waktu itu. Namun sayang, tidak ada satupun yang dapat dia ingat. Kemudian dia menggelengkan kepalanya

“Owalah nDhuk, Cah Ayu, kamu sama sekali gak ingat ketika kamu cuma bisa bilang ibu…. Bapak… cah ayu….?”

Kembali Arundhati menerawang. Berusaha mengingat apapun yang diceritakan ibunya. Namun sekali lagi dia gagal mengingat. Tiba-tiba air mata Arundhati menetes dari sudut matanya.

“Ibu…., apakah Ayun jadi nakal waktu itu…?”

“Oh… tidak…. Tidak cah Ayu! Kamu anak ibu sama bapak. Kamu gak akan pernah menjadi nakal. Tidak pernah Cah Ayu!”

Ibu merengkuh pundak Arundhati. Ia memeluknya erat-erat. Sangat erat seperti takut melepaskan lagi.

“Maafkan Ayun ya Bu, Pak!”

Sambil tersenyum, Bapak menjawab permintaan Arundhati

“Tidak Cah Ayu, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu tidak salah. Tidak ada yang salah. Kita sama-sama gak tahu kenapa bisa begini”

Mereka bertiga terdiam dengan perasaan teraduk-aduk. Perasaan gembira, haru, dan cemas bercampur menjadi satu. Cemas, karena sampai saat ini tidak ada satupun yang tahu penyebab situasi ini.

“Pak, Bu, bolehkan temen-temen Ayun masuk ke mari. Sepertinya mereka masih menunggu di luar!”

Setelah beberapa saat tenggelam dalam keheningan, Arundhati memohon kepada orang tuanya agar teman-temannya dibolehkan masuk.

“Baiklah, biar Ibu saja yang memanggil mereka!”

Ibu melepaskan pelukannya, berjalan ke arah pintu, keluar menemui teman-teman Arundhati. Tidak berapa lama kemudian teman-teman Arundhati rame masuk ke dalam ruangan. Aisyah yang pertama kali lari memeluk Arundhati. Tidak mau kalah sama Sophia dan Marwah.

“Ayun…..!”

Aisyah berlari sambil mengulurkan kedua tangannya ingin memeluk Arundhati. Arundhati pun dengan senyum mengembang menyambut uluran tangan Aisyah. Mereka berpelukan.

Di belakang Aisyah, Sophia dan Marwah berlari. Tidak peduli dengan situasi sekeliling, mereka berdua langsung memeluk Arundhati yang masih berpelukan dengan Aisyah.

Sebenarnya anak-anak laki-laki teman Arundhati juga mau ikut berpelukan. Namun, kemauan mereka dihalangi oleh Dini. Pemilik nama lengkap Sweta Nandini ini badanya tinggi langsing dengan kulit putih dan hidung mancung yang tertancap menghiasai wajah imut dengan kombinasi mata bulat dan bibir yang mungil. Dengan definisi kecantikan yang hanya dimiliki model sebenarnya tidak membuat takut para lelaki ini. Namun ada definisi lain untuk menggambarkan anak perempuan yang bernama Sweta Nandini yang bikin anak-anak laki-laki pada takut; si Dini anak Juragan Badrun. Juragan Badrun adalah seorang preman insyaf yang menjadi tokoh di kampung mereka.  Sebelum insyaf juragan badrun dalah reman pasar paling terkenal di kampung mereka. Para anak laki-laki memilih mundur daripada harus berususan sama Juragan Badrun.

Dini cuma tersenyum dan langsung membalikkan badannya, bergabung dengan teman-teman perempuan lainnya. Mereka kemudian terlibat dalam pembicaraan yang, mmm…. Serius mungkin. Tapi sepertinya… ah.. anggap saja serius, meskipun sesekali terlihat mereka tertawa.

Anak-anak laki-laki cuma bisa melihat dari posisi yang agak jauh. Sesekali ada yang mencoba nimbrung, namun responnya justeru sangat ….

“Ayun….Ak…!”
Ana laki-laki yang berbadan tinggi, mencoba ikut nimbrung. Tapi belum selesai bicara, Sophia memalingkan mukanya ke arah mereka dengan tatapan tajam siap menerkam.

“..ku.. Ah… aisyh… heuh… sudah lah!” si anak laki-laki itu tak bisa melanjutkan ucapannya.

Ibu dan Bapak cuma bisa tertawa melihat kelakuan anak-anak itu. Setelah beberapa lama Arundhati dikuasai oleh anak-anak perempuan, anak-anak laki-laki akhirnya mendapatkan kesempatannya berkomunikasi dengan Arundhati.  Tidak sampai maghrib, mereka semua pamit pulang ke rumah.

“Pak, Bu, mumpung masih terang, kami mohon pamit kembali ke rumah!” mewakili teman-temannya Sophia pamit undur diri.

“E iya, iya…mumpung masih terang.  Perjalanan cukup jauh, jangan sampai malaman sampai rumah. Kalian naik angkutan umum atau bawa kendaraan masing-masing?” Ibu menyambut pamitnya anak-anak itu sambil mengingatkan perjalanan anak—anak itu.

“Enggak Bu, kan ada Sophia anaknya Pak Kyai. Kita make Hi-Ace Sophia. Ada sopirnya!”

“Oh… aman kalau begitu. Hati-hati di jalan ya…!”

“Baik bu, assalamu’alaikum!”

Semua teman-teman Arundhati sudah keluar dari ruangan, namun suasana keceriaan mereka masih terasa di dalam kamar perawatan Arundhati. Arundhati terlihat masih menyisakan senyumnya, dan samar-samar suara teman-temannya pun masih terdengar di kejauhan. Memang berisik mereka.

“Ayun mau mandi dulu, ah!”

Ibu dan Bapak kaget, karena tiba-tiba Arundhati sudah berdiri di samping kanan tempat tidurnya.

“Kapan kamu turun dari tempat tidur, Ayun?”

Penasaran, Ibu bertanya pada putrinya. Arundati. Tapi, Arundhati tersenyum sambil membenahi posisi sandalnya.

“Ibu sih…, dari tadi cuma merhatiin teman-teman Ayun. Ayun nya malah gak diliat!”

Ibu tersenyum berjalan ke sofa dan duduk, “Iya… Ibu seneng liat teman-teman Ayun. Lucu-lucu mereka. Apalagi siapa itu yang anaknya juragan Badrun?”

Sambil berjalan memutar ke kabinet kecil di samping kiri tempat tidurnya, Arundhati terus bercakap dengan kedua orang tuanya

“Dini?”

“Iya, itu!”

“Dini. Sweta Nandini, anak juragan Badrun. Bukan cuma karena anak juragan Badrun saja tuh anak-anak laki-laki pada takut sama Dini”

Arundhati membuka pintu kabinet kecil itu dan sepertinya dia tidak menemukan apapun, “baju Ayun di mana Bu?”

“Owalah, kamu nyari baju? Tuh…. di tas kamu di dalam lemari!” ucap Ibu menunjuk ke arah lemari

Arundhati menutup pintu kabinet kecil itu dan sambil membalik badannya dia berdiri. Matanya mengarah ke lemari yang ditunjukkin. Arundhati berjalan ke arah lemari sambil meneruskan ceritanya

“Si Dini ini jago silat lho Bu, Pak! Gak rugi bapaknya pernah jadi Jawara. Si Dini ini pernah bikin KO si Parman anak Yu Karti yang badannya gede kaya Hulk.”

“Oh….!”

Setelah mengambil baju ganti, Arundhati segera masuk ke kamar mandi. Ibu kembali duduk di Sofa menemani Bapak yang sudah terlebih dulu duduk.

“Anak kita, Pak!” Ibu  sepertinya senang sekali,. Bapak Cuma tersenyum.

Tak berselang lama setelah Arundhati masuk kamar mandi, datang Mas Tono

“Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikum salam Mas Tono, silakan masuk!” Bapak mempersilakan Mas Tono masuk.

Sesampainya di dalam Mas Tono bingung. Dia tidak melihat Arundhati.

“Dhik Arundhati….?”

Mas Tono mengarahkan pandangannya ke arah Bapak dan Ibu. Ibu mengangguk sambil tersenyum.

“Iya, Ayun udah turun dari tempat tidurnya. Sekarang lagi mandi, tuh ada suara di kamar mandi, kan? Noh!”

Bapak menjelaskan sambil mendongakkan kepalanya ke arah kamar mandi. Mas Tono cuma nyengir mendengar penjelasan Bapak.

“Owalah…! Gini Pak, Bu, tadi saya sudah konsultasi sama dokter Pramono. Insya Allah besok akan diperiksa lagi pada kesempatan pertama. Bila memang sudah memungkinkan, Insya Allah besok boleh pulang!”

“Emang gak bisa hari ini?” tanya Bapak untuk memastikan

“Gak bisa, Pak! Malam ini dokter kebetulan ada agenda dengan tamu dari pusat di Gubernuran!”

“Oh, Ok! Jadi kita harus menunggu dokter besok…. Pagi? Apa siang?”

“Pagi, Pak!”

“Baik, kita akan menunggu saja sambil observasi anak saya. Semoga dia gak kambuh lagi besok pagi!”

“Kalo begitu, saya permisi dulu, Pak!”

“Ok, terimakasi Mas Tono!”

“Sama-sama, Pak!”

Mas Tono, kemudian memutar badan kembali ruangan perawat.

Tak berapa lama setelah Mas Tono keluar dari ruangan, Arundhati keluar kamar mandi. Tidak seperti kebanyakan orang yang keluar kamar mandi dengan pakaian minimal, Arundhati keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap. Mengenakan jubah dan kerudung. Yang membuat heran orang tuanya, terutama Ibu, adalah bahwa jubah dan kerudung putih gading yang dikenakan Arundhati sepertinya bukan jubah dan kerudung yang pernah mereka belikan untuk Arundhati.

Kedua orang itu saling berpandangan, dan kemudian keduanya menganggukkan kepalanya untuk kemudian sama-sama mengarahkan pandangannya kepada putri mereka sambil tersenyum.

“Kenapa Pak, Bu, ada yang salah?”

“Nggak, kamu cantik sekali Ayun…. Percis seperti ibumu waktu bapak pertama kali ketemu ibumu di rumah kakekmu!”

“Terimkasih ya Pak, Bu, Ayun udah dibeliin jubah ini. Ayun sudah lama sekali punya jubah yang seperti ini. Ini percis seperti yang sering Ayun corat-coret di buku Ayun!”

Kembali kedua orang tua itu saling berpandangan. Keanehan seperti apa lagi yang bakal mereka temui nanti? Selama ini mereka belum pernah terbayang jubah seperti itu, dan apalagi membelikan untuk anak mereka.

Lama mereka saling berpandangan sampai kemudian Arundhati tiba-tiba duduk di anatara mereka. Arundhati merangkul kedua orang tuanya, dan mendaratkan kecupan ke pipi kedua orang tuanya. Arundhati terlihat sangat bahagia sekali hari ini. Begitu juga kedua orangtuanya. Mereka bertiga terlihat sangat berbahagia hari ini.

Sore ini keluarga Arundhati begitu berbahagia. Mereka bertiga bercengkarama sampai tengah malam. Bapak atau Ibu yang biasanya hanya menemani Arundhati secara bergantian, hari ini mereka sepakat untuk menemani Arundhati bersama sampai Arundhati tertidur.

Banyak sekali yang mereka percakapkan sampai malam ini. Termasuk ketika Arundhati terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit.  Menurut kedua orang tuanya, Arundhati saat itu tidur terlalu lama. Pada hari ke tujuh dari saat kejadian di balaidesa, malam harinya Arundhati tertidur sangat pulas namun hari berikutnya Arundhati tidak bangun-bangun sampai hari kedua. Pada hari kedua ini Arundhati menangis keras sambil tetap tertidur, kedua orangtua Arundhati mulai panik dan akhirnya memutuskan untuk membawa Arundhati ke  Rumah Sakit. Sampai di sini Arundhati mau menerima apapun yang diceritakan oleh kedua orangtuanya. Bila pada awal-awal kejadian dia masih terhubung dengan ingatan saat dia bersama Sitakara dan Ansuman, kali ini semua ingatan bersama mereka tidak tersisa sedikitpun.

Malam semakin larut, tiba-tiba terdengar suara khas dari perut Arundhati. Bapak dan ibunya tertawa. Arundhati cuma nyengir manja.

“Ha ha ha, baiklah. Tar bapak ambil HP dulu!”

Bapak ambil HP dan dengan lincah jempol dan telunjuknya memainkan layar HP nya.

“Nah ini, Ayun mau makan apa?” tanya Bapak sambil menyoronkan HP nya ke Ayun.

“Hmmm…. Ini sepertinya enak, Pak!” seru Arundhati sambil menunjuk ke salah satu item di list yang tampil di HP bapaknya.

“Boleh…. Nah.. sudah Bapak pilih!” Bapak memilih apa yang telah ditunjuk anaknya, “Ibu.. pilih yang mana?”

“Samain aja sama Ayun, Pak!”

“Baik, kalo begitu Bapak Juga sama!” kemudian Bapak kembali sibuk tap sana tap sini menyelesaikan pesanan.

“Nah, Ok, sudah Bapak pesan semua. Tinggal tunggu!”

“Berapa lama lagi, Pak? Ayun udah laper nih….!”

“Ya… kira-kira 3 jam lagi….!”

“Ewhottt…. 3 jam lagi? Emang di mana warungnya Pak? Ayun udah laper nih!”

Ayun memasang tampang memelas. Ibu tersenyum melihat kelakuan anaknya. Dia tahu, bapaknya cuma bercanda. Bapak tertawa kecil

“He he he…. Nggak, paling sebentar lagi juga nyampe!”

“Ih… Bapak gitu deh….! Ayun kesel nih!”

“Iya… Bapak minta maaf ya Cah Ayu..!  Ya… ya.. ya!”

“Nggak!” Arundhati bergeser ke ibunya. Ibu tertawa, “hayo tuh Pak, Ayun marah!”

“Iya deh… Bapak salah! Bapak minta maaf ya!”

Arundhati tersenyum. Perlahan dia mendekati bapaknya. Dan, dengan tiba-tiba dia memeluk bapaknya, “Iya Bapak… Dimaafin… hi hi hi hi….!”

Lama Arundhati memeluk bapaknya dan hampir tertidur karenanya kalau hp bapaknya tidak bunyi

Arundhati mengangkat tubuhnya dan duduk tegak sambil mengucek matanya. Ibu tertawa kecil. Bapak segera mengangkat hp nya

“Ya… O ya.. Mas ada di mana? Di depan? Di pos satpam? Baik baik baik… saya ke sana sekarang!”

Bapak menutup HP nya, “pesanan sudah sampai. Bapak keluar ambil dulu!”

Mata Arundhati tiba-tiba terlihat berbinar. Tidak ada tanda kantuk lagi

“Apa, udah sampai? Alhamdulillah!”

Sambil tersenyum melihat respon anaknya, Bapak segera keluar kamar.

Arundhati kembali terlibat percakapan dengan Ibunya dengan sesekali diselingi tawa senang. Tak berselang lama, Bapak sudah kembali dengan 3 tas kresek.

“Assalamu’alaikum! Makanan datang…!” seru Bapak saat memasuki kamar.

“Alhamdulillah….!” Arundhati berseru senang.

Selanjutnya, keluarga kecil yang sangat berbahagia itu menyantap makan malam mereka.

Setelah selesai menyantap makanan dan beberes bekas makanannya, Arundhati nampak lemas. Bapak kaget. Ada semburat ketakutan yang tiba-tiba muncul menyelimuti pikirannya. Tak kalah kagetnya, Ibu. Keduanya kembali saling menatap.

Arundhati tertawa sambil menutup mulutnya, “hi hi hi… bapak sama ibu itu memang romantis sekali hari ini…! Sudah berapa kali coba bapak sama ibu saling menatap begitu? Ini Ayun cuma ngantuk”

Bapak dan Ibu sontak menjadi sangat lega begitu mengetahui bahwa anaknya ternyata cuma bercanda. Senyum kembali mengembang di bibir mereka. Ibu yang sudah menangkap arah candaan ayahnya kemudian menyahut, “owalah… Kamu ndhuk…, kalo udah ngantuk ya tidur… tapi tunggu dulu. Baru makan, jangan buru-buru tidur!”

“Iya, tapi Ayun udah ngantuk banget!” timpal Arundhati sambil mendekati tempat tidurnya untuk kemudian duduk di pinggir tempat tidur.

Seperti tidak percaya bahwa anaknya sudah ngantuk berat, Bapak pun bertanya kepada anak tunggalnya itu, “padahal kamu sudah satu minggu tidur lho ndhuk…. Kenapa masih ngantuk juga?”

Arundhati tidak menjawab, karena tanpa disadari kedua orang tua itu , Arundhati telah mengangkat kedua kakinya ke tempat tidur dan menjatuhkan kepalanya ke bantal. Tidur. Pulas.