Minggu, Juni 05, 2022

{1} IBU


Semburat pagi telah mengintip di ujung timur persawahan. Bayang-bayang awan yang menggantung di langit terlihat berwarna lembayung dengan putih mengintip, dengan tersisa hitam di ujung lain. Gerumbul perkampungan nampak berbaris di tepi sebelah sana. Petani masih belum nampak yang turun ke sawah.  Musim hujan baru saja tiba. Sebagian besar petak sawah baru sedikit terendam air dengan bongkah-bongkah sisa tanah kering menyeruak di antara genangan.

Sebuah rumah di pinggir sawah yang tiga hari lalu ramai orang-orang yang ikut pencarian Arundhati nampak mengepulkan asap putih dari bagian belakang. Penghuninya telah bangun dan mulai aktifitas di dapur. Ibu, ibunya Arundhati tengah sibuk di dapur, dan Bapak bapaknya Arundhati tengah sibuk menguliti kelapa di halaman samping dekat dapur. Di dalam rumah, di salah satu kamar, Arundhati terlihat masih tertidur.  Ini adalah hari ketiga dia tertidur. Tidak seperti dua hari sebelumnya, hari ini dia nampak gelisah. Kepalanya berkali-kali bergerak ke kiri dan ke kanan. Tangannya meremas kain rok bawahannya. Lama dia seperti itu sampai semburat lembayung hilang dan lazuardi biru membentang menggantikan.

Arundhati nampak mulai tenang dan mulai membuka matanya. Arundhati tidak tahu apa yang telah dia alami.  Ketika dia membuka matanya, dia sama sekali tidak mengenali sekelilingnya. Dia bangun dan duduk di ranjang. Ranjang kecil yang juga dia tidak bisa kenali. Dia merasa ini bukan ranjangnya dan bahkan dia pun tak tahu benda apa yang sedang dia duduki. Dahinya mengkerut, saat pandangannya menumbuk batang bambu wulung yang menjadi bahan utama ranjangnya. Dia tidak tahu kenapa ada benda itu, dan kenapa dia ada di situ. Bahkan dia pun lupa semua kosa kata, nama apapun yang ada di sekelilingnya. Kebingungannya semakin memuncak ketika pandanganya merayap keluar jendela dan melihat dahan-dahan bunga dahlia terayun-ayun. Mata Arundhati terbelalak ketakutan. Dalam pandangannya, dahan-dahan dahlia itu seperti cakar-cakar rasaksa yang mengancam. Dia tidak tahu harus berbuat apa, tapi refleksnya mendorong dia untuk berteriak, “Ibu...!!!!” Arundhati masih belum lupa dengan kata itu.

Kali ini Arundhati memang kehilangan total seluruh memorynya. Bahkan dia tidak punya pembanding apapun yang tersimpan dalam memorynya. Namun dia masih punya satu kata, Ibu. Meskipun itupun dia tidak tahu artinya.

“Ibu…..!” sekali lagi Arundhati merneriakkan panggilan itu.

Demi mendengar teriakan itu, tatapan mata Ibu terlihat berbinar. Setelah dua hari dua malam Arundhati tertidur, suara panggilan itu benar-benar sangat menggembirakan. Ibu yang sedang mengangkat dandang panas tidak dapat segera menemui Arundhati, “Pak.. Pak... Bapak, coba lihat itu si Ayun. Sudah bangun sepertinya!”

“Ah, apa iya” Bapak segera masuk ke rumah meninggalkan kelapa yang masih menancap di slumbat. Tukang kebon yang sering membantu Bapak, beberapa hari memang tidak kelihatan sehingga Bapak harus nylumbat sendiri klapanya untuk keperluan dapur.

Arundhati turun, menjauh dari ranjang. Mundur ke arah pintu sambil sambil melihat ke arah ranjang dan ke arah luar secara bergantian. Dia sangat ketakutan melihat bambu wulung ranjangnya dan ayunan dahan dahlia di luar.

“Alhamdulillah, Ayun, sudah bangun?” Bapak yang telah berdiri di belakang Arundhati menegur dan memegang pundak kanan Arundhati dari belakang. Didorong rasa senang melihat anaknya telah bangun, Bapak memutar tubuh Arundhati hendak memeluknya.  Belum sampai memeluknya, Arundhati yang kaget malah menepis tangan Bapak dan melompat mundur. Tubuhnya menegang, dan matanya melotot ketakutan. Bapak bingung dan melihat kelakuan Arundhati. Semakin bingung dia melihat Arundhati yang semakin ketakutan ketika melihat dirinya. Bapak kembali mendekat dengan mengangkat kedua tanganya hendak memeluk dan mendekap Arundhati. Arundhati yang takut berubah menjadi marah. Dia tepis kedua tangan bapaknya dan kembali mundur sambil menunjuk ke arah laki-laki itu.

“Rrr…ra..ra….!” ketakutan dan kebingungan semakin menekan Arundhati. Dia tarik tangannya sambil menggelang-gelengkan kepalanya, “Ibu……!” Arundhati meneriakan kata itu sambil menunduk dengan kedua tangan mengejang di sampingnya, “Ibu….!”

“Pak...! Kenapa itu si Ayun kok masih teriak-teriak!?” suara Ibu teriak dari dapur, merespon panggilan itu. “Ibu…!” belum lagi Bapak menjawab, Arundhati kembali berteriak, “Ibu…..!”

“Iya iya iya… tunggu…!” terdengar Ibu menyahut dari dapur. Tak lama kemudian ibu muncul, nampak terburu-buru sambil bertanya pelan ke arah Bapak, “ada apa sih, Pak?” dengan muka tegang, Bapak menggeleng. Ibu menggernyitkan dahi.  Dia melihat ke arah Arundhati yang berdiri kaku agak membungkuk dengan mata menatap dengan tatapan marah ke arah Bapak. Ibu berjalan mendekati Arundhati dari sebelah kiri merengkuh bahu Arundhati dan menjangkau lengan kanan Arundhati. Tapi sebelum itu terjadi, Arundhati tiba-tiba berbalik ke kiri dan mundur menjauh sambil secara bergantian tangannya menunjuk Bapak dan Ibu. Arundhati sepertinya benar-benar tidak mengenali lagi kedua orang tuannya itu. Betul-betul seperti orang lain yang ketakutan melihat kedua lelaki dan perempuan setengah baya itu. Arundhati bingung. Arundhati cuma bisa bilang, “ibu!” sambil menunjuk pada Ibu. Pun demikian ketika dia menunjuk ke Bapak, dia bilang “ibu!” 

“Yun, Ayun, ini aku, ibumu!” perempuan setengah baya itu mendekati Arundhati sambil kedua tangannya menunjuk ke dadanya. Arundhati sejenak tertegun ke arah si perempuan setengah baya di depannya. Arundhati menggerak-gerakkan kepalanya seperti mengamati perempuan setengah baya itu. Di kapala Arundhati saat ini cuma ada satu kosa kata, Ibu. tapi tidak ada sedikitpun ingatan tersisa yang dapat mewakili kata Ibu. Arundhati mendekati perempuan setengah baya itu dan berkata sambil tangannya menunjuk ke perempuan setengah baya itu, “ibu?”

“Iya, cah ayu….! Aku Ibumu. Ibumu! Kenapa kamu cah ayu?”

Arundhati terdiam sebentar. Dia menoleh bergantian ke arah Ibu dan Bapak, dan berhenti dengan memandang ibu. Arundhati mengangkat tangan kanannya dan menunjutk ke arah ibu sambil dengan nada tanya dia bilang. “Ibu?” dengan lirih. Ibu sangat senang, Arundhati memanggilnya. Ibu menjawab sambil berkaca-kaca matanya, “Iya, cah ayu. Aku mbokmu! ibumu! Ibu” Arundhati terdiam sebentar kemudian dia menoleh ke Bapak sambil kembali menoleh ke arah Ibu, tangan kanan Arundhati menunjuk Bapak dan bertanya, “ibu?”

Mata Ibu semakin basah oleh air mata, “Dudu… cah ayu… itu bapak.  Bapakmu!”

Ibu berusaha memperkenalkan bahwa lelaki setengah baya itu adalah bapak. Bapaknya Arundhati.

“Ba...pak?”

“Iya bapak…. bapakmu cah ayu!” ibu menjelaskan sambil menunjuk ke arah Arundhati saat bilang cah ayu.  Arundhati mulai bingung lagi. Kemudian sambil kedua tangannya menangkup ke dadanya dia bertanya, “cah ayu?”

Ibu tak lagi dapat menahan tangisnya. Dia mendekat dan memeluk Arundhati. Kali ini Arundhati tidak bergeming. Tidak bergeser sedikitpun. Dia merasa tenang di dalam pelukan perempuan itu. Arundhati mulai mencerna satu-satunya kosa katanya yang tersisa. Ibu.

“Owalah Ayun…. kenapa kamu begini….? Kenapa kamu seperti melupakan ibu sama bapak, cah ayu?”

Hati Ibu  betul-betul sedih menyadari bahwa anaknya tidak mengenalnya. Dan bisa jadi lebih parah, tak mengenali apa dan siapapun termasuk dirinya sendiri.

Tubuh Arundhati tetap diam. ibu memeluknya sambil menangis. Arundhati mengulang-ulang kata “ibu” dan “bapak” sambil menunduk. Kepala Arundhati sejenak tegak saat perempuan setengah baya yang mengaku ibu menyebut “cah ayu” yang diikuti sama persis oleh Arundhati, “Cah ayu”

Bapak, cuma bisa berdiri diam. Dia perhatikan isterinya yang sedang memeluk Arundhati, anaknya. Dia seperti ingin memeluk kedua perempuan di hadapannya itu.  Namun, dia samasekali tak berani lakukan itu. Bapak takut merusak suasana yang menurut penilaiannya sudah mulai membaik. Bapak, dengan memendam rasa iri, tetap diam. Bahkan ketika isterinya menuntun Arundhati kembali ke ranjang tempat nya tidur, duduk di pinggirannya. Bapak tetap diam dan hanya bisa menonton Arundhati masih mengulang-ulang kata-kata, “Ibu… Bapak… Cah Ayu…. Ibu…. Bapak…. Cah Ayu!” dan terus begitu.

Ibu mengelus-elus bahu Arundhati yang tertutup rambut panjangnya.  Sesekali dia menyibak rambut panjang Arundhati yang menutupi dahi dan mata Arundhati. Arundhati sudah tidak lagi mengulang-ulang kata-kata itu. Arundhati terlihat lebih tenang. Tidak ada ketakutan seperti tadi, “Ibu….” tanpa mengubah arah tatapan, Arundhati memanggil pelan ibu. Ibu menyahut, “ada apa ndhuk…..? cah ayu!” Arundhati terdiam lagi.  Ibu itu terdiam juga.

“ibu!” Arundhati memanggil ibu lagi.

“Iya Ayun, cah ayu!” Ibu kembali menyahut. Arundhati menoleh dengan mata berbinar-binar ke arah ibu. Arundhati merangkul perempuan itu sambil bilang, “ibu!” Arundhati menangis sejadi-jadinya sambil terus bilang, “ibu!”, dan ibu pun menangis.

Setelah agak lama menangis, Arundhati melepaskan pelukannya. Sambil tersedu-sedu, seperti ingin memastikan, dia menyebut “cah ayu” dengan memegang dadanya sendiri, dan menyebut “ibu” sambil memegang dada Ibu. Ibu cuma bisa mengangguk dan mengulangi apa yang dilakukan Arundhati. Sambil memegang dadanya mBokYah bilang,  “ibu!” dan bilang “cah ayu!” saat memegang dadanya sendiri.

Arundhati sangat senang, setidaknya ibu tidak ikut bersama memorinya yang tiba-tiba hilang. Tapi dia masih belum dapat mengenali bapaknya. Atau mungkin dia bahkan tak tahu bahwa seharusnya dia punya seorang bapak.

Meskipun masih belum tahu apa yang terjadi pada putri semata wayangnya, Ibu tetap senang karena setidaknya saat ini Arundhati sudah bangun dan sudah tenang. 

Begitupun Arundhati, dia dapat mengenali ibu, dan Arundhati benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.  Semua infromasi yang tersimpan pada memorinya benar-benar hilang sehingga dia pun kesulitan berkata-kata. Cuma satu kata “ibu” itu saja yang masih tertinggal di kepalanya. Itupun dia tidak tahu apa itu ibu. Hanya ketika seorang perempuan setengah baya dengan lembut memeluknya dan membalai rambutnya sehingga ada ketenangan mengaliri seluruh perasaannya, Arundhati harus menyimpulkan bahwa itulah ibu.


Minggu, Mei 29, 2022

{0} AWAL



 “Sudah ya... sebentar lagi Ayun turun.  Pokoknya inget ya, lusa kita ketemuan di balai desa. Semua harus dateng. Gak boleh ada yang gak dateng. Ini tugas negara ini....! Ha ha ha ha.......!” entah apa yang mereka bicarakan sebelumnya, salah seorang dari sekelompok remaja berseragam SMA, perempuan dan menyebut dirinya Ayun, mewanti-wanti temannya untuk datang sesuai janji. “Ha ha ha ha... Masih jauh Ayun…., tapi oke sih kalo pamit sekarang!” dengan gaya ceria, mereka meng-ok-kan permintaan salah seorang temannya itu. Tapi, dari sudut kabin angkutan pedesaan ada suara anak laki-laki nyeletuk, “Yun..., kalo aku gak dateng boleh gak?” Semua menoleh ke sumber suara, “Mau berlibur ke Prindavan?” Kompak, seperti paduan suara, teman-temannya menyambut celetukan itu. Sementara yang nyeletuk tadi cuma nyengir embek, “kok pada tahu?”

“Lha yo jelas tahu.... wong tiap kali kamu diajak, selalu alasannya itu!”  gadis yang menyebut dirinya Ayun menjawab dengan sedikit kesal.

“Ya sudah, aku gak datang kalau begitu!”

“Gak usah pamit!” teriak gadis yang menyebut dirinya Ayun yang kesal. Tapi, “ha ha ha ha ha.....” teman-temannya merasa itu adalah hal yang lucu dan pantas untuk membuat mereka tertawa. Mereka melanjutkan pembicaraan yang diselangi canda.

Angkutan pedesaan yang membawa mereka itu melaju mengikuti jalan yang membelah sawah dan memasuki gerumbul perkampungan. Ketika sampai ke pertigaan ledeng (pintu air), gadis yang menyebut dirinya Ayun itu teriak ke sopir, “kiri pir..., kiri!” dan angkutan pedesaan itu pun berhenti. Gadis yang menyebut dirinya itu Ayun beranjak dari tempat duduknya, turun.

“Sudah ya, Ayun turun duluan....!” pamit gadis yang menyebut dirinya Ayun, “Assalamu’alakum!”

“Wa’alaikum salam!” teman-temannya yang masih di angkutan pedesaan itu menjawab kompak. Gadis yang menyebut dirinya Ayun turun dan segera ke depan dan melalui jendela sebelah kiri dia mengulurkan 2 lembar duaribuan. “Ini, Kang!”

Sopir angkutan pedesaan itu menyambut dua lembar uang duaribuan itu sambil bilang, “diterima, salam buat Bapak ya....!”. Sopir itu ternyata tetangganya.

Gadis yang menyebut dirinya Ayun itu cuma cengar-cengir sambil bilang “Iya kang!”

“Sudah ya, semuanya, sampai lusa!” teriak gadis yang menyebut dirinya Ayun itu sambil melambaikan tangannya. Dia membalikkan badannya berjalan menyusuri jalan  desa. Angkutan pedesaan itu kembali melaju, membawa teman-temannya yang masih tersisa.

Jalan desa yang membelah perkampungan ini, di sebelah kanannya mengalir saluran irigasi sekunder yang mengalirkan air dari bendung gerak ke sawah-sawah di sekitar kampungnya. Rumahnya sendiri berada di dekat areal persawahan yang sangat luas di ujung kampung.

Cuaca sedang bersahabat saat ini. Meskipun matahari nampak pongah menghujamkan sinarnya dari tahtanya di ketinggian sana, namun angin seperti tahu bahwa di jalan desa sedang berjalan seorang anak gadis remaja berkulit kuning langsat, bermuka tirus, mata kecil bulat, alis melengkung, dan hidung kecil mancung. Dapat dikatakan seluruh indikator kecantikan orisinil menempel dengan sempurna pada sebidang wajah penghias paripurna dari tubuh mungil gadis yang terbalut gamis dan kerudung rapi.  Angin tahu bahwa gadis itu harus dibuat nyaman dan tidak kepanasan. Gadis itu adalah gadis yang tadi menyebut dirinya Ayun. Dia bernama Arundhati. Orang memanggil dia dengan panggilan Yun atau Ayun dari Run atau Arun, Arundhati. Dan, selanjutnya, kita akan sebut saja dia sesuai namanya atau bagaimana dia menyebut dirinya saja.

Mendekati balaidesa, Arundhati melihat ada kerumunan di halaman balai desa. Keingintahuannya menuntunnya mendekati kerumunan itu. Semakin dekat dengan kerumunan itu,  semakin heran dia.  Tak satupun orang-orang yang berkerumun itu dia kenali. Sebenarnya dia mulai ragu untuk mendekat, namun rasa ingin tahunya mematahkan keraguannya.

Arundhati semakin mendekat ke kerumunan, namun ukuran tubuhnya yang kecil membuatnya tidak mampu melihat ke tengah kerumunan. Bahkan, ketika dia coba dan menjinjit atau sedikit melompat dengan menjulurkan kepalanya, pandangannya tetap tidak dapat menjangkau object yang sedang dirubung orang-orang itu.  Arundhati menyerah dan kembali hendak ke jalan untuk melanjutkan perjalanan pulangnya. Ketika melangkah meninggalkan kerumunan, dia baru menyadari ada sesuatu yang aneh. Saat berada bersama kerumunan tadi, sepertinya tidak ada satupun orang yang berkemun tadi dia kenal. Dia membalikkan badan, dan alangkah terkejutnya dia demi mendapati bahwa kerumunan dari orang sebanyak itu tadi sudah tak ada lagi. Hanya halaman dan pendopo balai desa yang kosong.

Tiba-tiba ada getaran rasa takut merambati sekujur tubuhnya dan mengaliri seluruh nadinya. Dadanya berdegup kencang. Arundhati berdiri terpaku dengan kepala menunduk serta tangan meremas gamisnya. Dia coba pejamkan matanya dan berusaha menolak pandangannya. “Tidak, ini tidak nyata. Ini tidak nyata!”

Arundhati membalikkan badannya arah ke luar balai desa dengan tetap memejamkan matanya. Arundhati masih belum berani membuka matanya. Antara ragu dan takut dengan apa yang mungkin akan dia temui saat dia membuka mata, membuatnya masih memejamkan mata. Kebingungan nampak menyelubungi pikirannya.

Lama Arundhati berdiri menunduk dengan mata terpejam dan kedua tangan lurus kaku meremas gamisnya.

“Ibu, Bapak… Ayun takut…!”

Beberapa tetes air mata nampak menyusup keluar dari sudut matanya yang terkatup rapat.

Angin masih bertiup lembut mengipasi tubuh mungil Arundhati yang masih berdiri di tengah lapangan balaidesa.  Penduduk desa tak ada satupun yang perduli dengan keberadaannya yang tengah ketakutan di tengah halaman balaidesa. Mereka beraktifitas seakan memang tidak ada Arundhati di sana. Bahkan ketika beberapa penduduk desa memasuki area balai desa, mereka berjalan biasa saja tanpa ada yang peduli bahwa ada seorang gadis yang tengah ketakutan teramat sangat berdiri di tengah halaman balaidesa.

Arundhati sama sekali tidak menyadari fenomena ini. Dia masih tenggelam dalam ketakutannya, sampai akhirnya, “Ya Allah, kumohon angkatlah ketakutan dalam diriku!”

Arundhati mulai membuka matanya. Sungguh terkejut dia saat menyadari bahwa lingkungannya telah berubah sama sekali.  Tak ada satupun pemandangan yang ada di depannya dia kenal. Bila orang-orang dalam kerumunan tadi itu adalah orang asing baginya, saat ini sepertinya justeru dialah yang menjadi orang asing. Semuanya terlihat asing. Arundhati yang kenal betul dengan suasana desanya amat yakin bahwa dia tidak mungkin salah. Dia tadi benar-benar turun di ledheng irigasi desanya. Kemudian, dia melewati balaidesa. Dan karena dia liat ada kerumunan dia berbelok melihat kerumunan di itu. Kerumunan di balaidesa dari desa tempat tinggalnya, sekali lagi, yang sangat dia kenal. Bahkan dari kecil dia memang suka main di halaman balaidesa.

Tiba-tiba Arundhati seperti terjerembab ke dalam sebuah kebingungan yang sangat dalam. Lingkungan di balaidesa yang sangat dia kenal, saat ini menjadi samasekali asing baginya.

Arundhati terus berusaha untuk mengenali semua obyek asing yang tiba-tiba menggantikan apapun di sekeliling balaidesa. Bahkan sampai ke jalan, ke seberang jalan. Sungai saluran irigasi buatan di seberang jalan pun tidak terlihat.

Arundhati berdiri diam. Dia dekap tas sekolahnya. Bukan cuma bingung, dia mulai merasa ketakutan lagi. Ketakutan dan kebingungan yang amat sangat merayapi seluruh jiwanya. Jantungnya berdetak semakin kencang. Arundhati berusaha tenang. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang dia lihat bukanlah hal yang nyata. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Arundhati menutup matanya agak lama dan berharap saat membuka mata, apa yang akan dia lihat akan kembali seperti semula. Namun sayang apa yang dia harapkan sama sekali tidak terwujud. Pemandangan asing itu masih tetap hadir di hadapannya. Arundhati segera menutup matanya kembali.

Arundhati berpikir keras untuk mengatasi hal ini. Akhirnya dia ingat bahwa rumahnya ada pada sekitar tiga rumah dari balaidesa, atau sekitar seratus langkah dari balaidesa. Sambil membuka matanya Arundhati ke luar halaman balaidesa dan berbelok ke arah rumahnya sesuai perhitungan dia.  Dia berjalan sangat cepat sambil menghitung langkah. Dia tidak peduli bahwa pada setiap langkahnya, situasi di sekelilingnya berubah seketika dengan berbagai bentuk. Dia tidak mau terperangkap dalam kebingungan lagi. Ketika tepat seratus langkah dia menengok ke kiri, namun dia tidak melihat ada rumah dan apalagi rumahnya. Arundhati hanya melihat pepohonan rimbun. Dia ada di hutan saat ini. Ketika menoleh ke belakang, hanya setapak dengan semak-semak di kiri-kanannya yang dia lihat.  Bukan lagi jalan desa.

“Ini pasti tidak nyata. Ini pasti tidak nyata. Semua kenyataan yang aku kenal pasti tersembunyi di balik pandanganku. Aku hanya butuh meyakini!” Arundhati berusaha untuk memahami semua fenomena yang dia alami semenjak dari balai desa. Ketika semua pikirannya terfokus untuk dapat memahami, dia merasakan ketakutan yang tadi mengganggunya perlahan hilang. “Ini tidak nyata!” bisiknya dalam hati.

Arundhati berbelok ke kiri, ke arah yang dia yakini masuk ke halaman rumahnya.  Namun, ternyata untuk berbelok ke arah rumahnya pun terasa sangat berat. Dia kerahkan seluruh tenaganya, untuk dapat berbelok.  Dia tidak mau menyerah sampai akhirnya dia benar-benar menghadap ke kiri, dan mulai melangkah. Namun entah kenapa, tiba-tiba dia merasakan pusing yang sangat luar biasa. Kali ini Arundhati tak kuasa menahannya lagi. Arundhati jatuh.

“Ayun....!” seorang lelaki setengah baya berteriak dan menangkap tubuh Arundhati. “Ayun...!” lelaki setengah baya itu kembali berteriak sambil menahan tubuh Arundhati. “Alhamdulillah.... akhire ketemu...! Dari mana saja to kamu Yun... cah ayu?”

“Bapak-bapak...! Pak RT! niki ngriki... Ayun sudah ketemu!” lelaki setengah baya itu memanggil yang lain sambil ambil posisi membopong Arundhati.  Lelaki setengah baya itu berjalan ke arah rumahnya. Yang lain mengikuti di belakang.  Lelaki setengah baya itu terus masuk ke dalam rumah sambil tetap membopong Arundhati, sementara yang lain duduk-duduk di risban di teras rumah sebelah kanan.

“Ibu..! Mbok...! Ini Ayun sudah ketemu!” Lelaki setengah baya itu memanggil seseorang.  Seorang perempuan tengah baya muncul dari arah belakang dan, “oalah anakku, kemana saja kamu hari ini? semoga bukan kejadian buruk yang mengganggumu hari ini!” Ibu setengah menangis membelai kepala Arundhati yang masih pingsan.

“Bawa masuk ke kamar dia saja, Pak! Biarkan tubuhnya istirahat, semoga dia lekas sadar” Ibu meminta Arundhati langsung dibawa masuk ke kamarnya. Bapak segera kembali membopong Arundhati ke kamar. Ibu mengikuti bapak. Kedua orang itu masuk diikuti beberapa orang yang dari tadi sore mencari Arundhati. Kedua orang itu adalah bapak dan ibu Arundhati. Lelaki setengah baya yang membopong Arundhati adalah bapak Arundhati. Sementara, perempuan yang mengikutiya masuk ke kamar adalah Ibu Arundhati.

Selama ini, Arundhati memang tidak pernah kemana-mana. Pulang sekolah pasti dia langsung ke-rumah. Kalaupun ada acara di sekolahan, dia lebih memilih untuk pulang terlebih dahulu untuk memohon ijin orang tuanya baru kemudian ke sekolah lagi. Hari ini tadi, dari siang Arundhati tidak kelihatan di rumah, bahkan sampai maghrib masih belum nampak  Akhirnya, orangtuanya bersama beberapa orang sekitar rumah melakukan pencarian.

Kalian, silakan keluar dulu. Aku mau lepas kerudung Ayun” Bapak menyuruh beberapa orang yang ikut mengantar sampai kamar tidur Arundhati keluar, agar dia bisa melepas kerudung Arundhati.

Buk, tolong bikinin kopi enam gelas ya, buat di depan!” setelah merebahkan tubuh Arundhati dan melepas kerudungnya, Bapak meminta dibikinin kopi untuknya dan beberapa orang yang masih terdengar bercakap-cakap di ruang  tamu. Bapak segera keluar menemui yang lain. Ibu keluar kamar, ke dapur, menemui seorang perempuan muda yang sedari tadi tidak keluar dari dapur meskipun ada banyak orang dan cukup gaduh. Ibu bicara pelan dengan perempuan muda itu, sepertinya dia meneruskan permintaan bapak tadi.  Setelah itu ibu kembali ke kamar Arundhati. Duduk di samping Arundhati sambil mengusap-usap kepala Arundhati.

Di teras, orang-orang yang tadi menemani bapak mencari Arundhati masih berkumpul.  Ketika bapak keluar dari dalam rumah dan duduk di risban bersama yang lain, slah seorang dari mereka bertanya, “bagaimana sih lik kejadiannya? padahal tadi kita juga sudah lewat gerbang itu bolak-balik. Bahkan jalan di depan sana pun sudah bolak-balik kita lewati. Tidak juga ketemu Arundhati. Ini kenapa tiba-tiba dia muncul?”

Bapak mencabut sigaretnya satu batang, dan menjepitnya dengan kedua bibirnya. Dia ambil korek dari atas meja, entah punya siapa, dan dia nyalakan sigaretnya. Dia hisap dalam-dalam sigaretnya, dan dia cabut sambil dia hembuskan asap putih tebal dari mulutnya.

“Aku juga nggak tahu. Cuma pas tadi melangkah di buk depan rumah itu, tiba-tiba aku liat tubuh anakku itu terhuyung jatuh ke arahku. Entah apa.... yang dia alami hari ini. Semoga bukan hal yang buruk” jawab Bapak yang juga sebenarnya masih bingung. Sejenak suasana hening. Namun tak lama kemudian, dari dalam rumah keluar perempuan muda yang semenjak tadi di dapur terus.

“His... his... sini..!” perempuan muda itu setengah berbisik tapi tangannya melambai ke salah seorang lelaki muda yang tadi ikut mencari Arundhati. Seorang lelaki muda berkulit putih bersih, berbaju kaos hijau, bersarung dan kopiah.

“Sa ya?” hampir tanpa suara lelaki muda itu bertanya untuk memastikan sambil menunjuk dadanya sendiri. Perempuan muda itu tersenyum, “la iya.....!”

“Iya... itu bantu kakakmu Tantri... sana!” salah seorang yang melihat kejadian itu menegur dengan suara agak lebih keras sedikit. Kemudian lelaki muda bersarung dan kopiah itu masuk mengikuti perempuan muda yang ternyata punya panggilan Tantri tadi.  Tak lama mereka keluar dengan si perempuan muda membawa senampan gelas dan si lelaki muda membawa satu teko panas berisi kopi. Si perempuan muda meletakkan gelas di atas meja besar di depan risban, demikian pula si lelaki muda; meletakkan teko kopi itu di atas meja besar.

“Monggo semuanya, kopinya. Sengaja aku tidak menuangkan kopinya. Takut cepat dingin!” si lelaki muda menawarkan kopinya.

“Ha..lah! bilang saja males, Di, Turadi!” seru orang yang tadi menegur lelaki muda yang ternyata punya nama Turadi itu sambil berdiri mengambil gelas dan kopi. Mendengar itu yang lain tertawa. Setelah kejadian itu, malam itu menjadi cair. Mereka melepas lelah setelah berputar-purat selepas maghrib tadi mencari Arundhati. Mereka saling bercerita, bahkan tentang kejadian Arundhati tadi, meskipun mereka sebenarnya sama-sama mengalami.