Senin, November 26, 2018

Menarikan Keheningan


Mewlana Rumi's cropped



Menarikan keheningan tanpa gemerincing apalagi lonceng kaki. Bahkan, gelang pun tidak. Apalagi gending atau music pengiring.  Menarikan keheningan adalah keabsurdan yang paling bening dari kasunyatan yang menggiring sang penari meliuk-liukkan badan, tangan, dan langkahnya mengikuti irama yang sama sekali tak terdengar. Irama yang cuma bisa mengalir dalam darah dan getaran syarafnya.  Menari tanpa mengikuti atau melawan suara.

Tidak. Ini bukan tentang perenungan bila kalian pikir itu,  juga bukan tentang bagaimana menggerakan kaki yang terus melangkah. Bukan tentang bagaimana badan terhuyung atau bagaimana tangan melambai. Aku sedang tidak berbicara tentang itu. Aku sudah habis memikirkan semua. Aku cuma sedang bercerita sama kalian tentang tangan yang melambai, kaki yang melangkah, dan badan yang terhuyung.  Meliuk.  Aku cuma sedang bercerita tentang dia yang sedang menarikan keheningan.

Dia yang sedang menari itu tersenyum, meski tak ada musik yang membuatnya bahagia. Dia yang sedang menari itu berjingkat  biar tidak ada kendang yang menghentak. Dia yang sedang menari itu menangis biar tak ada suling yang menyayat melalui udara yang digetarkan. Dia yang sedang menarikan keheningan itu hanya mengikuti rima yang terpancar melalui degup jantungnya.
Mengikuti irama yang mengalir melalui darah dan getaran syarafnya.  Dan, tarian puncaknya adalah ketika dia tersungkur sujud dengan memperdengarkan sedu sedan yang menjadi satu-satunya suara yang terdengar.  Tersungkur sujud. Menyuarakan sedu-sedan, “duh… Gusti, mengapa hamba masih sanggup menolak irama yang Kau bisikkan dalam aliran darah hamba? Mengapa hamba masih mampu menolak impuls yang Kau pantikkan dan merayap melalui getaran syaraf hamba?"







Dan tarian keheningan itu semakin memuncak dalam rengkuhan kehampaan yang memperlihatkan semua buah dan kebodohanku sendiri.

Jakarta, 26/11/2018