Senin, Oktober 23, 2023

{20} Loncatan


 

Fajar di sebuah kota kecil yang dilingkari perbukitan ini sungguh sangat mempesona. Matahari yang masih malu-malu mengintip di sebelah timur. Semburat lembayung pagi yang memancar dari celah perbukitan nampak seperti selendang bidadari yang membentang sampai ke atas langit. Beberapa penduduk nampak sedang berjalan-jalan pagi ikut mewarnai geliat pagi kota kecil asri. Beberapa pedagang mendoan dan bubur nampak menjajakan dagangannya di pinggiran trotoar. Beberapa orang lelaki nampak duduk mengelilingi meja tukang kopi sambil mengepulkan asap rokok dan saling bercerita diselingi gelak tawa menghilangkan penat sesaat setelah menempuh perjalanan jauh mengangkut barang dagangannya dari dusun di atas bukit.

Di halaman sebuah rumah mungil yang dipenuhi dengan bunga-bunga warna-warni, nampak dua perempuan berbeda generasi tengah melakukan gerakan gerakan yang mirip gerakan tai chi, atau wushu, atau mungkin tari. Yang pasti, gerakan mereka berdua nampak begitu lembut dan terlihat indah dipadu dengan kibasan jubah longgar yang mereka kenakan. Mereka berdua adalah Retna Nawangsih dan putrinya, Sitakara. Sitakara mengenakan jubah dan kerudung putih gading identitas Alang-alang Segara Wedi. Sementara Retna Nawangsih mengenakan jubah yang sangat lembut berwarna putih dengan beberapa sapuan ungu tergradasi gelap beberapa bagian. Kerudung dengan warna senada nampak menutupi kepalanya dan menyembunyikan dengan ketat rambutnya sehingga gerakan sekuat apapun yang dia lakukan tidak akan melepaskan rambutnya. Dari beberapa gerakan nampak sesekali terlihat gerakan menyerang yang begitu lembut namun berubah menjadi gerakan yang mematikan ketika sampai pada jarak terdekat dari target. Sebagian besar gerakan yang dilatih terlihat selalu mengarah ke panggul mendekati pantat dan dikombinasi dengan serangan ke arah pangkal leher.

Waktu terus berjalan, dan kedua perempuan itu masih terus berlatih dan berhenti ketika bayangan mereka mulai terlihat jelas tergambar di atas tanah halaman.

“Sudah, cukup latihan kita hari ini Sitakara!” teriak Retna Nawangsih setelah bersalto menghindari serangan Sitakara. Sitakara yang masih melompat dengan tangan kananya menjulur ke depan seketika menarik tangannya dan memutar tubuhnya dan mendarat membelakangi Ibunya. Sitakara membalik badannya sambil tersenyum ke arah Ibunya. Dia sangat berharap ibunya akan puas dengan latihannya hari ini. Dan ketika dia lihat ibunya pun tersenyum, ada rasa senang yang menyeruak yang membuat senyumnya semakin lebar. Setelah melakukan beberapa gerakan pernafasan, mereka berdua berjalan ke arah teras rumah. Bersamaan dengan itu, baju jubah yang mereka kenakan berubah menjadi pakaian santai di rumah. Kaus panjang dan celana kain yang lebar nampak dikenakan oleh Retna Nawangsih. Sementara Sitakara mengenakan manset hitam dan kaos oblong putih serta celana jins biru longgar. Kedua-duanya mengenakan kerudung putih.

Sesampai di teras, mereka tidak lansung masuk namun malah duduk di tangga teras dengan kedua kaki diselonjorkan.

“Sitakara, kamu harus benar-benar telah menguasai jurus yang barusan Ibu ajarkan. Kamu harus cepat mengidentifikasi titik kematian para makhluk persepsi agar dapat menyasar dengan tepat untuk kemudian menghancurkannya. Kita tidak bisa hanya mengandalkan Arundhati dan Sekar Kenanga!” tutur Retna Nawangsih sambil memijat-mijat pahanya sampai ke lutut.

“Siap, Ibu! Sitakara siap menjalankan titah Ibunda!” sahut Sitakara sambil tersenyum memeluk ibunya dari samping. Ibunya sangat senang mendengar jawaban Sitakara.

“Sitakara, meski saat ini Arundhati telah sangat maju kemampuannya dan akan semakin maju ketika versinya di lapis kedua dimensi mimpi selesai dari latihan bersama Nyi Ajar Nismara di Ranusimpar, namun bila dia berhadapan dengan musuh yang sangat banyak, maka dia akan keteteran dan sangat mungkin memunculkan kecerobohannya. Semoga gemblengan Nyi Ajar Nismara termasuk mengikis kecerobohannya.” Retna Nawangsih melanjutkan penuturannya.

“Tapi Ibu, kalau berbicara tentang latihan di Ranusimpar apalagi ditangani langsung oleh Gurunda Nyi Ajar Nismara, maka dapat dipastikan bahwa nantinya Arundhati di dimensi utama ini akan mengalami sebuah loncatan?”

“Betul, Sitakara!”

“Nah, yang jadi pertanyaan adalah, apakah Arundhati akan sanggup untuk menerima loncatan ini? Setahu saya, locatan yang biasa-biasa saja pun akan memberikan rasa sakit yang luar biasa.” Dengan nada yang sangat cemas, Sitakara ingin memastikan tentang proses loncatan ini.

“Ibu mengerti kecemasanmu Sitakara. Kamu sangat mencemaskan Arundhati yang sudah kamu anggap adikmu sendiri.” Sitakara tersenyum saat Ibunya menyebutkan bahwa Arundhati sebagai seperti adiknya adiknya, meskipun ibunya mengatakannya dengan sangat lirih seperti menahan sesuatu. Sitakara sangat berharap Arundhati memang adalah adiknya. “Ibu akan menjaganya ketika proses itu berjalan. Demikian juga dengan gurumu Nyi Ajar Nismara. Dia akan menjaga di sisi lapis kedua juga!”

Sitakara sangat senang mendengar penjelasan ibunya. Dia peluk ibunya kencang. Memang seperti yang dibilang ibunya, Arundhati baginya sudah seperti adik sendiri. Sitakara tidak tahu kenapa dia bisa begitu menyayangi Arundhati,  namun satu hal yang pasti baginya Arundhati menempati posisi yang sangat istimewa.

Retna Nawangsih melepaskan pelukan tangan kanan Sitakara dan memutar tubuhnya ke kiri menghadap Sitakara sambil berkata, “Sitakara, ini adalah hari Minggu, dan menurut perhitungan ibu, pada hari ini pulalah mestinya pelatihan yang dilakukan oleh Nyi Ajar Nismara selesai. Bila selama beberapa minggu terakhir Arundhati tidak terhubung, maka hari ini mestinya Arundhati akan terhubung. Kamu yang ada di lapis kedua, bersama Sekar Kenanga segeralah pergi ke Ranusimpar. Jemput Arundhati, dan jaga dia bersama Nyi Ajar Nismara dan Sekar Kenanga. Dan, pagi ini pergilah kamu ke rumah Arundhati. Sebisanya, ajaklah dia agar sore ini dapat berada di rumah ini!”

Sitakara kaget mendengar penuturan ibunya. Dia tidak mengira akan secepat ini Arundhati akan melakukan loncatan.

“Jangan lupa ajak Sekar Kenanga untuk datang ke sini!”

Mendengar perintah ibunya, kekagetan Sitakara semakin menjadi. Bila dilapis kedua dimensi mimpi harus mengajak Sekar Kenanga, itu hal yang wajar. Tapi di dimensi utama ini, bagi Sitakara adalah hal yang sangat aneh. Sitakara tidak tahu bahwa Sekar Kenanga telah diketemukan. Retna Nawangsih melihat rona kekagetan di wajah anaknya. Dia tersenyum sambil bertanya, “kaget Sekar Kenanga sudah diketemukan?”

Sitakara tersenyum senang. Ibunya menanyakan yang seperti itu berarti memang Sekar Kenanga sudah diketemukan.

“Ibu tidak menyangka bahwa orang yang kita cari-cari ternyata berada di sekitar sini. Arundhati dituntun oleh intuisinya yang didukung kemampuannya untuk mendeteksi kehadiran kesadaran yang telah pernah dikenal sebelumnya mampu menemukan Sekar Kenanga dengan sangat cepat.”

“Apakah prosesnya mulus, Ibu?” tanya Sitakara ingin tahu proses yang terjadi. Ada sedikit rona kekecewaan muncul dari wajahnya karena dia tidak diikutsertakan dalam proses penemuan Sekar Kenanga. Padahal, ibunya selalu dapat dia andalkan untuk dapat memantau aktifitas luar biasa Arundhati.

“Ibu sengaja tidak mau ikut campur, dan tidak memberitahumu juga. Ibu harus dapat memastikan Arundhati mampu mengatasinya sendiri. Meskipun sambil dag-dig-dug karena takut terjadi sesuatu terhadap Arundhati, Ibu harus tetap membiarkannya sambil berjaga-jaga!”

Mendengar penuturan terakhir dari Ibunya, dahi Sitakara berkerut. Dalam kondisi seperti itu, sangat tidak mungkin bagi Arundhati untuk tidak menyadari kehadiran Ibunya. Dan, pastinya akan menimbulkan tanda tanya bagi Arundhati.

“Ibu telah melakukan kesalahan!” kata Sitakara memberikan penilaian kepada Ibunya.

“Betul, ibu juga berpikir seperti itu. Saat ini pasti Arundhati sedang bingung dan bukan tidak mungkin akan timbul kecurigaan dia terhadap ibu. Saat ini tidak ada satu  orang pun dari padepokan yang mengenal ibu selain Nyi Ajar Nismara dan Ki Ageng Turangga Seto. Dan sebagai putri Ibu mestinya kamu adalah salah satunya.”

“Tapi, kenapa Ibu tetap membiarkan Arundhati berjuang sendiri?” tanya Sitakara yangmasih belum puas dengan penjelasan ibunya. Retna Nawangsih malah tersenyum sambil bertanya, “Apakah menurut kamu, Arundhati memang harus ditolong?”

Sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Benar, memang Arundhati tidak harus ditolong, dalam perasaannya sebagai kakak dorongan untuk menolong atau setidaknya membantu. Tidak ada respon yang cukup baik selain nyengir. Retna Nawangsih pun tersenyum sambil mengelus kepala Sitakara, “Sudah sana, mandi. Mungkin kamu perlu Ansuman untuk mengajak Arundhati kemari!”

Sitakara segera bangun dan berdiri dan bergegas masuk ke rumah sambil berbisik, “Yes Mam, everything will be OK!”

Retna Nawangsih tertawa melihat kelakuan anaknya. Sitakara, anak tunggalnya memang termasuk manja. Dan dia tahu, bahwa Sitakara sangat senang dapat menemukan Arundhati yang dia anggap adhik sendiri. Sampai di sini, terlihat Retna Nawangsih meneteskan air matanya.

---///\\\---

Sementara itu, di sebuah dangau di suatu areal persawahan nampak Arundhati sedang duduk seorang diri. Dia memperhatikan tanaman padinya yang berantakan. Bukan hanya sawah keluarganya saja yang rusak. Kerusakan ini meluas sampai beberapa blok ke depan. Tak jauh dari dangau terlihat Man Sardi dan Bapak serta beberapa orang lelaki dewasa sedang berdiri sambil bercakap-cakap. Sesekali tangan mereka menunjuk ke suatu tempat. Meskipun kadang terdengar mereka tertawa, namun bagi Arundhati mereka tidak dapat menyembunyikan nada sedihnya.

Siang ini Arundhati sengaja mengikuti Bapak dan Man Sardi pergi ke sawah. Arundhati ingin memastikan bahwa kerusakan yang terjadi bukan karena kelakuan makhluk persepsi atau makhluk biologis yang telah tertanam persepi merusak dari makhluk-makhluk itu. Arundhati telah berulangkali mengerahkan kesadarannya untuk membaca kehadiran makhluk-makhluk tersebut, namun selalu gagal. Bahkan ketika jangkauannya dia perluas sampai melewati batas kampung pun masih belum terbaca kehadiran mereka. Namun justeru dia menangkap kehadarin dua orang yang sangat dia kenal, Sitakara dan Sekar Kenanga. Sontak rona mukanya berubah menjadi gembira. Namun, dengan tiba-tiba wajahnya berubah menjadi murung. Dalam hatinya dia menggerutu, “yah, Yu Ara! Ibu Retna Nawangsih!” Kehadiran Retna Nawangsih yang tidak membantunya menyelamatkan Sekar Kenanga ternyata masih menjadi ganjalan baginya. “Tapi, Yu Ara kan tidak ada sangkut pautnya dalam kasus ini? Dan bisa jadi justeru dia tidak tahu. Tapi… mengapa Yu Ara datang bersama Sekar Kenanga? Bukankah Yu Ara belum tahu keberadaan Sekar Kenanga? Bisa jadi.. hm… mungkin Ibu Retna Nawangsih yang memberitahu?”

Banyak pertanyaan menggantung di kepala Arundhati. Kalau pun ada jawaban, itu harus dipastikan. Arundhati segera turun dari dangau, dan bergerak ke arah tanggul saluran irigasi sambil berteriak keras, “Bapak…. Ayun pulang dulu!”. Arundhati pamit dan dibalas oleh Bapak, “Ya.. ati-ati! Bilang sama Ibu, Bapak masih ada yang dibicarakan sama teman-teman Bapak!”

Arundhati yang sedang mendorong sepeda motornya ke arah jalan, tidak mempedulikan lagi teriakan bapaknya, “Ya Pak, nanti Ayun bilangin!”

Setelah berhasil mendorong motornya sampai ke jalan, Arundhati langsung menyalakan motornya dan menjalankannya. Seperti orang kerasukan, Arundhati langsung tancap gas menggeber motornya pada kecepatan tertinggi yang dia mampu. Bapak dan orang-orang yang bersamanya kaget dan semuanya menoleh ke arah motor Arundhati yang terlihat melaju sangat kencang. Bapak cuma bisa geleng-geleng kepala. Sementara orang-orang yang bersamanya semuanya tertawa.

Arundhati yang tengah melaju dengan motornya terlihat sedang melintasi jalan tengah sawah. Tidak ada seorang pun yang lewat sana. Tiba-tiba, motor dengan Arundhati yang tengah mengendarainya menghilang dari pandangan.  Sekali lagi, Arundhati mengacak-acak hukum fisika. Dengan kemampuannya itu, dalam sekejap Arundhati telah sampai di jalan sepi dekat rumahnya. Arundhati mengurangi laju motornya, berjalan normal sampai ke halaman rumahnya.

Saat memasuki halaman rumahnya, handphonenya berbunyi. Arundhati mengabaikan dering handphonenya. Dia yakin itu adalah panggilan dari ibunya. Sesampainya di plataran rumah, dengan cekatan dia kunci motornya dan lari naik ke teras rumahnya. Di situ sudah ada Sitakara dan Sekar Kenanga. Arundhati menyapa keduannya.

“Assalamu’alaikum…! Eh Yu Ara, Sekar! kapan datang? Sudah lama menunggu?”

“Wa’alikum salam…! Baru saja!” Sitakara menjawab salam Arundhati sambil tersenyum

Sementara itu dari dalam rumah, Ibu keluar sambil memegang handphoe di telinganya sambil merutuk dengan wajah kusut, “Aduh….. ini anak ditelepon gak diangkat!”. Arundhati yang melihat kejadian itu menahan tawa sambil mengambil handphonenya dan menjawab panggilan, “Iya Bu! Ada apa ya?” Wajah ibu nampak senang, “Ayun… cepet pulang! Ini lho ada Mbak Sitakara sama Sekar di rumah. Cepetan ya…! Awas jangan lama-lama!”

“Inggih, Bu! Ayun gak akan kemana-mana!” jawab Arundhati masih tetap menahan tawa. Sitakara dan Sekar Kenanga juga nampak menahan tawa melihat kelakuan Arundhati.

Setelah menurunkan tangannya, Ibu langsung berjalan mendekati Sitakara dan Sekar Kenanga tanpa melihat ke luar, “Ayo Mbak Sita, Mbak Sekar, diunjuk minumannya. Maaf, Ayun lagi ikut bapaknya menengok sawah. Sebentar lagi dia sampai. Monggo diunjuk!”

Arundhati tidak mampu menahan tawanya lagi. Dengan agak teriak sambil tertawa, “Ha ha ha ha…. Ibu….! Ini Ayun….. Jangan mentang-mentang badan kecil Ayun gak dilihat sama Ibu! Lagian, Ibu juga sih, punya anak kecil mungil gini!” Arundhati memutar badannya saat mengatakan, “anak kecil mungil gini!”.  Sitakara dan Sekar Kenanga ikut tertawa melihat kelakuan Arundhati.

Menyadari kejadian ini, Ibu kaget. Namun, kemudian Ibu juga ikut tertawa sambil mendekati Arundhati. Arundhati diam saja ketika Ibu mendekat, dan tanpa diduga-duga ibu jari dan telunjuk Ibu bekerja sama menjapit kupingnya. Ibu menjewer Arundhati dengan pelan sambil menyebutkan dua kata, “Anak nakal!”.  Arundhati teriak sambil tertawa, “Aduh… ampun ibu… sakit..!”.  Masih sambil tertawa ibu mempersilakan kedua tamu anaknya, “ya sudah, Ayunnya sudah datang. Ibu masuk dulu, ya!”. Sitakara dan Sekar Kenanga mengangguk sambil berkata, “monggo, Bu!”

Arundhati masih berdiri sambil melihat ibunya masuk. Setelah ibunya masuk, dia segera menarik kursi, duduk dan kembali menyapa kedua tamunya.

“Aduh, maaf Yu Ara, Sekar! Tadi Ayun ikut bapak lihat sawah. Entahlah, sawah pada rusak. Tapi, ngomong-ngomong, tumben Yu Ara kemari? Ha ha ha…. udah lama ya kita gak ketemu. Sejak Ayun dapat titah nyari Sekar. Tapi… eh…ngomong-ngomong… Yu Ara sudah kenal sama Sekar? Gimana, gimana, gimana ceritanya?” Arundhati langsung nerocos menanyakan banyak hal kepada kedua tamunya. Sekar Kenanga bingung melihat kelakuan Arundhati. Sitakara yang melihat kebingungan Sekar Kenanga tersenyum, “Sekar, gak usah bingung. Tuan putrimu memang seperti itu!”.  Arundhati yang melihat Sitakara yang malah menegur Sekar Kenanga berubah jadi cemberut.  Sitakara yang hapal dengan sifat kolokan Arundhati sengaja membiarkan Arundhati menjadi cemberut.  Dia masih memperhatikan kebingungan Sekar Kenanga.

“Sekar, kamu gak usah bingung begitu dong!” tegur Sitakara sekali lagi.

“Bukan Yu Sita, eh .. maaf… maaf Ayun. Sekar bukan bingung sama Ayun. Maaf.. maaf!” Sekar Kenanga salah tingkah mendengar teguran Sitakara dan melihat sikap Arundhati.

“Ha ha ha… ya sudah Sekar. Biasa aja kali” ucap Sitakara sambil mengalihkan pandangannya kepada Arundhati. Arundhati masih nampak cemberut.

“Aduh adik cantik, gak usah cemberut gitu dong. Yu Ara barusan cuma pengin memastikan Sekar biar nggak kaku-kaku amat! Tapi ya sudahlah, mungkin dia memang begitu adanya.”

“Terus?” sahut Arundhati sambil bertanya.

“Terus apa?”

“Ya yang tadi?”

“Yang tadi yang mana?”

“Yang tadi, yang Ayun tanya?”

Arundhati makin kesal. Tadi, di sawah dia sebenarnya sudah agak kesal karena beberapa pertanyaan yang muncul di kepalanya. Sebenarnya kekesalannya sudah mulai cair ketika dia mengerjain ibunya. Dan ini mungkin yang tidak diketahui oleh Sitakara, karena saat dia temui tadi Arundhati adalah seperti Arundhati yang dia kenal selama ini. Hanya Sekar Kenanga yang tahu bagaimana sikap tegas Arundhati.

“Baiklah, kalau begitu, ada apa Mbakyu Sitakara datang ke rumah Ayun!”

Saat ini giliran Sitakara yang kaget dan bingung. Nada berbicara Arundhati saat ini sangat teratur. Sama sekali berbeda dengan Arundhati yang sering berinteraksi dengannya. Nada yang sangat tegas bahkan dia tidak menggunakan sebutan ‘Yu Ara’. Sekar Kenanga memilih diam. Karena perubahan situasi ini, Sitakara tidak dapat segera menjawab pertanyaan Arundhati. Dia benar-benar terjebak dalam kebingungannya.

Setelah beberapa detik tidak dapat berfikir sedikitpun, tiba-tiba baik Sitakara maupun Sekar Kenanga seperti tehenyak dari lamunan saat mendapati lingkungan mereka saat ini ternyata telah berubah. Arundhati ternyata telah membawa mereka ke dalam kantung waktunya. Sebuah hamparan awan yang sangat luas. Mereka bertiga duduk di atas awan seperti sedang duduk di atas tanah. Mereka bertiga saat ini terlihat mengenakan identitas Alang-alang Segara Wedi, jubah dan kerudung putih gading. Ini benar-benar telah memaksa Sitakara untuk mengakui bahwa Arundhati, juniornya, memang lebih unggul. Untuk mengakhiri kecanggungan ini, akhirnya Sitakara bersuara, “Ampun Ayun…, bukan maksud Yu Ara untuk mengecewakan Ayun. Yu Ara datang ke sini justeru karena ingin memberikan penjelasan kepada Ayun terkait beberapa kejadian yang dialami Ayun, terutama ketika harus menyelamatkan Sekar Kenanga!”

“Baiklah lanjutkan!” sahut Arundhati menyuruh Sitakara untuk melanjutkan. Tetap dengan gaya penyampaian yang sangat tenang.

Mendengar perintah dari Arundhati, Sitakara memulai ceritanya. “Baiklah Ayun, sebelumnya Ibunda Retna Nawangsih titip permohonan maaf atas apa yang telah beliau lakukan saat Ayun bertempur melawan Upala Carma.  Bukan maksud Ibunda Retna Nawangsih untuk tidak mau membantumu, namun menurut perhitungan Ibunda Retna Nawangsih, Ayun pasti akan dengan mudah mengalahkan Upala Carma.  Dan untuk diketahui, selama ini Ibunda Retna Nawangsih belum pernah tahu bahwa ternyata Sekar Kenanga tinggal tidak jauh dari kami. Upala Carma telah berhasil menutup identitas Sekar Kenanga secara sempurna selama bertahun-tahun sehingga Ibunda Retna Nawangsih tidak mampu mengenalinya.”  Sitakara berhenti sejenak. Dia menunggu response Arundhati.

“Baiklah, dapat diterima. Lanjutkan!”

“Baiklah, Ayun! Hal kedua yang membuat kami datang menemuimu adalah bahwa saat ini pelatihan yang dilakukan oleh Nyi Ajar Nismara telah selesai. Ini adalah saatnya Ayun untuk melakukan penyelarasan. Namun, sesuai perhitungan Gurunda Nyi Ajar Nismara proses penyelarasan kali ini akan sangat menyakitkan baik bagimu, juga bagi Arundhati di lapis kedua!”

Arundhati terhenyak kaget. Dia berdiri dari duduknya sambil berkata, “Mbakyu Sitakara, Ayun masih bisa merasakan sakitnya saat satu bulan menerima penyelarasan yang tertunda. Ayun tidak tahu pada tingkatan apa rasa sakit yang akan Ayun terima sehingga Ibu Retna Nawangsih mengutus Mbakyu Sitakara untuk menemui Ayun, bahkan ditemani oleh Sekar Kenanga?”

Sitakara tidak langsung menjawab. Dia terdiam agak lama. Tidak mungkin baginya untuk mengatakan bakal sakit sekali. Namun bila tidak dikatakan, itu sama artinya dengan membohongi Arundhati. Dia tidak sampai hati untuk melakukan itu. Namun, belum sampai dia menjawab, tiba-tiba terdengar suara yang sangat dia kenal. Ibunya, Retna  Nawangsih.

“Arundhati Striratna!” tiba-tiba terdengar suara Retna Nawangsih lembut menyapa Arundhati dengan nama lengkapnya. Arundhati terkesima mendengar suara yang begitu lembut namun sangat berwibawa. Suara Retna Nawangsih. Arundhati tertegun sambil bertanya-tanya, bagaimana mungkin Retna Nawangsih mampu menembus kantung waktunya. Ini hanya mungkin dilakukan oleh orang yang saat ini berada pada koordinat waktu yang sama. Rupanya Retna Nawangsih telah mempersiapkan semuanya. Ini menyadarkan Arundhati, bahwa saat ini dia tengah berada di antara orang-orang yang sangat luar biasa

“Ayun, sebelumya, Ibu meminta maaf kepadamu bahwa saat itu Ibu tidak membantu kamu. Ibu melakukan itu karena ibu lihat kamu telah berkembang begitu pesat meskipun tidak terhubung denganmu di lapis kedua. Dari sini ibu menyimpulkan bahwa kamu pasti mampu mengatasi kecoa macam Upala Carma. Terbukti, karena kamu tahu ada Ibu yang memperhatikanmu, kamu mampu mengalahkannya dengan cara unik, yang bahkan tidak terpikirkan oleh Ibu. Dan itu kamu lakukan dengan sedikit mengerahkan potensi kesadaranmu.” Kembali suara Retna Nawangsih terdengar menjelaskan.

Suara lembut Retna Nawangsih ternyata mampu meluruhkan kekesalan Arundhati. Namun, Arundhati masih tetap memepertahankan kantung waktunya. Arundhati masih merasa ada yang disembunyikan oleh Retna Nawangsih.

“Ah, Ibu Retna Nawangsih. Sebenarnya yang Ibu sampaikan juga sudah Ayun pikirkan. Ini seperti sebuah ujian bagi Ayun. Namun, bila memang betul seperti itu, lantas buat apa?”

Suara Retna Nawangsih tidak langsung menjawab pertanyaan Arundhati. Dan, tiba-tiba di antara mereka muncul sosok Retna Nawangsih. Arundhati sangat terkejut melihat kehadiran Retna Nawangsih. Ibunda dari Sitakara ini nampak cantik dengan jubah biru muda ungu yang cenderung putih (bunga teleng) dan kepala berbalut kerudung dengan warna yang seirama.

“Mungkin kamu terkejut, Ayun. Tapi, Ibu sudah memperkirakan kamu akan membuat suatu kantung waktu. Maka setelah kepergian Sitakara menemuimu, Ibu sudah bersiap masuk ke dimensi dimana kantung waktu dikembangkan.”

Arundhati semakin kagum, mendengar bagaimana Retna Nawangsih dapat memasuki kantung waktunya. Sebuah tempat yang sebelumnya pernah dia pikir sebagai tempat yang paling private, kali ini anggapannya itu benar-benar musnah. Setelah Sekar Kenanga yang mampu mengintersepsi perjalanannya, hari ini Retna Nawangsih bahkan mampu memasuki kantung waktunya yang notabene 100% adalah ada pada kendalinya.

“Tidak, Arundhati! Dapat memanipulasi waktu dalam bentuk kantung waktu tidak kemudian menjadi seratus persen menjadi pengendali Inilah yang harus aku pastikan bahwa kamu memahami ini. Dan, hari ini kamu telah memberikanku kesempatan untuk memasuki kantung waktumu sehingga kamu tahu ada kelemahan dalam kantung waktu. Dan bila tadi kamu menanyakan buat apa, maka aku harus memberitahumu bahwa penting bagiku untuk memastikan kamu telah menguasai kemampuan yang dibutuhkan untuk menerima penyelarasan setelah pelatihan di Ranusimpar!” Jelas Retna Nawangsih dengan diawali penyanggahan terhadap apa yang ada pada pikiran Arundhati. Hal ini tentunya semakin membuat Arundhati kagum kepada Retna Nawangsih. Arundhati merasa semakin tidak berarti di hadapan Retna Nawangsih. Ini menyadarkan Arundhati atas  kekurangan yang tidak dia sadari. Arundhati segera berlutut satu kaki dengan kepala menunduk dan kedua tangan bertumpu pada salah satu pahanya.

“Ampunkan Ayun yang telah bertindak berlebihan baik kepada saudara Ayun maupun kepada musuh-musuh Ayun, Ibu Retna Nawangsih!”

Retna Nawangsih tersenyum melihat apa yang dilakukan oleh Arundhati. Sitakara bingung melihat sikap Arundhati. Namun, berbeda dengan Sitakara, Sekar Kenanga justeru tiba-tiba berlutut di depan Retna Nawangsih dengan sikap yang persis sama. Ini semakin membuat Sitakara bingung.

“Ampunkan ananda yang tidak mengenali kehadiran bibi Retna Nawangsih Bawana Nisala Putri!”

Retna Nawangsih tersenyum, Sitakara semakin bingung. Sepanjang itukah nama ibunya? Selama ini bila ia lihat di KK maupun di KTP ibunya cuma menyebut nama Retna Nawangsih. Tidak pernah sekalipun dia membaca Retna Nawangsih Bawana Nisala Putri. Bahkan di padepokan pun dia tidak pernah mendengar hal itu.

Retna Nawangsih berjalan mendekati kedua gadis yang sedang berlutut di hadapannya. Sambil menyentuh pundak dan membimbing Arundhati untuk berdiri, Retna Nawangsih berkata, “Berdirilah anakku! Tidak ada yang pantas untuk berlutut di depanku. Bukankah kamu selalu mengataku itu pada Sekar Kenanga?”.  Sitakara, agak sedikit terperangah saat mendengar ibunya menyebut Arundhati dengan sebutan anakku. Tidak biasanya ibunya menyapa teman-temannya dengan sebutan itu.

“Baik, Ibu Retna Nawangsih!” sambut Arundhati setelah tegak berdiri.

Retna Nawangsih tersenyum. Kemudian dia berjalan mendekati Sekar Kenanga dan bertanya, “Sekar Kenanga, kenapa kamu berani menyimpulkan bahwa saya adalah Retna Nawangsih Bawana Nisala Putri?”

“Ampun bibi, saya hanya mengenal dari orang tua saya tentang seorang perempuan yang mampu menebak pikiran orang lain dengan tepat. Dari tadi saya perhatikan bibi selalu menebak pikiran Ayun tanpa ada penolakan dari Ayun. Kemudian orang tua saya juga bilang bahwa orang ini mempunyai kemampuan di atas kami dan bila kami dalam suatu situasi mengenakan jubah putih gading, maka dalam situasi yang kurang lebih sama orang ini mengenakan jubah seperti yang bibi kenakan!” jawab Sekar Kenanga dengan lancar.

Retna Nawangsih tersenyum. Kemudian, dia membimbing Sekar Kenanga untuk berdiri.  Setelah Sekar Kenanga berdiri. Retna Nawangsih tidak segera melepaskan tangannya. Dia justeru memegang kedua lengan Sekar Kenanga yang saat ini berdiri berhadapan dengannya. Retna Nawangsih berkali-kali terlihat tersenyum dan sedih secara begantian sambil menatap wajah Sekar Kenanga. Tanpa dinyana-nyana, tiba-tiba Retna Nawangsih menarik punggung Sekar Kenanga dan memeluknya erat. Sambil menangis dan tetap memeluk Sekar Kenanga, Retna Nawangsih bertanya, “Di lapis kedua, kamu adalah putri kinasih Ki Ageng Gagak Pergola dan alamarhumah Dinda Nyi Ageng Retna Gantari Nisreya Wanda, bukan?”

“Betul, bibi Retna Nawangsih!” jawab Sekar Kenanga. Dan, jawaban ini membuat Retna Nawangsih semakin mempererat pelukannya kepada Sekar Kenanga. Setelah puas memeluk Sekar Kenanga, Retna Nawangsih mundur melepaskan Sekar Kenanga.

“Sitakara!” Retna Nawangsih memanggil Sitakara.

“Dalem, Ibu!”

“Sekar Kenanga adalah adik sepupumu di lapis kedua. Tapi, jangan pernah katakan pada siapapun di sana bahwa kalian masih bersaudara!”

Retna Nawangsih tidak menginginkan identitas anaknya dan Sekar Kenanga diungkap di lapis kedua. Sitakara mengangguk masih dengan beberapa pertanyaan yang tertinggal di kepalanya. Melihat raut muka Sitakara, Retna Nawangsih kemudian menegurnya, “kenapa? Kamu bingung ibumu memanggil Ayun sebagai anakku?” Menjawab pertanyaan ibunya, Sitakara hanya menanggukkan kepala. Retna Nawangsih tersenyum sambil berkata, “yakinlah Sitakara Anakku, bahwa perasaanmu yang mendalam kepada Ayun dan menganggapnya sebagai adik bukanlah hal yang salah!”. Sitakara tersenyum.

“Dan kalian Sitakara, Sekar Kenanga, serta Arundhati aku minta pada kalian, jangan pernah mengungkap kehadiranku di dimensi utama ini kepada orang-orang di lapis kedua!”

Disamping identitas ikatan darah antara Sitakara dan Sekar Kenanga, Retna Nawangsih juga meminta kepada ketiga gadis itu untuk menyimpan rahasia kehadirannya di dimensi utama, yang secara serempak dijawab oleh ketiga gadis itu, “Baik Ibu!”

Dengan masih berhadap-hadapan dengan Sekar Kenanga, Retna Nawangsih menepuk pundak Sekar Kenanga sambil berkata, “Sekar, sebenarnya banyak yang mau bibi tanyakan kepadamu. Namun, saat ini membantu Ayun lebih penting!” yang dibalas dengan anggukan oleh Sekar Kenanga.

Retna Nawangsih berjalan ke arah Arundhati sambil berkata, “kembali lagi ibu harus meminta maaf kepadamu, karena barusan telah memanfaatkan kantung waktumu bukan untuk kepentinganmu, Ayun!”

“Tidak apa-apa Ibu Retna Nawangsih, pelajaran yang telah Ibu Retna berikan kepada Ayun jauh lebih berarti daripada kantung waktu Ayun!” balas Ayun dan disambut senyum Retna Nawangsih sambil meminta sesuau, “kalau begitu, sekali lagi Ibu merepotkanmu, boleh?”

“Bila Ayun mampu, Ayun tidak akan berkeberatan!”

“Kalau begitu, bawa kami bersama kantung waktumu ke puncak Gunung Sindoro! Dan lepaskan kantung waktumu setelah kita sampai di sana”

Tampak keraguan pada raut muka Arundhati yang langsung ditangkap oleh Retna Nawangsih.

“Sekar, tolong lapisi kantung waktu Ayun dengan kantung waktumu!”

“Baik, Bibi Retna!”

Retna Nawangsih tersenyum sambil memegangi kedua lengan Arundhati. Arundhati yang telah mengerti maksud Retna Nawangsih pun tersenyum. Dan, tiba-tiba mereka telah berada di sebuah area yang sangat dingin dengan bebatuan seukuran kelapa berserakan. Puncak Gunung Sindoro. Retna Nawangsih melepaskan pegangannya dan berbalik ke arah Sitakara.

“Sitakara, persiapkan tempat untuk melakukan penyelarasan!” perintah Retna Nawangsih kepada anaknya.

“Baik, Bu!”

Sitakara segera berjalan ke posisi paling tengah. Bersamaan dengan dia berjalan, suasana berubah menjadi semakin gelap. Batu-batu besar yang berserakan di sekitar mereka tiba-tiba terangkat dan berkumpul di salah satu titik.  Area di sekitar mereka saat ini bersih dari batu-batu yang berserakan.  Sampai di titik tengah, Sitakara menggerakan kedua tangannya, dan tiba-tiba tanah di depannya terangkat dalam bentuk balok. Terakhir, dengan satu gerakan, tangan kanan Sitakara membuat gerakan menyapu memangkas tanah yang terangkat tadi sehingga bagian atas tanah yang terangkat tadi berubah menjadi sangat rata.

Arundhati baru kali ini melihat kemampuan Sitakara. Selama ini hanya kemampuan beladiri saja yang dia tahu dari Sitakara. Retna Nawangsih tersenyum melihat Arundhati yang terlihat takjub akan kemampuan Sitakara.

“Ayun, duduklah di atas tanah yang telah dipersiapkan oleh mBakyumu Sitakara!” perintah Retna Nawangsih kepada Arundhati. Arundhati segera mengikuti perintah Retna Nawangsih. Dia berjalan ke arah balok tanah buatan Sitakara. Naik dan duduk bersila di atasnya. Retna Nawangsih sangat senang, karena Arundhati mau mengikuti perintahnya.

“Sebelum kita mulai, Sitakara, bagaimana dengan persiapan di lapis kedua?” tanya Retna Nawangsih kepada Sitakara sesaat setelah Arundhati duduk bersila.

“Di lapis kedua mereka telah siap. Mereka justeru mengkhawatirkan kita!” jawab Sitakara.

“Kalau begitu, sampaikan ke mereka, bunga teleng selalu terselip di telinga!” Sitakara tersenyum mendengar perintah Ibunya.

“Sudah Bu, mereka mengerti dan Nyi Ajar Nismara pun sudah bilang aman! Mereka menunggu aba-aba saya saat kita siap”

“Baiklah! Sekar kamu duduk di sebelah sana, dan kamu Sitkara, duduklah di sebelah sana. Sementara saya akan duduk di sana. Setelah mereka bertiga duduk, Retna Nawangsih berkata, “Sitakara, katakan sudah dapat dimulai!”.  Sitakara manganggukan kepalanya. Dan bersamaan dengan itu, dari tubuh mereka memendar cahaya putih sangat menyilaukan. Cahaya putih dari mereka bertiga menyatu membuat suatu kubah dimana ada Arundhati di tengahnya.  Setelah sekian lama berjalan, tubuh Arundhati mulai nampak bergetar. Wajah Arundhati memperlihatkan ekspresi kesakitan yang sangat luar biasa. Berkali-kali terlihat tubuh Arundhati limbung. Namun, pada saat yang bersamaan, kubah cahaya itu langsung memeluk dan menyelimuti tubuh Arundhati serta mendudukkan pada posisi semula. Kubah cahaya ini tidak langsung kembali ke bentuk semula, namun bertahan agak lama menempel pada tubuh Arundhati dan berpendar mengikuti irama jantung. Setelah irama pendaran itu stabil, pendaran cahaya itu kembali membentuk kubah.

Sementara itu, di lapis kedua dimensi mimpi di tepi sebuah danau yang tenang, juga tengah berlangsung proses yang sama. Nyi Ajar Nismara dibantu oleh Sitakara dan Sekar Kenanga membantu Arundhati melakukan proses penyelarasan.  Sama seperti di dimensi utama, Arundhati diselimuti kubah cahaya dan dikelilingi orang-orang terdekatnya.

Proses penyelarasan yang sangat tidak biasa ini berlangsung cukup lama. Setelah kira-kira tiga jam berlalu, proses mulai memasuki fase final. Arundhati nampak sudah sering limbung, dan ketiga orang yang menjaganya juga sudah mulai nampak kecapekan. Dalam situasi yang kritis ini, baik Arundhati pada lapis kedua maupun pada dimensi utama nampak melayang dengan posisi bersila sampai pada ketinggian sekitar dua meter. Pada ketinggian ini, Arundhati membuka matanya dan kemudian berdiri dengan kedua tangan terbuka di samping tubuhnya. Bersamaan dengan itu, ketiga orang yang menjaganya menarik kembali energi kesadaran yang mereka pancarkan untuk membantu Arundhati.  Setelah itu, baik Sitakara maupun Sekar Kenanga nampak lunglai dan menjatuhkan tubuhnya ke belakang dan melurukan kakinya, telentang dengan kedua tangan terbuka kesamping. Nyi Ajar Nismara di lapis kedua dan Retna Nawangsih di dimensi utama tersenyum melihat Sitakara maupun Sekar Kenanga.

Arundhati yang masih melayang nampak mulai menyelesaikan fase terakhir penyelarasan ini. Dari gerakan tubuhnya, nampak dia seperti sedang menghirup napas sebanyak-banyaknya. Angin sepoi-sepoi berhembus mengelilingi tubuh Arundhati. Tubuhnya ikut berputar mengikuti arah angin. Tetumbuhan di sekitar danau Ranusimpar maupun di sekitar puncak Sindoro pada radius 15 kilomter nampak berayun lembut dan kuncup bunga nampak mekar. Penduduk di lapis kedua yang berada di radius tersebut terlihat gembira melihat bunga-bunga yang tiba-tiba bermekaran di sore hari ini.

Baik Nyi Ajar Nismara maupun Retna Nawangsih terlihat senang melihat Arundhati yang tengah menyatudiri dengan bumi.  Dan sepertinya bumi menyambutnya dengan hangat. Ini terlihat dari bermekarannya kuncup bunga seakan memberikan salam kepada Arundhati.

Setelah beberapa lama berputar-putar sambil melayang, secara perlahan arundhati kemudian turun. Setelah menapak Arundhati segera berlagi ke arah Retna Nawangsih dan memeluknya sambil menangis. Sambil terbata-bata Arundhati mengungkapkan perasaan terimakasihnya kepada Retna Nawangsih, “terimakasih Ibunda Retna Nawangsih. Dalam masa paling kritis ini, Ibunda telah menemani dan menjaga Ayun!”. Retna Nawangsih tersenyum. Rupanya, Nyi Ajar Nismara telah menceriterakan semua kepada Arundhati saat memberikan pelatihan di Ranusimpar.

Sitakara dan Sekar Kenanga kaget dan heran mendengar Arundhati memanggil Retna Nawangsih dengan sebutan Ibunda.

“Sitakara, kamu tidak usah kaget. Ayun ini adalah adikmu satu bapak. Bapak Arundhati sebenarnya pula adalah bapakmu. Ada kisah yang teramat panjang untuk diceritakan. Ibu memang pernah menjadi isteri dari Mad Kusen, bapaknya Ayun, yang waktu itu bernama Bajranala dengan nama panjang Bajranala Badasusena . Kamu adalah anak dari perkawinan kami, Sitakara Dhanta. Nenek buyutmu yang memberikan nama Sitakara yang berarti rembulan sementara Dhanta adalah putih gading.”

Dengan hati-hati Retna Nawangsih menceritakan kisahnya dengan bapaknya Arundhati. Sitakara sangat senang mendengar penuturan ibunya bahwa ternyata Arundhati adalah adiknya satu bapak. Namun, ada perasaan marah yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. Bagaimana tidak, Mad Kusen, tinggal tidak jauh dari kotanya. Namun, seperti hilang tertelan bumi. Tidak pernah sekalipun menjenguknya meskipun mungkin perceraian telah memisahkan mereka. Retna Nawangsih yang merasakan kemarahan yang muncul dalam hati putrinya segera mencegah perasaan itu marah dan mempengaruhi putrinya.

“Sitakara anakku, kamu tidak perlu marah. Perpisahan kami terjadi bukan karena pertengkaran atau hadirnya orang ketiga, apalagai orang ketiganya itu adalah ibunya Arundhati. Kami terpisah karena adanya kekacauan yang ditimbulkan oleh makhluk-makhluk persepsi. Kekacauan yang terjadi pada tahun 98 telah memisahkan kami. Ibu yang tengah mengandung dirimu nekad maju ke dalam peperangan melawan para makhluk persepsi itu. Namun tanpa disangka-sangka, ibu terlempar jauh menembus dimensi akibat serangan yang dilakukan oleh Dhemit Marumaya, makhluk persepsi pemimpin utama kakak dari Dhemit Bacira. Dhemit Marumaya ini sama saja dengan Dhemit Bacira. Dia aseli penghuni lapis pertama, dan di lapis kedua dia dibantu oleh gerombolan Alap-alap Selogiri.  Dan dalam peperangan di lapis kedua ini, Retna Gantari, bibimu yang belum lama melahirkan Sekar Kenanga, terbunuh  oleh Alap-alap Selogiri.  Sementara Retna Gantari versi dimensi utama ini meninggal terbunuh oleh Dhemit Marumaya. Bibimu terbunuh karena berusaha melindungi ibumu. Ibumu selamat, namun terlempar ke lapis ke-sembilan dimensi mimpi. Kamu lahir di sana, Sitakara. Namamu adalah pemberian nenek buyutmu yang ternyata masih hidup di lapis ke-sembilan itu. Nenek buyutmu Endang Paramayana Wardini adalah mahaguru di padepokan Ugra Sundari. Dan di padepokan inilah ibumu meningkatkan kemampuan ibu dan bertemu dengan guru kalian, Nyi Ajar Nismara. Setelah lima tahun berada di lapis kesembilan, ibu yang lahir dan besar di dimensi utama merasa harus kembali ke dimensi utama. Setelah dibekali kemampuan menembus dimensi, ibu berhasil kembali ke dimensi utama. Kemampuan menembus dimensi ini harus disertai dengan pengorbanan kembaran eksistensi mu di lapis kedua. Ibumu ini dan ibumu yang di lapis kedua harus melakukan penyatuan. Hal ini hanya diketahui oleh Ki Ageng Turangga Seta dan Nyi Ajar Nismara.”  Retna Nawangsih, menghela nafas sambil mengingat-ingat kejadian yang pernah dia alami di masa lampau.

Sitakara yang mendengarkan dengan seksama penuturan ibunya mulai paham, meskipun dia lahir mendekati masa pergantian milenium, namun kilasan kenangan masa kecil dia di sebuah kampung yang sangat asri di lingkungan yang kental berbahasa jawa, mestinya dia berada di pulau jawa. Namun, seingat dia,  tidak ada listrik dan televisi di situ. Bahkan motor mobil dan simbol-simbol kemajuan jaman tidak dia jumpai dalam pengalaman masa kecilnya. Simbol-simbol kemajuan jaman mulai dia temui ketika dia dan ibunya kembali ke dimensi utama. Meskipun di kampung terpencil di jawa, setidaknya sepeda motor seharusnya pernah dia temui. Apalagi sudah lewat pergantian milenium.  Dia tidak pernah berfikir sedikitpun bahwa dia pernah terlempar ke lapisan dimensi yang sangat merepresentasikan masa yang jauh dari abad ke 21. Masa dimana bahkan nenek buyutnya masih muda. Sebenarnya ada beberapa pertanyaan, namun dia menunggu sampai ibunya selesai bercerita tentang asal-usulnya dan asal-usul Arundhati.

“Di dimensi utama, Ibu berusaha untuk mencari bapakmu. Rumah yang kita tinggali adalah rumah adalah hasil jerih payah bapakmu yang kami tinggali setelah menikah. Dan ketika ibu terlempar ke lapis kesembilan, bapakmu meninggalkan rumah itu satu tahun setelah berusaha mencari keberadaan Ibu namun selalu gagal. Rumah dititipkan kepada Badrun, bapaknya Sweta Nandini. Badrun yang pada versi lapis kedua adalah adik ipar Nyi Ajar Nismara, meninggali rumah sambil mengembangkan usahanya menjual sembako di pasar.   Dan ketika ibu datang, Badrun sangat senang karena tugasnya menjaga rumah temannya itu akan selesai, dan saat itu bisnis Badrun sudah bisa dibilang sukes. Dan, dari Badrun ini Ibu tahu kisah bapakmu. Ternyata, selama empat tahun Bapakmu itu selalu mencari Ibu. Namun karena tidak pernah berhasil, keluarganya selalu menghiburnya dan bahkan banyak yang menyarankan untuk menikah lagi. Termasuk nenekmu dari bapakmu, Sitakara. Beliau sangat sedih melihat kondisi bapakmu. Beliau kemudian meminta bapakmu untuk menikah lagi, dan beliau sudah mempunyai calon buat bapakmu. Karena yang meminta adalah nenekmu, bapakmu tidak kuasa untuk menolaknya. Dan, akhirnya bapakmu menikah dengan perempuan pilihan nenekmu, Dewi Wikasitapaliya Wanodya, dengan syarat bahwa mereka berdua tidak lagi dilibatkat dalam urusan dengan para makhluk persepsi dan apalagi interaksi antar dimensi. Syarat ini disetujui baik oleh nenekmu maupun Dewi Wikasitapaliya Wanodya, Ibunya Arundhati. Sebagai perwujudan syarat itu, Dewi Wikasitapaliya Wanodya mengganti namanya menjadi Saliyah, dan Bajranala Badasusena merubah namanya menjadi Mad Kusen. Mereka berdua mendapat jatah untuk mengelola sawah di kampungnya Arundhati saat ini.” kembali Retna Nawangsih berhenti bercerita sambil menarik nafas dalam-dalam. Dari sudut matanya, mulai nampak mengalir tetesan air mata. Retna Nawangsih seperti sengaja membiarkan airmatanya menetes saat menceritakan tentang Bajranala. Retna Nawangsih seperti meminta Sitakara agar memahami, bahwa yang menjadi korban dari situasi itu bukan hanya dia dan ibunya. Bapaknya juga adalah korban dari situasi itu. Dan ibu Arundhati bukanlah merebut bapaknya dari dari Ibunya.

Sitakara hanya bisa diam mendengarkan cerita ibunya yang belum selesai. Dia mulai dapat memahami posisi Mad Kusen atau bapaknya Arundhati. Akan tetapi ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Kenapa Eyang Endang Paramayana Wardini, justeru menikahkan muridnya Wikasitapaliya kepada cucunya sementara isteri cucunya ini sedang dalam perlindungannya. Akhirnya Sitakara memberanikan diri untuk bertanya pada ibunya, “Ibu, bukankah saat bibi Wikasitapaliya dinikahkan dengan bapak, Ibu sedang berada dalam perlindungan Eyang buyut? Apakah eyang buyut tidak tahu?”

Agak lama, Retna Nawangsih terdiam. Semua berdebar menunggu jawaban Retna Nawangsih.

“Untuk hal ini Ibu tidak bisa menjawab pertanyaanmua Sitakara. Tapi yang perlu diingat adalah, Ibu tidak pernah tahu bahwa nenek buyutmu masih ada, dan bapakmu sepertinya tidak pernah menceritakan perihal ibumu kepada nenek buyutmu.” Retna Nawangsih menghela nafas sebentar, “sementara ibu juga pada awal-awal sampai ke tempat nenek buyutmu tidak pernah menceritakan siapa bapakmu. Baru setelah kamu berumur 5 tahun, pandangan beliau yang dalam dapat melihat bapakmu dalam dirimu. Di situ ibu baru menceriterakan perihal bapakmu. Dan, semenjak saat itu nenek buyutmu terlihat lebih sering menyendiri. Setelah ibu berpamitan dan kembali ke dimensi utama ini, barulah ibu berfikir bahwa sepertinya nenek buyutmu itu sangat masygul karena seharusnya dia bisa mencegah anaknya untuk memaksa cucunya menikah lagi! Dan satu lagi, nenekmupun sepertinya tidak tahu bahwa ibu ada dalam perlindungan nenek buyutmu. Beberapa hari setelah ibu bercerita kepada nenek buyutmu, ibu lihat nenek kalian Sitakara dan Arundhati, datang menemui nenek buyut kalian. Mereka berdua berdialog sangat emosional. Sesekali terlihat nenek kalian menangis di pangkuan nenek buyut kalian. Sepertinya nenek kalian pulang dengan membawa penyesalan yang sangat dalam. Dan bila mendengar cerita dari Badrun,  nenek kalian meninggal beberapa bulan setelah waktu itu.”

Sitakara masih terdiam saat Retna Nawangsih mengakhiri ceritanya. Dalam hatinya, dia sangat senang bahwa ternyata Arundhati adalah benar-benar adiknya, namun terselip juga rasa tidak ikhlash terhadap nasib ibunya.

“Sebagai informasi saja, Yu Ara! Sampai saat ini Bapak masih memegang komitmennya untuk tidak lagi berurusan dengan makhluk persepsi dan dimensi mimpi serta para penjaga. Ketika Ayun kehilangan memory saat terjadi persentuhan pertama alam pikiran Ayun yang ada pada lapis pertama dan Ayun dimensi utama ini, Bapak tidak pernah sekalipun menggunakan kemampuannya untuk membantu Ayun.” Arundhati menyela Retna Nawangsih menjelaskan sikap Bapaknya. Retna Nawangsih tersenyum, sambil memandang ke arah Arundhati, dan beralih kembali kepada Sitakara melanjutkan kisahnya.

“Mendengar cerita dari Badrun, Ibu tidak tega untuk menemui bapakmu yang telah memulai hidup baru dengan ibunya Arundhati.  Kemudian ibu meminta Badrun untuk menanyakan harga rumah bila dijual. Setelah mendapatkan informasi tentang harga rumah, Ibu menyuruh Badrun untuk menjual beberapa perhiasan pemberian nenekmu dari lapis kesembilan. Badrun yang tahu barang ini ternyata menjual perhiasan itu bukan ke toko emas, namun langsung kepada beberapa kolektor perhiasan sehingga bisa laku sangat mahal. Kemudian, uang hasil penjualan perhiasan itu, Ibu bayarkan kepada bapakmu untuk menebus rumah kita itu. Badrun, preman insyaf ini, betul-betul amanah. Dia menyampaikan kepada bapakmu bahwa rumah telah dibeli orang dari Jakarta. Bila kamu bertanya kenapa harus dibayar sementara rumah itu juga adalah hak ibu, maka ibu telah mendengarnya terlebih dulu dari Badrun. Ibu harus melakukan itu untuk bersembunyi dari bapakmu. Ibu tidak mau mengganggu hidup bapakmu.  Dengan adanya jual beli rumah, Bapakmu tidak akan curiga kenapa tiba-tiba Badrun keluar dari rumah itu, yang bila ditelusuir akan mengarah kepada kehadiran ibu di sini. Begitu, Sitakara.  Dan, sebagaimana yang telah Ibu lakukan, ibu berharap untuk sementara kamu jangan dulu meminta pengakuan dari bapakmu!”

Sitakara mengangguk tanda setuju. Dia ingat sorot mata bapak Arundhati saat pertama kali bertemu dengannya. Dia yakin, bapak Arundhati sangat mengenalinya sebagai anaknya. Namun dia sangat menjaga perasaan Ibu Arundhati. Sementara Ibu Arundhati yang  terlihat sangat expresif, dia yakin juga tidak pernah membencinya. Terbukti tadi saat menunggu Arundhati, dia terlihat sangat repot melayaninya. Bukan sebagai tamu pastinya. Namun, sebagai anak suaminya. Dan itu berarti anaknya juga. Sepertinya Ibu Arundhati hanya kaget bahwa ternyata Retna Nawangsih masih hidup. Dan, seiring waktu kekagetan ini pastinya akan hilang. Dan, saat itulah dia  meminta pengakuan dari bapaknya. Menyatukan kembali Ibu dan Bapaknya, sepertinya bukanlah sebuah keniscayaan. Sitakara tidak ingin berangan-angan sampai ke sana. Memanggil seseorang dengan sebutan bapak sebagai orang-tuanya adalah salah satu keinginan terbesarnya. Dan itu sepertinya telah ada di depan mata. Sitakara tersenyum. Melihat Sitakara tersenyum, baik Retna Nawangsih maupun Arundhati terlihat sangat lega.

Suasana hening dalam beberapa saatm. Namun, tanpa diduga sama sekali, Sitakara berdiri dan berlari memeluk Arundhati sambil menangis.  Sambil terisak Sitakara mengungkapkan perasaan hatinya, “Ayun, Yu Ara sangat bahagia bahwa ternyata Ayun yang selama ini hanya Yu Ara anggap sebagai adik, ternyata memang adik Yu Ara yang sesungguhnya. Yu Ara akan sabar menunggu saat yang terbaik mendapatkan pengakuan dari Bapak. Beberapa hari atau beberapa bulan, bukanlah waktu yang lama bagi Yu Ara menunggu waktu itu dibanding berpuluh tahun kehidupan yang Yu Ara lalui tanpa kehadiran Bapak!”.  Arundhati membalas pelukan Sitakara dengan sangat lembut. “Yu Ara, Ayun tidak dapat menjanjikan apapun mengenai pengakuan Bapak karena ini semua keputusannya ada pada Bapak. Namun, Ayun janji untuk menjadi adik yang baik bagi Yu Ara dan akan ikut memperjuangkan keinginan Yu Ara!”. Keduanya tenggelam dalam isak tangis dan kesedihan yang mendalam.  Sekar Kenanga yang merupakan orang luar dalam kisah sedih itu nampak ikut menangis, terlihat dari lelehan air mata yang mengalir dari sudut matanya. Retna Nawangsih yang tidak mau terlalu lama terlarut dalam kesedihan tiba-tiba berteriak memerintah, “Baiklah, sekarang Ayun, kamu lapisi lagi kantung waktu Sekar Kenanga. Dan Sekar, setelah kantung waktu kamu terlapisi oleh Ayun segera tarik dan lepaskan kantung waktumu! Dan, Ayun, bawa kita kembali ke tempat kita berangkat tadi”

Demi mendengar perintah itu, Arundhati melepaskan pelukannya kepada Sitakara. Demikian juga Sitakara. Kemudian tanpa dikomdo, Arundhati dan Sekar Kenanga sama-sama mengucapkan “Siap!”

Retna Nawangsih tersenyum. Dia telah melepaskan segenap beban yang selama ini telah dia simpan sendiri. Dia senang bahwa Sitakara mau menerima dengan lapang kenyataan yang telah dia ungkapkan. Dan, ketika lingkungannya telah kembali seperti saat berangkat tadi, Retna Nawangsih segera pamit untuk kembali ke tempatnya semula.

“Ayun, Ibu akan keluar dari kantung waktumu untuk kembali ke-tempat ibu berangkat tadi. Sitakara, jaga adikmu, Ibu pulang dulu!”

Sitakara mengangguk sambil membalas pesan ibunya, “baik Ibu. Sebelum tahu Ayun adalah adik Ara pun Ara sudah menjaganya. Apalagi setelah tahu sekarang. Ara akan menjaganya sepenuh hati. Terutama dari Ansuman!”

Arundhati mencubit tangan Sitakara sekuatnya saat mendengar namanya dikaitkan dengan Ansuman. Sitakara menjerit kesakitan sambil tertawa. Retna Nawangsih tidak sanggup menahan tawa melihat kelakuan Arundhati.

“O… Ansuman? Ibu kira dia mengejarmu, Sitakara. Ternyata Ayun yang dia kejar?”

Sitakara tertawa, Sekar Kenanga menahan tawa, dan Arundhati sambil bersungut-sungut kemudian berkata, “sudah… sudah! Ibu katanya mau pulang. Monggo!”

Retna Nawangsih tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Sitakara dan berkata membalas Arundhati, “O… ngusir.. ya sudah, Ibu pergi dulu ya….! Assalamu’alaikum!”.   Dalam sekejap mata Retna Nawangsih telah menghilang dari pandangan.

“E.. enggak, enggak! Bukan maksud Ayun….! Ah… wa’alaikum salam!” Arundhati bermaksud mengkoreksi kata-katanya, namun terlambat menyampakan.  Akhirnya dia menutup kalimatnya dengan membalas salam Retna Nawangsih setelah Sitakara dan Sekar Kenanga melakukannya.

“Yu Ara, Sekar Kenanga. Ayun mohon maaf atas sikap tengil Ayun tadi ya!”.  Sambil berjalan ke arah sebelumnya dia duduk, Arundhati memohon maaf atas ketengilannya tadi.

“Tidak apa-apa Ayun. Yu Ara sangat mengerti kegelisahan Ayun. Dan Yu Ara yakin demikian juga dengan mBakyu Sekar Kenanga. Begitu bukan mBakyu Sekar?” Sitakara menjawab permohonan Arundhati sambil memastikannya kepada Sekar Kenanga. Pipi Sekar Kenanga mendadak memerah. Dia merasa malu dan risih karena tiba-tiba dia harus dipanggil mBakyu oleh dua orang yang sangat dia hormati. Arundhati tersenyum melihat perubahan rona wajah Sekar Kenanga.

“Iya.. eh iya… iya.. Yu Ara, eh mohon maaf, bolehkah saya memanggil seperti sebelumnya?”

“Tidak boleh!” jawab Sitakara tegas. “Mbakyu Sekar adalah kakak sepupu saya. Almarhum budhe Retna Gantari adalah kakak dari Ibu Retna Nawangsih. Dan mBakyu Sekar pun lahir satu tahun lebih dulu dari saya, maka akan kualat nanti saya dan Ayun bila menerima panggilan mBakyu dari mBakyuku sendiri!”

“Baik, baiklah! Baiklah Ara!”

Sitakara tersenyum senang dipanggil Ara oleh Sekar Kenanga. Arundhati tersenyum sambil meminta mereka untuk menempati posisi mereka saat datang tadi, “Sudah sudah…! Yu Ara dan Yu Sekar, silakan mengambil posisi duduk kalian. Ayun akan menarik kantung waktu Ayun!”

Sitakara dan Sekar Kenanga segera mengambil sikap duduk seperti saat mereka datang di atas hamparan awan ini. Dan, baru saja mereka menduduki gundukan awan dan menikmati sensainya, tiba-tiba saja suasanyanya berubah kembali ke teras rumah Arundhati.

Di teras rumah ternyata Ibu tengah berada di halaman sambil berteriak-teriak memanggil Arundhati, “Ayun….! Ayun! Hmmm… kemana anak ini? Ayun…..!”

Rupanya pergantian kantung waktu tadi telah membuat penutupan kantung waktunya tidak tepat pada posisi saat dia pergi. Arundhati memberikan kode kepada Sitakara dan Sekar Kenanga untuk berdiri dan berjalan mengikutinya.

“Ibu….., ada apa ya?” Arundhati berteriak memanggil ibunya. Ibu terdiam sebentar dan membalik badannya ke arah teras. Setelah melihat Arundhati dan teman-temannya, wajahnya nampak Sumringah.

“Aduh kamu Ayun, kemana saja! Ibu teriak mencari-cari dari tadi kamu nggak nyahut?”

“Ha ha ha…. Ibu. Orang kami tadi ke belakang. Ke sumur, ada yang kepengin pipis. Ya sudah Ayun anterin!”

“Masa pipis sampai 30 menit?”

Arundhati, Sitakara, dan Sekar Kenanga saling berpandangan. Selama itukah pergeseran yang terjadi akibat pergantian kantung waktu tadi?

“Ya sudah, yang penting mbak Sitakara aman gak kenapa-kenapa. Masalahnya dari tadi sebelum kamu datang, si Klewer bolak-balik di jalan depan rumah!”

Arundhati dan Sitakara saling berpandangan dan saling mengedipkan sebelah matanya. Si Klewer adalah lelaki idiot anak Juragan Maming pemilik penggilingan padi yang dibiarkan bebas berkeliaran di kampung. Karena secara biologis si Klewer sudah dewasa, dia mulai tertarik kepada lawan jenis dan sering mengganggu perempuan yang dilihatnya. Anehnya, meskipun Idiot, si Klewer hanya mengganggu perempuan-perempuan yang memang memiliki wajah cantik. Arundhati memang cantik, tapi karena badannya kecil mungkin, klewer tidak menganggapnya sebagai perempuan yang menarik. Namun, Sitakara adalah perempuan dewasa dengan paras cantik dan ukuran tubuh agak lebih tinggi dari rata-rata. Ini sangat menarik perhatian Klewer. Dan, Ibu sangat mencemaskan Sitakara. Padahal, Sekar Kenanga juga memiliki paras cantik, meskipun tidak secantik Sitarkara, namun  memiliki postur yang lebih menarik dibanding Sitakara. Arundhati dan Sitakara tersenyum.

“Ada orang tua cemas, kalian malah senyum-senyum. Tuh lihat si Klewer masuk ke halaman sambil cengar-cengir! Dia pasti mau mencari mBak Sitakara! Sudah, ayo masuk… masuk ke-dalam!” dengan raut muka sangat cemas, Ibu memaksa Arundhati dan kawan-kawan untuk masuk ke dalam rumah.

“Ibu, gak usah kuatir. Itu si Klewer nggak akan sampai ke mari. Lihat saja!”

Arundhati menolak masuk ke dalam, malah menyuruh ibunya untuk melihat si Klewer.

“Enggak enggak, ayo semua kalian masuk!”

Ibu tidak peduli dengan ucapan Arundhati. Pokoknya semua harus masuk ke rumah. Akhrinya, mau tak mau Arundhati harus menuruti kata-kata orang-tuanya. Arundhati mengajak Sitakara dan Sekar Kenanga untuk masuk ke dalam rumah. Mereka bertiga duduk di sofa di depan televisi. Ibu segera menutup pintu, namun tidak ikut bergabung duduk di sofa. Ibu malah mengintip keluar dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Di luar terlihat si Klewer seperti tengah berbicara dengan seseorang. Dan sambil tertawa dengan gerakan seperti merangkul seseorang. Melihat kejadian itu, ibu cuma bisa melongo sambil berkomentar, “eh bener…. Si Klewer pergi!”

Mendengar komentar Ibu, Arundhati tertawa sambil menutup mulutnya. Sitakara tahu, ini pasti kerjaan Arundhati. Kemudian sambil berbisik, Sitakara bertanya kepada Arundhati.

 “Ssst… kamu apain?”

“Ayun kirim sugesti kehadiran Jing Tian dengan kostum Jenderal Lin Mei dalam film The Great Wall!” jawab Arundhati sambil berbisik juga.

Arundhati dan Sitakara tertawa ngikik, sementara Sekar Kenanga nampak bingung dan bertanya sambil berbisik juga, “Jing Tian itu sopo to?”.  Mendengar pertanyaan Sekar Kenanga, sontak Arundhati dan Sitakara semakin kekel ketawanya, meskipun sambil ngikik. Ternyata Sekar Kenanga bukan penggemar filem China.

Tengah mereka tertawa-tawa, tiba-tiba handphone ibu yang ditaruh di atas meja makan berbunyi. Ibu segera melepaskan pegangannya ke pintu sambil membukanya, dan berjalan ke arah meja makan untuk mengambil handphone-nya. Dari handphone dengan setelan speaker maksimal, sayup-sayup terdengar suara Bapak uluk salam

“Assalammu’alaikum!”

“Wa’alaikum salam! Ada apa, Pak?” Ibu menjawab salam dari Bapak dan dilanjut bertanya.

“Kabar baik, Bu!”

“Kabar baik, apa? Bapak ki lo ya… kalo kasih kabar setengah-setengah!”

“Kabar baik, padi-padi kita yang rusak sekarang telah kembali normal. Entah apa atau siapa yang melakukan ini, yang pasti saat ini kerusakan sudah tidak nampak lagi. Bahkan semua nampak sangat bagus!”

“Masa iya, Pak?”

Arundhati tertegun saat mencuri dengar percakapan Bapak dan Ibu, namun dia sangat bersyukur bahwa proses menyatudirinya juga memberikan pengaruh positif pada lingkungannya, terutama pada sawahnya. Dan, meskipun dia belum bisa memastika siapa yang melakukan perusakan terhadap sawahnya, bila itu dilakukan oleh makhluk-makhluk persepsi, maka kejadian ini akan memberikan efek deteren yang sangat efektif sehingga beberapa minggu ke depan, Arundhati dapat berharap bahwa perusakan sawah tidak akan terjadi lagi.

{19} Macan


Sore yang cerah. Angin bertiup cukup kencang dari arah areal persawahan, menyapa dedaunan kering dihalaman dan mengajaknya untuk menari memeriahkan sore yang hangat. Beberapa anak kecil berlarian sambil bermain kuda-kudaan tulang daun pisang. Beberapa mbok tani melintas di jalan depan rumah sambil saling bercanda. Arundhati yang baru saja menyelesaikan ibadah Ashar segera beranjak dari duduknya. Arundhati berjalan menuju ranjangnya, melepas rukuh dan melipatnya. Sebentar dia menyisir rambutnya untuk kemudian menutupnya dengan kerudung putih yang tersangkut di sisi lemari. Arundhati mematut-matut kerudungnya agar menjadi bagaimana tidak tahu selain Arundhati sendiri karena tanpa dipatut-patut pun, wajah cantiknya tidak berubah menjadi buruk. Apapun yang menghiasi wajahnya, bukanlah perhiasan. Wajahnyalah yang menghiasi perhiasan itu sehingga nampak indah. Cuma, di sekolahnya, Arundhati bukanlah gadis yang banyak dikejar siswa-siswa laki-laki. Ada satu kekurangan Arundhati yang membuat teman laki-laki memilih mundur; Arundhati tidak tertarik  untuk main pacar-pacaran atau pacaran.  Buat dia, berkawan yang banyak adalah hal yang mendesak, sementara pacaran bukanlah hal yang mendesak. Jadi, siapapun laki-laki yang mendekatinya pasti akan capek sendiri. Arundhati selalu punya cara untuk menghindar.

Selesai mematut-matut kerudungnya, Arundhati melangkah keluar dari kamarnya dan duduk di ruang keluarga. Sambil memungut remote televisi yang tergeletak di atas meja, Arundhati menegur bulek Tantri yang lagi asik dengan gadgetnya.

“Bulek Tantri, Ibu sama Bapak kemana? Tumben biasanya jam segini udah pulang.”

Bulek Tantri masih asik dengan dua jempol bergantian menyentuh gadgetnya. Entah apa yang dia tulis. Sambil menunggu jawaban buleknya, Arundhati menyalakan televisi. Beberapa channel televisi dia lewati, tapi bulek Tantri belum menjawab juga. Bulek Tantri ini memang adiknya Ibu. Dia masih muda, baru 25 tahun. Tapi, hmmm… sebenarnya boleh juga dibilang sudah tua,  karena belum menikah.

“Bulek.. Tantri….!” Kembali Arundhati memanggil bibinya. Bulek Tantri masih asik dengan gadgetnya. Akhirnya dengan suarau keras Arundhati memanggil buleknya. Lengkap dengan nada ketika anak kecil memanggil temannya untuk bermain, “bu… lek Tan..triiiiii…….!”

Ampuh, kali ini buleknya mengangkat kepalanya sambil nyengir, “Eh… Ayun… udah lama duduk di situ….?”

Arundhati kontan langsung pasang muka masam. Tapi, nanti dulu, jangan bayangin sebuah muka masam yang sangat jutek. Tidak, muka masam Arundhati itu…. terserahlah, bagaimana terserah yang membayangkan saja. Dan, saat saking kesalnya, tanpa sengaja Arundhati menekan channel berita di televisi.

“He he he….. anu, tadi… bapak katanya agak lama di sawahnya. Masih seperti kemarin, banyak sawah yang rusak!”.  Bulek Tantri menjawab sambil cengar-cengir. Cantik. Ya, dan Arundhati memang menuruni kecantikan buleknya itu. Dan, ini buat Arundhati sudah biasa, tidak lagi membuatnya tertarik untuk memuji. Bahkan keterangan buleknya pun sudah tidak lagi menarik buat dia dengar. Saat ini dia fokus mendengarkan berita di telivisi.

“Ssst…. Sebentar… sebentar! Bulek Tantri diem dulu!” ucap Arundhati sambil menegakkan telunjuknya di depan hidungnya. Bibinya bengong, orang nanya udah dijawab malah suruh diem, “lihat… dengar dulu!”

Saat ini di layar televisi nampak seorang reporter laki-laki yang sedang melakukan reportase di tempat yang sangat tidak asing bagi Arundhati.

“Yak… terimakasih Yuni! Selamat sore pemirsa, saat ini saya Fajriyanto sedang berada di lokasi di yang dicurigai pada beberapa hari terakhir ini telah disambangi oleh beberapa ekor macan kumbang. Pemirsa, dari keterangan beberapa  penduduk yang sempat kami wawancarai sebelumnya, macan kumbang memang pernah mendiami hutan di daerah pegunungan Indrakila. Namun, sudah beberapa puluh tahun terakhir ini tidak pernah lagi mereka menemukan macan kumbang. Seorang saksi mata yang tinggal di kota, macan kumbang ini pernah terlihat terakhir kali ketika waduk Sempor jebol tahun 1967. Setelah itu, jangankan di Kota, bahkan di daerah Semali dan sekitar pegunungan Indrakila penduduk tidak pernah lagi bertemu dengan macan kumbang. Namun, entah darimana datangnya, beberapa hari terakhir ini penduduk sering bertemu dengan beberapa ekor macan kumbang ini. Beruntung, bahwa macan-macan kumbang tersebut tidak menjadikan penduduk sebagai target mangsa mereka. Namun pemirsa, penduduk di sekitar Pekuncen dan Semali ini yang kehilangan binatang ternak terutama saat dilepas atau digembala! Baiklah pemirsa, bersama saya saat ini ada salah seorang peternak yang sempat memergoki macan kumbang dan dari BKSDA”

Kemudian sambil bergerak menghampiri seseorang yang berdiri tidak jauh darinya dan langsung menyapa, “selamat sore… ”

“Selamat sore!” jawab petani yang berusia sekira 70 tahunan itu.

“Dengan siapa Pak, mohon maaf!”

“Pak Tukiran!”

“Boleh diceritakan pengalaman bapak saat memergoki macan kumbang?”

“Ceritanya ya…. gitu… pas malam-malam waktu itu…. saya mendengarkan ribut-ribut di kandang kambing saya….lha saya terus bingung… ada apa ini? Enggane, malam-malam koh kambing saya pada ribut. Apa… ada maling apa ya….? Kemudian saya keluar, ke selatan rumah. Ke kandang kambing saya. Lha… pas dekat ke kandang kambing saya, saya kaget…. Ada seperti suara orang ngorok tapi sepertinya suaranya terlalu keras dan tidak panjang-panjang. Saya kaget dan takut.  Apalagi saya juga sempat liat ada mata yang mencorong mau mendekat. Hampir pingsan, tapi ketika saya nyalain senter, kedua mata itu hilang dan saya sempat lihat kelebatan hitam bentuknya seperti kucing sangat besar.”

Reportet televisi tersebut mendengarkan dengan seksama sambil sesekali bilang, “Oo…!”. Dan ketika Pak Tukiran selesai bercerita, si reporter bertanya lagi, “Jadi, waktu macan kumbang itu mengetahu kehadiran Pak Tujkiran, macan itu langsung kabur?”

“Betul, sepertinya waktu melihat saya, macannya kabur!” Pak Tukiran dengan tegas membenarkan pertanyaan reporter tersebut.

“Baiklah, terima kasih Pak….?” Sepertinya reporter itu lupa nama orang yang sedang dia wawancarai.

“Pak Tukiran!” sahut Pak Tukiran sambil tersenyum.

“Ya, O ya ya ya….terima kasih Pak Tukiran, “ sambil tersenyum juga, reporter itu mengulangi ucapan terimakasihnya sambil beralih ke seorang lelaki 40 tahuan yang berdiri di sebelah Pak Tukiran, “Baik pemirsa, kita coba tanyakan kepada pihak BKSDA yang kebetulan sedang berada di lokasi saat ini. Dengan bapak siapa, maaf?” Sapa reporter tersebut kepada lelaki 40 tahuan itu. “Sarjono!” jawab lelaki 40 tahunan tersebut.

“Baik, Pak Sarjono, dari keterangan Pak Tukiran tadi, apa kira-kira yang akan dilakukan oleh pihak BKSDA?”

“Baik. Tentunya, kami akan mendalami terlebih dahulu laporan dari masyarakata. Dan, dari keterangan tadi, kemungkinan itu memang macan kumbang. Karena, pada dasarnya, macan kumbang itu memang takut dengan kehadiran manusia. Dia keluar dari hutan mungkin karena dia tidak mendapatkan binatang buruan sebagai mangsanya. Dan inilah yang akan kami dalami!”

“Tapi Pak, menurut keterangan penduduk, macan kumbang sudah beberapa puluh tahun terakhir tidak lagi pernah menampakan diri. Dan bahkan banyak yang berkesimpulan bahwa macan kumbang telah punah di pegunungan Indrakila ini?” repoter tersebut tampak ingin memastikan jawaban Sarjono.

“Betul, namun mereka tidak pernah menemukan bukan berarti bahwa macan kumbang ini memang benar-benar telah punah di pegunungan ini. Dan ini tentunya akan menjadi perhatian kami. Karena, bagaimanapun ini adalah berita baik bagi kelestarian satwa ini. Kami bersama pihak KPH akan berusaha untuk memastikan kehadiran mereka.”

“Namun, Pak, apakah mereka tidak berbahaya bagi penduduk?” Sekali lagi reporter tersebut

“Sebenarnya macan kumbang ini akan menghindari kontak dengan manusia. Namun pada kondisi kelaparan, bukan tidak mungkin mereka akan menyerang manusian. Untuk itu, saat ini kita bekerja sama dengan KPH dan pihak Kepolisian telah bersiaga untuk mengamankan lingkungan di sekitar hutan. Bahkan saya dengar dari pimpinan bahwa pihak Dodik juga siap membantu untuk berpatroli mengamankan lingkungan bila diperlukan!” jawab Sarjono mengakhiri keterangannya. Si reporter terlihat mengangguk.

“Baik, Pak Sarjono, terimakasih!”  Si reporter mengucapkan terimakasih kepada Sarjono yang disambut dengan anggukan serta senyuman dan gerakan tangan namaste.

“Baiklah Pemirsa, demikian yang dapat kami sampaikan Saya Fajriyanto melaporkan dari desa Semali.. Yuni, Saya kembalikan!”

Layar kembali ke studio dimana seorang perempuan yang mungkin bernama Yuni menyambut laporan tadi dengan beberapa tambahan informasi.

Arundhati terlihat lemas setelah menonton berita ini. Tak disangka, macan kumbang yang telah dia pindahkan ke India itu masih tersisa di pegunungan Semali. Meskipun dia tidak yakin jumlahnya akan banyak, namun itu tentunya akan membuat resah warga. Dan satu hal lagi yang membuat dia cemas adalah tentang keputusannya untuk mengembalikan para macan kumbang itu ke India. Padahal di Indonesia banyak sekali konsentrasi macan tutul dan macan kumbang. Taman Nasional Baluran, Gunung Ciremai, Pulau Nusa Kambangan adalah beberapa tempat yang baru dia ingat merupakan tempat konservasi macan kumbang dan macan tutul. Ini gara-gara dia baru nonton National Geography tentang macan tutul di India.

Arundhati bersandar di sofa sambil memandang kosong. Melamun. Buleknya tidak memperhatikan apa yang terjadi pada ponakanna. Buleknya masih asik dengan gadgetnya. Mungkin sedang chatting dengan seseorang. Arundhati tidak peduli itu. Arundhati hanya peduli bahwa kemungkinan dia telah salah ambil keputusan. Arundhati bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Televisi dia biarkan menyala. Buleknya masih asih dengan gadgetnya.

Di dalam kamar Arundhati membuka laptopnya dan menjalankan Google Chrome. Dia ketikan 3 kata kunci leopard population India, dan hasilnya sangat mengjutkan. Ada laporan kenaikan jumlah populasi yang sangat signifikan dan didominasi macan kumbang yang betul-betul hitam legam alias black panther di daerah aliran sungai Jawai di Rajashtan. Arundhati melempar punggungnya ke sandaran kursi. Dia betul-betul pusing saat ini. Berarti, macan kumbang itu bukan dari India.

Di dalam kamar,  Arundhati menerawang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Dia bingung dengan apa yang harus dia lakukan untuk mengkoreksi kelalaiannya. Macan kumbang yang ada di pegunungan Indrakila itu mesti dia keluarkan dari daerah itu. Namun, kemana? Macan kumbang yang sempat menjadi alat makhluk persepsi Upala Carma itu mestinya saat ini telah menjadi macan kumbang pada umumnya. Dia perkirakan yang ada di pegunungan Indrakila ada sekitar tiga ekor. Tidak sulit baginya untuk mengumpulkannya kembali. Namun, untuk mengembalikan ke lokasi asalnya adalah PR yang sangat sulit baginya. Menunggu area konservasi itu merasa kehilangan, mestinya agak sulit. Karena telah menjadi binatang yang langka, ketidakhadirannya dalam satu hari saja tidak akan membuat pengelola merasa kehilangan. Mungkin butuh beberapa hari bagi mereka untuk menyadari bahwa satwa yang ada dalam pengawasan mereka telah berkurang.  Untuk menunggu mereka merasa kehilangan bisa berarti ancaman bagi area sungai Jawai maupun bagi penduduk sekitar Semali. Arundhati betul-betul pusing.

Lama Arundhati terdiam pada posisinya. Tak terasa, hari semakin mendekati senja. Bapak dan Ibu sepertinya sudah kembali ke rumah. Terdengar suara ibu menegur Bulek Tantri.

“Tantri! Kamu itu lho ya… tivi murup kok malah main HP? Itu juga lampu jalan durung diurupna!”

“Eh, Yayune… Wis teka? Anu…, Yu…. Tadi ada Ayun ikut nonton!”

“Terus? Mana Ayun nya?”

“Lhah…. Tadi ada di sini dia nonton bareng saya! Kemana dia ya?”

“Wis dipateni tivine, sebentar lagi mahrib!”

Mendengar suara ibunya menanyakan dirinya kepada buleknya, Arundhati segera berdiri dari duduknya dan keluar ke ruang keluarga.

“Ayun, di kamar tadi, Bu! Ibu dari mana?”  kata ayun pelan sambil berjalan mendekati sofa tempat buleknya duduk.

“O, ya udah kalo di rumah. Kamu itu lho, kadang-kadang suka tiba-tiba menghilang. Syukurlah kalau masih di rumah. Sekarang lagi banyak kejadian!” sahut ibu sambil tersenyum untuk kemudian duduk di sofa. “Ini Ibu baru datang dari sawab melihat sawah kita. Seperempat area sawah yang dkerjain sama Man Kasdan berantakan. Padahal bulan depan seharusnya sudah bisa dipanen.  Kemudian kebun singkong yang digarap sama Tarmidi hampir seluruhnya rusak. Untung sawah yang dikerjain sama Karsijan masih aman. Tapi gak tahu besok-besok deh. Ini tadi Bapak sudah musyawarah dengan Pak Lurah dan beberapa petani yang menjadi korban. Sepertinya malam ini akan dilakukan ronda untuk berjaga-jaga di areal persawahan!” lanjut Ibu bercerita tentang masalah hari ini tanpa semangat.

Arundhati semakin pusing. Belum lagi masalah yang dia buat di Semali mendapatkan penyelesaiannya.  Ini lagi, di dekatnya, di kampungna sendiri. Sejenak ruangan keluarga, di depan televisi, mendadak sepi. Televisi telah terlebih dahulu dimatikan oleh Bulek Tantri.

Tiba-tiba Arundhati berdiri sambil mengucapkan sesuatu meminta ijin, “Ibu, Ayun mau ke teras rumah dulu, ya! Cari angin, panas!”

“Ya udah sana. Sebentar lagi maghrib. Harus sudah masuk, pas maghrib nanti!” jawab ibu mengijinkan sambil tersenyum. Arundhati tersenyum.

Arundhati duduk di risban di teras kanan rumah, Dia pandangi orang yang lalu lalang di jalan. Tidak ada yang dia cari, cuma memandangi. Saat ini dia memang sedang bingung. Pengin sebenarnya, pada saat seperti ini dia curhat dengan ibunya. Namun, ini bukanlah perkara yang sepele. Apalagi bila dia bilang India, la kapan perginya ke India. Ngimpi! Tapi memang, semua yang Arundhati lakukan adalah perwujudan apa adanya dari mimpinya. Kesadaran milik Arundhati adalah sebuah kesadaran mimpi yang menyatu. Dan, ini tidak mungkin dibicarakan dengan sembarangan orang. Termasuk ibu.

Cukup lama Arundhati duduk diam di risban sampai kemudian terlintas di dalam kepalanya gambar Sekar Kenanga. Setelah satu minggu, bagaimana perkembangan Sekar Kenanga saat ini dia tidak tahu. Sudah beberapa minggu memang Arundhati tidak terhubung dengan Arundhati di lapis kedua dimensi mimpi. Bahkan ketika dia harus mengatasi Upala Carma, dia sedang tidak terhubung. Kondisi ini mengakibatkan dia tidak bisa mendapatkan informasi kondisi teman-temannya. Lapis kedua ini telah menjadi hub bukan hanya buat dirinya sendiri namun juga untuk mendapatkan informasi dari teman-temannya. “Baiklah, biar aku hubungi saja Sekar Kenanga. Kenapa aku juga lupa sama Sekar Kenanga? Padahal lokasi dia ada dekat tempat kejadian.” rutuk Arundhati dalam hati sambil nyengir.  Untung, saat itu tidak ada orag di depannya.

Setelah mendapatkan sedikit harapan untuk mendapatkan petunjuk menyelesaikan permasalahan macan kumbang, Arundhati segera membentuk kantung waktu untuk dapat menemui Sekar Kenaga dengan lebih leluasa. Dan, tanpa membuang-buang waktu, dia juga segera memanfaatkan lipatan ruang yang terbentuk untuk melesat menuju lokasi Sekar Kenanga. Namun, semakin mendekat ke lokasi Sekar Kenanga, Arundhati mendapatkan sebentuk perlawanan yang menghambat laju lesatannya. Arundhati berhenti dan berdiri dalam lipatan ruang yang terjadi. Arundhati tersenyum. “Hmm…. Ini adalah kesadaran milik Sekar Kenanga.”  Arundhati sangat mengenal pemilik kesadaran yang menghalangi perjalanannya. Namun, kenapa Sekar Kenanga seperti menghalangi perjalanannya?

“Paduka Tuanku Putri Arundhati Striratna, mohon tuanku tidak mendekat ke lokasi pertarungan kemarin!”

Terdengar suara Sekar Kenanga melarang Arundhati untuk mendatangi lokasi pertarungan kemarin. Dan, alamak, itu Sekar Kenanga masih memanggil dia dengan sebutan tuan putri. Pasti dia sudah sepenuhnya terhubung sehingga memory Sekar Kenanga di lapis kedua sudah mengisi memorinya. Artinya, kemampuan kedua Sekar Kenanga sudah sama. Pantas saja dia mampu mengintersep kantung waktu Arndhati.

“Tidak Sekar Kenanga, aku hanya mau bertemu denganmu!”

Arundhati merespon larangan dari Sekar Kenanga sambil menjelaskan arah kedatangannya.

“Kalau begitu, biarlah Sekar Kenanga yang akan menemui duli tuanku putri Arundhati Striratna!”

Sekar Kenanga tetap mencegah Arundhati, dan tiba-tiba di depan Arundhati  telah terlihat Sekar Kenanga yang bertekuk lutut dengan lutut kaki kanan jadi tumpuan dan kedua tangan bertumpu pada kaki kiri yang menapak. Kepala sekar kenanga menunduk tidak berani melihat ke arah Arundhati.

“Mohon maaf kepada tuanku putri, Sekar Kenanga telah lancang menghambat perjalanan tuan putri. Tapi ini Sekar Kenanga lakukan untuk kebaikan tuanku putri!”

Dengan tenang dan penuh hormat, Sekar Kenanga menyampaikan permohonan maafnya. Arundhat tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan Sekar Kenanga.

“Owalah, Sekar..! Ini di dimensi utama, bukan di dimensi mimpi. Aku temanmu, bukan tuan putrimu! Lagian ngapain sih kamu make gaya gak jelas gitu. Udah, biasa aja kenapa sih?” tegur Arundhati masih dengan tersenyum.

“Tapi Sekar Kenanga telah ditolong oleh tuanku, maka ijinkanlah hamba  tetap memanggil dengan sebutan tuanku!”

“Tidak!” tegas Arundhati menolak. Air mukanya berubah menjadi sangat serius. Saat ini terlihat benar kewibawaan dari seorang gadis manja semau gue yang bernama Arundhati.

Sekar Kenanga tampak kaget, “ampun tuanku, bukan Sekar untuk membantah, namun, Sekar tidak punya keberanian untuk tidak memanggil dengan sebutan tuanku!”

“Kalau begitu, kamu benar-benar telah membantah perintahku!”

Sekar Kenanga nampak ketakutan mendengar penyataan Arundhati. Kali ini, Sekar Kenanga benar-benar tidak menyangka kemarahan Arundhati. Hal mana membuat Sekar Kenanga semakin menunundukkan badannya.

“Mohon ampuni saya!”

“Baiklah, karena kamu telah melanggar perintahku, maka aku akan memberikan perintah baru kepadamu sebagai hukuman!”

“Terimakasih tuanku Putri Arundhati Striratna, anda adalah putri yang sangat bijaksana!”

Arundhati tampak pusing. Ada urusan macan kumbang maka dia datang menemui Sekar Kenanga, ketemu Sekar Kananga, kenapa jadi terlihat aneh. Dan, Arundhati tahu bahwa keanehan yang ada di depan matanya adalah riil meskipun saat ini ada di dalam kantung waktu bikinannya yang berarti ada dalam domain dia. Dan, ini berarti juga Sekar Kenanga tidak punya kuasa dalam bentuk apapun. Namun, kenyataanya Sekar Kenanga saat ini telah berhasil memasuki kantung waktu bikinannya dan bahkan menghambat perjalanannya. Ini berarti Sekar Kenanga telah sepenuhnya terselaraskan dengan versi di lapis kedua dimensi mimpi.

“Baiklah Sekar, kalau kamu masih mau menghargai aku sebagai tuan putrimu, maka aku mau bertanya, apakah kamu akan mematuhi semua perintahku?”

“Sekar Kenanga tidak akan pernah mengkhianati kepatuhan yang telah mengalir dalam urat nadi Sekar Kenanga. Sekar Kenanga akan mematuhi semua perintah tuan putri. Silakan tuan putri memberikan perintah!”

Arundhati geleng-geleng kepala. Benar-benar telah menjadi seorang Sekar Kenanga dengan gaya berbicara yang khas seperti mc pada upacara kenegaraan. Sangat teratur dan dalam.

“Baiklah, perintah pertamaku adalah jangan kamu panggil lagi aku dengan sebutan tuan putri!”

Sekar Kenanga kaget. Dia tidak menyangka perintah Arundhati akan seperti itu. Sekar Kenanga mengangkat kepalanya, “tapi tuan…!”

“Stop, kamu bilang kamu akan patuh, maka aku menagih janjimu. Panggil aku…. Hmmm….!” sesaat gaya santai Arundhati muncul, “karena kamu sepertinya masih seangkatan sama saya, mmm betul Sekar?”

“Betul!”

“Hmm, baiklah panggil aku Ayun! Dan, perintah kedua adalah, kamu berdiri sekarang!”

Sekar Kenanga nampak ragu-ragu untuk berdiri.

“Ayo berdiri, ini perintah!”

Akhirnya Sekar Kenanga berdiri meskipun masih menundukkan kepala dengan sikap ngapurancang.

“Nah, gitu! Perintah ketiga, kamu harus tidak boleh menundukkan kepala saat diajak bicara!”

Melihat kesungguhan Arundhati, kali ini Sekar Kenanga terpaksa harus langsung mengangkat kepalanya. Arundhati tersenyum senang.

“Sekarang panggil aku!”

“Tuan…”

“Stop stop stop….! Bukan tuan putri! Ayun, panggil aku Ayun!”

“Baiklah, Ayun!” Sekar Kenanga menuruti perintah Arundhati, kendati tetap dengan gayanya yang dingin.

“Baiklah, baiklah….!” Arundhati akhirnya menyerah. Tapi setidaknya Sekar Kenangan tidak lagi memanggilnya dengna sebutan tuan putri. “Baiklah Sekar Kenanga, kenapa kamu melarang saya mendekati ke lokasi pertarungan kemarin?”

“Mohon maaf tu…, Ayun!” hampir saja Sekar Kenanga kepleset menyebut tuan, “saat ini tidak memungkinkan buat kita untuk memperbaiki keadaan. Sudah terlalu banyak orang yang tahu bahwa ada sekelompok macan kumbang di pegunungan Indrakila. Kita tidak mungkin menawarkan bantuan untuk mengembalikan satwa-satwa tersebut ke habitat aselinya yang bahkan kita sendiri tidak tahu. Mereka tidak akan percaya, dan bahkan bila kemudian mereka tidak akan percaya dan kita nekad melakuka, itu sama saja membuka identitas kita. Saya tahu Ayun suka menggunakan kantung waktu untuk menyembunyikan aksi, namun bila kita menggunaan itu, menghilangnya satwa-satwa itu secara tiba-tiba juga akan menimbulkan pertanyaan di benak khalayak!” tutur Sekar Kenanga dengan takzim kepada Arundhati.

Arundhati terdiam sambil berfikir. Sempat terbersit dalam benaknya akan menggunakan kekuatan sugestinya untuk memberikan persepi bahwa tidak pernah ada macan kumbang yang berkeliaran di sekitar pegunungan Indrakila. Namun,dia tidak mau menggunakan itu kepada manusia. Hatinya menolak untuk berbohong.

“Tidak ada pilihan Sekar. Kita harus memindahkan satwa-satwa itu dari pegunungan Indrakila!”

“Tap Ayun, kita tidak tahu harus dikembalikan kemana!” tukas Sekar Kenanga.

“Sekar, sampai sekarang tidak ada yang tahu dengan pasti populasi macan kumbang di hutan-hutan tempat mereka dilindungi. Artinya bila kita tidak menambahkan jumlah mereka secara mencolok, maka tidak akan menimbulkan pertanyaan!” terang Arundhati kepada Sekar Kenanga.

“Baik, saya mengerti maksud Ayun!” wajah Sekar Kenanga nampak berbinar saat menyahut penjelasan Arundhati.

“Baiklah, mari kita mulai! Saya akan menyebarkan ke timur, kamu ke barat!”

Sekar Kenanga bengong karena, tiba-tiba Arundhati sudah menghilang entah kemana setelah meneriakkan perintahnya.

“Hmmm…., Tuan Putri Arundhati memang luar biasa!”

Masih dalam kantung waktunya Arundhati, Sekar Kenanga segera melesat ke arah pegunungan Indrakila. Sesampainya di pegunungan Indrakila, Sekar Kenanga segera mengevakuasi macan-macan kumbang yang tersisa. Sampai pada macan kumbang terakhir dia bertemu kembali dengan Arundhati di dekat sebuah kali kecil berbatu. Di dekat Arundhati terlihat seekor macan kumbang yang tengah merunduk. Sementara tak jauh di depan macan kumbang tersebut terlihat seekor biawak. Entah apa yang akan dilakukan macan kumbang tersebut. Cuma yang jadi pertanyaan Sekar Kenanga adalah, sepertinya Arundhati tidak berniat untuk segera mengevakuasi macan kumbang yang ada di dekatnya. Arundhati malah asik melihat-lihat sekeliling dengan serius.

“Ada apa, Ayun? Kenapa tidak segera mengevakuasi macan kumbang itu?”  tanya Sekar Kenanga.

“Coba kamu perhatikan orang-orang yang sedang mengintai macan kumbang ini!”

“Sepertinya kita harus segera mengevakuasi macan kumbang ini, Ayun!”

Arundhati menoleh ke arah Sekar Kenanga sambil tersenyum, “Tidak, Sekar! Orang-orang itu memang sedang berburu. Namun, bukan untuk mereka bunuh. Mereka hanya mau mengamankan penduduk dari serangan macan kumbang, sekaligus mengamankan macan kumbang dari penduduk yang marah. Yang aku fikirkan saat ini adalah, bila satwa ini kemudian kita evakuasi, maka dalam waktu normal mereka, mereka akan melihat macan kumbang ini menghilang.tiba-tiba menghilang dari pandangan mereka. Dan itu akan memunculkan spekulasi lain dari kehadiran satwa-satwa ini.”

“Jadi, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Sekar Kenanga untuk memastikan.

“Kita tinggal saja. Karena toh tujuan mereka sama. Menyelamatkan macan kumbang ini!”

Mendengar jawaban Arundhati, Sekar Kenanga mengangguk tanda setuju dengan apa yang dikatakan Arundhati, “Baiklah, kalau begitu kita akhiri saja acara mengevakuasi kucing-kucing ini. Namun, sebelum kita kembali ke waktu normal, ada beberapa hal yang aku ingin tanyakan sama kamu, Sekar.”

“Silakan, Ayun!”

“Sepertinya kamu sudah terselaraskan, dan mestinya kamu juga tahu situasi terakhir di padepokan. Namun, Ayun kok beberapa hari terakhir ini justeru tidak terhubung ke sana. Apakah tengah terjadi sesuatu di Padepokan?”

Sekar Kenanga tersenyum mendengar pertanyaan Arundhati. Hal ini tertangkap juga oleh Arundhati. Hal yang membuatnya senang tentunya. Dia tidak suka gaya kaku Sekar Kenanga.

“Beberapa hari terakhir gurunda Nyi Ajar Nismara memang sengaja melarang Ayun untuk terhubung karena beliau tengah menempa Ayun di Ranusimpar. Menurut Ki Ageng Turangga Seto, Ayun yang di sini harus bersiap untuk sebuah loncatan!” Tutur Sekar Kenanga menjelaskan dengan santai. Arundhati tertegun mendengar penuturan Sekar Kenanga. Bukan cuma karena harus bersiapnya saja, namun gaya berbicara Sekar Kenanga.

“Sekar, Ayun seneng kalau gaya bicara kamu seperti ini. Biasa aja, seperti ke kawan!” ujar Arundhati mengomentari gaya berbicara Sekar Kenanga barusan. Sekar Kenanga kembali tersenyum.

“Mbakyu Sitakara dan Sweta Nandini, yang telah berhasil meyakinkan saya untuk bersikap biasa!”

Arundhati tertawa kecil mendengar penjelasan Sekar Kenanga. Ternyata perlu banyak orang untuk merubah gaya bicara Sekar Kenanga.

“Baiklah Sekar, terimakasih untuk semuanya. Segera kembali ke posisi awal kamu. Kantung waktu ini akan segera aku tarik. Sampai ketemu lagi nanti!”

Selesai mengucapkan kata terakhir, Arundhati melesat ke arah pulang. Sekar Kenanga paham bahwa dia harus segera mengikuti langkah Arundhati. Dia bukan sedang berada pada kantung waktunya sendiri, namun ada pada kantung waktu Arundhati. Artinya, bila Arundhati menarik kantung waktunya, maka dia akan terjebak kepada superposisi yang bahkan dia tidak mampu mengendalikan.

Sementara itu, di rumah Arundhati, terdengar suara Ibu memanggil dari dalam rumah.

“Ayun…!”

Tidak terdengar sahutan dari Arundhati. Arundhati yang baru saja selesai menarik kantung waktunya, untuk beberapa saat tidak memberikan respon apapun. Aktifitas barusan memang sangat menguras kesadarannya. Arundhati butuh beberapa detik untuk menstabilkannya.

Dan, meskipun baru tujuh detik, ibu memanggil tidak ada jawaban, Ibu mengulang panggilannya,  “Ayun…..! Nang ndhi to cah iki?”

“Dalem, Bu!”

Terdengar suara Arundhati menyahut dari luar.

“Sini, coba masuk dulu sebentar!”

“Inggih, Bu!”

Arundhati langsung turun dari risban, masuk ke rumah memenuhi panggilan ibunya. Ibunya, sedang berdiri di samping meja makan membawa rantangan 3 lapis.

“Ini, tolong anterin rantangan ini ke tempatnya Pakde Muflih!”

Mendengar nama Pakde Muflih, raut muka Arundhati langsung berubah menunjukkan ketidak sukaannya. Dalam hati, Arundhati menggerutu, “Kenapa bukan bulek Tantri aja sih?”. Pakdhe Miflih itu bukan pakdhe nya, namun karena beliau lebih tua dari Bapk dan Ibu, sebutan Pakdhe diberikan untuk membahasakan Arundhati. Pakdhe Muflih adalah ayah Baidowi, alias Kang Dowi. Dan, Ibu seperti tahu apa yang ada di pikiran Arundhati langsung berkata sambil tersenyum, “Ayun…! Bulekmu lagi nganter juga, ke rumahnya Kaki Jumali!”

“Ih, Ibu tega ih. Ibu kan tahu, Kang Dowi centilnya minta ampun kalo ketemu Ayun di luar!” protes Arundhati. Namun, Ibu malah tersenyum, “Dowi lagi sibuk di sawah bareng Bapak. Tadi Ibu lihat. Bapak saja belum pulang, maka pasti juga Dowi gak di rumah. Udah sana dianterin!”

Dengat teramat lagi sangat terpaksa sekali, Arundhati akhirnya mau mengantarkan rantangannya ke Pakdhe Muflih. Sambil cemberut, Arundhati mengambil rantangan yang dipegang ibunya dan melangkah keluar tanpa mengatakan satu patah katapun. Ibu tersenyum sambil memperhatikan langkah Arundhati dari belakang.

“Langsung pulang! Sebentar lagi mahrib!” teriak ibu mengingatkan ketika Arundhati sudah sampai teras.

“Iya Ibu!” jawab Arundhati.

{18} Pencarian


 Siang ini sehabis istirahat kedua, suasana kelas Arundhati sangat ramai. Ibu Nastiti yang seharusnya mengajar Fisika pada jam ini kebetulan sedang berhalangan hadir sementara guru pengganti tidak tersedia.  Terlalu banyak guru yang berhalangan hadir hari ini. Arundhati asik sendiri di tempat duduknya. Ia nampak menggores-gores kertas HVS putih dengan sebuah pensil.  Sesekali dia picingkan matanya, dia angkat kertasnya, dan kemudian ditaruhnya lagi dan menggores lagi.

Di tempat lain, Sweta Nandini pun asik di tempat duduknya. Pandangannya tidak lepas ke arah Arundhati. Dia memperhatikan terus tingkah kawannya itu sambil sesekali tersenyum.  Ada rasa penasaran yang hinggap di kepalanya, namun masih dia tahan untuk menanyakan langsung ke Arundhati. Saat gerakan Arundhati menggores-gores kertas putih di depannya mulai berkurang, Sweta Nandini tak lagi bisa menahan keingintahuannya. Ia berdiri dan berjalan mendekati bangku Arundhati.  Sampai di belakang Arundhati, Sweta Nandini memegang pundak Arundhati sambil bertanya, “lagi ngapain?”

Arundhati terlonjak kaget mendengar pertanyaan itu. Namun, Arundhati malah tertawa demi menyadari apa yang barusan terjadi pada dirinya. Teman-temannya yang ada di sekelilingnya yang kebetulan melihatnya sontak ikut tertawa.  Pipi Arundhati terlihat memerah menahan malu. Namun, belum lagi Arundhati menjawab pertanyaan Dini, dari arah depan terdengar suara Ketua Kelas mengumumkan sesuatu.

“Dengar saudara-saudara!” teriak ketua kelas dengan gaya formal yang disambut dengan  “huuuuuu……!” oleh kawan-kawannya. Ketua kelas cuma nyengir sambil melanjutkan teriakannya,

“Mengingat bahwa Ibu Nastiti berhalangan hadir serta menimbang bahwa saat ini adalah jam pelajaran terakhir tanpa guru pengganti kami telah memutuskan untuk menanyakan kepada Kepala Sekolah yang mana kemudian Kepala Sekolah membolehkan kita untuk…… Pulang……..!”

Kali ini teriakan ketua kelas disambut suka-cita oleh warga kelas Arundhati. Ada yang teriak asik, ada yang teriak jos, ada yang teriak alhamdulillah, namun tidak ada yang teriak huu.

Arundhati meremas kertas putih yang barus dia corat-coret dan melemparkanya ke depan, percis masuk ke tempat sampah di samping kanan papan tulis. Jarak yang cukup jauh untuk melakukannya dengan tepat dan akurat sebenarnya. Arundhati segera meraih tasnya, memasukkan kembali semua barangnya yang tergeletak di atas meja ke dalam tasnya dan segera bergegas meninggalkan mejanya sambil membisikkan suara ke telinga Dini, “Ayun tunggu di depan, dekat pohon kemuning”.  Sweta Nandini tidak sempat menjawab, apalagi menanyakan gambar apa yang dibikin, Arundhati sudah berlari keluar kelas. Dia berlari ke arah pohon kemuning di dekat pintu gerbang sekolahan. Tak lama kemudian, tampak Sweta Nandini menyusul.  Kemudian, mereka berdua nampak bercakap serius dan segera keluar melalui gerbang sekolahan ke kiri. Mereka berdua menyusuri trotoar di pinggir jalan yang mengarah ke hutan kota. Suasana masih sepi karena memang belum jam pulang sekolah.  Arundhati mengerahkan kesadarannya untuk mendeteksi kehadiran orang lain pada radius limapuluh meter. Setelah memastikan tidak ada orang pada area itu, Arundhati meminta Sweta Nandini untuk melihat apakah ada orang di sekeliling mereka.

“Dini, coba kamu tengok kiri-kanan, ada orang gak”

“Tar…. Tid…” belum selesai Sweta Nandini menjawab, Arundhati telah memegang tangan Sweta Nandini dan tahu-tahu mereka sudah berdiri di teras rumah Arundhati, “dak….!”

Meskipun Arundhati sudah pernah membawanya berteleportasi, namun tetap saja ketika sampai di rumah Arundhati dalam sekejap, Sweta Nandini masih dibuat terkagum-kagum dengan kemampuan gadis teman sekelasnya ini. “Kamu tunggu di sini, saya masuk dulu!”. Sweta Nandini mengangguk.

Di dalam rumah Arundhati cuma ada Bulek  Tantri yang sedang memasak. Ibu dan Bapak kebetulan sedang menengok sawah di sebelah Timur Utara dekat rel kereta api.

“Assalamu’alaikum….!” Arundhati uluk sama saat memasuki rumah yang kebetulan tidak terkunci.

“Wa’alaikum salam!” terdengar Bulek Tantri menjawab salam Arundhati dari dalam rumah.

“Bulek… Sendirian?” sapa Ayun basa-basi sambil teriak. Mereka memang tidak ngobrol berhadap-hadapan.

“Iya, Ayun…!”

“Man Sardi ke mana?” tanya Ayun sambil masuk ke kamar.

“Ikut Bapak sama Ibu tengok sawah!”

“Wah, ada apa? Tumben Man Sardi ikut ke sawah.”

“Itu Ayun, kata orang, sawah kita dan sawah beberapa orang yang dekat dengan sawah kita berantakan seperti habis buat main sama babi hutan atau apa entah yang pasti kata orang-orang, batang padi pada rubuh berantakan!”

Arundhati kaget mendengar jawaban dari Bulek Tantri.

“O, Gitu  Bulek? Sudah ketahuan itu kelakuan siapa?”

“Belum Ayun, makanya ini tadi Man Sardi ikut. Entah buat apa, cuma kata Bapak sama Ibu siapa tahu nanti bisa bantu. Tadi, Pak Lurah juga ikut ke lokasi sepertinya!”

“O, Pak Lurah sudah ke lokasi juga?”

“Sudah, tadi berangkatnya juga bareng sama Bapak sama Ibu!”

“Ok, makasih Bulek… saya mau pergi dulu ya Buleki Tantri!”

Arundhati langsung bergegas keluar tanpa menemui bibinya. Dengan setelah jubah dan kerudung biru muda, Arundhati menemui Sweta Nandini yang masih menunggu di luar.

“Maaf kalau kelamaan. Sekarang kita ke rumah mu, setelah itu kita pergi”

“Pergi? Pergi kemana Ayun, ke sawahmu? ada apa di sawah kamu, Ayun. Tadi aku dengar bulek Tantri juga teriak-teriak tentang sawah”

Arundhati tersenyum lebar. Percakapannya dengan bulek Tantri ternyata didengar oleh Dini.  Namun, kali ini tanpa memegang anggota tubuh Dini, Arundhati telah berhasil memindahkan Sweta Nandini ke rumahnya.  Sweta Nandini yang tidak menyadari kelakuan Arundhati, masih menunggu jawaban Arundhati.

“Sudah Dini ganti baju, Ayun tunggu Dini di sini. Di luar saja!”

Dini bengong, Tanpa melakukan kontak dengan anggota tubuhnya, Arundhati telah berhasil membawanya berteleportasi dari rumah Arundhati ke rumahnya. Ini sudah mirip dengan kemampuan  Ki Ageng Turangga Seto.

Dini segera bergegas ke dalam rumahnya. Juragan Badrun yang sedang leyeh-leyeh di sofanya.

“Assalamu’alaikum!” Sweta Nandini uluk salam dan dijawab oleh juragan Badrun, “wa’alaikum salam! Dini sudah pulang?”

“Sampun, Pak! Nganu, Pak! Keleresan bu Nastiti tidak dapat hadir hari ini, sementara guru lain juga sedang menggantikan guru-guru yang tidak masuk. Jadi deh pulang lebih awal”

“Oh… gitu?”

“Hala Ya… nggih ngaten!” jawab Sweta Nandini sekenanya sambil masuk ke kamarnya.  Ayahnya tertawa mendengar jawaban Sweta Nandini. Setelah berganti pakaian dengan setelan warna hijau pareanom, Sweta Nandini mendekati ayahnya sambil mengecup dahi ayahnya, Sweta Nandini pamit mau pergi.

“Dini, mau pergi dulu ya, Pak?”

“Halah kok, baru pulang sudah mau pergi. Sama siapa perginya?”

“Sama Ayun, Pak!”

“Oh, Ayun yang tukang tidur itu?”

Swetat Nandini tertawa mendengar pertanyaan ayahnya.

“Sampun mboten Pak, dia sekarang gak tukang tidur lagi. Sekarang malah hebat dia! Mungkin pas lagi tidur panjang kemarin dia belajar sama maha guru tak terdengar mungkin!” Jawab Sweta Nandini sambil bercanda.

Juragan Badrun tertawa, dia paham. Juragan Badrun memang sering menemani anaknya uji bertarung dengan Arundhati. Dia tahu bahwa Arundhati sudah melampaui Sweta Nandini anaknya. Dan, dia juga sering memberikan arahan untuk memperbaiki jurus-jurusnya. Juragan Badrun merasa merasa aman kalau anaknya pergi bersama Arundhati. Disamping anaknya memang sudah tinggi kemampuannya, bila pergi dengan seseorang yang lebih tinggi kemampuannya mestinya tidak ada yang perlu ditakutkan lagi.

“Mana Ayun nya?”

“Di luar, Pak. Kita sedang buru-buru ada tugas!”

“Oh, gitu… Ya udah sana. Hati-hati ya….!”

Setelah salim kepada ayahnya, Sweta Nandini langsung ngeloyor sambil mengucap salam. “Nggih Pak! Assalamu’alaikum!”.

“Wa’alaikum salam!”

Juragan Badrun cuma geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat anak perempuannya yang terlihat sok sibuk kali ini.

Sesampainya di luar, Arundhati segera menggamit tangan Dini.

“Ayo!”

Dini sudah tidak kaget dengan kelakuan Arundhati yang seperti ini. Dia sudah hapal benar karena sudah dari SD dia begitu.

“Ayun, mau kemana kita?”  tanya Sweta Nandini penasaran dengan semua ketergesa-gesaan Arundhati.  Arundhati tidak menjawab karena saat ini mereka telah berada di tempat lain. Saat ini mereka ada di puncak sebuah bukit.

“Ayun, di mana ini?” tanya Sweta Nandini sekali lagi, dengan pertanyaan yang berbeda. Arundhati tersenyum

“Aku sudah mencuri ingatan bapak. Salah satunya ya tempat ini. Saat ini mungkin kita ada pegunungan Indrakila. Aku juga gak tahu pasti, tapi kalau kita turun ke arah selatan sana kita akan melewati Semali, Pekuncen, dan sampai ke Kota!” terang Arundhati sambil melihat ke sekeliling sambil mebentangkan kedua tangannya dan berputar.

“Sebentar, kamu….. mencuri…. Ingatan bapakmu? Bagaimana caranya?”

Arundhati berhenti berputar dan mendekati Sweta Nandini sambil berbisik, “ngobrol sama bapak sambil mancing-mancing cerita!”

Dini yang telah bersiap untuk mendapatkan kejutan baru dari Arundhati agak sedikit merasa terkecoh, namun dia paham kedegilan Arundhati dan bahkan kemudian dia tertawa.

“Kamu, ada-ada aja. Kirain kamu sudah mampu memasuki alam pikiran orang lain. Ngeri aku kalau kamu udah kayak gitu!”

Arundhati tertawa , “Ha ha ha…. ya ndhak lah! Ayun tuh Cuma mampu memahami apa yang tampak saja. Cuma, sepertinya Allah memberikan kemampuan analisa yang terlalu sensitif sehingga fakta paling detil sekalipun tidak sempat menghindar dari pengamatan Ayun. Kemudian, berkat bimbingan Yu Ara, Ayun mampu mengelola hal lain yang ada dalam diri Ayun. Dan ini mungkin aneh bila dilihat orang normal. Makanya Ayun gak berani menunjukkan selain ke orang-orang yang sama dengan Ayun! Ya sesekali ke Bapak sama Ibu, buat tahu reaksi mereka. Sejauh ini sih ya….” Arundhati menahan kata-katanya sambil tersenyum pada Sweta Nandini. Sweta Nandini tidak bereaksi. Entah kenapa, mungkin sedang ada yang dia pikirkan. Arundhati melanjutkan, “sampai saat ini mereka biasa-biasa saja, tidak merespon apapun. Mereka berbuat seperti tidak ada apa-apa. Dan itu baik buat Ayun!”

“Jangan orang normal, menurut aku aja kamu udah aneh Ayun!”, sahut Sweta Nandini terlambat mengomentari cerita Arundhati.

Arundhati tertawa saat mendengar komentar Dini.

“Ha ha ha ha ha…. Jadi kamu gak normal, ya Din?”

Dini kaget, dia baru menyadari bahwa komentarnya memang berpotensi salah arti.

“Ya… ya normal sih, masa gak normal? Orang secantik Sweta Nandini Satrianingsih anak kesayangan Juragan Badrun masa gak normal sih?”

Sweta Nandini mengkoreksi komentarnya sambil memuji dirinya sendiri. Arundhati tersenyum mendengar koreksi dari temannya.

“Ayun, terus kenapa kamu mengajak aku ke mari”, tanya Sweta Nandini kemudian.

Arundhati tidak langsung menjawab. Dia berjalan menuju ke satu batu hitam di bawah pohon kelapa tak jauh dari posisi Dini. Setelah melakukan beberapa gerakan standar, seperti menepuk-tepuk batu membersihkan area yang mau diduduki misalnya, Arundhati dengan sedikit melompat kemudian terduduk di atas batu.

“Yu Ara adalah putri dari Ibu Retna Nawangsih. Dia punya kisah masa lalu dengan Bapak!” Sambil duduk, Arundhati menjelaskan hubungan ayahnya dengan Ibu Sitakara.

“Lalu, apa hubungannya dengan kita?” tanya Sweta Nandini penasaran. Arundhati, memandangi Sweta Nandini. Kemudian, dia menunduk dan mengambil kerikil. Sambil melihat ke tempat lain Arundhati melempar-lemparkan batunya. Kemudian, dia menoleh ke arah Swera Nandini, dan bersiap melemparkan batunya. Sweta Nandini kaget melihat gerakan Arundhati.

“Ayun, hati-hati jangan melempar ke arahku. Ayun… aku bisa ke..”

Sweta Nandini yang ketakutan mencoba untuk menyadarkan Arundhati. Namun Arundhati tidak menggubris teriakan Sweta Nandini. Dia tetap melempar.

“Ayun……!” teriak Sweta Nandini ketakutan sambil memejamkan matanya. Dan, “wuzzzz….!” Batu tetap terlempar ke arah Sweta Nandini namun tidak mengenai sedikitpun tubuh Sweta Nandini.

Sweta Nandini terkejut, dia gak tahu kenapa Arundhati bersikap seperti itu. Dia membalik badannya melihat ke arah batu kerikil tadi. Dan dia menjadi semakin terkejut ketika melihat seekor ular tengah tergelepar di tanah dengan pangkal kepalanya nayaris putus. Dan keterkejutannya tidak berhenti sampai di situ. Tubuh ular itu mendadak seperti terbakar dan menghilang begitu saja.

“Ayun….!” Suara Sweta Nandini pelan penuh keheranan

“Betul, mereka penyusup dari lapis pertama dunia mimpi. Mestinya kita memang tidak mampu membunuh mereka. Hanya makhluk sejenis yang mampu membunuhnya, atau makhluk dari dimensi lain dengan dibantu benda yang berasal dari dimensinya.”

“Kamu.. kok…bisa? Ayun?”

“Sebagian Ayun berasal dari lapis pertama dimensi mimpi maka Ayun juga punya kemampuan untuk itu” Arundhati mengingatkan kembali Sweta Nandini bahwa Arundhati juga berasal dari lapis pertama dunia mimpi, “O, iya ya… kamu kan orang yang dicari-cari sama Gurunda Nyi Ajar Nismara, ya?”

“Betul, biasanya yang dicari sama para Guru itu memang orang Istimewa!” sahut Arundhati santai.

“Ya… betul, termasuk yang sekarang lagi kita cari!” balas Sweta Nandini sambil bersungut-sungut karena kata-katanya justeru telah membangunkan ketengilan Arundhati. Arundhati sendiri suka melakukan itu dengan sangat sengaja, karena dia suka bila lawan bicaranya merasa keki.

“Di sini banyak sekali penyusup dari lapis pertama dunia mimpi. Mereka adalah anak buah Dhemit Bacira yang kemarin sempat bentrok dengan Ayun. Namun, karena Ayun belum tahu bahwa kelemahan mereka adalah Ayun sendiri, Dhemit Bacira tidak Ayun bunuh, namun Ayun buang melalui lubang cacing yang terbentuk melalui kesadaran Ayun di sini maupun di lapis kedua dimensi mimpi. Ayun sendiri tidak tahu, apakah Dhemit Bacira masih hidup atau tidak. Namun, para pengikut Dhemit Bacira mengira Ayun telah membunuhnya. Termasuk saudaranya yang telah dibunuh oleh Sekar Kenanga. Mereka semua hendak menuntut balas kapada Ayun!” lanjut Arundhati menjelaskan dengan lebih lengkap.

“Apakah Ki Ageng Turangga Seto dan Gurunda Nyi Ajar Nismara tahu mengenai hal ini?”

“Mereka sangat tahu. Dan, untuk mengantisipasi kembalinya Dhemit Bacira yang tentunya akan mengancam dimensi kita, Guru berdua meminta Ayun untuk mencari keberadaan Sekar Kenanga versi dimensi utama ini!”

“Dan, kamu akan memulai dari pegunungan Indrakila ini?” tanya Sweta Nandini menebak dan dibenarkan oleh Arundhati, “Betul!”

Jawaban Arundhati malah membuat Sweta Nandini penasaran dengan apa yang direncanakan oleh Arundhati.

“Apa yang akan kamu lakukan sekarang?”

“Sebenarnya aku sendiri tidak yakin. Tapi, aku punya firasat bahwa kehadiran para makhluk persepsi ini dapat menghubungkan kita dengan Sekar Kenanga dan juga Ibu Retna Nawangsih.”

Persis saat Arundhati menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba dia meoleh ke arah kanannya. Arundhati langsung berdiri dan mengamati area di depannya.

Sama seperti Arundhati, Sweta Nandini juga tiba-tiba bersiaga dan kedua gadis cantik ini tiba-tiba terlihat bersiaga.

“Ayun, ada seorang yang baru datang dan sembunyi di gerumbul semak di bawah sana!” bisik Sweta Nandini.

“Betul. Seorang perempuan yang sama tinggi sama kamu. Sebuah tiang listrik berjalan!”

Air muka Sweta Nandini langsung berubah kecut saat mendengar istilah tiang listrik berjalan. Istilah ini sering diungkapkan Arundhati untuk meledek dirinya. Tapi, karena itu adalah Arundhati maka dia tidak pernah marah, meskipun dia kesal.

Arundhati menoleh ke arah Sweta Nandini sambil nyengir. Sweta Nandini tidak menggubris gurauan Arundhati. Dia fokus ke arah gerumbul semak lima meter di bawah posisi mereka.

“Gak usah terlalu tegang, Dini. Anak ini kemampuannya bahkan masih di bawah murid junior Alang-alang Segara Wedi!”

“Kamu itu masih yunior, dan Yu Sita sekarang kemampuannya di bawah kamu!”

Sweta Nandini makin kesal dengan gaya tengilnya Arundhati yang dianggapnya sudah mulai sombong. Kembali Arundhati menoleh ke arah Sweta Nandini. Sambil nyengir dia menjelaskan, “Eh bener ini, maksud saya Ayun Alang-alang Segoro Wedi yang baru ndaftar. Kalau aku kan gak daftar. Malah dicari!”

“Aku juga!” bisik Sweta Nandini ketus sambil tetap memperhatikan ke arah gerumbul dengan sikap siaga.

Setelah beberapa lama kedua gadis cantik itu mengamati gerumbul dan area sekelilingnya, tiba-tiba Arundhati tampat menggernyitkan dahinya dan berkata, “Dini…., sebentar…!”

“Ada apa Ayun!”

“Ini kenapa saya kok merasakan kehadiran Sekar Kenanga?”

“Apakah anak perempuan yang bersembunyi di gerumbul itu adalah Sekar Kenanga? Kamu bilang tadi, dia badannya tinggi yakan? Bukannya Sekar Kenanga juga badannya tinggi?” Arundhati mulai serius, karena dia merasakan kehadiran Sekar Kenanga tidak jauh dari tempat mereka, “bisa jadi, tapi nanti dulu….! Tidak jauh dari posisi dia, kenapa ada makhluk persepsi yang ikut mengamati gadis itu ya? Siapa makhluk persepsi itu?”

“Apa mungkin.. Dhe…!” Sweta Nandini mau berkomentar, namun belum selesai dia menyebut Dhemit Bacira, Arundhati telah melesat melompat ke arah gerumbul semak tersebut. “Ah…. Kamu itu Ayun….!” gerutu Sweta Nandini. Sweta Nandini langsung melesat menyusul Arundhati.

Saat ini baik Arundhati maupun Sweta Nandini telah berada di sekitar gerumbul semak itu. Mereka berputar mencari perempuan yang mereka yakini sedang bersembunyi di gerumbul semak itu. Sampai pada gerrumbul semak paling rimbun, terlihat seorang gadis dengan baju compang-camping dan rambut acak-acakan. Kulit gadis ini sebenarnya putih, namun karena tidak terawat maka terlihat kotor.  Gadis itu terlihat sangat ketakutan.

Pelan-pelan Arundhati mendekati gadis itu sambil menyapa, “Dhik…!”

Sweta Nandini yang berada di sampingnya mendengar, menoleh dan setengah berbisik protes, “Dhik….? Gak liat apa badannya tinggi gitu. Biar dia lagi ngeringkuk kan keliatan kamu lebih kecil, Yun!”

Arundhat gak peduli protes Sweta Nandini, dan tetap terlihat tenang sambil terus memanggil gadis dengan sebutan Dhik, “gak usah peduliin kakak cerewet yang berjalan di samping saya, ya! Dia memang gitu orangnya. Cerewet, tapi baik kok!”

Tanpa disangka-sangka, gadis itu malah berdesis, “Ssssss…..!” sambil menggerakkan sebelah tangannya seakan memberi peringatan agar jangan mendekat. Mendapatkan peringatan ini, baik Arundhati maupun Sweta Nandini sama-sama mundur. Namun mereka tidak menyerah, dan kembali dengan perlahan mulai lagi mendekati gadis itu sambil terus menyapa, “Dhik…, jangan takut. Kami bukan orang jahat!”

Kali ini gadis itu tidak bereaksi secara ekspresif. Hanya ketakutan yang masih nampak pada wajah gadis itu. Semakin mendekat Arundhat dan Sweta Nandini, semakin takut gadis itu.  Namun, karena rasa ingin tahu dan empati pada gadis itu, Arundhati malah semakin mendekati gadis itu sampai akhirnya dia mampu meraih tangan gadis itu. Gadis itu tidak memberikan perlawanan apapun.

“Ayo, Dhik.. mari sini…!” Arundhati menarik tangan gadis itu pelan-pelan sampai dia keluar dari semak dan berdiri. Dan benar saja,  gadis itu lebih tinggi dibanding Arundhati. Kira-kira sama dengan Sweta Nandini. Arundhati dan gadis itu berdiri berhadapan. Gadis itu menunduk sementara Arundhati ndangak melihat ke wajah gadis itu sambil kedua tangannya saling berpegangan.

“Lihatlah, kami tidak berniat jahat kepadamu. Siapa namamu, Dhik?” tanya Arundhati kepada anak itu. Dengan sedikit ragu, gadis itu terlihat ingin tersenyum. Sebentar dia memandang lurus ke depan. Namun, tiba-tiba gadis itu terlihat takut dan mulai beringsut ke belakang ke arah semak. Dengan keras dia lepaskan pegangan tangan Arundhati, mundur dan jongkok dengan kepalanya menelungkup di antara kedua lututnya. Sementara, tangannya memeluk kedua lututnya.  Gadis itu terlihat gemetar dan terndengar suara tangis yang sangat pelan.

Arundhati tidak langsung mendekati anak itu. Dia terlihat tegang. Dia merasa ada bentuk kesadaran yang berasal dari lapis pertama dimensi mimpi. Bukan kesadaran manusia, dan bukan pula jenis Dhemit Bacira. Ini bentuk kesadaran yang sama yang dia rasakan saat pertama kali menyadari kehadiran anak perempuan itu. Kehadiran bentuk kesadaran itu semakin lama semakin kuat pertanda bahwa kesadaran itu tengah mendekat. Di saat yang sama, dia juga merasakan kehadiran Sekar Kenanga dari arah anak perempuan yang ketakutan itu. Arundhati berbalik membelakangi anak perempuan itu.

“Dini, siap-siap…. Lindungi Sekar Kenanga! Seekor makhluk persepsi tengah menuju kemari!”

“Sekar Kenanga?” Sweta Nandini bertanya keheranan.

“Iya, gadis itu adalah Sekar Kenanga  yang kita cari!”

“Gak salah? Kok demikian mudahnya?”

“Udah gak usah bawel, siaga lindungi anak itu!”

Arundhati mulai gak sabar dan mulai memarahi Sweta Nandini.

“Iya iya… ini juga Dini udah siap!”

Sweta Nandini dan Arundhati saling membelakangi dengan gadis itu ada di antara mereka. Sementara tubuh gadis itu semakin bergetar karena ketakutannya.

“Dini, sepertinya musuh kita kali ini punya kemampuan tidak di bawah Dhemit Bacira. Aku akan melindungi kalian dengan perisai persepsi. Makhluk persepsi manapun tidak akan ada yang mampu menembusnya! Namun, bagaimanapun juga kamu harus tetap berjaga melindungi anak itu, terutama menjaga jangan sampai dia lari dan keluar dari kubah perlindungan”

Selesai memberikan arahan kepada Sweta Nandini, Arundhati sudah melesat duapuluh meter ke depan dengan meninggalkan kubah perlindungan yang menyelubungi Sweta Nandini dan gadis yang sedang ketakutan itu.

“Siap!” jawab Sweta Nandini sambil berbalik ke arah Arundhati. Saat ini dia lihat Arundhati sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang sangat tampan. Entah apa yang mereke bicarakan, namun sesekali terlihat tangan Arundhati menyala, menandakan ada energi yang dia kumpulkan ke tangan dan siap untuk dilepaskan. Sementara pemuda tampan di hadapan Arundhati itu tidak nampak sedikitpun hendak menyerang. Setelah beberapa saat kemudian, tiba-tiba pemuda itu melompat menjauhi Arundhati.  Pemuda tampan itu pergi meninggalkan Arundhati.

Setelah pemuda tampan itu pergi, Arundhati membalikan badannya berjalan ke arah Sweta Nandini dan anak perempuan yang ketakutan itu. Kubah perlindungan buatan Arundhati pun telah hilang. Arundhati telah membatalkannya. Sweta Nandini menarik nafas lega. Dia kembali ke sikap normal.

“Siapa dia, Ayun?” tanya Sweta Nandini saat Arundhati semakin mendekat. Arundhati sengaja tidak langsung menjawabnya. Dia tau, pasti Sweta Nandini tertarik sama pemuda tampan tadi. Bahkan ketika sudah berhadapan, Arundhati malah membungkuk memegang bahu gadis yang masih ketakutan itu. Arundhati membimbingnya untuk berdiri.

“Sudah, Sekar. Siluman ular itu sudah pergi! Dia bukan musuh.” kata Arundhati perlahan setengah merayu. Sepertinya Arundhati mulai yakin bahwa gadis itu adalah Sekar Kenanga versi dimensi utama. Gadis itu berdiri mematuhi permintaan Arundhati.

Sweta Nandini kaget mendengar kata siluman ular. Siluman yang mana? Mana ada siluman. Dia bingung, “siluman ular, maksud kamu… anak laki-laki tadi itu…?”.  Sweta Nandini yang sangat penasaran berusaha menarik perhatian Arundhati yang tengah asik membimbing Sekar Kenanga. Sweta Nandini juga pengin diperhatiin dan pertanyaannya bisa terjawab. Namun, Arundhati yang suka usil ini justeru mengabaikan aksi Sweta Nandini.

Arundhati memegang kedua lengan Sekar Kenanga sambil ndangak dan melanjutkan petuahnya, “kamu gak usah takut! Siluman ular yang kerap nampang jadi lelaki tampan itu tidak akan berani lagi mengejarmu. Ada Yu Ayun di sini yang akan melindungi kamu sampai kamu terhubung dengan avatarmu. Ok?!”

Arundhati yang menyebut dirinya Yu Ayun, kontan membuat Sweta Nandini tertawa terpingkal-pingkal sambil menutup mulutnya.

“Yu Ayun…..? Sejak kapan kamu jadi mbakyu, Ayun?” canda Sweta Nandini memprotes deklarasi Arundhati menjadi Yu Ayun.  Arundhati tak tahan lagi bergaya serius. Dia pun tertawa.

“Sirik amat sih kamu, Dini? Biar badan pendek kalo dipanggil mBakyu kan lumayan juga, kan?”

“PPpfff……ppfff!” sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya, Sweta Nandini menahan tawa demi mendengar pengakuan Arundhati. Badan pendek!

“Sudah… sudahlah! Gimana sekarang kita apakan Sekar Kenanga?” tukas Arundhati mengakhir candaan mereka. Dia menyadari telah melakukan kesalahan dengan mengakui badannya pendek.

Demi melihat respon Arundhati, Sweta Nandini berusaha mengkoreksi sikapnya. “Tapi Ayun, kamu itu gak pendek sebenarnya. Tapi kamu yang suka srantal-sruntul itu jadi mengesankan kamu itu pendek. Yu Sita juga kan cuma beda dikit tingginya sama kamu. Ya to?”

Mendengar kata srunthal-srunthul, Arundhati tersenyum lebar. Dia ingin memberikan sinyal bahwa dia gak marah karena candaan tadi.

“Sekar,  Ayun mau nanya, ini gimana ceritanya kamu bisa…… aduh… rambut acak-acakan, badan kucel bau….?”

Sekar Kenanga yang sedari tadi cuma senyum-senyum melihat kedua penolongnya kemudian terdiam.  Matanya menerawang. Terlihat ada tetesan aliran air mata dari sudut matanya. Dia menangis. Kemudian, dengan suara yang sangat pelan dia mulai bicara.

“Sebelumnya, Sekar mau mengucapkan terimakasih kepada mbakyu berdua. Kalau bukan karena kalian menolong, Sekar mungkin telah digondol siluman tengik yang bernama Sanca Budjangga tadi…”

“O… namanya Sanca Budjangga….” Sweta Nandini yang masih penasaran, tiba-tiba menyela demi mendengar sebuah nama disebut. Arundhati langsung melotot ke arah Sweta Nandini. Sweta Nandini segera mengatupkan kedua tangannya ke mulutnya sambil mengucap, “Upppsss…!”.  Sementara Arundhati masih melotot, Sekar Kenanga malah tersenyum sambil mengucap matanya.

“Mbakyu berdua memang lucu, Sekar sungguh terhibur dengan kehadiran kalian berdua! Sekar mengucapkan terimkasih yang sangat untuk kalian berdua!”

Arundhati melongo mendengar penuturan Sekar Kenanga, sambil kemudian bertanya lagi, “Terus, ini gimana ceritanya, kamu bisa seperti ini?”

“O iya…, maaf bila Sekar telah mengomentari kalian berdua!” Sekar Kenanga meminta maaf kepada kedua penolongnya dan mulai menceritakan pengalamannya, “Baiklah Sekar lanjutkan. Sekar sebenarnya tinggal di bawah. Di papringan pinggir kali Kedung Ampel. Suatu hari, ketika sekar sedang berada di Papringan, tiba-tiba suasana di papringan berubah menjadi gelap dan papringan yang tinggal beberapa rumpun tiba-tiba menjadi sangat luas. Beberapa rumah terlihat menghilang dari papringan dan berubah menjadi rumpun bambu. Kemudian, dalam kebingungan Sekar, tiba-tiba datang seorang pemuda tampan yang mengaku bernama Sanca Budjangga.  Dan, anehnya tanpa rasa curiga Sekar menerima ajakan berteman darinya. Kemudian kami berjalan ke tepi sungai dan bercengkerama berdua di tepi sungai. Setelah puas bercengkarama, dia mengantar saya ke tempat pertemuan kami. Setelah dia pergi, kondisi papringan kembali seperti semula. Dan, situasi yang sebenarnya aneh tidak pernah saya rasakan sebagai sebuah situasi yang aneh. Dan, untuk selanjutnya, pada hari-hari berikutnya, bila saya merasa pengin bertemu Sanca Budjangga, saya selalu menyepi di tepi sungai. Dia selalu menunggu saya di sana. Dan seperti biasanya, kami kemudian bercengkerama dan bercanda di sana.”

Sekar Kenanga menghentikan sejenak ceritanya. Ada sesuatu yang berat yang membuat dia harus berhenti bercerita untuk mengambil nafas. Namun, sebelum Sekar Kenanga melanjutkan ceritanya, Arundhati menyela, “Sebentar dulu, selama kalian berdua-duaan, kamu pernah diapa-apain gak sama si Sanca Budjangga?”

“Diapa-apain bagaimana, Ya?” Sekar Kenanga justeru balik bertanya.

“Gini, kamu kan perempuan, dan seperti Sekar Kenanga yang pernah Ayun kenal, kamu pasti cantik. Dan dengan badan langsing serta lebih tinggi dari Ayun, pasti dong si siluman tengik Sanca Budjangga itu tertarik untuk melakukan sesuatu padamu.” Arundhati menjelaskan apa yang dimaksud diapa-apain.

“Maaf, melakukan apa ya?” Sekar Kenanga masih belum mudeng mendengar penjelasan Arundhati. Sweta Nandini tertawa melihat percakapan Arundhati dan Sekar Kenanga.

“Ya sudah, sudahlah! Mari kita lanjutkan sambil kita keluar dari hutan ini!”

Ajakan Arundhati disambut anggukan oleh Sekar Kenanga.

“Ayo!” dengan semangat, Sweta Nandini menyambut ajakan Arundhati. Kemudian, mereka bertiga berjalan satu-satu menyusuri jalan setapak yang agak menurun.  Sweta Nandini berjalan paling depan diikuti oleh Sekar Kenanga, dan Arundhati paling belakang. Dia sengaja memilih paling belakang agar dapat berjaga terhadap hal yang tidak diinginkan dari arah belakang dan mengantisipasi bila itu datang dari arah depan.

“Ayo, Sekar, silakan lanjutkan ceritamu!” seru Sweta Nandini yang tiba-tiba jadi penasaran dengan cerita Sekar Kenanga. “Betul, Sekar!” sahut Arundhati dari belakang.

“Namun,” Sekar mulai melanjutkan ceritanya, “setelah beberapa hari hubungan kami berjalan tanpa hambatan, pada suatu hari ketika saya mendatangi tempat biasa kami bertemu, saya belum melihat dia ada di sana. Dan ketika saya sedang mencari-cari, tiba-tiba datang seekor ular yang sangat besar yang berhenti di semak tak jauh dari batu tempat kami bercengkerama. Tiba-tiba ular itu menghilang dan digantikan oleh sesosok laki-laki yang sudah saya kenal. Sanca Budjangga. Ternyata nama Sanca yang melekat pada dirinya memang menunjukkan bahwa dia adalah seekor ular. Dan, dalam sekejap waktu, tiba-tiba kesadaran saya hadir dan dapat menilai kembali setiap keanehan. Dan kesadaran ini kemudian membuat saya takut dan jijik karena telah berkawan dengan seekor ular. Saya berusaha kabur ke arah utara. Dia mengejar. Namun, meskipun dia tahu bahwa saya sudah tahu ujud aselinya, dia mengejar dalam bentuk manusia. Akan tetapi, dia tetap membuat saya merasa bahwa saya ada di lingkungan yang berbeda dengan keseharian saya. Saya seperti di bawa ke beberapa puluh tahun ke belakang. Kompleks militer di sebelah utara masih banyak tentara yang tinggal di sana. Benteng Van Der Wijk masih digunakan sebagai tangsi militer!”

“Sebentar dulu, Benteng Van Der Wijk bukannya masuk ke dalam? Kamu sengaja mampir?” seperti biasa, Arundhati selalu menyela penuturan siapapun. Dan ini tentunya mengganggu Sweta Nandini yang sedang asik mengikuti cerita yang disampaikan oleh Sekar Kenanga.

“Udah, Sekar! Gak usah dilanggati, dia emang hobinya begitu!”

Sekar tersenyum manis sambil kemudian melanjutkan ceritanya, “saya memang sengaja masuk ke area Van Der Wijk, namun tak seorangpun yang menyadari kehadiran saya. Bahkan semuanya seperti tidak melihat saya. Saya minta tolong kepada bapak-bapak tentara itu, namun mereka justeru seperti orang bingung ketika tanganya saya tarik-tarik. Si siluman tengik Sanca Budjangga malah terlihat tersenyum melihat ketakutan saya. Entah apa yang dia pikirkan, dia seperti menikmati ketakutan saya. Karea gagal meminta bantuan kepada para bapak tentara itu, saya kemudian memutuskan untuk terus berlari hingga sampai ke pegunungan ini. Yang saya heran, sebenarnya dia bisa saja menangkap saya. Namun sepertinya dia sengaja tidak melakukan itu. Dan, dalam pelarian saya sampai ke puncak bukti tadi, beberapa kali saya terpeleset masuk ke jurang. Dalam situasi ini, dia akan semakin mendekat. Namun, saya selalu mengusir dia, dan dia kemudian kembali mengambil jarak. Itulah mengapa penampilan saya jadi seperti sekarang ini…”

Sekar Kenanga menyelesaikan ceritanya sambil berjalan mengikuti kedua penolongnya dengan sesekali ditimpali oleh Arundhati dan Sweta Nandini secara Bergantian. Mereka terus berjalan beringan menyurusi jalan setapak.  Sampai pada jalan yang agak landai, tiba-tiba Sweta Nandini memberi isyarat untuk berhenti. Bersamaan dengan itu Arundhati yang juga merasakan sesuatu segera meningkatkan kesadarannya untuk dapat mendeteksi kehadiran subject-subject yang mengancam. Kali ini dia tidak menemukan bentuk kesadaran lain, namun dia menemukan subject yang tingkat ancamannya juga tidak kecil.

“Sekar, sejak kapan hutan di Semali ini ada macan?” tanya Arundhati sambil berbisik kepada Sekar Kenangan.

“Macan apa? Macan Jawa apa macan kumbang?” Sekar Kenanga balik bertanya. Masih berbisik.

“Macan Kumbang!”

“Kalau macan kumbang, dulu memang pernah ada, namun setahu saya sekarang sudah tidak pernah lagi ada yang pernah menemui macan ini”

“Dini, siap-siap yang kita hadapi kali ini adalah macan kumbang beneran. Beda sama ular yang mau nyium kami tadi. Namun, Ayun sempat merasakan adanya pengaruh Dhemit Bacira pada kehadiran mereka! Jangan bunuh mereka” Teriak Ayun memberitahu Sweta Nandini.

“Siap! Ada berapa jumlah mereka?” jawab Sweta Nandini sambil balik bertanya.

“Ada banyak, bergerombol sekitar 40 ekor!”

Betul saja, pada radius 10 meter, saat ini mereka bertiga telah dikepung oleh sekitar 40 an ekor macan kumbang. Saudara cheetah yang berwarna kelam dan pandai memanjat pohon itu saat ini terlihat sangat mengancam.

“Baik, tapi bagaimana bila mereka menyerang kita?”

“Lumpuhkan saja atau lempar ke tempat lain!”

“Lempar ke tempat lain, bukannya itu cuma kamu sama Sekar yang bisa melakukan?” Sweta Nandini, agak bingung mendengar saran Arundhati.

“Yap, kamu lumpuhkan saja. Kalau kamu bunuh susah ngurus bangkainya!” Teriak Arundhati menegaskan yang disambut tertawa oleh Sweta Nandini.

“Ha ha ha ha….!”

“Untuk urusan membuang ke tempat lain, biar Ayun sama Sekar aja yang beresin!”

Sekar Kenanga bingung, kenapa kedua penolongnya ini teriak-teriak meskipun deket-deketan gini. Lha wong cuma jarak 2 meter, ngapain coba pada teriak. Namun belum lagi habis bingungnya, Arundhati sudah menggamit tangannya dan tiba-tiba tangannya sudah dipegang oleh Arundhati dan suasana di sekitar dia sudah berubah sama sekali. Saat ini mereka seperti berada di hutan yang lain. Pohonnya lebih besar dan suasananya tidak lebih rimbun. Sialnya, 40 ekor macan kumbang itu masih terlihat mengepung mereka. Tangan Sekar Kenanga masih dipegang oleh Arundhati.  Hal yang kurang adalah, Sweta Nandini tidak terlihat di sini.

Tiba-tiba Arundhati melesat ke atas sambil menarik Sekar Kenanga, “Bila kamu memang Sekar Kenanga yang sebenarnya, maka kamu bisa mengatasi ini!”

Dengan suarau keras, Arundhati berteriak mengingatkan Sekar Kenanga sambil melemparnya dari ketinggian 500 meter.

Tubuh Sekar Kenanga meluncur deras ke bawah. Sekar Kenanga berteriak ketakutan. “mBakyu Arundhati, apa maksudmu dengan melemparku seperti ini? Kalau kautolong aku hanya untuk mati, kenapa tidak kau biarkan aku mati di tangan siluman Sanca Budjangga?”

Arundhati hanya tersenyum sambil dag-dig-dug dari posisinya mengambang saat ini. Sekar Kenanga masih terus meracau dengan berbagai sumpah serapah sampai kemudian mulai menghilang. Dia pingsan dalam ketakutannya,  dan pada posisi 100 meter dari permukaan dalam kondisi, tiba-tiba tubuh Sekar Kenanga turun melambat dan berputar dari kepala di bawah kepada posisi berdiri.  Para macan kumbang terlihat bereaksi melihat kejadian ini. Namun, tidak satu pun dari mereka yang berusaha mundur atau lari. Apalagi saat melihat tubuh Sekar Kenanga yang turun dengan perlahan tanpa terlihat gerakan akan menyerang sampai ketika kedua telapak kakinya menjejakkan tanah dengan kepala menunduk. Dan, percis saat Sekar Kenanga menjejakan kaki ke tanah, tidak lagi terlihat baju compang-camping yang dia kenakan.  Sekar Kenanga telah mengenakan jubah dan kerudung putih gading. Alang-alang Segara Wedi.

Sekar Kenanga mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Sebentar dulu. Bukan tersenyum sebenarnya, lebih tepat menyeringai.  Sekar Kenanga mengangkat kepalanya sambil menyeringai. Kelompok macan kumbang yang mengepung mereka nampak beringsut ke belakang. Mereka merasakan aura membunuh yang sangat kuat. Arundhati pun kaget dan segera melesat turun percis di depan Sekar Kenanga. Sambil memegang lengan Sekar Kenanga, Arundhati meminta Sekar Kenanga untuk tidak membunuh macan kumbang itu.

“Sekar, jangan kamu bunuh macan-macan itu. Mereka adalah makhluk berdarah dan berdaging seperti kita. Mereka hanya sedang dikendalikan oleh gerombolan Dhemit Bacira!”

Arundhati memegang kuat kedua lengan Sekar Kenanga. Arundhat berusaha menahan Sekar Kenanga dari membunuh macan-macan kumbang itu. Sejenak Sekar Kenanga terdiam. Aura membunuhnya perlahan mereda, namun tanpa diduga-duga, aura membunuhnya menguat kembali. Arundhati yang tidak menduga perubahan ini, tiba-tiba mendapatkan serangan dari Sekar Kenanga. Kedua tangan Sekar Kenanga tiba-tiba bergerak dengan gerakan memelintir melepaskan pegangan tangan Arundhati dan dalam waktu singkat kedua tangan Sekar Kenanga telah memegang lengan Arundhati. Kemudian dengan kecepatannya, Sekar Kenanga menarik tangannya sambil mundur sehingga pegangan Sekar Kenanga berpindah ke pergelangan tangan Arundhati dengan posisi kedua tangan Arundhati terpelintir.  Tentu saja ini tidak menguntungkan Arundhati. Bila dia memaksa bergerak, maka tangannya akan terkilir.

Dalam kondisi yang bisa dibilang tanpa daya, Arundhati terdiam. Sekar Kenanga memang adalah murid senior Alang-alang Segoro Wedi. Ilmu beladirinya pasti sangat tinggii dan konon dia juga memiliki kemampuan manipulasi kesadaran yang mirip dengannya. Namun, seharusnya kekuatan dan kemampuan Sekar Kenanga belum akan mampu menandinginya.  Kontak dengan Sekar Kenanga di lapis kedua dimensi mimpi yang baru sebentar, semestinya belum mampu mensingkronkan kedua Sekar ini. Ini pasti ada yang salah.

Belum lagi Arundhati mendapatkan kesimpulannya, tiba-tiba Sekar Kenanga membuang kedua tangan Arundhati ke kiri dan kanan sehingga kedua tangan Arundhati terbentang dan bidang serang Arundhati terbuka lebar. Kondisi ini tidak disia-siakan oleh Sekar Kenanga.  Dia mengayunkan kedua tangannya ke arah Arundhati dan bersamaan dengan ayunannya dari arah pundak Sekar Kenanga muncul bola sinar kuning yang merambat dan lepas sebagai tembakan ke arah Arundhati.

Arundhati yang menjadi sasaran, segera mengenali bentuk serangan tersebut.

“Bola kesadaran!? Dia mampu memanfaatkan kesadarannya sebagai senjata untuk menyerang? Dan bola itu berwarna kuning?”

Menyadari hal ini, Arundhati justeru tersenyum. Tiba-tiba Arundhati melesat ke atas  menghindar dari serangan Sekar Kenanga. Sambil melesat ke udara tampak Arundhati telah mengenakan jubah dan kerudung putih gading khas Alang-alang Segoro Wedi, dan dari pinggang Arundhati keluar cincin sinar putih yang keluar seperti gelombang yang semakin lama semakin besar dengan intensitas yang semakin kuat.

Arundhati mengangkat tangan kirinya mengepal ke atas, dan dengan kecepatan yang sangat cepat sumber cincin sinar putih itu berpindah ke telapak tangan kiri Arundhati. Cincin putih itu kemudian membentuk sebuah kubah lancip. Tangan kanan Arundhati bersiaga untuk menahan serangan bila diperlukan.

Kubah sinar Arundhati gelombangnya sudah menyentuh tanah. Sekar Kananga bersiap untuk menyerang, namun begitu dia melesat, dengan cepat Arundhati menarik tangan kirinya, dan cincin putih yang sebelumnya jatuh ke tanah tiba-tiba tersibak melebar dan menabrak apapun termasuk apapun termasuk Sekar Kenanga. Tabrakan cincin dengan tubuh Sekar Kenanga membuat tubuh Sekar Kenangan terlempar dan menimbulkan satu dentuman yang sangat keras. Saat tubuh Sekar Kenanga terlempar terlihat tubuh lain yang terlempar dari tubuh Sekar Kenanga. Sebuah tubuh humanoid bertangan dan berjari sangat panjang dengan muka tua  tanpa rambut mirip Gollum pada Lord Of The Ring namun dengan tubuh lebih kerdil, kunting. Bersamaan dengan lepasnya makhluk humanoid tersebut, dari tubuh para macan kumbang juga keluar bayang hitam yang kemudian menghilang begitu saja. Setelah bayang hitam itu lenyap,  para macan kumbang itu segera berlarian menyelamatkan diri.

Sekar Kenanga pingsan, makhluk humanoid tersebut terhuyung mendekati tubuh Sekar Kenanga. Arundhati yang melihat gerakan makhluk itu menyadari bahwa makhluk itu bermaksud hendak menyatu dengan tubuh Sekar Kenanga lagi.  Arundhati segera mengangkat tangan kanannya dan dengan satu putaran tangan, dia telah membentuk satu kubah putih yang memberikan pagar kepada Sekar Kenanga.  Makhluk itu marah karena dia tidak mampu menembus dinding kubah Arundhati. Dia mengaum dahsyat sambil meepuk-nepuk dadanya. Sesuatu yang mengingatkan Arundhati akan terhadap Dhemit Bacira.

Arundhati mendekati tubuh Sekar Kenanga. Kubah yang mempunyai titik pusat pada tubuh Arundhati itu juga ikut bergeser. Sambil bergerak, Arundhati menanyakan identitas makhluk kunting tersebut.

“Hai kunting, sopo to sejatine awakmu?”

Makhluk kerdil  yang berbadan kurus itu menjawab dengan suara berat

“Aku Upala Carma, mrimpeni menungsa gaweanku. Dhemit Bacira ratuku!”

“Njur nangopo kowe kok odo-odo ndadak ngodha dulurku Sekar Kenanga!”

“Ha ha ha…. Aku mung manut kandane ratuku, kowe ra perlu melu-melu!”

Setelah menjawab pertanyaan terakhir, makhluk humanoid yang bernama Upala Carma itu kembali melakukan serangan. Upala Carma berusaha membobol dinding pelindung Arundhati.

Arundhati tidak menanggapi usaha Upala Carma. Dengan tenang dia jongkok meraih pundak Sekar Kenanga, mengangkat dan menyandarkan pada sebuah batu besar tidak jauh dari situ. Sambil menolong Sekar Kenanga, dan dengan tenang pula dia bicara kepada Upala Carma, “Upala Carma! Silakan kamu merasa tak terkalahkan di sini. Tapi kamu saat ini tengah berhadapan dengan aku, Arundhati, murid Ki Ageng Turangga Seto dan Nyi Ajar Nismara. Dalam diriku saat ini mengalir kesadaran yang berasal dari dimensimu!”

Upala Carma agak tersentak mendengar penuturan Arundhati. Ada rona ketakutan tiba-tiba muncul pada wajah jelaknya. Dia tahu, bahwa siapapun di dimensi ini tidak ada yang mampu membunuhnya. Namun, Arundhati adalah manusia dengan kesadaran yang berasal dari dimensinya. Maka sangat mudah bagi Arundhati untuk membunuhnya.

Pelahan, Upala Carma mulai menjauhi kubah perlindungan Arundhati. Meskipun tidak melihat, Arundhati tahu bahwa Upala Carma mau melarikan diri.

“Upala Carma!” Arundhati berteriak menyebut nama Upala Carma tanpa menengok sama sekali. Getaran suara Arundhati ternyata adalah sebuah serangan yang mampu menahan langkah Upala Carma.

Setelah menyandarkan Sekar Kenanga pada posisi paling nyaman dan menyalurkan sedikit kesadarannya untuk menopang tubuh Sekar Kenanga, Arundhati berdiri dan berbaik ke arah Upala Carma. Arundhat nampak sangat marah terlihat dari raut mukanya yang tidak lagi memancarkan Arundhati yang periang.  Saat ini yang nampak adalah wajah seorang perempuan dengan api amarah yang meluap-luap.

“Upala Carma!” sekali lagi, masih tanpa melihat Upala Carma, Arundhati membentak dengan suara yang sangat keras. Tangan kirinya dia angkat mengarah kepada Upala Carma. Dari tangannya tiba-tiba muncul bayangan putih berbentuk tangan yang semakin panjang menjangkau Upala Carma. Telapaknya yang semakin besar mampu menggenggam Upala Carma. Arundhati menjatuhkan Upala Carma dan menekannya ke tanah.

“Upala Carma, kamu berasal dari lapis pertama, dan dalam diriku juga ada kesadaran yang berasal dari sana. Semua sugesti dan persepsi di antara kita adalah kenyataan. Namun, sugestiku terlalu kuat untuk kamu kendalikan!” dingin Arundhati menjelaskan situasinya sambil melepaskan genggamannya pada Upala Carma. Sebagai gantinya, Arundhati menghadirkan sebuah kandang yang mampu menahan Upala Carma yang nampak semakin gelisah.

Arundhati berjalan mendekati kandang Upala Carma. Kali ini kemarahannya sudah mereda, dan dengan gaya Seorang Arundhati, dia mulai meledek, “Upala Carma, aku menahan kamu bukan karena kamu ganteng terus aku gak rela ditinggal sama kamu. Aku yakin, kamu juga tahu kalau kamu jelek. Aku menahan kamu, cuma pengin ngobrol sebentar sama kamu!”

Upala Carma semakin gelisah. Arundhati tersenyum merendahkan Upala Carma sambil berputar mengitari kandang dengan tangan kanannya menyapu jeruji kandang. Tiba-tiba Arundhati berhenti dan menghadap ke dalam kandang sambil membentak penuh tenaga.

“Pertama, kenapa kamu lari?”

“Aku tidak tahu kalau kamu adalah Arundhati, murid yang dicari oleh Nyi Ajar Nismara.”

Bentakan yang disertai dengan serangan terhadap kesadaran Upala Carma ternyata mampu membuat ciut Upala Carma.

“Kenapa kamu takut sama Arundhati, tapi malah mempermainkan saudaraku, Sekar Kenanga?”

“Aku…. Aku tidak tahu itu saudaramu, dan aku cumu disuruh sama ratuku untuk untuk tetap tinggal dalam tubuhnya!”

“Ratumu Dhemit Bacira telah aku hilangkan. Saudaranya, Pangka Tamomaya telah dibunuh oleh saudaraku Sekar Kenanga dari lapis kedua. Sekarang kamu mau kabur kemana. Para tuanmu sudah tidak ada.” Arundhati menggertak dengan menjelaskan situasi yang telah terjadi kepada Upala Carma. Demi mendengar situasi yang terjadi, Upala Carma terlihat pasrah,

“Terus, aku harus bagaimana?”

“Ada dua pilihan buatmu. Kabur dan mati di tanganku, atau bertobat dan tidak lagi mengganggu umat manusia di dimensi manapun!”

Upala Carma semakin nglokro, dia mulai berkata-kata pelan “demi menjalankan tugas yang dititahkan oleh ratuku, aku rela meninggalkan anak-anakku. aku belum selesai menjalankan tugasku, kamu telah merusak semua usahaku. Bila aku bertahan, aku tahu kalian pasti tidak akan melepaskanku. Terlalu bodoh bila aku mati di tanganmu tanpa pernah bertemu dengan anak-anakku.”

“Terus maumu apa?” tanya Arundhati menyela.

“Bertemu anak-anakku” jawab Upala Carma pelan.

“Kabur dan bertemu anak-anakmu?”

Upala Carma diam tidak menjawab

“Kuberi kamu sepuluh hitungan untuk menjawab!”

Arundhati sudah mulai kehilangan kesabarannya, “Satu….!” Arundhati mulai menghitung, Upala Carma nampak semakin gelisah, namun tidak menjawab.

“Dua….!” Arundhati melanjutkan hitungannya. Upala Carma masih belum juga menjawab. Arundhati terus berhitung dengan tanpa jawaban dari Upala Carma.

“Sembilan! Baiklah Upala Carma, pada hitungan kesepuluh nyawamu akan melayang kuantar dengan gumpalan api Cidrapati!”

Tangan kanan Arundhati mengepal dengan selubung putih cerah sangat menyllaukan. Itulah perwujudan api Cidrapati. Upala Carma terlihat sangat ketakutan. Sementara Arundhati sangat serius. Dia tidak peduli bahwa Upala Carma sangat meriundukan anak-anaknya. Risiko terhadap umat manusia jauh lebih besar. Dia benar-benar berniat unutk membunuh.

“Baik! Baiklah aku menyerah….! Aku akan bertobat dan menjauhi gerombolah Dhemit Bacira maupun Tamomaya! Meksipun aku harus menjadi buron bekas teman-temanku!”

Upala Carma akhirnya menyerah dan menyatakan bertobat. Api Cidrapati di tangan Arundhati juga sudah lenyap.

“Kamu tidak akan dikejar-kejar bila kamu mau bertobat dan bergabung bersama Sanca Budjangga!”

Entah kenapa Arundhati menyarankan Upala Carma untuk bergabung dengan Sanca Budjangga.

“Baik, baik, aku mau bertobat, aku mau bertobat”

Mendengar pernyataan Upala Carma yang mau bertobat, Arundhati mendekati kandang Upala Carma. Berdiri di samping Upala Carma sambil berkacak pinggang. Gak usah dibayangin bagaimana degelnya Arundhati perempuan berbadan mungil berkacak pinggang di dekat Upala Carma, makhluk mirip Gollum namun berpostur tinggi.

Arundhati tersenyum sambil masih tetap berkacak pinggang.

“Betul, kamu mau bertobat?” tanya Arundhati ingin ketegasan Upala Carma.

“Iya… Iya.. saya mau tobat. Capek ngikutin Dhemit Bacira!” jawab Upala Carma keras dan tegas.

“Baiklah!”

Arundhati mengayunkan tangan kanannya ke arah kandang Upala Carma. Ketika tangannya menyentuh, jeruji kandang seperti tersapu mengikuti gerakan tangan Arundhati yang berhenti mendarat pada punggung Upala Carma. Seluruh bentuk kandang terserap ke punggung Upala Carma. Upala Carma mendadak seperti tersentak, terdorong hampir terjungkal ke depan.

Sambil menahan laju tubuhnya agar tidak terjungkal, Upala Carma beteriak, “Ada apa ini?”

“Kamu telah bebas sekarang!” jawab Arundhati santai sambil meraih batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Arundhati duduk sambil memperhatikan Upala Carma.

“Bebas?” tanya Upala Carma

“Iya, bebas! Sekarang pulanglah. Anak-anakmu sudah menunggu!”

Tanpa diduga-duga, Upala Carma malah sambil berjoget-joget mendekati Sekar Kenanga, “Ha ha ha….! Murid Alang-alang Segara Wedi, namanya doang yang menakutkan. Ternyata mudah dibohongi. Upala Carma tidak pernah punya anak!  Ha ha ha ha….!”

Arundhati masih terdiam tersenyum sambil terus memperhatikan Upala Carma yang berjoget dan semakin mendekat ke arah Sekar Kenanga.  Namun, semakin mendekat ke arah Sekar Kenanga, langkah Upala Carma semakin berat. Setelah merasakan ada yang berubah pada dirinya, Upala Carma berhenti dan menoleh ke arah Arundhati.

“A… ada apa ini?” tanya Upala Carma gugup.

Arundhati berdiri, dan berjalan santai ke arah Sekar Kenanga sambil berujar kepada Upala Carma, “apa kamu tidak melihat kakimu?”

Upala Carma melihat ke kakinya dan kaget luar biasa, karena ternyata kakinya sudah menghitam seperti batu gunung sampai ke lutut, “Apa apaan ini?”

Arundhati tidak menjawab. Dia sibuk membangunkan Sekar Kenanga. Upala Carma sangat marah dengan sikap cuek Arundhati. Namun semakin marah, justeru perubahan tubuhnya semakin cepat. Upala Carma meronta-ronta minta ampun, namun sudah terlambat. Ketika perubahan mencapai jantungnya, Upala Carma tidak meronta-ronta lagi. Gelombang kemarahanya masih menguasai sisa tubuhnya yang membuat proses perubahannya menjadi sempurna. Upala Carma telah berubah menjadi patung batu yang terlihat meronta.

Tanpa menghiraukan kejadian yang menimpa Upala Carma, Arundhati berjongkok meraih kepala Sekar Kenanga, dia gerakkan sampai menyentuh pundaknya. Setelah berhasil membangunkan Sekar Kenanga, Arundhati segera membimbing Sekar Kenanga untuk berdir dan memapahnya..

Sekar Kenanga yang telah kembali ke dengan pakaian compang-camping agak heran dengan penampilan Arundhati yang mengenakan jubah dan kerudung putih gading. Biarpun masih limbung, pandangan Sekar Kenanga tidak kabur. Dia heran dengan suasana sekelilingnya, dia tidak macan-macan kumbang tadi. Dia juteru melihat ada sebuah patung berdiri di dekatnya.

“Di mana kita? Dimana mBakyu siapa itu? Dan itu patung apa?”

Arundhati menjawab dengan santai, “patung ini? Ini adalah Upala Carma yang telah bertahun-tahun bercokol dalam kesadaranmu!”. Sambil menjelaskan kepada Sekar Kenanga, tangan kiri Arundhati membuat gerakan berputar. Bersamaan dengan putaran tangan Arundhati, sebuah sinar putih yang sangat menyilakan terlihat keluar dari patung Upala Carma. Bersamaan dengan keluarnya sinar putih itu, patung Upala Carma justeru terlihat terbakar. Sekar Kenanga kaget melihat proses barusan, dan lebih kaget lagi ketika dia kemudian menyadari bahwa mereka sekarang sudah kembali ke hutan di Semali dan terlihat Sweta Nandini masih bersiaga.

“Awas, Ayun! Kamu hajar semua yang dari arah belakang!” teriak Sweta Nandini. Di depan Sweta Nandini, nampak beberapa ekor macan kumbang yang tergeletak pingsan. “pukul bagian gerahamnya, untuk mengeluarkan energi kendali dari tubuhnya tanpa membunuhnya!”

“Hajar? Apanya yang dihajar?” Arundhati yang sudah ada di posisi semula menjawab dengan santai. Dari gerak tubuhnya, nampak Sweta Nandini bingung. Kepalanya seperti sedang berfikir sesuatu. Sepertinya, Sweta Nandini baru menyadari bahwa macan-macan kumbang yang mengepung mereka sudah tidak ada lagi. Sweta Nandini berdiri tegak dengan kedua tangan di samping. Dan seperti seorang komandan upacara, dia berbalik ke arah Arundhati. Wajah kesal dan gemas nampak memancar kuat dari mukanya.  Sekar Kenanga ketakutan, namun Arundhati malah tersenyum.

“Ayun……! Kenapa kamu gak ajak aku menghabisi macan-macan itu?”

Sweta Nandini tahu, Arundhati pasti telah mengacak-acak hukum fisika lagi. Baginya ini sebuah petualangan yang sangat mengasikkan, namun kemampuan ini hanya dipunyai oleh Arundhati. Bahkan Sitakara dan Ansuman pun tidak punya kemampuan ini. Ki Ageng Turangga Seto dan Niken Landjar Sekar Kenanga, konon memiliki kemampuan yang sama. Namun, tidak ada yang menyamai kemampuan Arundhati. Bagi Arundhati, kemampuan ini dapat dia gunakan sama seperti saat dia berbicara.

“Menghabisi apa, orang aku cuma mengembalikan mereka ke habitatnya di India. Ayo kita jalan lagi! Sekar, kamu masih kuat bukan?” Santai Arundhati menjawab sambil kemudian bertanya kepada Sekar Kenanga. Sekar Kenanga mengangguk. Arundhati dan Sekar Kenanga kembali berjalan, Sweta Nandini masih tetap berdiri. Sekar Kenanga berjalan melewati Sweta Nandini.  Arundhati membungkuk ketika melintas di depan Sweta Nandini, “ndherek langkung, mbak!”

Sweta Nandini tidak bergerak sama sekali ketika Arundhati dan Sekar Kenanga meninggalkannya. Dia cuma memandangi mereka dengan kesal.  Namun, lama-lama dia merasa gak enak juga ditinggal sendirian. Sweta Nandini berlari mendekati Arundhati dan Sekar Kenanga.

“Wooi… tunggu!”

Selangkah mendekati Arundhati dan Sekar Kenanga, Sweta Nandini menyadari bahwa saat ini mereka sudah tidak berada lagi di bukit hutan di Semali. Tapi ada di suatu tepi sebuah lapangan. Bila dia liat ke sebelah kiri depan, nampak sebuah bangunan benteng peninggalan Belanda yang telah dirusak dengan penambahan jalur kereta mainan di atapnya.

“Di mana ini Ayun?” Sweta Nandini bertanya kepada Arundhati,

“Lapangan Sekip, kalau ayah saya bilang!” pertanyaan Sweta Nandini dijawab oleh Sekar Kananga.

“Lapangan…?” tanya Sweta Nandini terheran-heran, “kok bisa?”

“Tadi mBaku Arundhati tanya ke saya, ada gak tempat yang jarang ada orangnya. Pas saya membayangkan lapangan ini, tiba-tiba kita sudah ada di lapangan ini.”

“Baiklah, Ayun, permainan apa lagi ini?” kekesalan Sweta Nandini semakin memuncak, Arundhati cume menanggapi dengan senyuman.

“Katanya kamu capek tadi, ini udah Ayun bantu lho biar gak capek jalab kaki!’

“Tapi jangan di lapangan juga kali. Panas tahu…..!” protes Sweta Nandini.

“Ah, kamu protes melulu!” timpal Arundhati dan disambut tertawa oleh Sekar Kenanga. Sweta Nandini cuma bisa diam ngempet rasa kesalnya.

Sambil menunjuk ke arah sebuah pohon yang rindang di tepi lapangan, jubah dan kerudung putih gading Arundhati berubah kembali menjadi seperti saat dia pergi, “ayo kita ke sana, itu ada pohon yang cukup rindang!”.  Sweta Nandini dan Sekar Kenanga mengangguk. Mereka bertiga berjalan menuju ke pohon rindang yang ditunjuk oleh Arundhati.

Sesampainya di bawah pohon Rindang itu, Sweta Nandini dan Sekar Kenanga bingung mau duduk di mana. Namun, tiba-tiba Arundhati menggelar tikar dan duduk.

“Silakan duduk!”

Sekar Kenanga semakin bingung, tapi tidak tahu apa yang akan dia tanyakan,

“Ayun, ini tiker kamu ambil dari mana? Halal gak nih kalau Dini dudukin?” tanya Sweta Nandini memastikan status tikar yang digelar oleh Arundhati. Sweta Nandini tahu bahwa ini bukan sihir Arundhati. Sekali lagi, pasti dia baru mengacak-acak hukum fisika.

“Halal, ini tadi sebelum berangkat aku lihat ada tiker pandan yang dilipat di teras. Barusan aku ambil ini.”

“O.. gitu. Baiklah!” Sweta Nandini melepas alas kakinya dan duduk di atas tikar, “Sekar, duduk! Halal ini, bukan barang curian!”.  Setelah duduk di tiker, Sweta Nandini menyuruh Sekar Kenanga untuk duduk juga.

Setelah mereka bertiga duduk di atas tikar, Sekar Kenanga yang ternyata tidak sabar ingin menanyakan sesuatu langsung buka suara mendahului Arundhati dan Sweta Nandini yang sudah bersiap membuka mulut.

“Mohon maaf mbakyu berdua. Sebenarnya, banyak sekali yang Sekar ingin tanyakan kepada mBakyu berdua. Pertama, kenapa mBakyu berdua yang sepertinya bukan orang sini dan apalagi bukan orang Semali, namun tadi ada di Semali dan terima kasih telah menolong Sekar. Kedua, terkait yang pertama, saya heran kenapa mBakyu berdua tahu nama Sekar dan begitu yakin dengan nama Sekar mekipun kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Dan bila saya lihat, sepertinya mBakyu berdua ini begitu senang saat memastikan bahwa nama saya memang Sekar Kenanga?”

Arundhati yang sudah membuka mulutnya, terpaksa mengatupkan mulutnya lagi. Sementara, Sweta Nandini justeru berimprovisasi dengan merubahnya untuk menjawab pertanyaan Sekar. Meskipun itu harus disela dengan menelan ludah terlebih dulu.

“Gini Sekar. Saya, Sweta Nandini dan ini Arundhati, kami berdua memang sedang mencari seseorang yang bernama Sekar Kenanga. Ada banyak hal yang tidak bisa kami ceritakan selain harus kamu alami sendiri.  Termasuk bagaimana instink kuat Arundhati menuntun kami ke bukit di hutan di Semali tempat pertemuan kita tadi. Teruskan, Ayun….!”

Karena banya yang tidak ia ketahui dari pengalaman hari ini, Sweta Nandini meminta Arundhati untuk meneruskan caritanya.

“Terusin aja….!” jawab Arundhati ogah-ogahan.

“Issh…. Saya kan banyak gak tahu!” lanjut Sweta Nandini merajuk. Arundhati tersenyum.

“Sekar. Di dunia ini kita sering bermimpi. Namun, karena pengalaman mimpi kita Cuma mencapai lapisan pertama saja, maka bentuk mimpi kita cuma berupa mozaik-mozaik tak beraturan. Namun, bila kamu mampu mencapai lapis kedua, maka kamu akan menemui dunia yang utuh. Ini mirip multiverse di film marvel. Namun seperti teori tentang multiverse, tidak semua orang mempunyai avatarnya di lapis kedua itu.  Ayun dan Dini merupakan beberapa orang yang mempunyai avatar kami di lapis kedua dimensi mimpi. Nah, di lapis kedua dunia mimpi, kami mempunyai saudara seperguruan yang bernama Niken Landjar Sekar Kenanga. Guru kami yang tidak mempunyai avatar atau versi di dimensi utama, merasa yakin bahwa Niken Landjar Sekar Kenanga mempunyai avatar atau versi di dimensi utama. Beliau memberikan amanah kepada Ayun untuk mencari keberadaan versi dimensi utama dari Sekar Kenanga. Mungkin guru yakin bahwa Ayun yang sering bergerak karena instink, dapat memanfaatkan instink dalam pencarian Sekar Kenanga. Nah, tadi waktu ketakutan dikejar-kejar sama Sanca Budjangga Ayun merasakan kehadiran Sekar Kenanga pada diri kamu. Apalagi ketika ketakutan kamu sangat kuat. Kehadiran Sekar Kenanga terasa sangat kuat. Nah, ketika kamu Ayun bawa ke padang rumput di India, tanpa sengaja Ayun telah juga membebaskan kamu dari pengaruh makhuk persepsi Upala Carma yang menghambat terhubungnya kamu ke lapis kedua dimensi mimpi!”

Ada sekian panjang kali lebar Arundhati menjawab pertanyaan Sekar Kenanga.

“Sekarang, Ayun mau memastikan, apakah betul kamu bernama Sekar Kenanga?” Arundhati balik bertanya kepada Sekar Kenanga.

“Mohon maaf, mBakyu, namun satu pertanyaan lagi mohon dijawab. Saya baru ingat ketika berada di padang savana, saya dibawa terbang tinggi sekali dan kemudian saya dilempar kebawah sehingga, mohon maaf karena ketakutan saya yang amat sangat, sumpah serapah saya kepada mbakyu keluar semua sampa kemudian saya tidak mampu mengingat apapun. Namun, dalam ketidaksadaran saya terlintas kilatan-kilatan semacam pengalaman saya sendiri entah kapan!”

Nggak di lapis kedua, nggak di dimensi utama yang bernama Sekar Kenanga memang kalau ngomong rapih banget. Ini membuat Sweta Nandini terkikik-kikik menahan tawa.  Namun tidak dengan Arundhati. Dia malah agak sedikit takut bila itu memang benar-benar Sekar Kenanga. Jangan-jangan yang versi ini nanti juga bakal menghaturkan sembah kepadanya?

“Tadi itu… Ayun sangat yakin bila kamu masuk ke dalam situasi nol, maka akan membantu saudara Ayun di lapis kedua dunia mimpi untuk membentuk hubungan dengan kamu. Makanya Ayun lempar kamu!” Arundhati menjawab dengan suatu alasan yang secara normal pasti akan mentrigger penyanggahan.

“Namun mBakyu, apakah mBakyu tidak memperhitungkan bila perhitungan mBakyu salah? Apakah itu tidak kemudian saya akan terus jatuh dan mati?” kejar Sekar Kenanga yang dibalas senyuman oleh Arundhati. “Tidak akan, karena Ayun bisa bergerak jauh lebih cepat dari kecapatan jatuhmu!”

Sekar Kenanga ndomblong, Sweta Nandini menimpali, “jangan kuatir, Ayun selalu punya cara, dan kamu sudah merasakannya!”

“Nah benar juga dugaanku, ketika kamu mencapai nol, saudara kami di lapis kedua telah mencapai tubuhmu dan mengirimkan sebagian memorynya kepadamu. Makanya seperti yang kamu bilang, tadi ada seperti kilatan-kilatan pengalaman entah kapan. Itu adalah memori dari Sekar Kenanga versi lapis kedua dunia mimpi. Dan mulai hari ini kedepan, kamu akan menerima pengalaman-pengalaman dari lapis kedua. Pada beberapa situasi, mungkin kepalamu akan merasa kesakitan. O, ya saat kamu jatuh tadi, kamu sempat berubah mengenakan jubah dan kerudung putih gading khas murid Alang-alang Segara Wedi”

Mendengar penjelasan Arundhati, Sekar Kenanga terdiam. Arundhati dan Sweta Nandini seperti sengaja memberikan waktu hanya untuk Sekar Kenanga. Setelah beberapa saat kemudian, Sekar Kenanga mulai berbicara.

“Mohon maaf kepada mBakyu berdua yang sudah Sekar repotkan. Benar, sewaktu kecil saya memang pernah menggunakan nama Sekar Kenanga. Lengkapnya Niken Sekar Kenanga. Namun, karena saya sering bertingkah yang aneh-aneh dan kadang membahayakan diri saya, kemudian Ayah merubah nama saya menjadi Lanjar saja. Lanjar dari kata lanjaran atau bambu atau batang lain yang digunakan petani sebagai tempat untuk merambat tanaman kacang panjang, atacu kecipir. Ayah berharap agar dengan nama Lanjar ini akan menjadi sandaran yang kuat agar saya tumbuh dengan normal. Dan betul saja, setelah menggunakan nama ini, saya memang menjadi pendiam. Bukan karena saya berubah, namun saya malu karena Dewi Lanjar adalah nama penguasa pantai utara tempat orang mencari pesugihan. Dan apalagi setelah menggunakan nama itu, saya sering bertemu ular jadi-jadian. Dan puncaknya adalah bertemu degnan Sanca Budjangga”

Arundhati mendengarkan penjelasan Sekar Kenanga dengan seksama, dan dia sangat puas karena ternyata memang benar dia adalah orang yang terlahir dengan nama Sekar Kenanga.

“Baiklah Sekar, karena memang kamu sejatinya adalah Sekar Kenanga, maka pakailah lagi nama itu. Versi kamu di lapis kedua dimensi mimpi pun bernama lengkap Niken Lanjar Sekar Kenanga. Nama terpanjang di antara kami. Setelah mendengar penjelasan kamu, kami mengerti mengapa namanya bisa sepanjang itu. Kemudian mengenai ular jadi-jadian, Ayun jamin itu tidak berhubungan dengan Sanca Budjangga. Dia itu memang pemuja rahasia Sekar Kenanga, dan nanti kamu juga akan tahu. Namun dia bukan jenis makhluk persepsi yang jahat seperti Upala Carma yang telah terbunuh karena tingkahnya sendiri.”

Sekar Kenanga tersenyum mendengarkan penuturan Arundhati.

Setelah saling mengungkap identitas, kemudian mereka bertiga terlibat dalam pembicaraan yang sangat cair. Mereka saling bercerita dengan candaan-candaan mereka. Namun, semakin kemari gaya berbicara Sekar Kenanga semakin kaku.  Arundhati dan Sweta Nandini sudah paham itu. Namun tiba-tiba wajah Sekar Kenanga berubah seperti orang ketakutan. Sekar Kenanga berdiri dan pakaian yang dia kenakan berubah menjadi jubah dan kerudung putih gading, mundur, dan kemudian berlutut dengan lutut kanan menyentuh tanah sementara kedua tangannya dia tangkupkan di lutut kiri. Kepala menunduk.

“Mohon maaf, paduka tuanku putri Arundhati Striratna atas kelancangan hamba yang telah menganggap tuanku putri hanya sebagai teman seperti biasanya!”

Arundhati hanya tertawa melihat tingkat Sekar Kenanga yang tiba-tiba memberikan penghormatan formal itu.

“Dini, kalau begini Ayun semakin yakin kalau itu memang Sekar Kenanga?” kata Arundhati kepada Sweta Nandini dengan nada meminta pertimbangan.

“Betul! Tapi kenapa secepat ini dia melakukan penyelarasan dengan Sekar di sana?” jawab Sweta Nandini yang malah kemudian balik bertanya tentang progress Sekar Kenanga.

“Iya, ya!” Arundhati mengiyakan, namun setelah diam sebentar dia teriak lirih, “Aha… la memang penyelarasan ini dilakukan secara khusus dengan melibatkann Ayun dan Yu Ara juga!”

“Hm…!” Sweta Nandini cuma menjawab dengan gumaman.

“Ha ha ha…. kamu lagi jalan sama kang Suman cari minyak goreng!” Arundhati tertawa meledek Sweta Nandini yang memang di lapis kedua dimensi mimpi sedang tidak bersama Arundhati dan Sitakara karena sedang membantu orang dapur mencari minyak goreng.

“Bener-bener, gak di dimensi utama, gak di dimensi mimpi minyak goreng langka!”. Kali ini, muka Sweta Nandini benar-benar keliatan kesal.

“ha ha ha…. ya ya ya…. Penyelarasan hari ini sudah selesai!”  Arundhati kemudian berdiri dan mendekati Sekar Kenanga yang masih berlutut.

“Sudah sudah sudah, Sekar. Ini udah jaman modern, udah gak musimnya berlutut seperti itu, Arundhati memegang pundak Sekar Kenanga dan membimbingnya untuk berdiri. Namun, setelah berdiri, Sekar Kenanga justeru limbung dan jatuh. Untung, Sweta Nandi sigap menangkap tubuh Sekar Kenanga. Kemudian Arundhati dan Sweta Nandini merebahkan Sekar Kenanga ke tikar pandan.  Mereka berdua pernah mengalami ini ketika pertamakali melakukan penyelarasan. Ini adalah masa paling lemah mereka. Oleh karena itu mereka berdua memutuskan untuk menemani Sekar Kenanga sampai dia terbangun.

Sambil menemani Sekar Kenanga kedua baik Arundhati maupun Sweta Nandini tidak saling berbicara.  Arundhati sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba muncul. Sweta Nandini sibuk dengan pertanyaan tentang apa yang dikatakan Arundhati tadi. Jenuh dengan keheningan, akhirnya Sweta Nandini pun bertanya juga, “Ayun, tadi kamu menyinggung Ibu Retna Nawangsih, ibunya Yu Sita. Emang kenapa dengan beliau?”

Mendengar pertanyaan tersebut, Arundhati tidak langsung menjawab.  JIdatnya terlihat menggerenyit. Mukanya kelihatan serius.

“Dini, apa kamu tidak pernah berfikir bahwa beberapa kejadian terakhir ada hubungannya dengan Ibunda Yu Ara?”

“Sepertinya aku gak akan menjawab, karena kamu sendiri pun mestinya tahu bahwa aku gak akan kepikiran seperti itu. Justeru aku yang bertanya, kenapa muncul nama Ibu Retna Nawangsih?”

Arundhati terpaku sejenak. Dan memang betul bahwa dia tidak meyakini bahwa Sweta Nandini akan punya pemikiran seperti itu. Arundhati tersenyum.

“Ibu Retna Nawangsih sepertinya tahu apa yang kita alami hari ini. Intuisiku mengatakan demikian. Dan, dalam pertarungan tadi, Ayun merasakan kehadiran dari kesadaran beliau”

Sweta Nandini tertegun mendengar penjelesanan Arundhati. Sweta Nandini awalnya cuma berfikir bahwa Arundhati hanya sekedar mencari Sekar Kenanga seperti amanah yang telah diberikan oleh Ki Gagak Seto.  Ternyata ada hal yang berbeda yang dipikirkan oleh Arundhati dan tidak terpikirkan olehnya.

“Ya sudah, Dini, kita ngomongin yang lain aja ya, sambil nungguin putri tidur ini!” ujar Arundhati sambil tersenyum.

“Baiklah!” sahut Sweta Nandini. Kemudian dua gadis itu terlibat pembicaraan yang sama sekali tidak serius. Sesekali tawa renyah mereka terdengar menyeruak di antara derasnya aliran kata-kata yang keluar dari mulut kedua gadis tersebut.